Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159167 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ketaren, Alexander Edward
"Dewasa ini, tindak pidana dapat dilakukan oleh Yayasan. Yayasan yang pada dasarnya bertujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana. Namun demikian, dalam penelusuran yang Penulis lakukan, tidak terdapat Yayasan yang dibebankan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Dua kasus tindak pidana yang melibatkan Yayasan dalam melakukan tindak pidana adalah kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Yayasan Cakradonya. Skripsi ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana Yayasan serta penerapannya dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Ketua Yayasan Cakradonya. Berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dan Yayasan. Skripsi ini akan menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu Yayasan. Dari hasil analisis tersebut, diketahui bahwa Yayasan termasuk dalam definisi korporasi dalam beberapa undang-undang pidana khusus Indonesia, seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yayasan dapat dibebankan pertanggungjawaban dalam hal tindak pidana dilakukan oleh orang yang berwenang mewakili dan mengatasnamakan Yayasan, untuk menguntungkan Yayasan, oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain, dan dalam lingkungan Yayasan baik secara sendiri maupun bersama-sama. Dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian, tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Berkarya Dalam Pujian, sedangkan dalam kasus Ketua Yayasan Cakradonya, tindak pidana korupsi yang dilakukan tidak dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Cakradonya karena tidak dilakukan untuk menguntungkan Yayasan Cakradonya.

Today, criminal offenses can be committed by the Foundation. Foundations that are basically aimed at social, religious, and humanitarian fields, are used as instruments for committing criminal acts. However, in the searches that the Author did, there was no foundation charged with liability for the offenses he committed. Two criminal cases involving the Foundation in committing a crime are the case of the Chairman of Berkarya Dalam Puji Foundation and Cakradonya Foundation. This thesis tries to answer questions about the concept of criminal responsibility of the Foundation and its application in the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation and the Chairman of Cakradonya Foundation. Based on theories of corporate criminal liability and foundation, this thesis will analyze the criminal liability in the case of criminal acts committed by a Foundation. From the results of the analysis, it is known that the Foundation is included in the definition of corporations in several special criminal laws of Indonesia, such as the Law on the Eradication of Criminal Trafficking in Persons and the Corruption Eradication Act. The foundation may be liable in the event of a criminal act committed by a person authorized to represent and on behalf of the Foundation, to benefit the Foundation, by a person who has a working relationship or other relationship, and within the Foundation environment either individually or collectively. In the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation, the trafficking of persons trafficked can be attributed as the act of Berkarya Dalam Pujian Foundation, while in the case of the Chairman of Cakradonya Foundation, the criminal act of corruption committed cannot be attributed to Cakradonya Foundation because it is not commited to benefit the Cakradonya Foundation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daru Iqbal Mursid
"Korporasi didefinisikan sebagi kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisi baik merupakan badan hukum maupn bukan badan hukum. Salah satu bentuk korporasi yang berbentuk badan hukum adalah partai politik. Dalam negara demokrasi, partai politik memiliki peran yag sangat penting untuk menunjang kahidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam perkembangannya di Indonesia, terdapat beberapa partai politik yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Meskipun secara normatif sistem hukum pidana Indonesia telah mengakui partai politik sebagai subjek hukum tindak pidana, namun sampai saat ini belum ada satupun partai politik yang dikenakan pertanggungjawaban pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang konsep pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, konsep pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada parta politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dan faktor-faktor yang menghambat dikenakannya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penilitian yuridis-normatif, dengan menggunakan pendekatan masalah peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, dan konseptual.

A corporation is defined as a collection of person and / or assets organized either as a legal entity and not a legal entity. One of corporation that defined as legal entity is a political party. In a democratic country, political parties have a very important role to support the life of the nation and the state. However, in Indonesia, there are several political parties allegedly involved in corruption and money laundering. Although Indonesian criminal justice system has acknowledged political parties as the subject of criminal law, yet to date no single political party has been subject to criminal responsibility, particularly in corruption and money laundering. In this research will be discussed about the concept of criminal liability for political parties that involved in corruption and money laundering crimes, the concept of punishment that can be imposed on political parties that involved in corruption and money laundering, and the inhibits factors for imposition of criminal liability of political parties that involved in corruption and money laundering. The research method used in this research is the method of juridical-normative method, and using statue approach, comparative approach, and conceptual approach.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deasy Selpamorita
"Tindak pidana korupsi di Indonesia yang semakin marak terjadi, dengan berkembangnya modus tindak pidana korupsi kini tidak hanya menyangkut subjek hukum orang-perseorangan saja tetapi juga menyangkut korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Adapun pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dimintai kepada pengurus korporasi, korporasi, atau pengurus dan korporasi. BUMN merupakan salah satu bentuk dari korporasi, sehingga apabila korporasi terlibat dalam tindak pidana korupsi sudah seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Namun yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah ketika berbicara mengenai keuangan atau kekayaan BUMN yang dianggap sebagai keuangan negara, seperti yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2013 dikaitkan dengan adanya kerugian negara yang terjadi dalam tindak pidana korupsi. Permasalahan tersebut terletak pada bagaimana pemenuhan unsur kerugian keuangan negara dan pertanggungjawaban pidana dan mekanisme penerapan pidana denda dan pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti oleh BUMN itu sendiri. Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah Normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan adanya penyatuan keuangan BUMN sebagai keuangan negara maka BUMN selaku korporasi tidak dapat memenuhi unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana korupsi, ketika perbuatan korupsi tersebut menguntungkan BUMN. Selain itu dengan menyatukan keuangan BUMN sebagai keuangan negara maka untuk mendapatkan pertanggungjawaban pidana terhadap BUMN akan menjadi sulit terkait tindak pidana korupsi, mengingat pidana pokok yang dapat dibebankan terhadap korporasi hanya pidana denda.

Corruption in Indonesia are increasingly prevalent, with the development of the mode of corruption now not only concerning individual as legal subjects but also concerning corporations as legal subjects who can be asked for criminal liability. The corporate criminal liability can be asked to administrators of corporations, corporations, or administrators and corporations. SOEs is a form of corporation, so if a corporation was involved in a crime of corruption it should be able to be asked for criminal liability. However, the problem in this case is when talking about budgets or SOEs assets that are considered as state budgets, as stated in the Constitutional Court Decision Number 48/PUU-IX/2013 associated with state losses that occur in criminal acts of corruption. The problem repose in how to fulfill the element of state budgets losses and criminal liability and the mechanism of the application of criminal penalties and additional crimes in the form of payment of substitute money by the SOE itself. In this study, the type of research used is normative using a legal and conceptual approach. The results of the study concluded that with the union of state-owned budgets as state budget, SOEs as corporations cannot fulfill the detrimental state finances element in criminal acts of corruption in Article 2 and Article 3 of the Corruption Act, when such corruption benefits SOEs. In addition, by integrating state-owned budget as state budgets, obtaining criminal liability against SOEs will be difficult in relation to corruption, given that the principal crimes that can be imposed on corporations are only forfeit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Sunanda
"Pelaku tindak pidana yang disebut sebagai Pemilik manfaat/penerima manfaat menggunakan korporasi sebagai sarana/kendaraan (corporate vehicle) untuk menyembunyikan/menyamarkan hasil tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terkait pelaku tindak pidana tersebut belum ada pengaturan khususnya dalam tindak pidana korupsi terkait korporasi sebagai penerima/pemilik manfaat sehingga terjadi kekosongan hukum. Sehingga untuk mengambil hasil tindak pidana yang telah dialihkan atau dinikmati atau dimiliki oleh penerima manfaat tersebut hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata atau memprosesnya dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, apabila digunakan instrumen-instrumen tersebut maka akan melalui proses yang panjang dan dikhawatirkan hasil tindak pidana akan dialihkan atau dinikmati oleh pelaku tindak pidana sebelum kedua proses tersebut selesai. Berdasarkan hal tersebut disertasi ini melakukan telahaan mengenai konsep pemilik manfaat dalam rezim hukum di Indonesia, alasan pemilik manfaat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan praktek pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat dalam tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia. Metode penelitian ini kualitatif mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, perbandingan, konsep, doktrin, putusan kasus, dan dokumen-dokumen yang didukung dengan wawancara kepada akademisi dan praktisi. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Korporasi dapat menjadi pemilik manfaat selain orang perorangan karena Indonesia mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, dan kebutuhan dalam praktik hukum untuk merampas hasil tindak pidana menjadikan korporasi sebagai pemilik manfaat; berdasarkan kasus-kasus di Indonesia antara lain tindak pidana korupsi, pemilik manfaat/penerima manfaat atau penikmat manfaat dari hasil tindak pidana menggunakan modus operandi baru antara lain pelaku tindak pidana berada diluar struktur korporasi, tetapi dapat mempengaruhi kebijakan korporasi untuk menghindari pertanggungjawaban pidana oleh karena itu perlu dibuat aturan yang lebih jelas dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi; dalam praktik hukum belum ada korporasi yang disangkakan korupsi karena menerima manfaat dan dalam hal terjadi peralihan harta kekayaan kepada penerima manfaat sementara itu harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal Ultimate Beneficial Owner atau Beneficial Owner statusnya melarikan diri atau meninggal dunia untuk perampasan hasil tindak pidana tersebut dapat menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi KUHP, UU Tipikor dan Perma No.1 Tahun 2013 terkait dengan pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat (Beneficial Owner) dalam kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.

The perpetrator of a criminal act is referred to as the beneficial owner/beneficiary to hide/disguise the proceeds of criminal acts can be held criminally liable. Regarding the perpetrators of these criminal acts, there are no regulations, especially for criminal acts of corruption related to corporations as recipients/beneficial owners, resulting in a legal vacuum. So, retrieving the proceeds of criminal acts that have been transferred or enjoyed or owned by the beneficiary can only be done through a civil lawsuit or processed in accordance with Article 5 of Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. However, if these instruments are used, it will go through a long process and it is feared that the proceeds of the crime will be transferred or enjoyed by the perpetrator of the crime before both processes are completed. Based on this, this dissertation examines the concept of beneficial owners in the legal regime in Indonesia, the reasons why beneficial owners can be held criminally liability and the practice of criminal liability for beneficial owners in criminal acts of corruption based on court decisions in Indonesia. This qualitative research method systematically examines legal rules, comparisons, concepts, doctrine, case decisions, and documents supported by interviews with academics and practitioners. From the results of the research conducted it can be concluded that corporations can be beneficial owners other than individuals because Indonesia recognizes corporations as subjects of criminal law, and the need in legal practice to confiscate the proceeds of criminal acts makes corporations as the beneficial owners; based on cases in Indonesia, including criminal acts of corruption, the beneficial owners/beneficiaries or beneficiaries of the proceeds of criminal acts using new modus operandi, among others, the perpetrators of criminal acts are outside the corporate structure but can influence corporate policy to avoid criminal liability, therefore it is necessary clearer regulations are made in the Corruption Crime Law; In legal practice, no corporation has been suspected of corruption because it received benefits and in the event of a transfer of assets to the beneficiary, the assets were the proceeds of a criminal act. In the case that the Ultimate Beneficial Owner or Beneficial Owner has the status of running away or dies, to confiscate the proceeds of the crime, you can use Supreme Court Regulation (Perma) Number 1 of 2013 concerning Procedures for Settlement of Applications for Handling Assets in the Crime of Money Laundering or Other Crimes. This research recommends that reformulation of the Criminal Code, the Corruption Law and Perma No.1 of 2013 be carried out regarding the criminal liability of beneficial owners in cases of criminal acts of corruption in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alfanisa
"Korporasi tidak dikenal sebagai subyek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP, termasuk Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkembangan ilmu hukum pidana pun semakin maju dengan kemunculan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun dalam praktik, putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi masih minim dan berbeda-beda penerapan hukumnya. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2010 PT. Giri Jaladhi Wana korporasi yang dituntut sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Kemudian diikuti oleh kasus tindak pidana korupsi dengan Terdakwa direktur utama PT. Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan yang sebenarnya lebih mengarah kepada tindak pidana korporasi. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah ada kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Bagaimana pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korporasi dan apa saja kesulitan dalam pelaksanaannya akan dibahas pada skripsi ini.

Corporation is not known as a subject of criminal law in Indonesia Criminal Code. Corporation is recognized as a subject of criminal law in the acts outside of Indonesia Criminal Law, such as Law No. 31 Year 1999 on Eradication of Corruption (as amended by Law No. 20 Year 2001). The development of criminal law become more advanced with existence of corporate criminal liability doctrines. On the other side, in practice there is lack of jurisprudence that corporation become a subject of criminal law. For the first time, in 2010 Giri Jaladhi Wana Ltd was charged as perpetrator of corruption. This followed by corruption case where the director of Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, as a defendant although this case leads to corporate criminal offence. The question arises whether there are difficulties to implement corporate criminal liability in corruption. How the implementation of corporate criminal liability and the difficulties to implement it will be discussed in this thesis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55781
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Jefry Fernando
"Dalam penulisan tesis ini membahas mengenai penegakan hukum terhadap Tindak Perdagangan Orang. Penelitan ini adalah penelitian yuridis. Penelitian ini meneliti mengenai penanggulangan dari aparat penegak hukum mulai dari pihak Kepolisian, Jaksa dan Hakim dalam menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang. Yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat faktor - faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah terkait dengan aspek substansi hukum yang meliputi belum memadainya perundang - undangan spesifik yang menyangkut perdagangan orang, kepemilikan dan pemahaman terhadap peraturan perundang - undangan serta kebijakan mengenai perdagangan orang. Dalam aspek struktur hukum yang meliputi situasi dan kondisi organisasi penegak hukum, sumber daya manusia para penegak hukum, sarana dan prasarana, serta dana / anggaran. Selain itu, dalam aspek kultur hukum, yang meliputi kondisi kultur aparat penegak hukum dan kultur masyarakat sehingga belum sepenuhnya mampu mendukung kegiatan operasional aparat penegak hukum, yang menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum tidak sepenuhnya efektif.

This thesis discussed the prevention of the Acts of Trafficking in Persons. This research is juridical research. This study investigated the response of law enforcement officers from the police, prosecutor and judge to prevent of the Acts of Trafficking in Persons. The conclusion in this study, The factors that affect law enforcement on the eradication of human trafficking is associated with the substance of the legal aspects, including inadequate specific legislation concerning of human trafficking, ownership and understanding of legislation and policies on trade people. In the aspect of the legal structure that includes the circumstances of law enforcement organizations, human resources law enforcement, facilities and infrastructure, and funding / budget. In addition, the aspect of legal culture, which includes law enforcement culture conditions and culture of the community that has not been fully able to support the operational activities of law enforcement officers, which led to the implementation of law enforcement are not fully effective.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reihan Putri
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana narkotika. Korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun korporasi telah diakui sebagai subjek hukum pidana dalam beberapa unang-undang di luar KUHP. Salah satu undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana khususnya dalam tindak pidana Narkotika. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk disajikan secara deskriptif analitis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana dalam tindak pidana narkotika dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dengan menggunakan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi.

The focus of this thesis is about corporate criminal liability in narcotics crime. Corporation is not known as the subject of criminal law in the Code of Penal (Penal Code), however Corporation has been recognized as a subject of criminal law through legislation outside the Indonesian Penal Code. One of the law that recognizes corporation as the subject of criminal law is Act No. 35 of 2009. The aim of this research is to know how a corporation could be responsible in criminal law especially in narcotics crime. This research use literature research method in the form of normative juridical with qualitative approach in order to provide analytical descriptive data. The conclusion of this thesis is that a corporation could be liable for committing narcotics crime according to the doctrines of corporate criminal liability.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S60492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elstonsius Banjo
"Sudah banyak orang diputus besalah dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Namun, apakah pengadilan Tipikor telah mempertimbangan unsur kesalahan secara komprehensif pada pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini mengkaji tiga permasalahan hukum, yaitu (1) Bagaimana pengadilan Tindak Pidana Korupsi mempertimbangkan unsur kesalahan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK dalam putusan-putusannya; (2) Bagaimana perkembangan penafsiran unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK; dan (3) Bagaimana parameter untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggung-jawaban pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Metode yang digunakan adalah “Yuridis Normatif” untuk menggali norma hukum dan keputusan pengadilan berdasar ‘library based-study”, dan dilakukan melalui “analytical and critical approach”. Penilaian dan pengujian berdasarkan asas dan teori kesalahan, dan dilakukan melalui model penalaran moralitas “Natural Law”. Hasil penelitian menunjukan, bahwa pengadilan Tipikor cenderung memidana terdakwa tanpa pertimbangan secara komprehensif unsur kesalahan. Lebih kepada keadaan objektif daripada keadaan objektif dan subjektif, yaitu suatu perbuatan yang tidak mengikuti standar dan prosedur administrasi yang dipersyaratkan, dan belum menyentuh pada suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum (wederrecchtelijkheid) dan “dengan sengaja” untuk menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, sehingga negara dirugikan. Meskipun ada hakim menyebutkannya secara aksplisit atau pun implisit dalam pertimbangan hukumnya, akan tetapi belum digali hubungan antara unsur “sengaja” dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Dengan demikian, asas dan teori Kesalahan yang dikolaborasi dengan model penalaran moralitas “Natural Law” dapat menjadi model ideal (parameter) untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Sebab keadaan objektif dan subjektif menjadi syarat pertanggungjawaban pidana, dan pada model penalaran moralitas “Natural Law” tidak melepas pengujian validitas normatif Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK guna memperoleh kebenaran dan keadilan.

Many people have been convicted and sentenced for criminal acts of corruption in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. However, the Corruption Court has not been able to comprehensively consider the elements of guilt for the crimes committed. This study examines three legal issues, namely (1) How the Corruption Court considers the elements of guilt in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law in its decisions; (2) How is the development of the interpretation of the element of guilt in the formulation of the criminal act of corruption of Article 2 and Article 3 of the PTPK Law; and (3) What are the parameters for examining and evaluation of the element of guilt as a basis for criminal responsibility in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. The method used is Doctrinal legal research methodology, also called "black letter" methodology, which focuses on the letter of the law to compose a descriptive and detailed analysis of legal rules found in primary sources (cases and regulations). The purpose of this method is to gather, organize, and describe the law; provide commentary on the sources used; then, identify and describe the underlying theme or system and how each source of law is connected or explore legal norms and court decisions based on library-based studies. The analysis is based on the principles and theory of Criminal Responsibility through the analytical and critical approach to avoid liability without fault and to ensure that "committed intentionally" is the main element used in decision-making regarding corruptor sentencing. Examining and evaluating are based on the "Natural Law" morality reasoning model. This study shows that the judge's decision is more about proving objective facts than subjective facts - or "intentions" of the perpetrators. The corruption court tends to punish defendants without comprehensively considering the elements of guilt or more to an act that does not follow the required administrative procedures and standards and has not yet touched on the concept of an unlawful act and "intentionally" that contributes to losses of the state finances. Even though some judges mentioned it explicitly or implicitly in their legal considerations, however comprehensively consider the elements of guilty yet. Therefore, the principle and criminal responsibility, and collaboration with the models of moral "Natural Law" can become an ideal model of legal reasoning for examining and evaluating the element of guilt as a basis for criminal responsibility under Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. In this case, objective and subjective conditions are to examine the validity of Articles 2 and 3 of the PTPK Law to obtain truth and justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Subhan
"Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya.
Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana Korupsi sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan. Korupsi telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan serta merusak sistem perekonomian dan masyarakat dalam skala besar sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Masalah pokok dalam tesis ini adalah masalah kebijakan hukum pidana dalam formulasi aturan pemidanaan (Pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. Duta Graha Indah, Tbk. dalam perkara Wisma Atlit yang perkaranya banyak menarik perhatian di Indonesia, maka penelitian yang dilakukan sifatnya yuridis normatif yaitu penelitian berdasarkan sumber data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual serta metode penelitian kepustakaan dan penelitian empiris.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan yang sebenarnya tetap bisa disiasati sehingga penegakkan hukum tidak seperti bersifat tebang pilih. Namun kedepan diharapkan banyak pembaruan dan penambahan atau penyempurnaan aturan sehingga tidak menimbulkan kesimpangsiuran penafsiran, yang akan berpengaruh pada aplikasinya oleh para penegak hukum.

Corporate developments in Indonesia in a short time became very quick and fast because it is very expansive reach all areas of the business that has the ability to thrive and be profitable. Another thing is also characterized by the role of government through regulations that provide ease of doing business and other facilities.
Corporations as criminals and corruption as a criminal offense must be viewed within the framework of sustainable development. Corruption influenced state life and destructed economic and society system in a large scale, hence, no longer it may be grouped as an ordinary crime but should be granted as an extraordinary crime.
Main problem of this theses are the problem of criminal law policy incriminal regulation formula (criminal responsibility) of corporation in corruption criminal action, committed by PT. Duta Graha Indah Tbk. in the case of "Wisma Atlit" that this case attracted much attention in Indonesia, so this thesis is conducted by normative juridis which based on secondary data source that is including primary legal materials, secondary, and tertiary, with the approach of legislation (statute approach) and the conceptual approach, as well as the method of literature research and empirical research.
Research resulted that there are some weaknesses on the formulation ofcriminal regulation (criminal responsibility) of corporation in corruption that are actually still be circumvented so that law enforcement is not as discriminately. In the future we expected a lot of updates and additions or improvements rules so as to avoid the confusion of interpretation, which will affect the application by law enforcement."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>