Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30722 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purwita Wijaya Laksmi
"Background: sarcopenia contributes to the development of frailty syndrome. Frailty syndrome is potentially improved by modifying insulin resistance, inflammation, and myostatin level. This study is aimed to investigate the effect of metformin on handgrip strength, gait speed, myostatin serum level, and health related quality of life (HR-QoL) among non diabetic pre frail elderly patients.
Methods: a double blind randomized controlled trial study was conducted on non-diabetic elderly outpatients aged >60 years with pre frail status based on phenotype and/ or index criteria (Cardiovascular Health Study and/ or Frailty Index 40 items) consecutively recruited from March 2015 to June 2016 at Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred twenty subjects who met the research criteria were randomized and equally assigned into 3 x 500 mg metformin or placebo group. The study outcomes were measured at baseline and after 16 weeks of intervention.
Results: out of 120 subjects, 43 subjects in metformin group and 48 subjects in placebo group who completed the intervention. There was a significant improvement on the mean gait speed of metformin group by 0.39 (0.77) second or 0.13 (0.24) meter/second that remained significant after adjusting for important prognostic factors (p = 0.024). There was no significant difference on handgrip strength, myostatin serum level, and HR QoL between both groups.
Conclusion: 3 x 500 mg metformin for 16 weeks was statistically significant and clinically important in improving usual gait speed as one of the HR QoL dimensions, but did not significantly improve the EQ 5D index score, handgrip strength, nor myostatin serum level.

Latar belakang: sarkopenia berkontribusi terhadap terjadinya sindrom frailty. Sindrom frailty berpotensi membaik dengan memodifikasi faktor inflamasi, resistensi insulin, dan miostatin. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh metformin terhadap kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, konsentrasi miostatin serum, dan kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien lanjut usia (lansia) non-diabetes dengan pre-frail.
Metode: studi ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang dilakukan pada pasien rawat jalan berusia ≥ 60 tahun dengan status pre-frail berdasarkan kriteria fenotip dan/atau indeks (Cardiovascular Health Study dan/atau Frailty Index 40 items) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang direkrut dari bulan Maret 2015 sampai Juni 2016. Subjek yang memenuhi kriteria penelitian dirandomisasi menjadi grup metformin (3 x 500 mg) atau grup plasebo (amilum 3 x 500 mg). Luaran penelitian diukur pada awal studi dan 16 minggu setelah intervensi. Hasil: dari 120 subjek, 43 subjek dari grup metformin dan 48 subjek dari grup plasebo yang menyelesaikan penelitian. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan pada kelompok metformin sebesar 0,39 (0,77) detik atau 0,13 (0,24) meter/detik yang tetap bermakna setelah disesuaikan dengan faktor prognostik penting (p=0,024). Tidak didapatkan perbedaan bermakna kekuatan genggam tangan, konsentrasi miostatin serum, dan kualitas hidup terkait kesehatan antara kedua kelompok perlakuan.
Kesimpulan: pemberian metformin 3 x 500 mg selama 16 minggu secara bermakna meningkatkan kecepatan berjalan sebagai salah satu dimensi kualitas hidup terkait kesehatan, namun tidak meningkatkan secara bermakna skor indeks EQ-5D, kekuatan genggam tangan, dan konsentrasi miostatin serum.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49: 2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Purwita Wijaya Laksmi
"ABSTRAK
Terapi metformin berpotensi untuk memperbaiki sindrom frailty dengan memodifikasi resistensi insulin, inflamasi, dan konsentrasi miostatin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran metformin terhadap kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, konsentrasi miostatin serum, dan kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien usia lanjut dengan pre-frail.
Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada pasien rawat jalan berusia 60 tahun dengan status pre-frail yang direkrut secara konsekutif Maret 2015 ndash;Juni 2016 di RSCM. Pasien dieksklusi bila menyandang diabetes melitus, skor Geriatric Depression Scale ge; 10, skor Abbreviated Mental Test < 8, fase akut penyakit, dan kontraindikasi terhadap metformin. Evaluasi luaran penelitian dilakukan sebelum dan pasca-intervensi selama 16 minggu.
Randomisasi terhadap 120 subjek menempatkan 60 subjek untuk tiap kelompok perlakuan. Sebanyak 43 subjek kelompok metformin 3 x 500 mg dan 48 subjek kelompok plasebo menyelesaikan penelitian. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan yang bermakna dengan rerata sebesar 0,39 0,77 detik atau 0,13 0,24 meter/detik pada kelompok metformin dan tetap bermakna setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor prognostik penting yang tidak setara p = 0,024 . Pada analisis ITT ada tidaknya peningkatan kecepatan berjalan > 0,1 meter/detik didapatkan ARR 8,3 IK95 -7,9 ndash;24 , dengan NNT sebesar 12. Tidak terdapat perbedaan bermakna kekuatan genggam tangan, konsentrasi miostatin serum, dan kualitas hidup terkait kesehatan antara kedua kelompok perlakuan. Konsentrasi miostatin serum berkorelasi negatif lemah r = -0,247; p = 0,018 dengan kecepatan berjalan, namun tidak berkorelasi dengan kekuatan genggam tangan. Skor indeks EQ-5D berkorelasi positif sedang dengan kecepatan berjalan r = 0,566; p = 0,000 dan berkorelasi positif lemah dengan kekuatan genggam tangan r = 0,355; p = 0,001.
Sebagai simpulan, pemberian metformin 3 x 500 mg selama 16 minggu secara statistik dan klinis bermakna dalam meningkatkan kecepatan berjalan sebagai salah satu dimensi kualitas hidup terkait kesehatan, namun belum dapat meningkatkan skor indeks EQ-5D, tidak meningkatkan kekuatan genggam tangan, dan belum menurunkan konsentrasi miostatin serum.
Kata kunci. kecepatan berjalan, kekuatan genggam tangan, kualitas hidup terkait kesehatan, metformin, miostatin, pre-frail, usia lanjut.

ABSTRACT
Metformin is considered to have potential effects to improve frailty syndrome by modifying insulin resistance, inflammation, and myostatin serum level.
This study aimed at investigating the effect of metformin on handgrip strength, gait speed, myostatin serum level, and health related quality of life HR QoL in pre frail elderly.
A double blind randomized controlled trial was conducted on elderly outpatients aged 60 years and older with pre frail status consecutively recruited from March 2015 to June 2016 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with history of diabetes mellitus, Geriatric Depression Scale score ge 10, Abbreviated Mental Test score 8, acute phase of diseases, and contraindication s to metformin were excluded. The measurement of study outcomes was conducted at baseline and after 16 weeks of intervention.
One hundred twenty subjects were randomized and equally assigned into metformin 3 x 500 mg or placebo group. There were 43 subjects in metformin group and 48 subjects in placebo group completed the intervention. The mean gait speed in metformin group significantly improved by 0.39 0.77 second or 0.13 0.24 meter second, even after adjusted for importance prognostic factors p 0,024 . Intention to treat analysis on the presence or absence of increased gait speed 0.1 meter second showed ARR 8.3 95 CI 7.9 ndash 24 , with NNT of 12. There were no significant differences on handgrip strength, myostatin serum level, and HR QoL between the two intervention groups. Myostatin serum level had weak negative correlation with gait speed r 0.247 p 0.018 , but did not correlate with handgrip strength. EQ 5D index had moderate positive correlation with gait speed r 0.566 p 0.000 and weak positive correlation with handgrip strength r 0.355 p 0.001.
In conclusion, metformin 3 x 500 mg for 16 weeks significantly improved gait speed as one of the HR QoL dimensions, but not significantly improved the EQ 5D index score and handgrip strength nor decreased myostatin serum level.
Keywords. gait speed, handgrip strength, health related quality of life, metformin, myostatin, pre frail, elderly.
"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anugrahini
"Latar belakang : Kejadian jatuh yang tinggi pada usia lanjut berhubungan erat dengan penurunan kekuatan otot. Seiring bertambahnya usia terjadi sarkopenia dimana massa otot berkurang sebesar 1-2% setiap tahun dan menyebabkan penurunan kekuatan otot sebesar 3%. Vitamin D mempunyai aksi biologis pada otot sehingga menjadi salah satu modalitas terapi sarkopenia. Walaupun peran vitamin D pada kekuatan otot masih kontroversial, namun studi sebelumnya menunjukkan analog vitamin D (alfacalcidol) dapat meningkatkan kekuatan otot dengan memakai luaran kekuatan otot ekstremitas bawah.
Tujuan : Menentukan pengaruh alfacalcidol terhadap kekuatan otot ekstremitas atas yang diukur dengan pemeriksaan kekuatan genggam tangan pada perempuan usia lanjut Indonesia.
Metode : Studi ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang dilakukan selama bulan April-September 2012 di poliklinik Geriatri RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Subjek penelitian adalah perempuan berusia ≥ 60 tahun dengan kekuatan genggam tangan £ 22 kg yang diukur dengan dinamometer. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang menerima alfalcalcidol 1x0,5 mg dan kelompok kontrol menerima plasebo. Masing-masing kelompok mendapat kalsium laktat 500 mg dan diamati selama 90 hari. Pada akhir penelitian dilakukan pemeriksaan kekuatan genggam tangan.
Hasil : Sebanyak 122 subjek direkrut, namun terdapat 27 subjek yang mempunyai kriteria eksklusi sehingga randomisasi membagi 95 subjek masing-masing 47 subjek pada kelompok alfacalcidol dan 48 subjek pada kelompok plasebo. Sebanyak 88 subjek menyelesaikan penelitian hingga akhir (7 drop out) dan dianalisis dengan uji Mann Whitney. Terdapat perbedaan peningkatan kekuatan otot yang bermakna antara kelompok alfacalcidol dibanding kelompok plasebo (15,50 kg vs. 13,75 kg ; p= 0,003).
Kesimpulan: Analog vitamin D (alfacalcidol) dapat meningkatkan kekuatan otot perempuan usia lanjut Indonesia yang mempunyai kekuatan genggam tangan yang rendah dibandingkan pemberian plasebo.

Background : The age-related increase in falls is strongly associated with a decline in muscle strength. Sarcopenia develops in concomitant with aging, where muscle mass decrease 1-2% annually, lead to 3% reduction in muscle strength. Vitamin D was known to have a biological action on muscle, so it was used as one of the therapy for sarcopenia. Although the role of vitamin D on muscle strength was still controversial, previous studies in vitamin D analog (alfacalcidol) reveal a promising effect in lower extremity muscle strength.
Objective : To determine the effect of alfacalcidol on upper extremities muscle strength in elderly ambulatory Indonesian women.
Methods : This was a randomized, double-blind clinical trial, which was conducted at Geriatrics Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, during April to September of 2012. The study subject consists of elderly women (aged ≥60 years old) with handgrip strength of ≤ 22 kg, measured with a handheld dynamometer. Subject was then randomized to two groups, one receiving alfacalcidol 1x0.5 mcg and the other receiving identically packaged placebo. Each group also received 500mg calcium lactate daily and then was observed for 12 weeks. At the end of the observation period, a second measurement of handgrip by using handheld dynamometer was performed.
Outcome : A total 122 subjects were enrolled in this study. There were 95 subjects fulfilled the eligible criteria consist of 47 subjects receiving alfacalcidol and 48 subjects as a control. A number of 88 subjects were able to complete the intervention period and then the results were analyzed with Mann Whitney test. The study showed a significant increase of muscle strength in the intervention group compared to placebo (15.50 kg vs. 13.75 kg; p = 0.003).
Conclusion : Daily doses of 0.5 mg alfacalcidol significantly improved muscle strength in elderly Indonesian women with low handgrip strength compared to placebo."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T35632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andri M.T.
"Background: Glucosamine, chondroitinsulfate are frequently used to prevent further joint degeneration in osteoarthritis (OA). Methylsulfonylmethane (MSM) is a supplement containing organic sulphur and also reported to slow anatomical joint progressivity in the knee OA. The MSM is often combined with glucosamine and chondroitin sulfate. However, there are controversies whether glucosamine chondroitin sulfate or their combination with methylsulfonylmethane could effectively reduce pain in OA. This study is aimed to compare clinical outcome of glucosamine chondroitin sulfate (GC), glucosamine chondroitin sulfate methylsulfonylmethane (GCM), and placeboin patients with knee osteoarthritis (OA) Kellgren Lawrence grade I II. Methods: a double blind, randomized controlled clinical trial was conducted on 147 patients with knee OA Kellgren Lawrence grade I II. Patients were allocated by permuted block randomization into three groups: GC (n=49), GCM (n=50), or placebo (n=48) groups. GC group received 1500 mg of glucosamine + 1200 mg of chondroitin sulfate + 500 mg of saccharumlactis; GCM group received 1500 mg of glucosamine + 1200 mg of chondroitin sulfate + 500 mg of MSM; while placebo group received three matching capsules of saccharumlactis. The drugs were administered once daily for 3 consecutive months VAS and WOMAC scores were measured before treatment, then at 4th, 8th and 12th week after treatment. Results: on statistical analysis it was found that at the 12th week, there are significant difference between three treatment groups on the WOMAC score (p=0.03) and on the VAS score (p=0.004). When analyzed between weeks, GCM treatment group was found statistically significant on WOMAC score (p=0.01) and VAS score (p<0.001). Comparing the score difference between weeks, WOMAC score analysis showed significant difference between GC, GCM, and placebo in week 4 (p=0.049) and week 12 (p=0.01). In addition, VAS score also showed significant difference between groups in week 8 (p=0.006) and week 12 (p<0.001). Conclusion: combination of glucosamine chondroitinsulfate methylsulfonylmethane showed clinical benefit for patients with knee OAK ellgren Lawrence grade I II compared with GC and placebo. GC did not make clinical improvement in overall groups of patients with knee OA Kellgren Lawrence grade I II.

Latar belakang: glukosamin-kondroitin sulfate sering digunakan untuk mencegah degenerasi lutut lebih lanjut pada osteoartritis (OA). Metilsulfonilmetan (MSM) adalah suplemen yang mengandung belerang organik dan juga dilaporkan memperlambat progresifitas kerusakan anatomis pada OA lutut. MSM sering dikombinasikan dengan glukosamin dan kondroitin sulfat. Namun, masih terdapat kontroversi apakah glucosamin-kondroitin sulfat atau kombinasinya dengan methylsulfonylmethane secara efektif dapat mengurangi rasa sakit pada OA. Penelitian ini bertujuan membandingkan perbaikan klinis glukosamin-kondroitin sulfat (GK), glukosamin-kondroitin sulfat-metilsulfonilmetan (MSM) (GKM) dan plasebo pada pasien osteoartritis derajat Kellgren-Lawrence I dan II.
Metode: suatu uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 147 pasien dengan OA lutut derajat Kellgren-Lawrence I atau II. Subyek dibagi menjadi 3 kelompok, dengan metode randomisasi blok permutasi, yaitu kelompok GK (n=49), GKM (n=50) dan plasebo (n=48). Kelompok GK mendapat 1500 mg glukosamin + 1200 mg kondroitin sulfat + 500 mg sakarumlaktis; kelompok GKM mendapat 1500 mg glukosamin + 1200 mg kondroitin sulfat + 500 mg MSM; kelompok plasebo menerima 3 kapsul yang serupa berisi sakarum laktis. Obat-obatan ini diberikan sekali sehari selama 3 bulan berturut-turut. Skor VAS dan WOMAC dinilai sebelum pemberian terapi, kemudian pada minggu ke 4, 8 dan 12.
Hasil: pada analisa statistik ditemukan perbedaan signifikan pada minggu ke 12, dimana kelompok GK pada skor WOMAC berbeda signifikan dibandingkan dengan GKM dan plasebo (p=0,005), sedangkan GKM pada skor VAS berbeda signifikan dibandingkan dengan GK dan plasebo (p=0,001). Pada analisis lebih lanjut ditemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada kelompok GKM dan GM pada skor VAS. Efektivitas pemberian per 4 minggunya ditemukan berbeda bermakna pada kelompok GKM dan plasebo (p<0,005).
Kesimpulan: kombinasi glukosamin-kondroitin sulfat-metilsulonilmetan menunjukkan manfaat klinis yang lebih baik untuk pasien OA sendi lutut Kellgren-Lawrence derajat I dan II dibandingkan dengan GK dan plasebo. Sedangkan suplemen GK secara umum tidak menunjukkan manfaat klinis yang lebih baik pada pasien OA sendi lutut derajat Kellgren Lawrence I-II.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Riviati
"Background: the aging process causes decreasing in the function of various organs. Skletal muscle is one of the organs affected by aging process. It is known as sarcopenia. Sarcopenia is defined as a syndrome characterized by progressive loss of muscle mass and strength. The handgrip strength examination is often applied as a sarcopenia filtering technique. This study aimed to determine the relationship between age, nutritional status, and chronic diseases such as stroke, hypertension (HT), diabetes mellitus (DM), coronary heart disease (CHD), and chronic obstructive pulmonary disease (COPD) with handgrip strength.
Methods: a cross-sectional study to determine factors related to the handgrip strength in elderly patients was conducted in Geriatric outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital and Mohammad Hoesin Hospital from August to October 2015. There were 352 eligible subjects in this study recruited with consecutive sampling. The independent variables in the study consisted of age, sex, nutritional status, chronic disease (stroke, hypertension (HT), diabetes mellitus (DM), coronary heart disease (CHD) and chronic obstructive pulmonary disease (COPD)), waist circumference while the dependent variable was handgrip strength.
Results: age of more than 75 years old and malnutriton were risk factors that affected hangrip strength. Age of >75 years increase the risk for having low handgrip strength by 2,3-fold. Malnutrition increased risk for low handgrip strength for 1,9-fold.
Conclusion: ages of >75 years old and malnutrition will increase the risk of low handgrip strength in elderly patients.

Latar belakang: proses penuaan menyebabkan penurunan fungsi pada berbagai organ. Otot rangka merupakan salah satu organ yang dipengaruhi oleh proses penuaan. Hal ini dikenal sebagai sarkopenia. Sarkopenia didefinisikan sebagai suatu sindroma yang ditandai oleh hilangnya massa dan kekuatan otot secara progresif. Pemeriksaan kekuatan genggaman tangan seringkali diterapkan sebagai teknik penapisan sarkopenia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan usia, status gizi dan penyakit kronik seperti stroke, hipertensi (HT), diabetes melitus (DM), penyakit jantung koroner (PJK) dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan kekuatan genggaman.
Metode: ini adalah studi potong lintang untuk menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan kekuatan genggaman tangan pada pasien usia lanjut. Penelitian dilaksanakan di poliklinik Geriatri, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Mohammad Hoesin sejak Agustus hingga Oktober 2015. Terdapat 352 subjek yang memenuhi kriteria penelitian ini dan direkrut dengan teknik pengambilan sampel secara berurutan (consecutive sampling). Variabel-variabel independen penelitian ini terdiri atas usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit kronik (stroke, hipertensi (HT), diabetes melitus (DM), penyakit jantung koroner (PJK) dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan lingkar pinggang; sedangkan variabel dependen adalah kekuatan genggaman tangan.
Hasil: usia >75 tahun dan malnutrisi merupakan faktor risiko yang mempengaruhi lemahnya kekuatan genggaman tangan. Usia >75 tahun akan meningkatkan risiko rendahnya kekuatan genggaman tangan sebanyak 2-3 kali lipat. Malnutrisi meningkatkan risiko rendahnya kekuatan genggaman tangan sebanyak 1,9 kali. Kesimpulan: usia >75 tahun dan malnutrisi akan meningkatkan faktor-faktor risiko menurunnya kekuatan genggaman tangan pada pasien usia lanjut
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Ulfah Madina
"Latar belakang: Peningkatan usia lanjut menimbulkan dampak kesehatan, diantaranya adalah sarkopenia dan kerapuhan. Kekuatan genggam tangan merupakan komponen
sarkopenia, fenotip sindrom kerapuhan, dan bersifat dinamis. Berbagai studi potong
lintang menilai hubungan kekuataan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status
nutrisi, status fungsional, status mental, dan komorbiditas namun temuan masih
beragam. Selain itu, belum ada studi longitudinal untuk mengetahui hubungan
perubahan kekuatan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status
fungsional, status mental dan komorbiditas di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi, status
fungsional, status mental dan komorbiditas dengan perubahan kekuatan genggam
tangan pada pasien usia lanjut.
Metode: Penelitian kohort prospektif menggunakan data sekunder pasien usia lanjut
yang kontrol rutin di Poliklinik Geriatri RSCM Jakarta dari register studi longitudinal
INA-FRAGILE yang telah diobservasi selama 1 tahun (2013-2014). Uji analisis
multivariat regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara usia, jenis
kelamin, status nutrisi (skor MNA), status fungsional (skor ADL), status mental (skor
GDS-SF), indeks komorbiditas (skor CIRS) dengan perubahan kekuatan genggam
tangan.
Hasil: Dalam 1 tahun pengamatan dari 162 subjek, didapatkan rerata usia 72,9 (SB 5,9)
tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan (57,41%), memiliki nutrisi baik (83,9%),
mandiri (median ADL 9–20), tidak depresi (median GDS-SF 0–11), rerata indeks
komorbiditas 11,8 (SB 3,7), dan 53,1% mengalami penurunan kekuatan genggam
tangan. Status nutrisi (OR=2,7; p=0,033) dan indeks komorbiditas (OR 0,3; p<0,002)
berhubungan dengan kekuatan genggam tangan.
Simpulan: Status nutrisi dan komorbiditas memengaruhi perubahan kekuatan genggam
tangan pada pasien usia lanjut dalam 1 tahun di rawat jalan.

Background: Increasing elderly population throughout the world has been related to
increased prevalence of sarcopenia and frailty. Handgrip strength is a component of
sarcopenia, one of frailty syndrome phenotypes, and a dynamic process. Previous
cross-sectional studies have assessed association of age, sex, nutritional status,
functional status, mental status and comorbodity but the results were varied. That being
said, there was no longitudinal study has been done to determine the correlation of
handgrip strength changes with age, sex, nutritional status, functional status, mental
status, and comorbidity in Indonesia.
Objective: To examine correlation between age, sex, nutritional status, functional
status, depressive symptopms, comorbidity, and handgrip strength changes in elderly
patients.
Methods: A prospective cohort study using secondary data of elderly patients whom
routinely visiting Geriatric Out-Patients Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta from INA-FRAGILE register that have been observed for 1 year (2013-2014).
The multivariate logistic regression analysis was used to assess correlation between
sex, age, nutrional status (MNA score), functional status (ADL score), depressive
symptoms (GDS-SF score), comorbidities (CIRS score) and handgrip strength changes.
Results: From 162 subjects which were included in the study, the mean age was 72.9
(SB 5.9) years, predominantly female (57.41%), with good nutrition (83.9%),
independent (median 9- 20), not depressed (median 0-11), has average comorbidity
index 11.8 (SB 3.7), and 53.1% experienced decreased handgrip strength. Nutritional
status (OR = 2.7, p = 0.033) and comorbidity index (OR 0.3, p <0.002) correlated with
handgrip strength changes.
Conclusion: Nutritional status and comorbidity correlates with handgrip strength
changes in out-patients elderly within 1 year.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Ulfah Madina
"Latar belakang: Peningkatan usia lanjut menimbulkan dampak kesehatan, diantaranya adalah sarkopenia dan kerapuhan. Kekuatan genggam tangan merupakan komponen sarkopenia, fenotip sindrom kerapuhan, dan bersifat dinamis. Berbagai studi potong lintang menilai hubungan kekuataan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental, dan komorbiditas namun temuan masih beragam. Selain itu, belum ada studi longitudinal untuk mengetahui hubungan perubahan kekuatan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut.
Metode: Penelitian kohort prospektif menggunakan data sekunder pasien usia lanjut yang kontrol rutin di Poliklinik Geriatri RSCM Jakarta dari register studi longitudinal INA-FRAGILE yang telah diobservasi selama 1 tahun (2013-2014). Uji analisis multivariat regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi (skor MNA), status fungsional (skor ADL), status mental (skor GDS-SF), indeks komorbiditas (skor CIRS) dengan perubahan kekuatan genggam tangan.
Hasil: Dalam 1 tahun pengamatan dari 162 subjek, didapatkan rerata usia 72,9 (SB 5,9) tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan (57,41%), memiliki nutrisi baik (83,9%), mandiri (median ADL 9–20), tidak depresi (median GDS-SF 0–11), rerata indeks komorbiditas 11,8 (SB 3,7), dan 53,1% mengalami penurunan kekuatan genggam tangan. Status nutrisi (OR=2,7; p=0,033) dan indeks komorbiditas (OR 0,3; p<0,002) berhubungan dengan kekuatan genggam tangan.
Simpulan: Status nutrisi dan komorbiditas memengaruhi perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut dalam 1 tahun di rawat jalan.

Background: Increasing elderly population throughout the world has been related to increased prevalence of sarcopenia and frailty. Handgrip strength is a component of sarcopenia, one of frailty syndrome phenotypes, and a dynamic process. Previous cross-sectional studies have assessed association of age, sex, nutritional status, functional status, mental status and comorbodity but the results were varied. That being said, there was no longitudinal study has been done to determine the correlation of handgrip strength changes with age, sex, nutritional status, functional status, mental status, and comorbidity in Indonesia.
Objective: To examine correlation between age, sex, nutritional status, functional status, depressive symptopms, comorbidity, and handgrip strength changes in elderly patients.
Methods: A prospective cohort study using secondary data of elderly patients whom routinely visiting Geriatric Out-Patients Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from INA-FRAGILE register that have been observed for 1 year (2013-2014). The multivariate logistic regression analysis was used to assess correlation between sex, age, nutrional status (MNA score), functional status (ADL score), depressive symptoms (GDS-SF score), comorbidities (CIRS score) and handgrip strength changes.
Results: From 162 subjects which were included in the study, the mean age was 72.9 (SB 5.9) years, predominantly female (57.41%), with good nutrition (83.9%), independent (median 9- 20), not depressed (median 0-11), has average comorbidity index 11.8 (SB 3.7), and 53.1% experienced decreased handgrip strength. Nutritional status (OR = 2.7, p = 0.033) and comorbidity index (OR 0.3, p <0.002) correlated with handgrip strength changes.
Conclusion: Nutritional status and comorbidity correlates with handgrip strength changes in out-patients elderly within 1 year.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iris Rengganis
"Background: pollens from trees or grasses in Indonesia have a perennial distribution due to the tropical climate. However, pollen allergy has not been well studied. This study aimed to evaluate the profile of pollen IgE sensitization in respiratory allergic patients in Jakarta.
Methods: this was a cross-sectional study in patients with a history of respiratory allergy in Jakarta, Indonesia between September and December 2016. Adult asthmatic patients aged 19-60 years were invited to undergo serum specific IgE testing at the Allergy and Immunology Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Patients were included if they showed at least one positive skin prick test with environmental allergens. Quantitative determination of specific IgE in serum was carried out by multiple allergosorbent (MAST) assays (Polycheck Allergy, Biocheck GmbH, Munster, Germany). Serum specific IgE levels of more than 0.35 kU/L or Class 1 was considered positive.
Results: a total of 106 cases were eligible for analysis; 81 (76.4%) were women. Patients mean age was 38.8+12.1 (range 19-59) years old. 59.4% of patients have both asthma and allergic rhinitis. There are 9 (8.5%) patients positive for IgE-pollen sensitization; 8 among them showed sensitization to at least 2 pollens. Sensitivity to goosefoot pollen is the highest (5.7%), followed by rye pollen (4.7%), plantain pollen (4.7%), wall pellitory pollen (4.7%), and Bermuda grass pollen (3.8%).
Conclusion: although most pollens tested are not originated from native plants to Indonesia, a small number of patients showed specific IgE-sensitizations. Allergic persons planning to travel to the endemic areas of the relevant pollen should be advised. A panel of pollen allergens from local plants is highly desired.

Latar belakang: serbuk sari dari pohon-pohon atau rerumputan di Indonesia mempunyai penyebaran sepanjang masa akibat iklim tropisnya. Meskipun demikian, alergi serbuk sari belum diteliti dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai profil sensitisasi serbuk sari IgE pada pasien dengan alergi pernapasan di Jakarta.
Metode: penelitian ini adalah penelitian potong lintang pada pasien dengan riwayat alergi pernapasan di Jakarta, Indonesia yang dilaksanakan antara bulan September dan Desember 2016. Pasien asma dewasa berusia 19-60 tahun diundang untuk menjalani pemeriksaan serum IgE spesifik di Klinik Alergi dan Imunologi, Rumah Sakit Cipto Mangunkumo, Jakarta. Pasien diikutsertakan dalam penelitian bila mereka menujukkan setidaknya satu hasil positif pada pemeriksaan uji tusuk kulit (prick test) terhadap alergen-alergen lingkungan. Penentuan kuantitatif kadar IgE spesifik dalam serum dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan multiple allergosorbent (MAST) assays (Polycheck Allergy®, Biocheck GmbH, Munster, Jerman). Kadar IgE spesifik dalam serum yang melebihi 0,35 kU/L atau Kelas 1 dianggap positif.
Hasil: sejumlah 106 kasus memenuhi syarat untuk dianalisis; 81 (76.4%) di antaranya adalah wanita. Usia rata-rata pasien adalah 38,8 (12,1) tahun (kisaran usia 19-59 tahun). Sekitar 59,4% pasien mempunyai asma sekaligus rinitis alergi. Terdapat 9 (8,5%) pasien dengan hasil positif untuk sensitisasi serbuk sari IgE; 8 di antaranya menunjukkan sensitisasi terhadap setidaknya 2 serbuk sari. Sensitivitas terhadap serbuk sari gulma goosefoot ternyata paling tinggi (5,7%), diikuti oleh serbuk sari gandum hitam (4,7%), serbuk sari pisang raja (4,7%) dan serbuk sari tanaman wall pellitory (4.7%) dan serbuk sari rumput Bermuda (3,8%).
Kesimpulan: meskipun sebagian besar serbuk sari yang diuji bukan merupakan tumbuhan asli di Indonesia, beberapa pasien menunjukkan sensitisasi IgE spesifik. Orang dengan alergi yang berencana bepergian ke daerah endemik tempat asal serbuk sari yang relevan perlu diberi saran. Panel alergen serbuk sari dari tanaman lokal sangat dinantikan,
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Sinta Murti
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kekuatan genggam tangan (KGT) merupakan metode pemeriksaan yang mudah, murah, cepat dan dapat digunakan secara bedside pada pasien yang dirawat. Data mengenai hubungan KGT dengan parameter status nutrisi lain selama perawatan di rumah sakit di Indonesia belum tersedia
Tujuan : Mengetahui hubungan KGT dengan nilai subjective global assessment (SGA), antropometri, analisis bioimpedans dan biokimia pada awal dan akhir perawatan. Metode : Ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien yang dirawat inap di ruang perawatan penyakit dalam RS. Cipto Mangunkusumo. Status nutrisi dinilai berdasar SGA. Indeks masa tubuh (IMT), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) dihitung secara antropometri. Masa otot dan masa lemak tubuh didapat dari analisis bioimpedans. Analisis statistik menggunakan uji anova, pearson dan uji T.
Hasil : Terdapat 131 pasien terdiri dari 102 laki-laki dan 29 perempuan dengan rerata umur 45,6 ± 14.2 tahun. Pada awal dan akhir perawatan didapatkan perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang maupun malnutrisi berat tetapi tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat (p<0.001). Kekuatan genggam tangan berkorelasi dengan cAMA (r=0,47 dan 0,49), masa otot tubuh (r=0,67 dan 0,55) dan albumin (r=0,23 dan 0,28). Tidak ada hubungan antara KGT dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada perbedaan KGT antara pasien yang mencapai target nutrisi berdasar SGA dan yang tidak (p=0,81).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang dan antara nutrisi baik dan malnutrisi berat. Tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat. Nilai KGT berkorelasi dengan cAMA, masa otot tubuh dan albumin tetapi tidak berkorelasi dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada hubungan antara pencapaian target nutrisi berdasar SGA dengan nilai KGT

ABSTRACT
Background : Hand grip strength (HGS) is an easy, cheap and quick method and can be used bedside in hospitalized patient. Data about HGS correlation with other nutrition status parameters in hospital are not yet provided in Indonesia Objective : To find relation among HGS with the value of subjective global assessment (SGA), anthropometry, bioimpedance analysis and albumin at the beginning and end of hospitalization.
Methods : This is a cross-sectional study from hospitalized patients at medical ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional status assessed by SGA. Body mass index (BMI), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) were calculated by anthropometry. Muscle mass and a body fat obtained from the bioimpedance analysis. Data were analyzed using ANOVA, Pearson and T test. Results : There were 131 patients consisted of 102 men and 29 women with mean age of 45.6 ± 14.2 years. At the beginning and end of the hospitalization there is significant HGS differences between good nutritional status with moderately malnourished and severely malnourished, but no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished (p <0.001). Hand grip strength was correlated with CAMA (r=0.47 and 0.49), muscle mass (r=0.67 and 0.55) and albumin (r=0.23 and 0.28) and was not correlate with AFA, body fat and BMI. There was no HGS difference between patients who achieved nutrition targets based on SGA and who did not (p=0.81).
Conclusion : There are significant HGS differences between good nutritional status and moderate malnutrition and good nutritional status and severe malnutrition. There is no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished. Hand grip strength was correlated with cAMA, muscle mass and albumin but did not correlate with the AFA, body fat and BMI. There was no corelation between nutritional achievement based on SGA with HGS value"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius R. Tenggara
"Background: Hepatitis B is endemic in Indonesia and treatment response need to be monitored during and after antiviral therapy. Liver stiffness measurement and alanine aminotransferase to platelet ratio index (APRI) are noninvasive method to detect liver fibrosis available in Indonesia. However, little is known about their ability to evaluate treatment response in chronic hepatitis B (CHB) patients in Indonesia. This study aimed to investigate liver stiffness changes by transient elastography (TE) and APRI before and after one year oral antiviral treatment in CHB patients and the correlation between TE and APRI.
Methods: this study was retrospective cohort on CHB patients in CiptoMangunkusumo Hospital, Jakarta who uderwent treatment between January 2012 and December 2014. Patients received oral antiviral treatment with newer nucleoside analogues (entecavir or telbivudine) for at least one year. TE and APRI were obtained before and after treatment. TE and APRI reductions were analyzed statistically with Spearmans test.
Results: a total of 41 patients were enrolled in this study. Median liver stiffness value was significantly reduced from 10.8 to 5.9 kPa after oral antiviral treatment (p<0.001, Wilcoxons test). Median APRI was also significantly reduced from 1.13 to 0.43 after treatment (p<0.001, Wilcoxons test). The correlation between liver stiffness and APRI before treatment was weak (r=0.40), but it was strong after treatment (r=0.73).
Conclusion: the liver stiffness measured with transient elastography and APRI significantly decreased after one year of antiviral treatment in chronic HBV patients. There was a significant correlation between TE and APRI after one year of treatment.

Latar belakang: prevalensi Hepatitis B di Indonesia masih tinggi dan pengobatan dengan obat antivirus memerlukan pamantauan untuk menilai respons terapi. Salah satu metode pemantauan respons terapi yang non-infasif dan mudah dilakukan di Indonesia adalah dengan pengukuran derajat kekerasan hati atau transient elatography (TE)dan alanine aminotransferase-to-platelet ratio index (APRI) yang merupakan metode alternatif untuk mendeteksi fibrosis hati. Meskipun demikian, akurasinya dalam mengevaluasi respon terapi pada pasien hepatitis B kronik di Indonesia masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan derajat kekerasan hati dengan menggunakan transient elastography (TE) dan APRI sebelum dan setelah terapi antiviral per oral selama satu tahun pada pasien hepatitis B kronik dan korelasi antara TE dan APRI.
Metode: desain penelitian yang digunakan adalah studi kohort retrospektif pada pasien hepatitis B kronik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang diberikan terapi selama bulan Januari 2012 hingga Desember 2014. Pasien diberikan antiviral dengan analog nukleosida terbaru (entecavir atau telbivudine) selama minimal satu tahun. TE dan APRI diperiksakan sebelum dan setelah terapi. Reduksi TE dan APRI diuji secara statistik menggunakan korelasi Spearman.
Hasil: penelitian ini mengikutsertakan 41 pasien dan mendapatkan nilai median kekerasan hati berkurang secara signifikan dari 10,8 menjadi 5,9 kPa setelah terapi antiviral per oral (p<0,001, Uji Wilcoxon). Nilai median APRI juga berkurang secara signifikan dari 1,13 menjadi 0,43 setelah terapi (p<0,001, Uji Wilcoxon). Sebelum terapi dimulai nilai korelasi antara derajat kekerasan hati dan APRI menunjukkan hasil 0.40 dan nilai korelasi setelah terapi antiviral menjadi 0,73.
Kesimpulan: derajat kekerasan hati yang diukur menggunakan TE dan APRI berkurang secara signifikan setelah terapi antiviral selama satu tahun pada pasien hepatitis B kronik.Terdapat korelasi yang signifikan antara TE dan APRI.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>