Ditemukan 76726 dokumen yang sesuai dengan query
Imelda Basarma Priskila
"Skripsi ini membahas tentang reaksi sosial non-formal masyarakat Pulau Pari terhadap kejahatan korporasi yang difasilitasi oleh negara state-facilitated corporate crime. State-facilitated corporate crime yang dibahas dalam penelitian ini yaitu adanya klaim atas kepemilikan Pulau Pari dan diterbitkannya sertifikat yang melegalkan status kepemilikan dan hak pengelolaan Pulau Pari oleh BPN secara bertahap sejak 2014 sampai 2017. Dalam menganalisis reaksi sosial non-formal masyarakat, studi reaksi ini menggunakan kerangka pikir dalam konteks advokasi advocating, mobilisasi mobilizing, dan pengorganisasian komunitas community organizing. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data primer wawancara dan observasi serta pengumpulan data sekunder, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang kejahatan yang difasilitasi oleh negara dan bentuk-bentuk reaksi sosial non-formal yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Pari. Studi ini memaparkan adanya tiga bentuk reaksi sosial masyarakat melalui advokasi baik advokasi sosial maupun advokasi politik melalui penerbitan petisi, collaborative networking yang dilakukan oleh organisasi non-profit dalam Koalisi Selamatkan Pulau Pari, aksi komunitas di sejumlah instansi pemerintah, dialog dengan para elit dan kampanye di media sosial. Berikutnya, reaksi sosial non-formal juga diwujudkan dalam memobilisasi sumber daya manusia, dana, hingga publikasi. Bagian ketiga dari analisis reaksi sosial non-formal masyarakat Pulau Pari membahas mengenai pengorganisasian komunitas. Dalam studi ini, Peneliti menyimpulkan jika pengorganisasian masyarakat yang diinisiasi oleh organisasi non profit masih dalam tahap awal pengorganisasian yakni identifikasi masalah dan meningkatkan kesadaran komunitas akan pentingnya melakukan reaksi sosial non-formal secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama.
This thesis discusses the non formal social reaction of the community of Pari Island against state facilitated corporate crime. The state facilitated corporate crime which discussed in this research is the claim of ownership of Pari Island and the issuance of the certificate which legalize the ownership status and management rights of Pari Island by National Land Agency gradually from 2014 until 2017. In analyzing the study of the non formal social reaction, this case uses a frame of mind in the context of advocating, mobilizing, and community organizing. By using primary data collection techniques primary interviews and observations and secondary data collection, this research is expected to provide a comprehensive view of state facilitated corporate crime and forms of the non formal social reaction conducted by the community of Pari Island. This study describes three forms of the non formal social reaction of crime through advocating by means of social or political advocacy through the issuance of a petition, collaborative networking conducted by non profit organizations in Koalisi Selamatkan Pulau Pari Coalition to Save Pari Island, community actions to some government agencies, dialog with the elites and social media campaigns. Next, the non formal social reaction is also manifested in mobilizing human resources, funds, and publications. The third part of the analysis of the non formal social reaction of the community of Pari Island discussed above is community organizing. In this study, the researcher concluded that community organizing which initiated by non profit organizations is still in the early stages of community organizing that is problems identification and raising community awareness of the importance of undertaking non formal social reactions together to achieve common goals. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yashinta Fara Kaniaratri
"Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) adalah jenis kasus kekerasan berbasis gender siber yang paling banyak terjadi, namun hanya sedikit sekali perempuan penyintas yang melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Bahkan, melaporkan viktimisasinya kepada polisi menjadi pilihan terakhir bagi perempuan penyintas. Tulisan ini bertujuan untuk melihat reaksi non-formal dari perempuan korban/penyintas, maupun perempuan yang bukan merupakan korban/penyintas, terhadap viktimisasi sekunder yang dialami oleh perempuan saat melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Tulisan ini berada di bawah naungan teori feminis radikal, dan menggunakan metode analisis isi kualitatif untuk mengkaji berita dan cuitan yang berisi opini perempuan terkait penanganan kasus NCDII oleh polisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepolisian adalah institusi yang tidak ideal bagi perempuan penyintas karena kepolisian adalah salah satu agen yang bertugas untuk melanggengkan patriarki. Perempuan yang mendapat perlakuan buruk dari polisi akan menceritakan pengalamannya melalui media online dan narasi ini kemudian mendorong terbentuknya digital feminist activism di kalangan perempuan untuk menentang perilaku polisi.
Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) is the most common type of cyber gender-based violence, yet only a few numbers of women survivors report their victimization to the police. In fact, reporting their victimization to the police is the last option for women survivors. This paper aims to examine the non-formal reaction of women victims/survivors, as well as women who are not victims/survivors, to the secondary victimization that experienced by women who reported their victimization to the police. This paper is written under the radical feminist theory framework, and uses qualitative content analysis method to examine news and tweets that contains women's opinions regarding the handling of NCDII cases by the police. The results of the analysis show that the police is not an ideal institution for female survivors because the police is one of the agents that’s in charge of perpetuating patriarchal ideology. Women who have been mistreated by the police will share their stories through online media and this narrative then encourage the formation of digital feminist activism among women to oppose police behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Simpson, Sally S.
New York, NY : Cambridge University Press, 2002
364.168 SIM c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Minkes, John
Los Angeles : Sage , 2008
364.168 MIN c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Adil Fakhri Hanif
"Karya tulis ini memaparkan mengenai reaksi non formal masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri. Pada dasarnya, karya tulis ini bergerak dari pendapat masyarakat yang melihat terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri. Bentuk pendapat ini dalam arti lain disebutkan sebagai persepsi masyarakat atau cara pandang masyarakat terhadap sebuah objek yaitu penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri. Karya tulis ini juga menggambarkan bagaimana reaksi non formal ini akan berperan dalam masyarakat sebagai sebuah kontrol sosial berdasarkan pada teori kontrol soosial Ivan F. Nye dalam meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang. Kontrol sosial yang dibangun dalam masyarakat seharusnya bisa berperan untuk pemangku kebijakan dalam mengambil kebijakan.
This article describe about the public non formal reaction have against the abuse of authority by Indonesian National Police. Basically this article start from the public idea that sees abuse of authority by Indonesian National Police. The thesis laid its foundation on a public opinion which sees the occurrence of deviance and abuse of authority conducted by Indonesia National Police 39 s personnel. This assumption can also be seen as public 39 s perception or point of view regarding an object , which is an abuse of authority by Indonesia National Police 39 s personnel. The author tries to describe how this non formal reaction acts as a social control in society, based on Social Control Theory by Albert J. Reiss and Ivan F. Nye in order to minimize the occurrence of authority abuse. The social control, which is developed inside the society should be adequate to act as stakeholder in the realm of policy making."
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Renny Ariyanny
"Sistem hukum Indonesia tidak memiliki aturan hukum khusus untuk mengatur kejahatan korporasi bidang keuangan, sementara efek negatif dari kejahatan ini sangat besar dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut, selama ini penegak hukum yang menangani kejahatan ini mempergunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan peraturan terkait lainnya seperti Undang-Undang Pencucian Uang untuk menanganinya. Namun, karena proses pengadilan pidana dan perdata yang panjang terkadang membuat upaya penegakan hukum untuk mendapatkan kembali asset/dana negara yang dicuri pelaku/korporasi tidak sebesar yang diharapkan. Putusan akhir pengadilan biasanya memberikan uang pengganti yang jauh lebih rendah dari dakwaan atau bahkan pengadilan dapat memutuskan bahwa pelaku/korporasi tidak perlu membayar apapun. Untuk mengisi kesenjangan antara uang/asset negara yang hilang akibat kejahatan korporasi dengan uang yang dapat diambil kembali dari korporasi pelaku, penelitian ini bermaksud memperkenalkan “Disgorgement of Profit” yaitu perintah/kewajiban pengembalian keuntungan dari perolehan harta tidak sah melalui penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement) sebagai cara yang lebih cepat untuk menyelesaikannya. Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan prinsip unjust enrichment dan restorative justice demi terwujudnya kesejahteraan nasional berdasarkan sumbangan dari welfare criminology
Indonesian Legal System do not have a specific regulation to administers the misbehavior of financial corporations while the negative effect of this crime is very huge over the years. To solve the problem, law enforcements treat this crime by using Corruption Act and other related regulations such as Money Laundering Act. However, due to the long process of criminal and civil courts sometime waste the law enforcement effort to get maximum payment back from offenders and/or the corporations. The final court decision usually gives replacement money much lower than the indictment or even the court could be decided that the offenders/ corporations do not have to pay anything. In order to fill the gap between the loss money and the repayment money because of financial corporate crime, this research intends to study the possibility of using “Disgorgement of Profit” approach as a faster way to get the maximum repayment of stolen money/assets from the Financial Corporate Crimes in out of court settlements due to the respect of unjust enrichment policy and restorative justice wisdom in order to enhance national development as a beneficial of the implementation of welfare criminology."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Syukron Akbar
"Dewasa ini, tindak pidana juga seringkali dilakukan oleh korporasi. Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 6.701 perkara yang melibatkan korporasi telah didaftarkan ke pengadilan negeri di seluruh Indonesia. Kendati demikian, suatu korporasi pasti akan berusaha untuk mencari cara guna dapat melepaskan kewajibannya untuk memper-tanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengajukan permohonan praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Belakangan, praperadilan mengalami perluasan objek berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Hal ini dianggap menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan korporasi selaku tersangka untuk melepaskan diri dari kewajibannya, misalnya dalam Putusan No. 16/Pid.Prap/2020/PN.Bdg. Untuk itu, dalam penelitian skripsi ini akan dibahas mengenai pengaturan dan penerapan hukum yang seharusnya berlaku berkaitan dengan permohonan praperadilan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka yang diajukan oleh korporasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis-normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan mengenai permohonan praperadilan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka juga dapat diajukan oleh korporasi dengan mendasarkannya pada keberadaan 2 (dua) alat bukti dan telah diperiksanya korporasi yang diwakili oleh pengurusnya. Namun, hakim dalam putusannya tersebut belum menerapkan hukum sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, perlu dipikirkan mengenai langkah-langkah guna melakukan perbaikan terhadap pembangunan hukum di masa yang akan datang. Hal ini ditujukan supaya negara mampu memberikan jaminan dan perlindungan serta pengaturan yang jelas kepada siapapun terhadap tindakan sewenang-wenang dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penegak hukum.
Today, crimes are often committed by corporations. In 2021, 6.701 cases involving corporations have been registered to district courts throughout Indonesia. However, a corporation will try to find ways to be able to release its obligation to be held accountable for its actions. The effort that can be made is to submit a pretrial request as stipulated in the Criminal Procedure Code. Later, the object of pretrial was expanded based on Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014. This issue is considered to be a legal loophole that can be used by corporations as suspects to escape from their obligations, for example in Decision Number 16/Pid.Prap/2020/PN.Bdg. For this reason, this thesis research will discuss the regulations and application of law that should apply in relation to pretrial requests regarding the validity of determination of a suspect submitted by a corporation. This research was conducted using qualitative research methods in the form of normative-judicial research. This study concludes that for pretrial requests regarding the validity of determination of a suspect is legal can also be submitted by corporations based on the presence of 2 (two) pieces of evidence and the corporation has been examined through its top management. However, the judge's decision above has not applied to the law properly in accordance with the applicable provisions. Thus, it is necessary to find solutions to make improvements to legal development in the future. This is intended so that the state can provide guarantees and protection as well as clear arrangements for anyone against arbitrary and unfair acts committed by law enforcers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kimberly Chrestella
"
ABSTRACTSebagian besar peraturan perundang-undangan di Indonesia, subjek yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam tindak pidana korporasi yang dilakukan oleh perseroan terbatas adalah korporasi itu sendiri dan/atau pengurusnya. Praktiknya, masih terdapat kasus dimana para pemegang saham merupakan pemberi perintah atau dalang dibalik tindakan direksi selaku pengurus suatu perseroan terbatas. Tulisan ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur mengenai perluasan subjek yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam tindak pidana korporasi dan menganalisis implementasinya dalam kasus. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis normative yang dilakukan lewat studi kepustakaan. Pengaturan mengenai perluasan subjek yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam tindak pidana korporasi yang dilakukan perseroan terbatas sudah diatur dalam Pasal 50 RKUHP, Pasal 116 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 43 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara dalam Perpajakan dan juga Pasal 23(3) PERMA Tidak Pidana Korporasi. Dalam kasus yang dianalisis dalam tulisan ini, impelemntasi dari peraturan yang sudah memberikan instrument perluasan subjek yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya tidak diterapkan. Majelis hakim hendaknya dalam kasus-kasus berikutnya memperhatikan dan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku dengan tegas.
ABSTRACTIn Indonesia most regulations regulate subjects that can be held accountable for corporate crimes committed by a limited liability company are the corporation itself and/or its director. In practice, there are cases where the shareholders are the ones who gives orders and actually mastermind the directors' actions. This thesis is intended to find out how various regulations in Indonesia regulate the expansion of subjects that can be held accountable in corporate crimes and analyze the implementation in real life cases. The research method used in this paper is a normative juridical research method carried out through library studies. Regulations regarding the expansion of subjects that can be held accountable for corporate crimes committed by limited liability companies can be found in Article 50 RKUHP, Article 116 Environmental Protection and Management Law, Article 43 of the General Provisions and Procedures for Taxation and Article 23 (3) of Supreme Court Rules of Corporate Crime. In the cases analyzed in this thesis, the implementation of regulations that have provided an instrument for expanding the subjects that can be held accountable for corporate crimes is not applied. The panel of judges should, in the following cases, pay attention and apply the applicable legal provisions firmly.
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Slapper, Gary
Essex : Longman , 1999
364.104 SLA c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
"Setelah secara resmi melakukan eksplorasi pertambangan di Mimika pada awal tahun 1970, PT. Freeport Indonesia secara perlahan melakukan pengambilan secara paksa atas tanah adat dari masyarakat lokal untuk kepentingan usaha mereka. Masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai suku asli yang merasakan dampak langsung dari aktifitas pertambangan Freeport harus mengalami berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berkepanjangan. Setelah sebagian besar tanah adat mereka diambil secara paksa, kedua suku tersebut masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan, penyiksaan bahkan pembunuhan sebagai akibat dari perlawanan mereka dalam usahanya mengambil kembali hak-hak yang telah dirampas oleh perusahaan atas dukungan dari pemerintah. Menghadapi situasi ini, kedua masyarakat adat memutuskan untuk menghadapi Freeport dengan berbagai cara. Reaksi pertama yang dilakukan oleh suku Amungme dan Kamoro dilakukan dengan melakukan perlawanan fisik mulai dari demonstrasi, pemotongan pipa konsentrat, penutupan akses masuk kedalam area pertambangan sampai pembakaran terhadap Bandara Mimika. Atas pertimbangan efektifitas dan jatuhnya banyak korban sebagai akibat dari perlawanan fisik yang telah dilakukan, masyarakat adat melalui lembaga adat dan dibantu oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah hukum dengan menuntut Freeport melalui pengadilan Amerika Serikat. Langkah yang diambil oleh masyarakat ini pada dasarnya telah sesuai dengan perkembangan dunia kontemporer yang telah sejak lama meninggalkan penggunaan tindakan fisik untuk menyelasaikan sebuah permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Joel Handler dalam Theory of Law Reform and Social Change dimana upaya hukum merupakan jalan yang paling efektif untuk dapat melakukan sebuah perubahan sosial.
Since officially having exploration in Mimika early 1970, Freeport Indonesia Corporation gradually taking over forcibly the Indigenous land of local community for their interest purposes. The Indigenous people of Amungme and Kamoro as local community who feel the direct effect from Freeport's minning operation having experience human rights violation for a long time. After most of their land be taking over, both of them still be through violence act, torture even murder as result of their resistance againts Freeport. Facing off this situation, both of Indigenous people decided to oppose that corporation with some action. Firstly, Amungme and Kamoro againts Freeport conducted with some physical resistence like demonstration, blocking the entry acces to minning, cutting the concentrate pipe until burning of the airport. Considering of effectivity and many victim which fell in their side cause this physical resistence, the Indegenous people supported by some civil society that concern of this case decided to take legal action to prosecute Freeport through the United Stated Courts. This step which chosen by Indigenous peoples are essentially due with world situation nowadays that have for a long time left physical action to resolve a problem. This case is in line with Joel Handler's idea in the Theory of Law Reform and Social Change, which he said that legal action is most effective way to realized a social change."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62437
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library