Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140782 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Telly Kamelia
"ABSTRAK
Abses hepar merupakan lesi inflamasi pada hepar yang dapat menyebar ke ronga pleura sehingga mengakibatkan empiema maupun abses paru. Salah satu penyebab penyebaran ke rongga pleura adalah karena adanya fitsula hepatopleura. Dalam kasus ini, seorang laki-laki, 43 tahun, datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 1 minggu yang lalu, disertai nyeri perut bagian atas, batuk darah sebanyak satu kali, perut dirasakan membesar, serta terdapat riwayat merokok, promiskuitas, dan minum alkohol. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan paru kanan tertinggal saat inspirasi, vocal fremitus menurun, perkusi redup, dan suara vesikuler menurun pada lapang paru kanan dan hepatomegali. Hasil IDT amoeba adalah 1,92 dan pemeriksaan cairan pleura, didapatkan kesan eksudat. Didapatkan gambaran efusi pleura masif pada foto toraks. Hasil USG hepatologi didapat abses hepar, hepatomegali, dan efusi pleura kanan. Pada pemeriksaan USG Toraks didapat efusi pleura kanan dengan gambaran loculated. CT scan torak dengan kontras didapat gambaran kavitas dengan air-fluid level pada hemitoraks kanan dan lesi segmen 4,5 hepar. Hasil analisis cairan pungsi abses hepar didapatkan pemerikasaan mikrobiologi tidak ditemukan kuman, BTA negatif, kultur tidak ditemukan mikroorganisme maupun kuman anaerob, pemeriksaan patologi didapatkan cairan berwarna coklat kental, dan pemeriksaan mikroskopik didapatkan sediaan sitologi abses hepar yang mengandung massa nekrotik, serta serabut jaringan ikat."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Telly Kamelia
"ABSTRAK
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu gangguan napas saat tidur yang paling sering terjadi. OSA terjadi akibat kolaps saluran napas atas baik secara total maupun parsial. Pemeriksaan polisombografi level 3 tetap sering dilakukan karena dianggap sebagai pemeriksaan yang mudah dan tidak mahal. Penelitian ini bertujuan menilai akurasi diagnosis obstructive sleep apnea dengan level 3 portable monitor sleep test. Metode yang digunakan yaitu pencarian literatur dengan dilakukan menggunakan database PubMed dan Cochrane, didapatkan 37 artikel. Dilakukan seleksi artikel dan telaah kritis sistematik review berdasarkan validity, importance, dan applicability yang terstandardisasi oleh Centre of Evidence Medicine University of Oxford British serta telaah kritis artikel diagnosis yang terstandardisasi oleh British Medical Journal (BMJ). Hasil dari sistematik review dan meta-analisis oleh Shayeb, dkk (2014) didapatkan bahwa pemeriksaan level 3 portable monitor sleep test memiliki heterogenitas sedang hingga tinggi (nilai I2 53%-85%), sensitivitas dan spesifisitas (0,79-0,97 dan 0,60-0,93). Garg dkk, (2014) dengan studi kohort mendapatkan hasil bahwa pemeriksaan level 3 dirumah memiliki sensitivitas 0,96, spesifisitas 0,43, PPV 0,79, dan NPV 0,82. Kesimpulannya pemeriksaan level 3 dengan portable monitor dirumah memiliki tingkat akurasi yang baik dan lebih direkomendasikan untuk pasien dengan risiko tinggi OSA tanpa komorbid. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"ABSTRAK
Tujuan kajian ini adalah terdeskripsikannya jumlah pengidap HIV dan AIDS, terdeskripsikan fakor penyebab, dan dampak tertularnya HIV dan AIDS. Sifat kajian ini deskriptif, dengan pendekatan menggunakan kajian dokumen. tehnik analisa data yang dipergunakan adalah tehnik deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa jumlah, pengidap HIV dan AIDS di DIY, jumlah HIV 3.334 dan AIDS sebanyak 1.314 kasus, sebagian besar yang terkena kasus jenis kelamin Laki-laki. jumlah kasus yang ada tersebut yang telah meninggal dikarenakan HIV sebanyak 283 orang dan AIDS sebanyak 181 orang. Berdasarkan data sampai dngan Maret tahuun 2016 tingkat penyebaran HIV dan AIDS di DIY tertinggi di Sleman. Sedangkan pada tahun 2014 peringkat tertinggi kota Yogyakarta ini diartikan mengalami pergeseran. direkomendasikan: upaya untuk meningkatkan penanggulangan dengan pencegahan dan penangan agar lebih efektif dan efisien dengan melibatkan berbagai elemen terkait dari tingkat pusat maupun daerah, antara lain seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAm, kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Komisi penanggulangan AIDS, kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian, dan Badan Narkotika Nasional (BNN)."
Yogyakarta : Balai Besar penelitian dan Pengambangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial , 2018
360 MIPKS 42:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dinar Faricy Yaddin
"ABSTRAK
Tuberkulosis Multidrug Resistant (TB MDR) merupakan suatu masalah dan menjadi tantangan yang paling besar terhadap program pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Angka kesembuhan pada TB MDR relatif lebih rendah dengan terapi yang lebih sulit, mahal, dan lebih banyak efek samping. Konversi kultur sputum M. tuberculosis dalam 2 bulan pengobatan dapat digunakan sebagai indikator luaran terapi dan target pertama dalam terapi TB MDR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gabungan derajat positivita sputum basil tahan asam (BTA), adanya kavitas paru, malnutrisi, diabetes mellitus (DM), dan kebiasaan merokok dengan konversi kultur sputum M. tuberculosis dalam 2 bulan pengobatan. Metode penelitian ini adalah penelitian khusus-kontrol dengan mengambil data sekunder dari penderita yang didiagnosis TB MDR di Klinik TB MDR Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Hasan Sadikin pada periode April 2012 sampai dengan desember 2014. Kelompok kontrol adalah data pasien TB MDR yang mengalami konversi dalam 2 bulan pengobatan dan kelompok kasus adalah data pasien yang tidak mengalami konversi dalam 2 bulan pengobatan. Data analis dengan analisis univariat diikuti analisis multivariat regresi logistik. Hasilnya subjek penelitian berjumlah 190 orang, terbagi dalam kelompok kasus dan kontrol masing-masing 95 orang. Variabel bermakna pada analisis univariat adalah derajat positivitas sputum BTA, adanya kavitas paru, DM, dan malnutrisi. Analisis dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik dasn diperoleh hasil bahwa variabel yang berhubungan paling kuat dengan konversi kultut sputum BTA dalam 2 bulan pengobatan adalah derajat positivitas sputum BTA (Sputum BTA +1 p = 0,000, OR = 5,46; IK 95%:2,510-11, sputum BTA +2 p = 0,045, OR = 2.253; IK 95%: 1,017 - 4,989) dan adanya kavitas (p = 0,000, OR = 3,22; IK 95%: 1,61 - 6,45). Kesimpulannya derajat positivitas sputum BTA dan adanya kavitas memiliki hubungan yang paling kuat dengan konversi kultur sputum M. tuberculosis dalam 2 bulan pengobatan pada pasien TB MDR. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Elyn Dohar Idarin
"Infeksi protozoa usus pada kelompok usia anak masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia dilaporkan prevalensinya berkisar antara 6,1-57,0%. Namun, infeksi protozoa usus pada anak seringkali tidak terdiagnosis karena gejala seringkali sudah tidak khas akibat berbagai pengobatan yang diberikan, terutama di rumah sakit tersier. Hasil negatif palsu juga dapat ditemukan pada kelompok pasien ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi terkait profil klinis pasien anak dengan kecurigaan diagnosis infeksi parasit usus serta hubungannya dengan hasil pemeriksaan spesimen feses. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi infeksi protozoa usus pada anak di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui karakteristik klinis dan faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus. Penelitian dilakukan secara potong lintang retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien anak usia <18 tahun dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang diperiksa fesesnya di Laboratorium Parasitologi FKUI. Data demografi, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pemberian obat antiparasit, status HIV dan nilai CD4, dan hasil pemeriksaan feses diekstraksi dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antarvariabel terhadap deteksi protozoa usus. Dari total 251 rekam medis pasien yang tercatat pada tahun 2018 hingga 2020, terdapat 97 sampel yang memenuhi kriteria eligibilitas penelitian dan dilakukan analisis. Hasil penelitian menunjukkan proporsi infeksi protozoa usus sebesar 10,3% (10/97). Infeksi Blastocystis hominis paling banyak ditemukan (6/10), diikuti Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) dan Entamoeba histolytica (1/10). Kelompok usia sekolah, status HIV positif, dan nilai CD4 <200 sel/μl merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus pada studi ini.

Intestinal protozoa infection in the child age group is still a health problem in developing countries, one of which is in Indonesia. In Indonesia, the reported prevalence ranges from 6.1% to 57.0%. These infections tended to be undiagnosed due to nonspecific clinical and laboratory findings, as the patients might have been exposed to various antimicrobial treatments prior to examination. Thus, a study on the relationship between patients’ clinical profiles and stool specimen results needs to be performed. The current study aimed to identify the proportion of intestinal protozoan infection in pediatric patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital and the associated factors of the infection. The research was a retrospective, cross-sectional study on patients aged <18 years. Data on patients’ medical records were retrieved: demography, nutritional status, past medical history, treatment history, HIV status, CD4 levels, and results of the fecal examination. Bivariate analysis was performed to identify the associated factors of intestinal protozoan infection. A total of 251 medical records from patients admitted in years 2018 through 2020 were obtained, among which 97 fulfilled the eligibility criteria and underwent final analysis. The proportion of intestinal protozoan infection was 10.3% (10/97), the most prevalent being Blastocystis hominis (6/10), followed by Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) and Entamoeba histolytica (1/10). Current study results demonstrated that being school-age children, being HIV-positive, and having CD4 <200 cells/μl contributed to intestinal protozoan infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Sri Haryanti
"Sebagian besar industri otomotif masih menggunakan thinner yang mengandung VOC (terdiri dari benzene, toluene, xylene dan lain-lain). Efek kesehatan dari VOC diantaranya adalah iritasi pada hidung dan tenggorokan dan serta kerusakan paru-paru (Ismail, 2011). Pajanan thinner kepada pekerja secara terus menerus dapat mengakibatkan iritasi saluran napas dan gangguan fungsi paru pada pekerja. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pajanan thinner dengan gangguan fungsi paru-paru setelah dikontrol variabel confounding pada pekerja bagian painting di industri otomotif. Setelah dikontrol dengan penggunaan APD, perilaku merokok dan terpajan sedikit thinner dan zat kimia lain diketahui bahwa risiko pekerja yang terpajan sebagian thinner untuk mengalami gangguan fungsi paru adalah 1,87 (95% CI = 0,74-4,71). Pada pekerja yang terpajan thinner penuh memiliki resiko untuk mengalami gangguan fungsi paru sebesar 3,23 (95% CI = 1,36-7,59). Semakin besar pajanan terhadap thinner maka semakin tinggi resiko untuk terkena gangguan fungsi paru. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka disarankan agar perusahaan melakukan upaya promosi kesehatan untuk meminimalkan risiko terjadinya gangguan fungsi paru pada pekerja pengecatan mobil.

Most of the auto industry still use paint thinner containing VOCs (consisting of benzene, toluene, xylene, etc.). Health effects of VOCs include irritation of the nose and throat and impaired lung function (Ismail, 2011). Exposure paint thinner to workers continuously can cause respiratory irritation and lung function impairment in workers. This study is a cross-sectional study aimed to determine the relationship between exposure of thinner with impaired lung function after controlled confounding variable on painting workers in the automotive industry. After controlled by using mask variable, smoking behavior and exposure to a little thinner plus other chemicals, known that the risk for the paired exposed of thinner to suffer lung problems was 1.87 (95% CI = 0.74 to 4.71). In workers exposed to thinner at risk for developing impaired lung function of 3.23 (95% CI = 1.36 to 7.59). Greater and greater exposure to paint thinner, the risk for developing lung problems is higher. Based on the findings, it is recommended that companies conduct health promotion efforts to minimize the risk of impaired lung function in painting workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T34863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlan Rusdi
"Latar Belakang: Penanda prognostik dapat menunjang tata laksana stroke iskemik (SI) akut. Protein neuroglobin (Ngb), yang berperan dalam transpor oksigen intrasel neuron dan mengurangi dampak hipoksia, adalah salah satu penanda potensial memenuhi fungsi tersebut.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada pasien SI akut yang dirawat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Maret-April 2023. Sampel serum untuk pemeriksaan Ngb diambil pada tiga hari pasca awitan stroke, sedangkan modified Rankin scale (mRS), National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS), indeks Barthel (BI) dan Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) diperiksa pada hari ketujuh. Analisis kemaknaan dan kurva receiver operating characteristic (ROC) digunakan untuk mengetahui hubungan Ngb dengan luaran stroke iskemik akut.
Hasil: Sebanyak 42 subjek menjalani analisis. Kadar Ngb serum lebih tinggi pada kelompok dengan skor mRS 3-6 dibandingkan 0-2 (12,42 ng/mL [3,57-50,43] vs 4,79ng/mL [2,25-37,32], p=0,005), dengan skor area di bawah kurva ROC sebesar 0,75. Kadar Ngb juga lebih tinggi pada kelompok dengan NIHSS pulang lebih tinggi (p=0,03), serta BI dan MoCA-Ina yang lebih rendah (p=0,01 dan p=0,002).
Kesimpulan: Kadar Ngb serum pada SI akut yang lebih tinggi berkaitan dengan luaran fungsional jangka pendek yang lebih buruk. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan sebelum terapan klinis.

Background: Prognostic markers can optimize the management of acute ischemic stroke (AIS). The neuroglobin (Ngb), which plays a role in intraneuronal oxygen transport and reduces the effects of hypoxia, is a marker that may perform this function.
Methods: A cross-sectional study was conducted on AIS patients who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in March-April 2023. Serum samples for Ngb examination were taken three days after the onset of stroke, while modified Rankin scale (mRS), National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel index (BI) and Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) were examined on the seventh day. Significance analysis and receiver operating characteristic (ROC) curve were used to determine the relationship between Ngb and AIS outcomes.
Results: A total of 42 subjects underwent analysis. Serum Ngb levels were higher in subjects with mRS score of 3-6 than 0-2 (12.42 ng/mL [3.57-50.43] vs 4.79 ng/mL [2.25-37.32], p=0.005). The area under the ROC curve score was 0.75. Ngb levels were also higher in the group with higher NIHSS at discharge (p=0.03), lower BI (p=0.01) and lower MoCA-Ina score (p=0.002).
Conclusion: Higher serum Ngb levels in AIS are associated with poorer short-term functional outcomes. Further research is needed before clinical application.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoppi Kencana
"Latar Belakang : Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan di hati. Elastografi Transien (ET) dan metode Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat fibrosis dan steatosis, namun tidak tersedia di seluruh rumah sakit di Indonesia. Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) merupakan penanda peradangan sederhana yang berpotensi memprediksi luaran penyakit.
Tujuan : Mengetahui nilai diagnostik RNL sebagai indikator derajat keparahan steatosis dan fibrosis NAFLD.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang menggunakan data sekunder dari data rekam medis tahun 2016-2018. Analisis statistik deskriptif dan analitik berupa uji korelasi, Receiver Operating Curve (ROC) dan Area Under The Curve (AUC) dipakai untuk mengetahui luaran studi.
Hasil : Dari 106 subjek penelitian, kebanyakan pasien adalah perempuan (62,3%) berusia rata-rata 57,29 tahun dan menderita sindrom metabolik (77,4%). Sebagian besar pasien memiliki derajat steatosis sedang-berat (66%) dengan rerata ET 6,14 (2,8-18,2). Terdapat korelasi antara nilai CAP (r=0,648; p<0,001) dan ET (r=0,621; p<0,001) dengan RNL. Penggunaan RNL untuk menilai derajat steatosis sedang-berat memiliki titik potong 1,775 dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN sebesar 81,5%, 80,6%, 89,1%, dan 69,1%; titik potong 2,150 untuk menilai fibrosis signifikan dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN berurutan sebesar 92.3 %, 87.5%, 70.6%, dan 97.2%.
Simpulan : RNL memiliki korelasi positif terhadap derajat steatosis dan fibrosis dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Introduction : Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is a chronic inflammatory disease with excessive fat accumulation in the liver. Transient Elastography (TE) with Controlled Attenuation Parameter (CAP) is a device and method to examine the degree of fibrosis and steatosis. However, this device is not widely available across Indonesia. Neutrophil and Lymphocyte Ratio (NLR) is a simple marker for inflammation which has a potency to predict disease outcome.
Objective : To know the diagnostic value of RNL as the indicator of steatosis and fibrosis severity.
Methods : This was a cross-sectional study using secondary data from the medical record, starting from 2016-2018 with the respective inclusion and exclusion criteria. A descriptive and analytic statistic, including correlation test, Receiver Operating Curve (ROC) and Area Under The Curve (AUC) were done to know the outcome of the study.
Result: Out of 106 subjects, 62.3% patients were women with aged mean 57.29 years old and 77.4% had metabolic syndrome. Most patients had average-severe steatosis degree (66%) with the mean of ET mean 6.14 (2.8-18.2). There was a positive correlation between CAP and TE compared with NLR with r = 0.647 (p<0.001) and r = 0.621 (p<0.001) respectively. The use of NLR to assess moderate-severe steatosis has a cutoff point of 1.775 with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 81,5%, 80,6%, 89,1%, and 69,1%; cutoff point 2,150 to assess significant fibrosis with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 92.3 %, 87.5%, 70.6%, 97.2% respectively.
Conclusion : NLR has a positive correlation with the degree of steatosis and fibrosis with high sensitivity and specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glenda Clarissa Swandy
"ABSTRACT
Penelitian terkait infeksi odontogenik di Indonesia masih sangat sedikit. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil infeksi odontogenik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo periode 1 Januari 2015 ndash; 31 Desember 2015. Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Analisis dilakukan pada 61 rekam medik kasus infeksi odontogenik. Profil infeksi odontogenik dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, dan elemen gigi penyebab. Mayoritas pasien berusia 52-61 tahun 19,67 dan berjenis kelamin perempuan 56 . Elemen gigi penyebab infeksi odontogenik terbanyak adalah gigi molar mandibular pertama kiri 16.

ABSTRACT
Study about number of odontogenic infections in Indonesia is rarely done. This research was aimed to know the profile of odontogenic infections in Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital Patients on January 2015 ndash December 2015. This research was a descriptive retrospective study from the medical records of Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital Patients. 61 medical records were analyzed. Profile of odontogenic infections was analyzed concerning age, gender, and primary site of odontogenic infections. The majority of patients are in 52 61 age group 19,67 , and female were more involved than male 56 . The primary site of odontogenic infection is the first left mandibular molar 16."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syukri Mustafa
"ABSTRAK
Keratomikosis adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur. Penyakit ini, dalam bentuk Aspergillosis kornea, pertama kali dilaporkan oleh Theodore Leber pada tahun 1879.(1) Sejak itu selalu ada laporan tentang kasus ini setiap tahun, dan selama 30 tahun terakhir ini terjadi peningkatan jumlah kasus keratomikosis. Hal ini diduga karena meluasnya penggunaan antibiotik spektrum luas dan kortikosteroid. Disamping itu juga karena meningkatnya perhatian dan pengenalan serta kemajuan yang dicapai dalam pengetahuan klinis dan laboratorium dalam mendiagnosis penyakit ini.(1-7)
Di Indonesia dalam survei tahun 1982 didapatkan jumlah penderita radang kornea sebanyak 0,22% dari penduduk.( 8 ) Kalau persentase tersebut dipakai sekarang dengan jumlah penduduk kira-kira 170 juta, maka terdapat kira-kira 374.000 penderita, yang sebahagian diantaranya adalah karena infeksi oleh jamur. Karena keratomikosis sering terdapat di lingkungan masyarakat agraris dan beriklim tropis sampai subtropis, dapat diperkirakan bahwa angka kejadian keratomikosis di Indonesia cukup tinggi mengingat sebagian besar masyarakat kita tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian.(9)
Di Bagian Mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dari tahun 1968 sampai dengan 1971 terdapat 68 kasus yang dicurigai keratomikosis dimana 22 kasus diantaranya positif keratomikosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium.(2) Sedangkan dari bulan Juni 1984 sampai dengan Desember 1988 terdapat 117 kasus ulkus kornea pada penderita dewasa (berumur diatas 12 tahun) yang dirawat, dimana 13 kasus ( 11% ) diantaranya adalah keratomikosis. (10)
Mengenal infeksi jamur pada kornea sangat perlu, karena infeksi jamur pada kornea tidak dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotik untuk bakteri, sehingga bila tidak dikenal maka infeksi jamur pada kornea akan dapat berakhir dengan kebutaan.(11) Upadhyay (12) pada penelitiannya di Nepal dari Mei 1975 s/d April 1976 mendapatkan dari 25 kasus keratomikosis, 5 kasus (20%) berakhir dengan enukleasi atau eviscerasi, dan 5 kasus (24%) mempunyai tajam penglihatan akhir kurang dari 6/60.
Keratomikosis masih tetap merupakan tantangan bagi dokter mata dalam hal diagnosis dan pengobatan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemiripan keratomikosis dengan peradangan kornea yang disebabkan oleh organisme lain, terbatasnya obat anti jamur yang tersedia disertai penetrasinya yang buruk ke dalam jaringan kornea.(7,13)
Pada sebahagian besar kasus, tidak mungkin mendiagnosis keratomikosis hanya berdasarkan gambaran klinis.(7,13,14). Diagnosis dini dan tepat keratomikosis merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatannya.(9) Diagnosis pasti keratomikosis adalah dengan memastikan adanya jamur di lesi kornea tersebut dengan pemeriksaan laboratorium.(2,3,14,15)?
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>