Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johanes Bosco Maranata
"ABSTRACT
Indonesia merupakan sebuah negara hukum sebagaimana sudah tertuang dalam UUD 1945. Sebagai negara hukum, hak berpendapat di muka umum juga sudah dijamin dalam pasal 28 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana negara juga bertanggung jawab atas kecerdasan warga negaranya. Namun selama masa Orde Baru dan pasca Reformasi tindakan pembatasan akses informasi dan hak berekespresi di ruang publik masih dilakukan oleh negara. Baik pada masa Orde Baru maupun masa pasca Reformasi Indonesia masih belum berhasil mengaktualisasikan diri sebagai sebuah negara hukum. Kata kunci: Ruang Publik, Negara Hukum, Negara Orde Baru, Negara Pasca Reformasi

ABSTRACT
Indonesia is a legal state as already stipulated in the 1945 Constitution. As a legal state, the right to freedom of opinion and expression has also been guaranteed in article 28 of the 1945 Constitution of the State of the Republic of Indonesia, where the state is also responsible for the intelligence of its citizens. However, during the New Order and Post Reform period, the restrictions on access to information and the right to freedom of opinion and expression in the public sphere were still carried out by the state. Both during the New Order and Post Reform era Indonesia still has not succeeded in actualizing itself as a state law."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robie Kholilurrahman
"Skripsi ini berangkat dari melihat fenomena gejala dini deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia Pasca Orde Baru sebagai suatu masalah. Deindustrialisasi yang terjadi dianggap sebagai suatu pembalikan dari tren positif yang sebelumnya terjadi yaitu perubahan struktural di perekonomian Indonesia dalam bentuk industrialisasi di Era Orde Baru. Dalam rangka mencari penyebab dari fenomena tersebut di dalam ranah kajian ekonomi politik, skripsi ini menganalisis relasi negara dan (kelompok penguasa) modal dalam konteks Indonesia Pasca Orde Baru. Relasi kedua aktor ekonomi dan politik tersebut dianggap sebagai hal yang mengkondisikan arah perkembangan situasi perekonomian termasuk di dalamnya tren industrialisasi yang terjadi. Gamblangnya, skripsi ini berusaha menjawab rumusan permasalahan: ?Bagaimanakah Relasi Negara dan Mobile Investors dalam Industrialisasi di Indonesia Pasca Orde Baru (1998-2014)??. Berlandaskan teori Kekuatan Struktural Pengendali Modal yang diabstraksikan oleh Jeffrey A. Winters, skripsi ini berusaha melihat faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, dan stabilitas eksternal dalam konteks Indonesia Pasca Orde Baru yang memediasi kekuatan struktural pengendali modal dalam hal ini Mobile Investors, dan relasinya dengan negara Indonesia. Dari analisis tentang konteks ekonomi politik Indonesia Pasca Orde Baru dan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, dan stabilitas eksternal, diambil kesimpulan tentang semakin timpangnya relasi negara dan Mobile Investors, dalam artian menguatnya daya tawar Mobile Investors dan melemahnya daya tawar negara. Tren industrialisasi yang terjadi dengan demikian mencerminkan suatu pola yang terlepas dari perencanaan negara dan mengikuti secara penuh pertimbangan Mobile Investors dalam sistem pasar bebas yaitu sektor mana yang paling menguntungkan dalam jangka pendek lah yang menjadi fokus investasi tanpa pertimbangan tentang bagaimana dampaknya bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.

This research departs from seeing early symptoms of deindustrialization in Indonesia after the New Order as a problem. Deindustrialization that occurs is regarded as a reversal of the positive trend that has occurred previously, that is a structural change in the economy of Indonesia in the form of industrialization in the New Order era. In order to find the cause of this phenomenon in the realm of political economy studies, this research analyzes the relation of state and (the controllers) of capital in the context of the post-New Order Indonesia. Relation between these two economic and political actors is regarded as conditioning the development of the economic situation including the industrialization trend. Obviously, this research seeks to answer the question: "How is Relation Between State and Mobile Investors in Industrialization in Post-New Order Indonesia (1998-2014)?". Based on Structural Power of Capital Controllers theory abstracted by Jeffrey A. Winters, this research tries to look at economic, social, political, and external stability factors in the context of the post-New Order Indonesia that mediate structural strength of Capital Controllers, in this case The Mobile Investors, and their relationships with the Indonesian state. From an analysis of the political economic context of the post-New Order Indonesia and economic, social, political, and external stability factors, a conclusion is drawn about the relation of state and Mobile Investors, that is the strengthening trend of Mobile Investors?s bargaining power and the weakening of the state?s bargaining power. The industrialization trend thus reflects a pattern of whithering away from the planning of the state toward depending on free considerations of Mobile Investors in the free market system, in which the most profitable sector in the short term becomes the main focus of investment without consideration of how this can impact Indonesia's economy in the long term."
2016
S62464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maulida Adhiningsih
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pergeseran hubungan Kadin dengan negara di masa Orde Baru dan masa reformasi. Argumen dari penelitian ini adalah bahwa telah terjadi pergeseran dalam hubungan Kadin dengan negara di masa Orde Baru dan reformasi dari bentuk predation ke mutual hostage. Pergeseran hubungan yang terjadi dipicu oleh pergantian struktur politik sebagai antecendent condition terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan studi literatur. Adanya perubahan struktur politik yang lebih demokratis memberikan kesempatam bagi Kadin selaku asosiasi puncak di sektor bisnis untuk berkembang ke arah yang lebih otonom. Tingkat kemandirian Kadin juga didukung oleh semakin melemahnya dominasi negara, sehingga Kadin tidak lagi didominasi oleh kepentingan-kepentingan negara. Karakter negara yang tidak lagi mendominasi mempengaruhi Kadin untuk lebih berkembang menjadi asosiasi bisnis yang lebih otonom. Kemudian, dengan adanya perubahan struktur politik memunculkan beberapa perubahan dalam urusan internal Kadin, salah satunya ialah pemilihan jabatan Ketua Umum yang menjadi lebih demokratis. Berubahnya sistem tersebut memunculkan faksi-faksi dalam internal Kadin yang kemudian turut mempengaruhi hubungan Kadin dengan negara serta preferensi kepentingannya. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang turut mempengaruhi pergeseran hubungan kelompok bisnis dengan negara diantaranya ialah karakter negara, karakter kelompok bisnis (dalam hubungannya dengan negara) serta kondisi internal kelompok bisnis.

ABSTRACT
This thesis discussed about shifting in state business relations: Study case Indonesian Chamber of commerce and Industry in New Order Era and Reform Era. The argument of this study is, has been shifting in state business relation in New Order Era and Reform era from predation to Mutual Hostage relation. The triggered of shifting happen because political structure has changed, Politcal Stucture as anticendent codition from this process. This thesis used qualitative and literature study method. The findings of this study indicate that the factors that caused the shift is character of the state, bussines association character (From this relation to state) and internal of business association. In the reform era, there was a change in political structure to become more democratic than the new order era, in this era gave space for business association to be more autonomous. When domination of the state is decreased, make kadin freely from state interests. At the end, this factor encourage Kadin to develop into an autonomous business association. when political structure has changed, making the internal Kadin more democratic than before. At the end, the process triggered the emergence of factions within the Kadin. This process influenced their relations with the state and their interests."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Kardi
"Reformasi militer Indonesia telah mengakibatkan perubahan budaya, doktrin, struktural, dan organisasi. Perubahan tersebut belum mencapai sifat yang fundamental terhadap hubungan sipil-militer yang demokratis dimana hal ini sangat bergantung secara bersamaan pada "subordinasi masyarakat sipil untuk nilai-nilai militer” dan “subordinasi kontrol sipil atas militer". Kasus Indonesia dari reformasi militer tampaknya menunjukkan bahwa keberhasilan demokratisasi hubungan sipil-militer tergantung begitu banyak pada setup kelembagaan militer serta pada gigihnya bimbingan dan inisiatif dari institusi sipil. Beradaptasi dari Peter D. Feaver tentang teori "principal-agent", penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada koherensi yang kurang terpadu dari upaya antara lembaga-lembaga sipil (supra), sehingga dasar reformasi militer di Indonesia di bawah kontrol demokrasi masih bermasalah. Hal ini jelas bahwa, pertama, reformasi militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi, dan kematangan demokrasi harus membuka jalan bagi reformasi di militer. Kenyataan bahwa militer tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkaran supra sehingga hal ini menjadi bermasalah. Kedua, lingkaran sipil/ politik di dalam lingkaran supra tidak dapat membimbing, memberikan saran, dan memberikan orientasi kepada militer dalam kerangka tujuan nasional, termasuk alokasi sumber daya serta penggunaan kekuatan militer, sementara militer tetap menjadi otonom dalam beberapa area seperti doktrin, organisasi, disiplin internal, sifat, serta rencana operasional. Ketiga, lingkaran infra-partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi non-pemerintah serta akademisi dan media-telah memainkan beberapa peran, meskipun terbatas, dalam menetapkan beberapa perubahan, tetapi mereka tetap tidak mampu menjaga momentum selama proses berlangsung. Keempat, pada tingkat implementasi, Departemen Pertahanan tampaknya memiliki kapasitas yang terbatas untuk melakukan kontrol mereka atas militer terutama di bidang anggaran militer, prioritas strategis, akuisisi senjata, pendidikan, dan doktrin. Supremasi sipil di Indonesia tampaknya telah mengandalkan "subordinasi sukarela" dari militer daripada akses sipil untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap militer. Oleh karena itu, kebijakan instruktif dan dasar hukum keduanya diperlukan dan penting untuk menghasilkan subordinasi lengkap militer ke sipil.

Indonesia’s military reform may have resulted in noted cultural, structural, doctrinal, and organizational changes. But such change has yet to be felt in the fundamental democratic civil-military relation that relies upon both “the subordination of civil society to military values and the subordination of civilian control of the military”. In the case of Indonesia, the military reform process appears to suggest that the success of democratizing civil-military relations depends as much on the institutional setup of the military as on the persistence, guidance and initiative of the civilian institutions. Adapting Peter D. Feaver’s “principal-agent” theory, this study shows that owing to the lack of coherence and concerted effort among civilian institutions (supra), the nature of military reforms under democratic control in Indonesia remains problematic. Nonetheless, four points are clear. First, military reforms are an inseparable part of democratization, and democratic maturity should open the way for a better reforms in the military. The very fact that the military remains an integral and inseparable part of the supra is problematic. Secondly, the civil/political circle within supra is unable to fully guide, advise and orient the military in the area of national objectives, including the allocation of resources, and the use of military forces so long as the military remains autonomous in such areas as doctrine, organization, internal discipline, traits and operational planning. Thirdly, the infra -- political parties, social organizations, non-governmental organizations as well as academia and the media -- have played some roles, limited nonetheless, in setting the tone of changes, but they remain unable to keep up momentum throughout the process. Fourthly, at the implementation level, the Defense Ministry appears to have limited capacity to exercise its control over the military, especially in the area of the military budget, strategic priorities, weapons acquisition, education and doctrine. Civilian supremacy in Indonesia appears to have relied on “voluntary subordination” of the military rather than on civilian access to exercise effective control over the military. Hence, instructive policy and legal basis are both necessary and essential to yield a complete subordination of the military to the civilian democratic society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusta Ardianto
"Birokrasi pemerintah di Indonesia saat ini masih kurang dipercaya oleh publik sebagai penopang keberlanjutan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu diperlukan aksi nyata dari Pemerintah dengan memperkuat dan membangun kepercayaan masyarakat kembali terhadap Birokrasi pemerintah. Perkuatan birokrasi di Indonesia hanya dapat dicapai apabila Pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan Reformasi Birokrasi.
Reformasi birokrasi dilaksanakan salah satunya melalui reformasi dari aparatur sipil negara, karena aparatur sipil negara memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Arti penting dari reformasi dari aparatur sipil negara tersebut dikaitkan dengan pengisian jabatan strategis yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil.
Jabatan yang sangat strategis dalam pelaksanaan reformasi birokrasi terkait aparatur sipil negara adalah Jabatan Pimpinan Tinggi Aparatur Sipil Negara. Pelaksanaan pengisian jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara telah dilaksanakan dengan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana prinsip transparansi sehingga Reformasi Birokrasi di Indonesia dapat terlaksana.

Bureaucracy in Indonesia still less trusted by the public as the support of sustainable development and improving people's welfare. It is certainly necessary real action from the Government to strengthen and build public confidence back to the government bureaucracy . Retrofitting bureaucracy in Indonesia can only be achieved if the government has a strong commitment to do Reforms.
Bureaucratic reforms implemented one of them through the reform of the civil apparatus , because state civil apparatus has a position and a very important role in the implementation of governmental functions . The significance of the reform of the civil apparatus associated with filling strategic positions filled by Civil Servants.
Strategic positions in the bureaucracy reform related civil apparatus is a high position of civil apparatus. The implementation of charging high positions of the Civil Apparatus at government agencies has been implemented in an open and competitive of the Civil Servants as the principle of transparency so Reforms in Indonesia can be accomplished.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jayanti Andina
"Pasca 9/11 terorisme menjadi isu global di dunia dan hingga saat ini terorisme masih merupakan isu penting di Indonesia. Indonesia membutuhkan perbaikan pencitraan pasca kasus terorisme sebagai respon atas opini publik mengenai isu keterpercayaan dan keamanan dalam 10 tahun terakhir. Untuk melakukan perbaikan pencitraan tersebut Indonesia melakukan Diplomasi Publik melalui empat kegiatan diplomasi yang bertujuan untuk menyampaikan paham mengenai Islam Moderat dalam negara yang Demokratis. Berlandaskan asumsi Kristen Bonnici, peneliti mengasumsikan adanya kesamaan proses yang dilakukan Diplomasi Publik dengan Kegiatan Kehumasan dalam proses pembentukan citra.
Penelitian ini meneliti kegaitan diplomasi publik melalui perspektif ilmu komunikasi, yakni dengan menggunakan teori Strategi Perencanaan Kehumasan yang dijelaskan oleh Ronald D. Smith dalam buku Strategic Planning for Public Relations. Penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni dengan melakukan observasi dan studi dokumen sebagai sumber data primer didukung oleh wawancara dan studi pustaka sebagai sumber sekunder dimana wawancara akan digunakan sebagai pernyataan resmi tentang penelitian yang dilakukan.
Hasil penelitian ini menggambarkan bagaimana tahapan strategi komunikasi kehumasan yang dilakukan dalam proses diplomasi publik Indonesia terkait perbaikan pencitraan pasca isu terorisme. Ketika strategi kehumasan bisa menjelaskan proses diplomasi publik Indonesia, maka komunikasi kehumasan dapat dikembangkan menjadi kajian untuk menjelaskan contoh kasus dan permasalahan yang terjadi dalam tingkat yang lebih tinggi.

Post 9/11, terrorism became a global issue in the world and it is still an important issue of in Indonesia. Indonesia needs to recover the state-imaging postterrorism cases in response to public opinion on the issue of reliability and safety in the last 10 years. To make recovery to the state-imaging, Indonesia conduct Public Diplomacy through four activities that aims to communicate the idea of the moderate Islam in the Democratic state. On the assumption Christian Bonnici, researcher assumes a common process undertaken by the Public Diplomacy Public Relations Activities in the process of image formation.
This study examines public diplomacy through a credible form of communication science perspective, ie, by using the theory described Strategy Planning Public Relations by Ronald D. Smith in his book Strategic Planning for Public Relations. The research is using research-type of descriptive qualitative, ie the observation and study of documents as the primary data source supported by interviews and literature as a secondary source in which the interview will be used as an official statement about the research conducted.
Results of this study illustrate how the stages of the public relations communications strategy in the Indonesian public diplomacy during state-branding recovery process post-terrorism. If public relations strategy could explain the Indonesian public diplomacy, public relations communications then can be developed into case studies and examples to explain the problems that occur in the higher levels.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Yolanda Sari
"Tesis ini membahas mengenai analisis fungsi,kewenangan dan kedudukan sebuah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (?PTN BH?) dalam konsepsi organ negara. Pemetaan mengenai fungsi, kewenangan dan kedudukan PTN BH diperlukan dalam upaya analisis mengenai fungsi publik sebuah organ negara. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan sistematis analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Tujuan pemetaan dalam upaya memposisikan PTN BH sebagai badan hukum publik disamping fungsi lainnya yang utama yaitu sebagai badan hukum. Pemetaan fungsi dianalisis dengan kewenangan law making dan law applying sebagai faktor penentu PTN BH sebagai badan publik, fungsi jabatan publik, fungsi tujuan badan publik serta analisis jabatan publik yang ada pada sebuah organ negara. Setelah mengetahui fungsi dan kewenangan, maka PTN BH dapat diketahui kedudukannya di dalam stuktur kelembagaan negara. Analisis kedua mengenai dampak kedudukan PTN BH di dalam organ negara di dalam tata kelola akademik dan non akademik dalam mewujudkan tujuan otonomi sebuah badan hukum. Analisis ini digunakan untuk melihat fungsi, kewenangan dan kedudukan PTN BH secara menyeluruh pada ketentuan hukum PTN BH di Indonesia sehingga dapat dilihat fungsi yang paling utama dari PTN BH sebagai sebuah badan hukum publik dalam struktur kelembagaan negara.

This thesis discussing on Function, Authority, and Legal Position as a Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum(?PTN BH?) in Conception of State Organ ofThe Constitution of Indonesia. This study analyzed by descriptive and systematic analysis using a judicial normative approach. The first analyze is map the Function, Authority, and Legal Position of PTN BH that required in an attempt analysis of the public functions of State Organ.The mapping purpose is to position of PTN BH as public functions as well as other major function as a legal entity. The mapping functions analyze the authority of law making and law applying as main factor of PTN BH as a public entity, public function, purpose function of public entity, and public position in a State Organ. After knowing the function and the authority, we know the legal position of PTN BH in state organ structure. The second analyze is the impact of legal position of PTN BH as a state organ in academic and non-academic governance to realization the autonomy purpose as a legal entity. This is to analyzed the function, authority and legal position of PTN BH thoroughly PTN BH in Indonesia so the main function of PTN BH as a public legal entity in organ state structure."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Nur Indah
"Saat ini terjadi ketidaksesuaian pengaturan mengenai kekayaan negara yang ada pada BUMN Persero, termasuk pengaturan mengenai piutang BUMN Persero karena masih berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang mengatur bahwa piutang negara meliputi pula piutang BUMN Persero. Walaupun telah terbit Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur bahwa BUMN Persero dapat melakukan pengurusan piutang sesuai mekanisme korporasi, namun pihak BUMN Persero tetap ragu-ragu untuk melakukan pengambilan keputusan strategis menyangkut penghapusan piutangnya karena dapat dianggap merugikan negara dan bisa dikenai tuduhan korupsi. Upaya pemerintah dengan meminta fatwa Mahkamah Agung, menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dan membuat pasal mengenai pengurusan piutang BUMN Persero dalam undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah melakukan upaya pembaharuan hukum di bidang piutang negara dengan menyusun rancangan undang-undang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Upaya pembaharuan hukum tersebut menjadi topik utama dalam penelitian yang menggunakan pendekatan yuridis normatif ini. Pendekatan tersebut dilakukan untuk menganalisis data dalam menggambarkan kedudukan piutang BUMN Persero dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia dan menjelaskan bagaimana perkembangan dan pembaharuan hukum di bidang piutang negara di Indonesia.

Currently, there is a discrepancy regarding the regulations on state assets that exist in the State-Owned Enterprises (SOEs), including the regulation of SOEs receivables as the Law No. 49 Prp. 1960 on the State Receivable Affairs Committee is still enforced. The law stipulates that the state receivables also include state-owned enterprises receivables. Although Law No. 19 of 2003 on State-Owned Enterprises and the Law No. 1 of 2004 on State Treasury have been enacted to provide SOEs to manage their receivables in appropriate mechanisms of corporate governance, but the SOEs still hesitate to make strategic decisions making regarding write-off of their receivables as it would be considered detrimental to the state and may be subject to allegations of corruption. Government initiatives to ask fatwa (legal opinion) from Supreme Court, issued Government Regulation No. 33 of 2006 on Amendment of Government Regulation No. 14 of 2005 on the Write-Off Procedures of State/Regional Receivables, and made an article regarding the management of SOEs receivables in the law on State Budget doesn't solve the problem. Therefore, the government is conducting legal reform regarding state receivables by preparing a draft as amendment of Law Number 49 Prp. 1960. This effort to reform the law is the main topic in this research which uses normative juridical approach. This approach is performed to analyze the data in describing the legal standing of SOEs receivables within the framework of law in Indonesia and to explain the development and legal reform of the state receivables law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30923
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Yosarie
"Reformasi TNI telah mengamanatkan TNI kembali ke barak sebagai upaya memfokuskan TNI dengan tugas utamanya sebagai alat negara di bidang pertahanan, setelah sebelumnya pada masa Orde Baru militer terlibat aktif pada urusan sosial-politik. Sejumlah Peraturan Perundang-Undangan, di antaranya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjadi payung hukum untuk memastikan reformasi TNI berjalan semestinya. Akan tetapi, nyatanya pascareformasi perluasan posisi militer pada jabatan sipil justru kembali terjadi. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI yang terjadi pascareformasi secara nyata kontradiktif dengan upaya reformasi TNI. Tiga faktor yang teridentifikasi menjadi penyebabnya adalah: (1) faktor kepemimpinan, (2) faktor struktur negara, dan (3) faktor organisasi militer. Melalui penempatan tersebut pemerintah membuka kembali keterlibatan TNI pada ruang-ruang sosial-politik, serta merupakan bentuk kontrol sipil subjektif sebagaimana dijelaskan Huntington (2003). Penempatan militer aktif pada sejumlah jabatan sipil tersebut bukan lagi bentuk intervensi militer, tetapi justru pejabat sipil yang menariknya kembali.

TNI reform has mandated that the TNI return to barracks in an effort to focus the TNI on its main task as an instrument of the state in the defense sector, after previously, during the New Order era, the military was actively involved in socio-political affairs. A number of laws and regulations, including Law No. 34 of 2004, concerning the Indonesian National Armed Forces, have become the legal umbrella to ensure TNI reform runs as it should. However, in fact, after the reformation, the expansion of military positions into civilian positions has reoccurred. This study uses a type of qualitative research with a case study approach. The results of this study indicate that the placement of TNI soldiers in civilian positions outside the provisions of the TNI Law that occurred post-reform is clearly contradictory to efforts to reform the TNI. Three factors were identified as the cause: (1) the leadership factor, (2) the state structure factor, and (3) the military organizational factor. Through this placement, the government reopened TNI involvement in socio-political spaces, which was a form of subjective civilian control, as explained by Huntington (2003). The placement of the active military in a number of civilian positions is no longer a form of military intervention; instead, civilian officials are withdrawing them."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Herlambang Prabowo
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-undang Administrasi Kependudukan, telah membolehkan para penghayat kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) yang sebelumnya tidak diisi atau bertanda strip (-). Dengan putusan MK tersebut negara secara nyata telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan penghayat kepercayaan yang selama ini banyak mendapatkan diskriminasi dibandingkan warga negara yang menganut 6 (enam) agama (Islam, Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Konghucu) lainnya terutama berkaitan dengan proses Administrasi Kependudukan. Dalam pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengandung multitafsir yang mana kata "agama" dalam kedua pasal tersebut tidak mengandung makna "kepercayaan" di dalamnya serta masih digunakannya penggunaan istilah "agama yang diakui" dan "agama yang belum diakui". Akibatnya hal tersebut pelaksana pelayanan administrasi kependudukan, tidak dapat secara maksimal pada warga negara penghayat kepercayaan. Metode yang digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, historis dan putusan pengadilan.
Hasil penelitian bahwa sebelum adanya Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 legalitas penghayat kepercayaan tidak diakui akibat dari dikosongkannya kolom agama bagi penghayat kepercayaan, mereka mendapatkan berbagai bentuk perlakuan diskriminasi seperti sulitnya mendaftarkan pernikahan, sulitnya mendapatkan akses pekerjaan hingga tidak diterimanya pemakaman jenazah bagi penghayat kepercayaan di tempat pemakaman umum.  Akibat Putusan MK tersebut kini kedudukan hukum penghayat kepercayaan setera dengan warga negara lainnya dalam konteks hukum administrasi. Pemerintah menindaklanjuti dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 tahun 2017 dan Surat Edaran 471.14/10666/Dukcapil tentang Penerbitan KK bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dinilai sudah tepat dalam mengisi kekosongan hukum dan pada tatanan pengimplementasian faktanya sudah banyak penghayat kepercayaan yang telah mendapatkan KK dan KTP-el dengan keterangan kolom agama berisikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, diharapkan kedepannya prinsip non-diskriminasi dari Putusan MK dapat terimplemtasikan dengan baik dengan berasaskan pada kepastian hukum, kesamaan hak dan persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

The Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XIV / 2016 concerning the Testing of the Population Administration Law, has allowed guardians to put their beliefs in the religion column on the Family Card (KK) and Electronic Identity Card (KTP-el) that were previously not filled or marked with a strip (-). With the Constitutional Court`s verdict, the state has actually given recognition to the existence of the beliefs who have been discriminated so far compared to other citizens who adhere to 6 (six) religions (Islam, Protestant, Catholic, Buddhist, Hindu and Confucianism), especially in relation to the Population Administration process . In article 61 paragraph (1) and paragraph (2) of Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration as well as Article 64 paragraph (1) and paragraph (5) of Law Number 23 of 2006 concerning Amendment to Law Number 23 years 2006 concerning Population Administration, contains multiple interpretations in which the word "religion" in the two articles does not contain the meaning "belief" in it and still uses the term "recognized religion" and "unrecognized religion". As a result, the implementation of population administration services cannot be maximized to citizens of belief groups. The method used is normative juridical research method with a statutory approach, history and court decisions.
The results of the study show that before the Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XIV / 2016 the legality of the trustees was not recognized as a result of the emptiness of the religious column for the believers, they received various forms of discrimination such as the difficulty of registering marriages, difficulty in obtaining employment access and not receiving funeral services for beliefs in the public cemetery. As a result of the Constitutional Court`s Decision, the position of the law of faith is equal to other citizens in the context of administrative law. The government followed up with the issuance of Minister of Home Affairs Regulation No. 118 of 2017 and Circular 471.14/10666/Dukcapil concerning the Issuance of family card for the Believers of Belief in God Almighty which was considered appropriate in filling the legal vacuum and in the fact that there were many beliefs who had obtained KK and KTP-el with a description of the religion column containing trust in God Almighty. Thus, it is expected that in the future the principle of non-discrimination from the Constitutional Court Decision can be implemented properly based on legal certainty, equality of rights and equality of treatment / non-discrimination."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T53195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>