Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9578 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pudentia Maria Purenti Sri Suniarti Karnadi
"Untuk memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia, beberapa cara dilakukan, antara lain dengan menerjemahkan atau menampilkan kembali karya dari khasanah kesusastraan daerah. Di antara sekian banyak sastrawan yang menulis dan memperkenalkan karya sastra daerah dalam bahasa Indonesia, nama Ajip Rosidi pantas dicatat kehadirannya. H.B. Jassin memasukkannya ke dalam Angkatan 66 (Jassin, 1985:95) dan Teeuw menyebutnya sebagai salah seorang pengarang Indonesia terpenting pada abad ini (Teeuw, 1979;.105). Ajip Rosidi tidak hanya terkenal sebagai seorang sastrawan, tetapi juga sebagai seorang penelaah sastra yang banyak memberi perhatian pada bidang sejarah dan kritik sastra. Selain menulis dalam bahasa Indonesia, ia pun banyak menulis dalam bahasa Sunda. Perhatiannya terhadap sastra daerah ini amat besar seperti yang tampak dalam usahanya menghidupkan kembali pemberian hadiah karya sastra Sunda "Rancage". Selain itu, ia pun aktif menampilkan karya sastra daerah Jawa, seperti Candra Kirana (1962) dan Roro Mendut (1961,1977)serta dari khasanah sastra Sunda, antara lain Mundinglaya Ai Kusumah {1961), Ciung Wanara (1961, 1985), Sangkuriang Kesiangan {1961), dan Jalan Ke Surga (1964).
Karyanya yang paling menarik untuk diteliti adalah yang berjudul Lutung Kasarung (untuk selanjutnya disingkat LKA). Cerita ini memiliki banyak kemungkinan terjadinya transformasi kesastraan yang belum pernah diteliti orang sampai sekarang. LKA terbit pertama kali pada tahun 1958 dan kemudian pada tahun 1962 dan 1986 diterbitkan kembali dengan judul Purba Sari Ayu Wangi (untuk selanjutnya disingkat PSAW).
Pada bagian awal LKA dan PSAW, Ajip Rosidi menyebutkan bahwa cerita yang digubahnya itu berasal dari versi lisan juru pantun yang kemudian diciptakannya kembali sesuai dengan pemahaman dan penafsirannya sendiri (Rosidi, 1958:7-18; 1986:5-18). Salah satu versi lisan yang tertua yang sempat direkam dalam bentuk tulisan dapat dilihat pada naskah bernomor SD 113 yang ditulis oleh Argasasmita, mantri gudang kopi di Kawunglarang, Cirebon atas perintah K.F. Halle. Naskah ini pernah tersimpan di ruang naskah Museum Pusat Jakarta, tetapi sekarang dinyatakan hilang. Edisi teks yang pertama atas cerita "Lutung Kasarung" dan yang mendasarkan diri pada naskah tersebut adalah edisi yang dibuat oleh C.M. Pleyte pada tahun 1911 (Kern, 1940: 473).
Di samping Pleyte yang menerbitkan Cerita Pantun (batasan mengenai Cerita Pantun ada pada bab 2) dari teks "Lutung Kasarung", ada dua orang lain yang juga melakukan hal yang sama, yaitu Eringa (1949) dan Achmad Sakti (1976). Selain itu, masih ada penulis lain yang menerbitkan cerita "Lutung Kasarung" dalam bentuk Wawacan (yaitu narasi panjang yang digubah menjadi puisi yang dinyanyikan) dan dalam bentuk Tembang Cianjuran (yaitu sejenis drama yang dinyanyikan dengan iringan musik khas daerah Cianjur). Engka Widjaja, misalnya, memilih bentuk Wawacan; Saleh Danasasmita dan Ade Kosmaya memilih bentuk Tembang Cianjuran. Dari kesemua penulis di atas, hanya Ade Kosmaya yang memakai bahasa Indonesia sebagai media penyampaian cerita. Yang lainnya memakai bahasa Sunda. Selain dalam bahasa Sunda, Pleyte dan Eringa memberikan juga ringkasan dan terjemahan cerita dalam bahasa Belanda.
Cerita "Lutung Kasarung" di antara cerita rakyat yang ada di Indonesia memang menarik untuk diteliti. Cerita ini bermula dari versi lisan dan mempunyai kedudukan yang khusus dalam kesusastraan Sunda. Dari sejarah resepsi teksnya tampak bahwa "Lutung Kasarung" mempunyai banyak kemungkinan terjadinya transformasi yang tidak hanya berupa lintas budaya {Sunda ke Belanda, Indonesia, dan Jawa), tetapi juga yang berupa lintas bentuk (dari bentuk Cerita Pantun lisan ke bentuk tertulisnya dan dari bentuk Cerita Pantun tertulis ke bentuk prosa, puisi, drama, opera, novel, dongeng, dan film). Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan apa keistimewaan cerita "Lutung Kasarung" sehingga dari zaman ke zaman orang menaruh perhatian pada cerita ini. Seakan-akan cerita ini muncul kembali dalam bentuk-bentuk yang baru dengan penampilan yang baru. Dari masa ke masa orang memberikan perhatian kepada cerita tersebut baik dalam bentuk penciptaan kembali seperti yang telah disebutkan di atas maupun dalam bentuk pembicaraan kritis. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
T6892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudentia Maria Purenti Sri Suniarti Karnadi
"Literary study of Lutung Kasarung, a Sundanese folktale."
Jakarta: Balai pustaka, 1992
899.22 PUD t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ajip Rosidi, 1938-
Djakarta: Pembangunan, 1958
899.223 2 AJI l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979
899.2232 LUT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widowati
"ABSTRAK
Skripsi berjudul Latar Cerita Dalam Cerita Ketoprak Kamandaka Lutung Kasarung adalah menganalisis salah satu unsur karya sastra, yaitu latar. Dalam analisis latar ini berdasarkan pada deskripsi dialognya. Bahan atau data yang saya analisis adalah berupa kaset rekaman ketoprak dengan judul Kamandaka Lutung Kasarung, dimainkan oleh Ketoprak Mataram Sapta Mandala. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan latar yang terdapat dalam cerita ketoprak berjudul Kamandaka Lutung Kasarung, berbentuk rekaman kaset.
Analisis latar ini dibuktikan dengan dialog yang tampil dalam cerita ketoprak tersebut. Setelah dianalisis temyata dialog dapat menggambarkan latar dengan baik, baik latar sosial rnaupun latar fisiknya. Secara keseluruhan, skripsi ini dibagi dalam 4 bab. Bab 1 Pendahuluan, bab 2 Sekilas Tentang Ketoprak dan Ketoprak Sapta Mandala, bab 3 Analisis, dan bab 4 Kesimpulan.
Demikianlah abstraksi singkat tentang skripsi saya yang berjudul Latar Cerita Dalam Cerita Ketoprak Kamandaka Lutung Kasarung.

"
1995
S11649
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sayudi
Bandung: Pustaka Buana, 1984
899.223 2 SAY l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rustam Sutan palindib
Djakarta: Balai Pustaka, 1952
899.223 2 RUS l (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Bakri
Jakarta: Pustaka Jaya, 1976
899.223 2 AHM s (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Robindrani Nuralam
"Penelitian dalam skripsi ini difokuskan pada sebuah legenda Betawi, Nyai Dasima. Cerita ini sudah ada sejak lama, paling tidak bisa dideteksi dengan kemunculannya dalam bentuk novel yang dibuat G. Francis pada tahun 1896. Sejak itu orang menanggapi cerita ini dalam beragam bentuk, seperti prosa, puisi, drama, dan versi, seperti syair, pantun, sinema, lenong, Dardanela, Komedi Stamboel dan lain-lain. Adanya transformasi-transformasi cerita yang berlatar belakang kebudayaan Betawi ini menunjukkan minat yang besar dari masyarakat pada cerita ini. Tidak mengherankan jika cerita ini begitu populer hingga mengalami lintas budaya. Sekalipun banyak bentuk tampilan Nyai Dasima, namun tidak menyurutkan peredaran cerita ini sebagai cerita rakyat Betawi.
Dari beraneka ragam transformasi cerita Nyai Dasima tersebut kemudian dikaji transformasi cerita Nyai Dasima versi Tukang Cerita Sofyan jaid dari Tjerita Njai Dasima, G. Francis. Hal tersebut terutama dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan isi cerita dari akhir abad ke-19 itu menuju awal abad ke-21 ini. Dengan demikian dapat diketahui pandangan-pandangan terhadap cerita Nyai Dasima pada dua masa tersebut.
Dalam mengkaji transformasi yang terjadi dalam cerita Nyai Dasima digunakan teori intertekstual yang menyangkut hipogram menurut Riffaterre, Partini Sardjono-Pradotokusumo dan Pudentia MPPS. Kedua tokoh terakhir mengembangkan sendiri teori intertekstual itu--ekspansi, konversi, modifikasi, dan ekserp--ke dalam penelitian mereka. Pada dasarnya analisis ini menerapkan teori dari kedua tokoh tadi karena dianggap lebih relevan dalam penelitian ini. Untuk melihat sebuah kasus transformasi perlu lebih dulu dilakukan telaah intertekstual yang gunanya untuk melihat sejauh mana transformasi yang terjadi.
Sebelum mencapai analisis ini diuraikan terlebih dahulu isi cerita Nyai Dasima per-episode dari teks karya G. Francis dan teks Nyai Dasima versi Sofyan ]aid. Dari pemerian kedua teks tersebut diketahui pada dalam karya G. Francis terdapat 12 episode, sedangkan dalam versi Sofyan Jaid terdapat 8 episode. Empat episode yang tidak terdapat karya G. Francis adalah usaha Samioen dan keluarganya mempengaruhi Nyai Dasima (2 episode), Samioen menemui Hadji Salihoen (I episode), dan pesta kesembuhan Samioen (1 episode).
Selanjutnya setelah dilakukan penganalisisan terdapat transformasi dari unsur tokoh, penokohan, alur, latar. Tokoh Nyai Dasima mengalami modifikasi penokohan, Samioen mengalami modifikasi penamaan menjadi Hasan dan modifikasi penokohan, Ma Boejoeng mengalami modifikasi penamaan menjadi Mak Sema dan penokohan, Hajati mengalami modifikasi penamaan menjadi Dijah dan ekspansi penokohan, Toean W mengalami modifikasi penamaan menjadi van de Buur.
Penelitian ini baru merupakan sebuah pendahuluan bagi penggalian yang lebih mendalam terhadap sebuah cerita rakyat Betawi. Diharapkan dari penelitian ini dapat melestarikan warisan kebudayaan bangsa yang terancam punah karena perkembangan teknologi, komunikasi,dan jumlah penutur yang makin menyurut jumlahnya. Dari hasil analisis ini diharapkan pula dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan kesusastraan Indonesia, khususnya kesusastraan tradisional Betawi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Effendi
"Rahman Arge merupakan seniman terkemuka di Ujungpandang serta telah mempunyai nama di tingkat Nasional. Dalam perjalanan panjang karir kesenimanannya, 1950-an hingga 1990-an, ia sudah menghasilkan sejumlah besar puisi, cerpen, esai, kritik seni, dan drama. Arge juga dikenal sebagai sutradara dan aktor teater yang handal, pendiri Teater Makassar (TM), dan pemain film. Di samping itu, ia pernah memimpin Dewan Kesenian Makassar (DAM), Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sulawesi Selatan, Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Sulsel, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulsel selama beberapa periode.
Pada awal Orde Baru Rahman Arge menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan dan sejak itu terus-menerus tercatat sebagai anggota lembaga tersebut. Terakhir ia bahkan berhasil menjadi anggota DPR/MPR-RI mewakili Golongan Karya (Golkar) Sulawesi Selatan. Kini selain bertugas di Komisi I DPR-RI, Arge juga menduduki jabatan Wakil Ketua Pengurus Besar Parfi dan Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat.
Untuk pencapaian prestasinya di bidang drama, pada tahun 1977 Pemerintah RI memberikan "Hadiah Seni" kepada Arge. Sementara itu, Pemerintah Jepang mengundangnya meninjau kehidupan perfilman di Jepang pada tahun 1979 setelah ia menulis banyak kritik atas film-film Jepang. Adapun dalam bidang perfilman, Arge pernah menerima penghargaan sebagai "Aktor Harapan Terbaik I" (FFI 1978) dan "Aktor Pembantu Pria Terbaik" (FFI 1991).
Sedikitnya ada 12 naskah drama yang telah ditulisnya dari paruh akhir tahun 1950-an hingga saat ini. Banyak di antaranya yang, disutradarai maupun dimainkannya sendiri bersama Teater Makassar. Lewat kelompok teater itu ia pun beberapa kali mementaskan naskah-naskah drama penulis Indonesia kenamaan maupun naskah-naskah terjemahan. Dapat dikatakan Teater Makassar dan Rahman Arge sukar dipisahkan satu sama lain. Kelompok itu tidak hanya memperkenalkan lebih luas karya-karya drama Arge serta memantapkan keberadaan drama modern di Ujungpandang, tetapi juga mengukuhkan kehadiran Arge di percaturan sastra-drama/teater Nasional melalui forum semacam "Temu Teater" yang rutin diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak awal Orde Baru hingga paruh akhir tahun 1980-an.
Pada "Temu Teater Enam Kota" di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tahun 1978, Teater Makassar menampilkan karya Arge berjudul "I Tolok Daeng Magassing" (ITDM). Tidak seperti pada beberapa temu teater sebelumnya, pementasan drama itu disutradarai oleh Aspar Paturusi. Kehadiran Aspar di forum tersebut menandai suatu regenerasi di Teater Makassar pada akhir tahun 1970-an itu. Sepeninggal Arge, Aspar kemudian tampil memimpin Teater Makassar dan menulis serta menyutradarai sejumlah pementasan kelompok tersebut. Dua di antara drama yang ditulis dan disutradarai Aspar ditampilkan di forum Temu Teater DKJ, yaitu "Samindara" (1982) dan "Perahu Nuh II" (1985).
Meskipun sejak Temu Teater 1976 Arge lewat drama "Opa" telah terlihat membawa pembaharuan, namun dengan drama ITDM ia menunjukkan puncak pencapaian karya sastra-drama/teaternya. Dalam salah satu tulisannya, Ikranagara (1993) menilai drama yang bertolak dari cerita rakyat Makassar itu sebagai drama yang menegaskan keeenderungan "post-modern Indonesia" yang antara lain berciri eksperimental dan pengolahan khazanah seni daerah/tradisional."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>