Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58575 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusep Kartiwa Caryana
"Penyerapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) pelu termasuk industri hilir minyak dan gas bumi karena pemerintah indonesia telah mengadopsi perjanjian Paris tentang penurunan emisi gas rumah kaca (the paris agreement on greenhouse gas emissions reduction). Berbagai teknik penyerapan emisi CO2 hasil pembakaran telah dikembangkan. Salah satu pendekatan baru untuk menyerap CO2 guna mengurangi emisi ke atmosfir adalah teknologi (kristalisasi) hidrat gas CO2. Dasar teknologi hidrat CO2 adalah seleksi parsial terhadap komponen-komponen target fasa hidrat dan fasa gas. Dengan teknik ini, ditargetkan CO2, dapat lebih mudah dijebak dan ditangkap ke dalam fase kristal, dibanding komponen lain. Studi terdahulu menemukan bahwa kesetimbangan gas/hidrat masing-masing pada tekanan 7,6 MPa dan 11,0 MPa serta temperatur 274 K dan 277 K, tidak tepat diterapkan pada industri hilir minyak dan gas bumi karena akan diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk mengkoperansi gas sampai dengan pembentukan hidrat. Promotor hidral yang tepat termasuk tetrahydrofuran (THF) dan sodium dodecyl sulfate (SDS) dapat digunakan supaya tekanan pembentukan hidrat dan konsumsi energi yang optimal dapat dicapai sesuai realitas industri. Dengan menambahkan THF dan SDS sekitar 62,3 Nm/m hidrat CO2 dapat terbentuk pada tekanan 30 bar dan temperatur antara 274-277 K dalam waktu reaksi sekitar 15 menit. Hasil berbagai eksperimen menunjukan bahwa dengan jaminan kontak cairan dan gas serta promotor hidrat yang optimal, teknologi pembentukan hidrat CO2 secara berkelanjutan akan layak diterapkan pada skala industri termasuk penurunan emisi CO2 insudtri hilir minyak dan gas bumi. Tetapi, dibandingkan dengan kredit karbon internasional, kelayakan biaya penurunan CO2 didaratan sangat tergantung kepada jarak transportasi CO2 melalui pipa."
Jakarta: Lemigas, 2017
620 SCI 40:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
KLET 9:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Salah satu penghasil gas rumah kaca yang banyak menjadi sorotan adalah gas CO2. Gas ini paling banyak diemisikan dari pemakaian energi dan menyebabkan pemanasan global, oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan untuk menguranginya. Salah satu contoh pengimplementasiannya adalah gas CO2 yang disuntikkan ke dalam tanah, selain itu ada pula penyuntukkan CO2 cair kedalam laut."
520 DIRGA 10:3 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer sejak tahun 1950 menjadi perhatian dunia karena menimbulkan efek pemanasan global. Berbagai instrumen pengukur konsentrasi CO2 dikembangkan mulai dari sensor optik untuk pengukuran secara langsung hingga teknologi sounding yang mengukur profil vertikal CO2 dari antariksa menggunakan satelit. Teknologi sounding untuk menentukan profil vertikal CO2 terus dikembangkan diawali dengan Atmospheric Sounding Infrared Spectroradiometer versi 1-3 di tahun 1980-1990an, penggunaan laser/LIDAR untuk sounding O2. Teknologi terbaru dan paling banyak digunakan adalah Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) milik NASA yang dipasang pada satelit AQUA. AIRS tidak hanya mengukur konsentrasi CO2, tetapi juga mengukur jumlah awan, trace gases termasuk ozon, karbon monoksida, karbon dioksida, metana, sulfur dioksida, dan partikel tersuspensi di atmosfer. Hasil observasi AIRS menunjukkan konsentrasi CO2 di Indonesia terus meningkat dari tahun 2002 hingga 2010 dengan interval konsentrasi antara 370 hingga 390 ppm."
621 DIRGA 12:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Desemsi Philip Chotler
"Pengolahan gas alam dimaksudkan untuk memenuhi spesifikasi gas jual yang sudah ditetapkan sebelum gas alam dijual ke pengguna. Salah satu pengolahan gas alam adalah pemisahan CO2 dari gas alam untuk memenuhi spesifikasi gas jual CO2 <5% mol. Pada umumnya sumur gas mempunyai kadar CO2 dibawah 20% mol tetapi terdapat juga sumur gas yang mempunyai kadar CO2 tinggi 70-80% mol. Beberapa proses pemisahan CO2 dengan kadar tinggi dari gas alam telah dipatentkan seperti Distillative Separation of Methane and Carbon Dioxide, Bulk CO2 Recovery Process, dan Carbon Dioxide Recovery tetapi setelah dilakukan simulasi ulang menggunakan HYSYS belum memenuhi spesifikasi gas jual. Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi terhadap proses patent pemisahan CO2 kadar tinggi dari gas alam.
Pemilihan proses yang akan dimodifikasi dilakukan dengan memilih proses yang menghasilkan kadar CO2 terendah setelah dilakukan simulasi dengan HYSYS. Modifikasi proses patent dilakukan dengan penambahan equipment setelah, sebelum atau di antara equipment proses utama dengan mengadopsi prinsip proses pemisahan CO2 dari gas alam yang telah ada. Penambahan jumlah equipment dihentikan setelah proses modifikasi menghasilkan gas jual dengan kadar CO2 <5% mol. Setelah itu dihitung nilai laju alir produk gas per energi yang dikonsumsi.
Dari hasil modifikasi dan optimasi, kondisi proses optimum pada tekanan discharge kompressor 48,59 bar (690 psig), suhu masukan kolom distilasi -28 OC (-18,4 OF) pada kondisi saturated liquid, refrigerant menggunakan amonia, jumlah tray 11 dan umpan pada tray nomor ke-4 dan % MDEA sebesar 49%. Laju alir gas produk yang dihasilkan 15,34 MMSCFD apabila umpan gas alam 100 MMSCFD dengan konsumsi energi 4.559 MMbtu/day. Laju alir produk gas per energi yang dikonsumsi adalah 0,00336 MMSCFD per MMbtu/day atau energi yang dikonsumsi per laju alir produk gas 291,27 MMbtu/MMSCF.

Processing of natural gas is intended to meet sales gas specifications before the natural gas sold to users. One of the natural gas processing are the separation of CO2 from natural gas to meet sales gas specifications CO2 <5% mole. In general, gas wells have CO2 content below 20% mole, but there are also gas wells have a high CO2 content of 70-80% mole. Some of the CO2 separation process with high CO2 content of natural gas has been patented as Distillative Separation of Methane and Carbon Dioxide, Bulk CO2 Recovery Process, and Carbon Dioxide Recovery but after re-simulation using HYSYS, the gas couldn?t meet with sales gas specifications. Therefore it is need to modify the process patent of high content of CO2 separation process from natural gas.
The modified process will be selected with having lowest CO2 content after the process is simulated and optimized with HYSYS. The process patent will be modified by adding equipment after, before or between the main process equipment with adopting existing principle of the separation of CO2 from natural gas. The addition of equipments are stopped after the modified process produce sales gas with CO2 <5% mole. After that the value of the product flow rate of gas per energy consumed is calculated.
From the modification and optimization result, the optimum process conditions compressor discharge pressure is 48.59 bar (690 psig), inlet temperature of distillation column is -28 OC (-18.4 OF) on the condition of saturated liquid, using ammonia as refrigerant, number of tray 11 with feed tray number 4 and percent MDEA is 49%. Gas flow rate of product is 15.34 MMSCFD of 100 MMSCFD inlet flowrate of gas with energy consumption 4.559 MMBtu/day. Product flow rate of gas per energy consumed is 0,00336 MMSCFD per MMBtu/day or energy consumed per product gas flow rate of 291,27 MMBtu / MMSCF."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T28358
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Al-Haqiqi
"Elektroda bi secara efektif diproduksi pada berbagai substrat (kertas karbon, busa karbon, busa nikel, busa nikel-kobalt, dan tembaga) dalam pekerjaan ini. Elektrodeposisi dilakukan selama 600 detik menggunakan metode kronoamperometri pada potensial -0,5 V menggunakan campuran 0,02 M Bi(NO3)3,5H2O, 1 M HCl, dan 500 mg CTAB. Arus yang berbeda mengakibatkan proses elektrodeposisi yang menyebabkan perbedaan morfologi dan jumlah deposit Bi pada permukaan substrat. Morfologi elektroda diamati menggunakan FE-SEM EDX. Busa karbon bi menghasilkan morfologi yang paling homogen dan jernih karena permukaannya lebih besar dibandingkan elektroda lainnya. Aplikasi elektroda Bi yang disiapkan juga diamati untuk membandingkan kinerja elektroaktivitas untuk konversi CO2. Elektroda digunakan dengan 28 mL elektrolit NaHCO3 0,1 M untuk mereduksi CO2. Ada tiga metode elektrokimia yang digunakan, yaitu voltametri siklik (CV), voltametri sapuan linier (LSV), dan kronoamperometri. Busa bi-karbon menghasilkan kinerja terbaik sesuai arus yang dihasilkan dan jumlah CO2 yang dapat dikurangi.

Bi electrodes were effectively manufactured on a variety of substrates (carbon paper, carbon foam, nickel foam, nickel-cobalt foam, and copper) in this work. Electrodeposition was carried out for 600 seconds using the chronoamperometry method at a potential of -0.5 V using the mixture of 0,02 M Bi(NO3)3.5H2O, 1 M HCl, and 500 mg CTAB. Different current result in electrodeposition process that led to different morphology and the amounts of Bi deposits in the surface of substrates. The morphology of electrode was observed using FE-SEM EDX. Bicarbon foam resulted the most homogenous and clear morphology due to it’s larger surface comparing to the other electrodes. The application of Bi electrode that prepared also observed for comparation the electroactivity performance for conversion CO2. The electrodes were used with a 28 mL 0.1 M NaHCO3 electrolyte to reduce CO2. There were three electrochemistry method used, which were cyclic voltammetry (CV), linier sweep voltammetry (LSV), and chronoamperometry. Bi-carbon foam resulting the best performance according to the current it's resulted and the amounts of CO2 it can be reduced."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Syamsidah
"Latar belakang: Bayi prematur, terutama late dan moderately preterm sering mengalami masalah kesehatan terutama masalah pernapasan, yang merupakan penyebab tertinggi kematian. Gangguan pernapasan sering dialami bayi prematur hingga sering membutuhkan bantuan pernapasan. Bantuan pernapasan berupa oksigenasi dan ventilasi membutuhkan pemantauan terhadap tekanan oksigen dan CO2. Analisis gas darah merupakan baku emas untuk memantau oksigenasi dan ventilasi. Saat ini dapat dilakukan pemantauan tekanan CO2 secara non invasif dengan monitor transkutan yang dilakukan secara kontinyu. Namun, penelitian terkait pemantauan CO2 transkutan pada bayi late dan moderately preterm belum banyak dilakukan, karena umumnya penelitian dilakukan pada bayi very dan extremely preterm. Di Indonesia juga belum didapatkan data penelitian pemantauan CO2 transkutan, khususnya pada bayi late dan moderately preterm.
Tujuan: Mengetahui karakteristik bayi usia kehamilan 32-36 minggu yang mendapat bantuan pernapasan serta presisi dan akurasi alat ukur tekanan CO2 transkutan pada bayi usia kehamilan 32-36 minggu yang mendapat bantuan pernapasan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik yang menggunakan desain penelitian cross sectional. Subjek penelitian adalah 35 bayi late dan moderately preterm dengan usia kehamilan 32 – 36 minggu yang mendapatkan bantuan pernapasan di unit Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta pada bulan Juli hingga Desember 2019. Bayi tersebut akan dipasangkan alat ukur tekanan CO2 dan dilakukan pengambilan sampel Analisa Gas Darah (AGD) sebanyak tiga kali dan dilakukan pencatatan nilai tekanan CO2 yang didapat dari kedua alat ukur tersebut. Hasil yang didapat kemudian dibandingkan dan diolah secara statistik untuk menentukan akurasi dan presisi dari alat uji tekanan CO2 secara transkutan.
Hasil: Berdasarkan data dari tabel korelasi, didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi terhadap kadar CO2 pada pemeriksaan melalui AGD dan alat CO2 Transkutan secara total adalah sebesar 0,738 (p <0,001). Berdasarkan hasil ini, didapatkan bahwa alat uji tekanan CO2 secara transkutan memiliki korelasi positif sedang dengan AGD. Hal ini berarti semakin tinggi kadar CO2 pada AGD akan memberikan peningkatan nilai yang terbaca pada alat uji CO2 secara transkutan dengan kekuatan sedang. Berdasarkan grafik Bland – Altman, dapat ditentukan bahwa Level of agreement dari penelitian ini berdasarkan hasil pemeriksaan kedua alat tersebut adalah -14,46 hingga 6,9 dengan nilai mean difference dari hasil penelitian ini adalah -3,78.
Simpulan: Alat ini memiliki presisi yang kurang baik. Namun, alat ini juga memiliki korelasi positif yang kuat pada hasil pengujian dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Berdasarkan grafik Bland-Altman yang diperoleh dari penelitian, alat ini dapat dikatakan memiliki nilai akurasi yang cukup baik. Alat ini tidak bisa menggantikan pemeriksaan baku emas tetapi hanya bersifat sebagai pelengkap dalam melakukan perawatan bayi di NICU, sehingga dapat mengurangi frekuensi pengambilan sampel darah untuk melakukan pemeriksaan baku emas.

Background: Neonates who born premature, especially late and moderately preterm, often experience health problems, especially repiratory problems, which are the highest causes of death. Respiratory disorders are often experienced by premature neonates and often need respiratory support device. Respiratory support device in the form of oxygenation and ventilation requires monitoring of oxygen and CO2 pressure. Blood gas analysis is the gold standard for monitoring oxygenation and ventilation. Currently, non-invasive CO2 pressure monitoring can be carried out with continuous transcutaneous monitoring. However, studies related to monitoring of transcutaneous CO2 in late and moderately preterm infants have not been done much, because generally research is conducted on very and extremely preterm infants. In Indonesia there is no research data on transcutaneous CO2 monitoring, especially in late and moderately preterm infants.
Objective: To determine the characteristics of 32-36 weeks gestational age neonates who receive respiratory support device and the precision and accuracy of transcutaneous CO2 measuring devices in 32-36 weeks gestational age neonates who receive respiratory support device.
Method: This study is a diagnostic test that uses a cross sectional study design. Subjects were 35 late and moderately preterm infants with 32-36 weeks gestational age who received respiratory support device at the Neonatology unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in Jakarta on July to December 2019. The neonates would be fitted with a transcutaneous CO2 and taken Blood Gas Analysis (BGA) sample three times and recording the CO2 pressure values obtained from the two measuring devices. The results obtained will be compared and processed statistically to determine the accuracy and precision of the transcutaneous CO2 device.
Results: Based on data from the correlation table, it was found that the value of the correlation coefficient on CO2 levels on examination through BGA and the Transcutaneous CO2 device in total was 0.738 (p <0,001). Based on these results, it was found that the transcutaneous CO2 device had a strong positive correlation with BGA. This means that the higher levels of CO2 in the BGA will provide an increase in the value read on the Transcutaneous CO2 device with strong strength of correlation. Based on the Bland-Altman graph, it can be determined that the level of agreement of this study based on the results of the examination of the two measurement is -14.46 to 6.9 with the mean difference from the results of this study is -3.78.
Conclusion: Transcutaneous CO2 measurement device has low precision but also has a strong positive correlation on the test results using the Spearman correlation test. Based on Bland – Altman graph from the study, the device can be said to have a good accuracy. This device can’t replace the gold standard examination but can only as a complement in taking care of neonates in the NICU, to reduce the frequency of blood sampling for conducting gold standard examinations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Yonita Yetri
"Seiring dengan peningkatan kandungan CO2 di atmosfer menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi fenomena tersebut adalah mencoba mengurangi emisi gas karbon dioksida dan mengubahnya menjadi senyawa yang lebih bermanfaat. Dalam penelitian ini, elektroreduksi karbon dioksida dipelajari dengan menggunakan elektroda kerja Boron-doped Diamond termodifikasi Cu2O (Cu2O-BDD). Elektroda Cu2O-BDD dipreparasi menggunakan larutan yang terdiri atas Cu(CH3COO)2 1 mM dan CH3COONa 0,1 M dalam pH 5,7. Elektrodeposisi Cu2O pada permukaan BDD dilakukan dengan teknik kronoamperometri pada potensial deposisi -0,4 V (vs Ag/AgCl). Karakterisasi dilakukan dengan SEM-EDS dan XPS. Siklik voltametri menggunakan Cu2O-BDD sebagai elektroda kerja menunjukkan bahwa puncak reduksi CO2 dalam larutan NaCl 0,1 M teramati pada potensial -1,3 V (vs Ag/AgCl). Berdasarkan data tersebut elektroreduksi CO2 dilakukan pada potensial -1,3 V (vs Ag/AgCl) dengan menggunakan teknik kronoamperometri selama 1 jam. Karakterisasi produk liquid dari elektroreduksi CO2 dilakukan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) memberi indikasi adanya pembentukan asam format, asam asetat, formaldehid dan metanol.

The increase of carbon dioxide content in the atmosphere leads to a global warming phenomenon. Reducing carbon dioxide emission dan transform it into another beneficial substance is one attempt to overcome this phenomenon. In this work, electroreduction of carbon dioxide was examined using Cu2O modified BDD as the working electrode (Cu2O-BDD). Cu2O-BDD electrode was prepared with mixture solution of Cu(CH3COO)2 1 mM and CH3COONa 0.1 M at pH 5.7. Cu2O was electrodeposited on the BDD surface through chronoamperometry technique at deposition potential of -0.4 V (vs Ag/AgCl). Characterization was performed by SEM-EDS and XPS. The CV with Cu2O-BDD as working electrode demonstrated that reduction peak of CO2 in NaCl 0.1M solution was observed at the potential of -1.3 V (vs Ag/AgCl). Based on this data, electroreduction of CO2 was performed at the potential of -1.3 V (vs Ag/AgCl) using chronoamperometry technique for one hour. Characterization of the liquid product of the CO2 electroreduction was completed using High Performance Liquid Chromatography (HPLC), which indicated the formation of formic acid, acetic acid, formaldehyde and methanol."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64785
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faril Ichfari
"Peningkatan emisi CO2 akibat dari aktivitas operasi pelabuhan terbukti menjadi penyebab perubahan iklim global, sehingga diperlukannya pemantauan emisi CO2 di pelabuhan untuk mengontrol kualitas udara sebagai penerapan konsep Green Port. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran emisi CO2 akibat dari operasional peralatan bongkar muat pada aktivitas stevedoring dan cargodoring di beberapa terminal peti kemas Indonesia yang dapat dijadikan data pendukung untuk mengontrol kualitas udara dengan mengurangi emisi CO2. Model perhitungan dalam penelitian ini menerapkan perhitungan bottom-up terhadap aktivitas operasional di terminal, yang menjadikan nilai konsumsi bahan bakar sebagai hasil perhitungan. Data yang digunakan sebagai variabel input yaitu data operasional terminal peti kemas pada tahun 2019 meliputi jumlah throughput, proses perpindahan peti kemas, modalitas transportasi, dan layout terminal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan TPK Banjarmasin, TPK Palaran dan TPK Teluk Bayur mengeluarkan total emisi CO2 selama satu tahun beruturut-turut sebesar 7.1 kiloton, 4.3 kiloton, dan 1.2 kiloton dan emisi CO2 per TEU’s nya sebesar 15.174 kg, 16.071 kg, dan 13.749 kg. Kontribusi emisi CO2 per peralatan bongkar muat pada TPK Banjarmasin ; QCC 48.37%, RTG 23.82%, TT 27.81%, pada TPK Palaran ; QCC 45.67%, RTG 22.32%, TT 31.99%, dan pada TPK Teluk Bayur ; QCC 54.20%, RTG 26.29%, TT 19.50%.

The increase in CO2 emissions as a result of port operating activities has proven to be the cause of global climate change, so it is necessary to monitor CO2 emissions at ports to control air quality as an application of the Green Port concept. This study aims to obtain an overview of CO2 emissions resulting from the operation of cargo handling equipment on stevedoring and cargodoring activities at several Indonesian container terminals which can be used as supporting data to control air quality by reducing CO2 emissions. The calculation model in this study applies a bottom-up calculation to operational activities at the terminal, which makes the value of fuel consumption as the result of the calculation. The data used as an input variable is the operational data of the container terminal in 2019 including the amount of throughput, the process of moving containers, transportation modalities, and terminal layout. The results of this study show that Banjarmasin Container Terminal, Palaran Container Terminal and Teluk Bayur Container Terminal emit a total of 7.1 kilotons, 4.3 kilotons, and 1.2 kilotons of CO2 emissions for one year respectively and their CO2 emissions per TEU's are 15,174 kg, 16,071 kg, and 13,749 kg. CO2 emission contribution cargo handling equipment at Banjarmasin Container Terminal; QCC 48.37%, RTG 23.82%, TT 27.81%, at Palaran Container Terminal; QCC 45.67%, RTG 22.32%, TT 31.99%, and at Teluk Bayur Container Terminal ; QCC 54.20%, RTG 26.29%, TT 19.50%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>