Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191039 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aisha Hidayati
"Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berperan strategis dalam memajukan perekonomian bangsa, sebab setiap yang dibelanjakan dalam bidang usaha ini memberikan dampak besar bagi peningkatan Pendapatan Domestik Bruto serta membuka lapangan pekerjaan baru. Oleh karena itu, pengadaan barang dan jasa pada sektor ini menjadi sangat strategis dan harus dipantau dengan baik, agar semaksimal mungkin digunakan produk dalam negeri, sehingga memberikan efek pengganda bagi perekonomian nasional.
Pada tahun 2017, Pemerintah menerbitkan Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang diklaim dapat meningkatkan minat investasi minyak dan gas bumi di Indonesia. Akan tetapi, berbagai pihak justru menilai bahwa pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil Gross Split justru berpotensi mengurangi penggunaan produk dalam negeri, yang akan terlihat dari penurunan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri atas pengadaan barang dan jasa. Skripsi ini mencoba untuk mengkaji secara normatif pelaksanaan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri atas pengadaan barang dan jasa pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas berpotensi terhadap penurunan Tingkat Komponen Dalam Negeri dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Untuk itu, Pemerintah perlu untuk mengatur mengenai kewajiban pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tepat.

Upstream oil and gas business activities has strategic role in advancing the national economy, since every purchase in this industry contributes large impacts in increasing Gross Domestic Income and exposes new job opportunities. Accordingly, products and services procurement in this sector becomes very strategic and shall be well monitored, so that domestic products and services are used to the maximum extent possible, with the result that it provides multiplier effects to the national economy.
In the year of 2017, the Government issued Gross Split Production Sharing Contract which was claimed to increase the oil and gas investment interest in Indonesia. However, there are people in the industry who believe that the implementation of Gross Split Production Sharing Contract has the potential to decrease the use of domestic products and services, which will be seen in the decline of Domestic Content on products and services procurement. This thesis attempts to normatively study the implementation of the use of Domestic Content on products and services procurement in Gross Split Production Sharing Contract of upstream oil and gas business activities.
The result of this research shows that the implementation of Gross Split Production Sharing Contract in upstream oil and gas business activities has the potential to decrease Domestic Content in upstream oil and gas business activities. Therefore, the Government shall regulate the obligation to fulfill Domestic Content in upstream oil and gas business activities in the right form of law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Nostalgi
"Pada tahun 2017 Pemerintah Indonesia melakukan perubahan terhadap sistem Kontrak Bagi Hasil Migas (KBH), dari KBH cost recovery menjadi KBH gross split. Perubahan KBH dengan skema gross split diharapkan menjadi solusi atas menurunnya tingkat investasi hulu migas serta meningkatkan pendapatan negara. Melalui Permen ESDM No. 8/2017 gross split diberlakukan. Perubahan mendasar pada KBH gross split adalah tidak adanya cost recovery, adanya base split dan komponen variable dan komponen progresif sebagai penyesuaian bagi hasil, pengadaan barang dan jasa dilakukan sendiri oleh Kontraktor tanpa persetujuan SKK Migas, serta persetujuan Plan Of Development (POD) yang tidak lebih dari 1 bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum dalam pemberlakuan KBH gross split yang bersifat lintas sektor dan implementasinya terhadap investasi, dengan menggunakan metode penelitian normatif melalui library research dan wawancara kepada pelaku usaha.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kepastian hukum dalam KBH gross split sudah ada namun masih terdapat kendala-kendala, dan terhadap investasi KBH gross split terbukti dapat menaikan investasi hulu migas namun belum dapat memperbaiki iklim investasi hulu migas secara keseluruhan.

In early 2017, Indonesia establish a new form of Production Sharing Contract (PSC), from PSC cost recovery to PSC gross split. PSC gross split is expected to be a solution to the decline upstream oil and gas investment level, and to increase state revenues. Through ESDM Regulation No. 8/2017 PSC gross split was applied. The basic term by PSC gross split are there’s no cost recovery, base split, component variable and component progresif as a compliance of profit sharing adjustments, self procurement by the contractor without SKK Migas approval, and Plan Of Development (POD) approval less than one month.
This study aims to determine the legal certainty in the implementation of KBH gross split which is cross-sectoral and its implementation of investment, using normative research methods through library research and interviews with business actors.
From the research results it is known that legal certainty in the KBH gross split already exists but there are still constraints, and the KBH gross split investment is proven to be able to increase the upstream oil and gas investment but has not been able to improve the overall upstream oil and gas investment climate.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Ryandhita
"Tulisan ini mengomparasikan dua skema Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi yang berlaku di Indonesia, yakni Kontrak Bagi Hasil dengan skema Cost Recovery dan Kontrak Bagi Hasil dengan skema Gross Split. Tulisan ini juga menganalisis bagaimana penerapan asas keseimbangan serta aspek-aspek dalam hukum perjanjian terpenuhi di dalam Kontrak Bagi Hasil dengan Skema Gross Split. Tulisan ini disusun dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif. Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah suatu Kontrak Bagi Hasil dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Skema ini hadir sebagai upaya Pemerintah untuk terus mengoptimalkan pengurusan kekayaan alam minyak dan gas bumi di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi sehingga menarik minat para investor untuk berinvestasi dalam kegiatan usaha hulu migas. Dalam Kontrak Bagi Hasil dengan skema Gross Split, tidak ada lagi komponen pengembalian biaya operasi yang dibayarkan pemerintah kepada kontraktor. Padahal, hal tersebut kerap dianggap sebagai pemenuhan asas keseimbangan dalam Kontrak Bagi Hasil dengan skema Cost Recovery. Dalam skema Gross Split, Pemerintah berupaya melakukan pemenuhan asas keseimbangan melalui pemotongan birokrasi, persentase split yang lebih menguntungkan bagi kontraktor jika dibandingkan dengan skema Cost Recovery, ketentuan mengenai komponen variabel dan progresif, tambahan split dalam hal komersialisasi lapangan tidak mencapai nilai keekonomian tertentu, serta pemberian insentif pajak untuk menarik minat investor.

This writing compares two schemes of Production Sharing Contracts for Oil and Gas in Indonesia, namely the Contract with Cost Recovery scheme and the Contract with Gross Split scheme. It also analyzes how the principle of balance and aspects of contract law are fulfilled within the Contract with Gross Split scheme. This writing is structured using a normative juridical research approach. The Gross Split Production Sharing Contract is an agreement in Upstream Oil and Gas Business activities based on the principle of sharing gross production without an operational cost recovery mechanism. This scheme is a governmental effort aimed at continuously optimizing the management of the natural resources of oil and gas in Indonesia, with the goal of enhancing efficiency to attract investor interest in investing in upstream oil and gas activities. In the Contract with Gross Split scheme, there is no longer a component of operational cost recovery paid by the government to the contractors. However, this component is often considered a fulfillment of the balance principle in the Contract with Cost Recovery scheme. In the Gross Split scheme, the government seeks to achieve balance through bureaucracy cutting, a more favorable percentage split for the contractors compared to the Cost Recovery scheme, provisions regarding variable and progressive components, additional splits in the event of field commercialization not reaching a certain economic value, and providing tax incentives to attract investor interest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raudah Iftitah Mulikh
"Laporan magang ini membahas mengenai kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia yang dikelola melalui Kontrak Kerja Sama, dan bagaimana pemilihan mekanisme perhitungan bagi hasil yang berbeda akan memengaruhi penerimaan Pemerintah dan kontraktor. Sejak dahulu, perhitungan bagi hasil dilakukan dengan mekanisme pengembalian biaya operasi cost recovery. Namun, pada awal tahun ini Pemerintah menetapkan mekanisme baru, yaitu gross split, yang tidak lagi mengenal pengembalian biaya operasi bagi kontraktor. Hasil analisis menunjukkan bahwa jika dilihat secara keseluruhan, penggunaan mekanisme gross split memberikan hasil yang lebih baik bagi kontraktor, sedangkan bagi Pemerintah penggunaan mekanisme cost recovery memberikan hasil yang lebih baik.

This internship report analyzes about how Indonesia's upstream oil and gas operations is governed using Production Sharing Contract PSC between the Government and contractor, and how the selection of a production sharing mechanism will affect each party's take. Cost recovery mechanism has always been the choice, but early this year the Government proposes a new mechanism, gross split, where the Government no longer has to pay back the amount spent by contractor in conducting upstream oil and gas operations. The case study results indicate that contractor will be better off by using gross split mechanism, and the contrary applies for the Government."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Nurkirana Yuniarsari
"Kegiatan operasi minyak dan gas bumi (migas) di lepas pantai Indonesia sudah dimulai sejak sekitar 1960-an. Dengan kegiatan operasi migas yang berlangsung sudah 50 tahun lebih ini, selain perlu upaya ekstra dalam proses produksi, juga harus memperhitungkan biaya Kegiatan Pasca Operasi (KPO). Biaya KPO menurut PTK-040/SKKMA0000/2018/S0 adalah kegiatan untuk penutupan sumur secara permanen, penghentian pengoperasian fasilitas produksi serta fasilitas penunjang sehingga tidak beroperasi kembali, termasuk pembongkarannya secara permanen, serta melakukan pemulihan lingkungan di Wilayah Kerja (WK) pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Tantangan secara keuangan dihadapi WK yang beroperasi dengan skema gross split, yaitu tidak berlakunya skema pengembalian biaya, sehingga menyebabkan biaya KPO ditanggung perusahaan dan pada akhirnya mempengaruhi nilai keekonomian WK tersebut. Pada Kontrak Bagi Hasil di industri hulu migas, biaya pencadangan diatur oleh SKK Migas dalam Peraturan Tata Kerja Nomor: PTK-040/SKKMA0000/2018/S0. Secara komersial, untuk mendapatkan laporan keuangan yang reliabel bagi para pemegang kepentingan stakeholder, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengatur biaya pencadangan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 57 (PSAK 57-mengenai biaya kontinjensi). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara metode pencadangan biaya KPO yang saat ini (existing) digunakan dengan metode Kaiser (2018). Metode yang saat ini digunakan adalah penilaian KPO semua sumur tanpa dibedakan kategori eksplorasi ataupun produksinya. Metode Hybrid oleh Kaiser (2018) mengkategorikan biaya KPO berdasarkan karakteristik struktur. Dalam penelitian ini yang menggunakan metode Kaiser menyajikan total potensi net revenue dari keseluruhan hasil operasi migas sebagai potensi arus kas masuk yang menentukan besaran durasi masa akan dilakukannya proses KPO. Apabila perbandingan net revenue masih positif dibandingkan dengan net operating expenditure berjalan yang merupakan arus kas keluar, maka kegiatan operasi hulu migas di wilayah kerja masih menguntungkan, namun sebaliknya ketika net revenue < net operating expenditure artinya economic limits sudah habis, dengan demikian WK persiapan masa KPO. Hasil kesimpulan dari penelitian ini adalah pada masa KPO yang dilakukan pada akhir masa economic limits yaitu hingga 2031 akan lebih menguntungkan perusahaan dibandingkan tetap menjalankan kegiatan bisnis tersebut hingga akhir kontrak yaitu di 2038, karena net cash flow yang masih pada posisi positif. Dengan demikian maka metode ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif terbaik dalam melakukan proyeksi KPO di lepas pantai laut dangkal.

The operation of oil and gas (oil and gas) off the coast of Indonesia has started since around the 1960s. With the oil and gas operation that has been going on for more than 50 years, in addition to the need for additional production processes, it must also reimburse Post-Operational Activity (KPO) costs. KPO costs according to PTK-040/SKKMA0000/2018/S0 are activities for permanent well closure, temporary stopping of production facilities and supporting facilities so that they cannot be returned, including permanent demolition, as well as repairs in the upstream oil and gas working area. When the working area using gross split, the costs recovery are not applicable, causing the ASR costs to be borne by the company and ultimately increasing the economic value of the field. In Production Sharing Contracts in the oil and gas industry, the backup fee is regulated by SKK Migas in the Work Order Number: PTK-040/SKKMA0000/2018/ S0. Commercially, to obtain financial reports that are relied upon for stakeholders (stakeholders), the Indonesian Institute of Accountants (IAI) has agreed to reserve costs in Statement of Financial Accounting Standards number 57 (PSAK 57-read contingency fees). This study compares to compare between the current (existing) decommisioning cost reserve methods used with the Kaiser method (2018). The method currently used is to determine all wells without differentiating them from product and service categories. The Hybrid Method by Kaiser (2018) categorizes decommisioning costs based on structural characteristics. In this study using the Kaiser method presents the total potential net income of all oil and gas operating results as potential cash inflows that determine the amount of future duration will improve the decommissioning process. If related to net income is still positive compared to net operating expenses which are cash outflows, then upstream oil and gas operations in the work area are still profitable, but instead compilation of net income "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumingraras Widowathi
"Skripsi ini membahas tentang perbandingan pengikatan jaminan atas participating interest dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menurut Sistem Konsesi dengan Sistem Kontrak Bagi Hasil di Indonesia. Dari hasil penelitian ini bertujuan untuk menemukan sistem Kontrak Migas yang tepat dalam melakukan pengikatan jaminan atas participating interest. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengikatan jaminan atas participating interest lebih ideal dilakukan dalam Sistem Konsesi dan menyarankan bahwa pengikatan penjaminan atas participating interest sebaiknya tidak dilakukan di dalam Sistem Kontrak Bagi Hasil yang dianut Indonesia.

Abstract
In this thesis, I present a theoretical analysis and comparison of pledging participating interest as collateral in concession system and Production Sharing Contract System in Indonesia. The aim of the thesis is therefore finding a system of oil and gas contract which suitable to do a pledging of participating interest as collateral. This thesis use normative research and qualitative methods. The thesis results stated that the implications of pledging participating interest under Concession System is more suitable than in Production Sharing Contract in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S468
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syahrir
"Terdapat tiga permasalahan dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana konsep sistem konsesi dalam pertambangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Kedua, bagaimana konsep Kontrak Bagi Hasil (KBH) dalam pertambangan migas di Indonesia. Terakhir, bagaimana bentuk kontrak yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan antara sitem konsesi dengan KBH. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep sistem konsesi dan KBH yang pernah diterapkan di Indonesia. Kemudian, untuk mengetahui sistem yang lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan sistem konsesi dengan KBH. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem konsesi yang pernah diterapkan sebelumnya. Hal tersebut berkaitan juga dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki penguasaan negara atas kekayaan alam. Kesimpulannya, sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia. Hal tersebut karena dengan menerapkan sistem KBH, negara memiliki posisi yang kuat terhadap kontraktor.

Abstract
This research is mainly discussed about three problems. First, how the concept of concession system in Indonesian?s oil and gas upstream business works'. Second, how the concept of Production Sharing Contract in Indonesian's oil and gas upstream business works'. And last, how to form the appropriate contract to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with Production Sharing Contract. The first objective of this study is not only to describe the concept of concession system and production sharing contract that have been applied in Indonesia, but also to find which one that is more profitable to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with the Production Sharing Contract. In this study, the author is using normative legal research method by conducting field research and literature studies. The results showed that production sharing contract more profitable to be applied in Indonesia as compared with the concession system that had applied previously. This is also related with Article 33 Constitutional Law 1945 which requires state control over natural wealth. In conclusion, the Production Sharing Contract is more profitable to be applied in Indonesia than the concession system because by applying production sharing contract, the state has a strong position against the contractor. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S313
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Erlangga Atmaja
"ABSTRAK
Kontrak bagi hasil gross split merupakan salah satu bentuk pengelolaan usaha hulu minyak dan gas bumi yang baru saja diberlakukan di Indonesia selain kontrak bagi hasil dengan cost recovery. Terdapat tiga permasalahan di dalam penelitian ini. Pertama, bagaimanakah konsep penguasaan Negara atas sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia ?. Kedua, bagaimanakah pengaturan mengenai kontrak bagi hasil gross split yang berlaku di Indonesia ?. Terakhir, bagaimanakah pemberlakuan kontrak bagi hasil gross split di Indonesia ?. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode peneitian hukum normatif, dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ditinjau dari aspek penguasaan Negara, terdapat degradasi peran pengawasan dan pengendalian Negara di dalam kontrak bagi hasil gross split dibandingkan dengan kontrak bagi hasil dengan cost recovery. Kesimpulannya adalah kontrak bagi hasil gross split masih tidak lebih baik dibanding kontrak bagi hasil dengan cost recovery yang telah digunakan di Indonesia ditinjau dari aspek penguasaan negara. Kata Kunci: kontrak bagi hasil gross split, penguasaan Negara, minyak dan gas bumi

ABSTRACT
Gross split production sharing contract is one form of upstream oil and gas business management that has just been implemented in Indonesia besides production sharing contract with cost recovery basis. There are three issues in this research. First, how the state control concept of natural oil and gas resources in Indonesia . Second, how the regulation of gross split production sharing contract in Indonesia . Last, how the enforcement of gross split production sharing contract in Indonesia . In this research, the writter uses normative legal research method by conducting literature studies. The results show that viewed from the state control aspect, there are degradations of State s supervision and control role in gross split production sharing contract compared with production sharing contract with cost recovery. The conclusion is the gross split production sharing contract is still no better than production sharing contract with cost recovery basis that has been used in Indonesia viewed from state control aspect. Keywords gross split production sharing contract, state control, oil and gas "
2017
T48438
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fataninda Dwi Kesumaputri
"Indonesia telah menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil atau biasa disebut dengan Production Sharing Contract (PSC) sejak 1966. Pada tahun 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross splitsebagai penanda perubahan sistem Kontrak dari PSC ke Gross split. Blok X adalah lapangan penghasil minyak milik suatu Kontraktor Kontrak Kerja Sama Asing yang habis masa kontraknya di tahun 2018. Sehubungan dengan sistem Kontrak yang baru, Blok X dianalisa dengan menggunakan PSC dan Gross Splituntuk membandingkan Pendapatan Negara dan Pendapatan Kontraktor dengan menggunakan kedua metode ini. Hasil yang didapat adalah dengan menggunakan metode Gross Splitpendapatan kontraktor akan lebih meningkat dibandingkan dengan menggunakan metode PSC dikarenakan persentase pembagian Gross Splityang bersifat dinamis dengan skenario terbaik yang didapat adalah skenario 2 untuk nilai NPV M$ 1,652,469; POT 1.1 tahun dan DPIR 8.6

Indonesia has been using Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery as its oil and gas contract regulation since 1966. In 2017, Minister of Energy and Mineral Resources released new regulation which set new oil and gas contract regulation in Indonesia from PSC Cost Recovery to Gross split (GS). Block X, an oil and gas block owned by International Oil Company operating in Indonesia, end its contract period in 2018. Regarding the new regulation, contract system of Block X is analysed by using PSC and GS to compare Government Take and Contractor Take result by using these methods. The final result is by using Gross split the Contract Take will be higher than using PSC because Gross split has more dynamic variable split with the Scenario 2 as the best scenario for NPV M$ 1,652,469; POT 1.1 years and DPIR 8.6."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Aulia
"Cost recovery merupakan hak Kontraktor Kontrak Kerja Sama ldquo;KKKS rdquo; dan merupakan biaya operasi yang tercantum di dalam work plan and budget WP B yang diajukan tiap tahunnya kepada badan pelaksana sekarang SKK Migas . Cost recovery dalam WP B merupakan bagian dari Kontrak Bagi Hasil ldquo;KBH rdquo; . Pemerintah Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas, merupakan pihak dalam KBH tersebut. Di dalam KBH, terdapat ketentuan bahwa KBH tidak dapat diubah dalam segala hal kecuali dengan persetujuan tertulis dari masing-masing pihak. Namun, berdasarkan PP No.79/2010, pemerintah Indonesia mewajibkan KKKS untuk melakukan penyesuaian biaya-biaya operasional yang tecantum di dalam KBH ketentuan terkait WP B. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan bahwa terlihat adanya ketidaktaatan terhadap azas pacta sunt servanda di dalam KBH yang telah dibuat.
Dalam meneliti permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan historis. Berdasarkan penelitian tersebut, penulis mengetahui bahwa i pengaturan terkait cost recovery terdapat di dalam KBH. Untuk mengatur biaya yang dimasukan sebagai cost recovery, Pemerintah Indonesia menerbitkan Permen ESDM No.22/2008 dan PP No.79/2010; ii penerapan azas pacta sunt servanda dalam KBH tidak terlaksana dengan baik karena ada kewajiban secara sepihak oleh Pemerintah Indonesia kepada KKKS untuk menyesuaikan KBH berdasarkan PP No. 79/2010; dan iii kebijakan mengenai cost recovery yang ada di dalam KBH dan peraturan perundang-undangan merupakan kebijakan yang ideal di industri migas saat ini.

Cost recovery is the right of the Contractor of Cooperation Contract KKKS and represents the operating costs listed in the work plan and budget WP B which is submitted annually to the implementing body currently called as SKK Migas . Cost recovery in WP B is part of Production Sharing Contract KBH . The Government of Indonesia, in this event represented by SKK Migas, is a party in KBH. In KBH, there is a provision that KBH can not be changed in any way except with the written consent of each party. However, pursuant to PP No.79 2010, the Government of Indonesia required KKKS to adjust the operational costs listed in KBH WP B provision. This matter arose the problem that it seems like there was the disobedience to the principle of pacta sunt servanda in the KBH which has been made.
The author used normative legal research methods with legislation and historical approaches for examining these problem. Based on the research, the author knew that i the arrangement of cost recovery is contained in KBH. The Government of Indonesia issued Permen ESDM No.22 2008 and PP No.79 2010 to manage the expenditure included as cost recovery ii the application of the principle of pacta sunt servanda in KBH is not well implemented due to there is an unilateral obligation by the Government of Indonesia to KKKS to adjust KBH based on PP No. 79 2010 and iii the policy on cost recovery which was in the KBH and law and regulation is currently an ideal policy in oil and gas industry.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>