Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191690 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tubagus Haritsa Yudana
"Robotic Surgery adalah bentuk dari pengembangan teknologi kesehatan yang menggunakan sistem robot dan dikendalikan oleh manusia untuk membantu prosedur pembedahan, salah satu sistem robot bedah yang banyak digunakan di dunia terutama di Amerika adalah robot bedah daVinci, dimana salah satu rumah sakit swasta di Jakarta sudah melakukan pelayanan kesehatan dengan menggunakan robot bedah model tersebut sejak tahun 2012. Tetapi Indonesia belum memiliki standar kurikulum pelatihan dan sertifikasi pelatihan pengoprasian robotic surgery untuk dokter bedah serta tidak adanya pengaturan mengenai teknologi robotic surgery sebagai teknologi baru dalam peraturan hukum kesehatan Indonesia.
Penelitian dilakukan dengan melakukan perbandingan dengan pengaturan robotic surgery di Amerika yang sudah mengimplementasikan sistem robot bedah sejak tahun 2000. Tidak seperti di Indonesia, sekarang Amerika sudah memiliki standar kurikulum pelatihan dan sertifikasi pelatihan pengoprasian robotic surgery namun pengaturan mengenai robotic surgery di Amerika masih dinilai kurang yang menyebabkan kecilnya tanggungjawab manufaktur robot bedah tersebut. Disarankan kepada Pemerintah Indonesia, Kementrian Kesehatan dan Kolegium Kedokteran Indonesia untuk dapat belajar dari pengalaman dan hukum di Amerika dalam pembuatan pengaturan robotic surgery di Indonesia.

Robotic Surgery is a form of health techonology development that uses robotic system and is controlled by humans to help with surgical procedures, one of the most widely used robotic surgical system in the world especially in United State of America is the daVinci surgical system, where one of the private owned hospital in Jakarta been using it since 2012. But Indonesia doesn't have a standard training curriculum and robotic surgery training certification for surgeon and there's no regulation about robotic surgery as a new health technology in Indonesian health law regulation.
The study was conducted by comparing with robotic surgery regulation in United State of America that already implemented it since 2000. Unlike in Indonesia, the American now already has a standard training curriculum and certification, but the regulation of robotic surgery is still lacking that narrows down the manufacturer's liability. Some advices to the Goverment of Indonesia, Indonesian Ministry of Health, and Medical College of Indonesia to able to learn from the Americas experience and regulation in the making of robotic surgery regulation in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alleghia Lailaa Savanah
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana konsep doktrin unjust enrichment dalam sistem hukum Amerika Serikat dan peraturannya di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dan pendekatan komparatif. Doktrin unjust enrichment merupakan prinsip umum di mana seseorang tidak boleh diperkaya secara tidak adil dari kekayaan orang lain, sehingga harus mengembalikannya kepada orang yang berhak atas kekayaan tersebut. American Law Institute telah menerbitkan Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichmentyang berisikan prinsip umum, tanggung jawab ganti rugi, pemulihan hak, dan pembelaan terhadap unjust enrichment. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sudah mengatur mengenai unjust enrichment, tetapi hanya sebatas pengayaan yang tidak adil berdasarkan pembayaran saja. Dalam praktiknya, konsep doktrin unjust enrichment telah ditemui pada beberapa putusan di Indonesia, tetapi dikategorikan sebagai tindak hukum lain. Maka dari itu, Indonesia perlu mengadakan pembaharuan terhadap hukum keperdataannya, terutama pengadaan peraturan terkait doktrin unjust enrichment agar tercipta kelengkapan dan kepastian hukum.

This paper analyzes the concept of the unjust enrichment doctrine in the United States legal system and its regulation in Indonesia. This paper is prepared by using a doctrinal research method and a comparative approach. The unjust enrichment doctrine is a general principle in which a person should not be unjustly enriched from the wealth of others, so that he must return it to the person who is entitled to the wealth. The American Law Institute has published the Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment which contains general principles, liability in restitution, remedies, and defenses to unjust enrichment. The Indonesian Civil Code already regulates unjust enrichment, but only to the extent of unjust enrichment based on payment. In practice, the concept of unjust enrichment doctrine has been found in several decisions in Indonesia, but it is categorized as another legal act. Therefore, Indonesia needs to reform its civil law, especially the provision of regulations related to unjust enrichment doctrine to create completeness and legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawardhana Putra
"Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak mengenal secara eksplisit mengenai Kuasi Kontrak. Namun, Kuasi Kontrak dapat dipersamakan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Negotiorum Gestio (Perwakilan Sukarela) dan Solutio Indebiti (Pembayaran yang tidak wajib) pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum Common law yakni mengenai ketentuan mengenai Negotiorum Gestio dan Solutio Indebiti dengan Kuasi Kontrak sebagai Equitable Remedies di Inggris dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan kuasi kontrak dalam hal pengertian, syarat, dan bentuk pemulihannya. Adanya perbedaan dan persamaan yang ditermukan dalam penelitian ini adalah akibat dari adanya perbedaan tradisi hukum yang dianut oleh ketiga negara.

Indonesian Civil Code did not openly recognize the term of Quasi Contract. However, the concept of Quasi Contract are identical with the provisions regarding Negotiorum Gestio (Managements of another's affais) and Solutio Indebiti in the Indonesian Civil Code. This Paper compares the law of contracts in Indonesia with Common Law, regarding the provisions of Negotiorum Gestio and Solutio Indebiti (Payment of Something not Owed) with Quasi Contract as an Equitable Remedies in England and United States. This study is a normative juridical research. Results of this study shows that there are similarity and differences concerning Quasi Contract in sense of Definition, Terms, and Remedies. Similaritis and differences found, are the results of the difference law tradition that the three countries abide to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivanna Hotnida Asi Priskila
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan regulasi dalam tindakan pemasangan veneer estetik di Indonesia dengan Amerika Serikat. Permasalahan yang Penulis bahas dalam skripsi ini adalah mengenai perbandingan regulasi kompetensi dokter gigi serta keberlakuan hukum sertifikat pemasangan veneer estetik di Amerika Serikat dan Indonesia, dan pertanggungjawaban dokter gigi di Indonesia yang melakukan prosedur pemasangan veneer estetik dengan hanya memperoleh sertifikat kursus. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana Penulis meneliti regulasi serta literatur pemasangan veneer serta dengan tipe penelitian deskriptif analitis dimana penulis menyajikan analisis mengenai perbandingan regulasi terkait di Amerika Serikat dan Indonesia. Berdasarkan penelitian yang telah Penulis lakukan, Penulis berkesimpulan bahwa terdapat perbedaan kewenangan tindakan pemasangan veneer estetik dimana di Amerika Serikat telah diatur secara jelas dan rinci bahwa dokter gigi prostodonti dan dokter gigi terakreditasi oleh American Academy of Cosmetic Dentistry yang memiliki kewenangan sedangkan di Indonesia belum diatur secara jelas dan rinci. Selanjutnya di Amerika Serikat sertifikat kompetensi yang didapatkan dari pelatihan dan kursus diakui keberlakuannya sedangkan di Indonesia, meskipun banyak dokter gigi yang melakukan tindakan dokter gigi didasarkan pada sertifikat kompetensi yang di dapatkan dari kursus atau pelatihan, sertifikat tersebut belum diakui. Selanjutnya, dokter gigi umum yang tetap melakukan tindakan pemasangan veneer dapat dikenakan sanksi pelanggaran administratif dan tindakan malpraktek. Penulis menyarankan bahwa diperlukan pengaturan yang lebih rinci mengenai kompetensi dan kewenangan dokter gigi spesialis serta keberlakuan sertifikat pelatihan atau kursus di bidang kedokteran gigi dikarenakan dengan tidak diaturnya secara jelas dan rinci dapat menimbulkan kerugian bukan hanya terhadap pasien namun juga terhadap dokter gigi.

This thesis discusses the comparison of regulations in the application of aesthetic veneers in Indonesia and the United States. The problems that the author discusses in this thesis are regarding the comparison of dentist’s competency regulations and the legal validity of aesthetic veneer installation certificates in the United States and Indonesia, and the responsibility of dentists in Indonesia who performs aesthetic veneer procedures by only obtaining a course certificate. This study uses a normative juridical research method where the author examines the regulations and literature of the veneer application and also use the analytical descriptive research type where the author presents an analysis of the comparison of related regulations in the United States and Indonesia. Based on the research that the author has done, the author concludes that there are differences in the authority for aesthetic veneer application actions where in the United States it has been clearly regulated that prosthodontics and dentists that are accredited by the American Academy of Cosmetic Dentistry have the authority, while in Indonesia it has not been regulated in a clear and detailed regulation. Furthermore, in the United States the competency certificate obtained from training and courses is recognized for its validity while in Indonesia, although many dentists who perform dentistry actions are based on competency certificates obtained from courses or training, the certificate has not been recognized. Furthermore, general dentists who continue to apply veneers may be subject to administrative violations and malpractice sanctions. The author suggests that a more detailed arrangement is needed regarding the competence and authority of specialist dentists as well as the validity of training certificates or courses in the field of dentistry because not being regulated clearly and in detail can cause harm not only"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Indra Sukma Adnyana
"Skripsi ini membahas terkait perbandingan Praktik Monopoli dalam kegiatan usaha Waralaba di negara Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, serta peraturan perundang-undangan terkait Waralaba dan Praktik Monopoli di Amerika Serikat dan Belanda. Pembahasan permasalahan dalam skripsi ini berfokus terhadap peninjauan perbandingan pengaturan Waralaba, penyebab terjadinya Praktik Monopoli, dan penanganan Praktik Monopoli yang terjadi di dalam kegiatan usaha Waralaba dengan peninjauan melalui metode yuridis normatif dan penulisan deskriptif. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Praktik Monopoli dapat terjadi dalam kegiatan usaha Waralaba, baik di Indonesia, Amerika Serikat, maupun Belanda berdasarkan kepada perjanjian-perjanjian dalam kegiatan usahanya yang memiliki potensi untuk disalahgunakan sehingga memberikan kerugian dan menciptakan persaingan usaha tidak sehat kepada kompetitornya melalui penyalahgunaan posisi dominan yang dimiliki perusahaan atau pelaku usaha. Oleh sebab tersebut, perlu adanya klausul-klausul yang dapat memitigasi dari adanya unsur-unsur Praktik Monopoli dalam Perjanjian Waralaba yang dibuat para pihak dengan memperhatikan syarat-syarat yang diatur maupun dari adanya pengungkapan terhadap informasi-informasi seputar dugaan Praktik Monopoli yang pernah dialami oleh Penerima Waralaba.

This thesis discusses the comparison of Monopolistic Practices in Franchising business activities in Indonesia, the United States, and the Netherlands by analyzing applicable laws and regulations, including Law Number 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising, Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 concerning Franchising, as well as laws and regulations related to Franchising and Monopolistic Practices in the United States and the Netherlands. The discussion of the problems in this thesis focuses on the comparative review of Franchising arrangements, the causes of Monopolistic Practices, and the handling of Monopolistic Practices that occur in Franchising business activities by reviewing through normative juridical methods and descriptive writing. The results of this study show that Monopolistic Practices can occur in Franchising business activities, both in Indonesia, the United States, and the Netherlands based on agreements in business activities that have the potential to be misused to provide losses and create unfair business competition to competitors through the abuse of dominant positions owned by companies or business actors. Therefore, it is necessary to have clauses that can mitigate the existence of elements of Monopolistic Practices in the Franchise Agreement made by the parties by paying attention to the regulated conditions as well as from the disclosure of information about alleged Monopolistic Practices that have been experienced by Franchisees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fuji Amaranggana
"Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, dalam beberapa dekade terakhir mulai bermunculan tanda baru yang digunakan sebagai merek yang disebut sebagai merek non-tradisional. Dalam pendaftaran merek non-tradisional terdapat ketentuan mengenai representasi grafis. Skripsi ini akan membahas mengenai ketentuan representasi grafis dalam pendaftaran merek di Indonesia dan Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan jenis data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka. Penelitian hukum pada skripsi ini dilakukan dengan perbandingan hukum. Pembahasan dalam skripsi ini mencakup pembahasan mengenai ketentuan representasi grafis dalam pendaftaran merek non-tradisional berdasarkan UU No. 20 Tahun 2016, berdasarkan Lanham Act, dan perbandingan ketentuan representasi grafis dari kedua undang-undang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2016 dan Lanham Act. Selain itu, juga diperlukan adanya perubahan ketentuan representasi grafis dari merek non-tradisional dalam UU No. 20 Tahun 2016.

Along with the development of technology and information, in the last few decades a new sign has been used as a trademarks and known as non-traditional trademarks. In the registration of non-traditional trademarks there are provisions regarding graphical representation of the trademarks. This thesis will discuss the provisions of graphical representation in the registration of non-traditional trademarks in Indonesia and the United States. The research method used is juridical normative with secondary data types obtained from library materials. Legal research in this thesis is carried out with comparative laws. The discussion in this thesis includes discussion regarding the provisions of graphical representation in the registration of non-traditional trademarks based on the Law No. 20 of 2016, based on the Lanham Act, and a comparison of the graphical representation provisions of the two laws. The results showed that there are several similarities and differences in the provisions in the Law No. 20 of 2016 and the Lanham Act. In addition, it is also necessary to change the provisions for graphical representation of non-traditional trademarks in the Law no. 20 of 2016."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ana Wijayanti
"Penanganan perkara kartel merupakan bagian dari penegakan hukum persaingan usaha. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang dilakukan oleh KPPU memiliki banyak permasalahan terutama berkenaan dengan pembuktian kartel yang masih sulit dan kewenangan KPPU sebagai penegak hukum persaingan usaha. Sedangkan negara lain seperti Amerika Serikat telah melakukan penanganan perkara kartel dengan lebih baik. Untuk itu, penelitian ini akan membahas perbandingan penanganan perkara kartel di Indonesia dengan Amerika Serikat. Melalui perbandingan tersebut, penulis mengungkapkan berbagai hal dalam penanganan perkara kartel di Amerika Serikat yang dapat diaplikasikan di Indonesia antara lain penggunaan circumstantial evidence, penerapan program leniency, dan kewenangan upaya paksa oleh lembaga penegak hukum persaingan usaha.

The handling of cartel case is part of the enforcement of competition law. In Indonesia, the handling of cartel cases which is conducted by the KPPU has several problems, especially in connection with the difficulty of proving of cartel and the authority of the KPPU as a competition law enforcement agency. Whereas, other countries such as the United States has had the handling of cartel cases better. Therefore, this research will discuss the comparison of the handling of cartel case in Indonesia and the United States. Through this comparison, the authors explain several things from the handling of cartel case in United States that can be applied in Indonesia, among others, the use of circumstantial evidence, the application of leniency programs, and the authority of competition law enforcement agencies to do forceful measures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57129
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalinda Estevani Kardinal
"Perbandingan pandangan hukum praktik window dressing dalam pasar modal Indonesia, Amerika Serikat, dan Singapura merupakan salah satu cara untuk memahami lebih dalam terkait dengan eksistensi praktik ini, tindakan-tindakan yang dapat dilakukan apabila investor mengalami kerugian, serta mekanisme penegakan hukum terhadap praktik tersebut. Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah Bagaimana perbandingan hukum praktik window dressing dalam pasar modal Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat dan Bagaimana perlindungan hukum bagi investor yang mengalami praktik window dressing dalam Pasar Modal Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan didukung oleh pembahasan secara deskriptif dalam melakukan perbandingan antara Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat. Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan penelitian ini adalah praktik window dressing dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan dalam Pasar Modal baik di Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat. Dalam hal ini, Singapura dan Amerika Serikat telah melakukan penegakkan hukum secara tegas terhadap praktik-praktik window dressing yang terjadi dalam penyelenggaraan pasar modalnya sebagaimana tercermin dalam Putusan MAS v. Tan Chong, dkk dan Putusan SEC v. Jeff Skilling. Kemudian, terkait dengan perlindungan investor dapat dilakukan melalui regulasi, prinsip keterbukaan, serta lembaga atau organisasi tertentu yang menjalankan fungsi perlindungan terhadap investor. Saran yang dapat diberikan adalah melakukan optimalisasi terhadap pelaksanaan penegakkan hukum terhadap praktik window dressing dalam penyelenggaran pasar modal Indonesia melalui regulasi, peningkatan kapabilitas aparat penegak hukum pasar modal, penguatan terhadap perlindungan investor, dan penyempurnaan sistem dalam pengawasan dan/atau monitoring penyelenggaraan pasar modal di Indonesia.

A comparison of the legal views of the practice of window dressing in the Indonesian, United States, and Singapore capital markets is one way to understand more deeply the existence of this practice, the actions that can be taken if an investor suffers a loss, as well as the law enforcement mechanism against this practice. The formulation of the problem in this thesis is how to compare the legal practice of window dressing in the capital markets of Indonesia, Singapore, and the United States of America and how the legal protection for investors who experience the practice of window dressing in the capital markets of Indonesia, Singapore, and the United States. The research method used is normative juridical, supported by descriptive discussion in making comparisons between Indonesia, Singapore, and the United States. The conclusion obtained based on this research is that the practice of window dressing can be qualified as a crime in the Capital Market in Indonesia, Singapore, and the United States. In this regard, Singapore and the United States have strictly enforced the law against window dressing practices that occurred in the administration of their capital markets as implemented in the MAS Decision v. Tan Chong, et al and SEC Judgment v. Jeff Skilling. Then, related investor protection can be carried out through regulations, enforcement principles, as well as certain institutions or organizations that carry out the function of protecting investors. Suggestions that can be given are optimizing the implementation of law enforcement against window dressing practices in the implementation of the Indonesian capital market through regulations, increasing the capabilities of capital market law enforcement officers, strengthening investor protection, and improving the system for supervising and/or monitoring the implementation of the capital market in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Khairunnisa
"Tidak ada satupun ketentuan dalam hukum kepailitan Indonesia yang menyatakan Akta Perdamaian yang merupakan hasil homologasi perjanjian perdamaian dapat diamandemen yang dilakukan diluar pengadilan. Namun ditemukan beberapa kasus dimana hal ini terjadi. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana tindakan amandemen akta perdamaian di Indonesia ditinjau dari value- based theory oleh Donald Korobkin serta bagaimana perbandingannya dengan penerapan dan ketentuan antara hukum kepailitan dan PKPU di Indonesia dan Amerika Serikat. Permasalahan ini dijawab dengan metode doktrinal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa amandemen akta perdamaian homologasi diluar pengadilan di Indonesia tidak sesuai dengan nilai value-based theory. Selanjutnya terhadap hasil perbandingan, hukum kepailitan Amerika membenarkan dan mengatur adanya amandemen akta perdamaian dan pembatalan perjanjian perdamaian bersifat opsional, sebaliknya Indonesia tidak mengatur dan melarang adanya amandemen akta perdamaian karena akan menghilangkan sanksi pembatalan akta perdamaian berupa dijatuhkannya status pailit bagi debitor. Saran Penulis terhadap isu ini adalah untuk memberikan pengaturan yang jelas dalam hukum kepailitan Indonesia tentang amandemen akta perdamaian, baik melalui perubahan UU yang sudah ada atau melalui pembentukan peraturan pelaksana.

There is no single provision in the Indonesian bankruptcy law which states that the accord can be amended outside the court proceeding. However, there are several cases where this is happened. The issues discussed in this research are how the amendment of the accord in Indonesia viewed based on value-based theory by Donald Korobkin and also the comparison of the provisions regarding the issue in Indonesian and America bankruptcy law. These problems are answered with doctrinal method research. The results of this study indicate that the amendment of the homologated accord outside the court in Indonesia is not in accordance with the value-based theory. Furthermore, in comparison to the results of the comparison, American bankruptcy law justifies and regulates the amendment of the peace deed and the cancellation of the peace agreement is optional, whereas Indonesia does not regulate and prohibits the amendment of the accord because it will eliminate the sanction of cancelling the accord in the form of imposing bankruptcy status for the debtor. The author's suggestion on this issue is to provide a clear regulation in Indonesian bankruptcy law regarding the amendment of the accord, either through amendments to existing laws or through the establishment of implementing regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Komang Sekar Rayi Prabhasari
"Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data. Pokok permasalahan adalah bagaimana negara Amerika Serikat memberikan pengaturan mengenai monopoli dan monopolisasi, bagaimana berbagai instrumen hukum dari negara Amerika Serikat dapat diterapkan guna menganalisis dugaan penyalahgunaan posisi monopoli yang dilakukan Google dalam gugatan yang berjudul “United States of America v. Google LLC (Google)”, serta bagaimana instrumen usaha Indonesia menindaklanjuti tindakan yang dilakukan oleh Google seandainya kasus serupa terjadi dalam ranah persaingan usaha Indonesia. Hasil penelitian mendatangkan kesimpulan bahwa monopoli dalam hukum Amerika Serikat bukanlah suatu hal yang dilarang. Pelanggaran hukum persaingan usaha Amerika Serikat terjadi ketika pelaku usaha melakukan praktek monopoli, suatu bentuk penyalahgunaan posisi monopoli yang dimiliki pelaku usaha dengan terpenuhinya dua syarat yang terkandung dalam yurisprudensi. Kesimpulan lainnya yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah dalam hal penggunaan hukum Amerika Serikat dan Indonesia dalam menganalisis tindakan Google, ditemukan bahwa Google telah terbukti melakukan monopolisasi (praktek monopoli). Titik perbedaan dari penggunaan hukum kedua negara ini adalah bahwa instrumen hukum Amerika Serikat menilai Google melakukan monopolisasi hanya dalam pasar mesin pencarian, sedangkan instrumen hukum Indonesia menilai Google melakukan praktek monopoli dalam pasar mesin pencarian dan iklan pencarian. Adapun dalam penganalisisan dugaan monopolisasi, instrumen hukum Amerika Serikat perlu untuk segera menyepakati mengenai definisi dan kriteria exclusionary conduct. Sedangkan untuk negara Indonesia, dianggap perlu untuk KPPU memberikan edukasi mengenai monopoli dan praktek monopoli, untuk menambah wawasan masyarakat Indonesia serta mengurangi anggapan bahwa monopoli adalah suatu hal yang secara inheren dilarang oleh hukum Indonesia.

Research metodology used in this thesis is literary research with secondary data as the main source of data. The core problems of this thesis revolve around how United States of America regulates monopoly and monopolization, also the implementation of both United States’ and Indonesia’s anti-trust law in analyzing Google’s suspected monopolization as stated in “United States of America v. Google LLC (Google)” legal complaint. Research concludes that United States’ law condemns not monopoly but monopolization, a conduct in which a firm abuse its monopoly position and have met the two requirements as stated in jurisprudence. Research also concludes that both the implementation of United States’ and Indonesia’s anti-trust law in analyzing Google’s conduct have deemed Google for violating the law. The main difference between the implementation of the law from both countries lies upon the proven monopolization in relevant market. According to United States’ anti-trust law, Google conducted monopolization in only the market of search engine whilst according to Indonesia’s anti-trust law, Google has conducted monopolization in the market of both search engine and search advertising. In analyzing the allegation of monopolization, both countries have not yet fully created legal certainty. It is recommended for United States’ anti-trust law to define exclusionary conduct, and for Indonesia’s authority (KPPU) to educate the citizens of Indonesia about monopoly and monopolization, in order to expand the knowledge of Indonesians and removing the perception that monopoly is inherently prohibited by Indonesia law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>