Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81286 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mhd. Alfahjri Sukri
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang kegagalan kudeta militer faksi Gulenis di Turki pada 15 Juli 2016. Adapun permasalahan yang dilihat adalah pertama, apa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan kudeta militer faksi Gulenis di Turki 15 Juli 2016? dan kedua, bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi gagalnya kudeta militer faksi Gulenis di Turki 15 Juli 2016?. Dalam mengalisis kasus di atas, peneliti menggunakan teori kudeta Edward Luttwak yang berbicara mengenai tahapan-tahapan suatu kudeta agar kudeta tersebut berhasil. Gagalnya kudeta dalam menjalankan tahapan tersebut akan menyebabkan gagalnya kudeta. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Adapun data-data dalam penelitian ini peneliti dapatkan melalui telaah dokumen dan literatur ilmiah serta juga melakukan wawancara. Temuan dari penelitian ini adalah, pertama, gagalnya kudeta militer faksi Gulenis ini disebabkan oleh gagalnya kelompok kudeta menangkap aktor kunci seperti Presiden Erdogan dan Perdana Menteri Binali Yildirim sehingga kedua tokoh tersebut berhasil memobilisasi massa untuk menolak kudeta. Kedua, adanya penolakan dari berbagai lapisan masyarakat Turki sehingga kelompok kudeta gagal dalam mendapatkan dukungan masyarakat atas kudeta yang dilakukan. Kedua faktor ini kemudian mempengaruhi gagalnya kudeta. Penelitian ini juga melihat adanya peran penting kemajuan teknologi seperti FaceTime dan media sosial yang mempengaruhi gagalnya kudeta karena FaceTime dan media sosial seperti Facebook dan Twitter dijadikan alat oleh Erdogan dan Binali Yildirim untuk berkomunikasi dan mengajak masyarakat menolak upaya kudeta. Media sosial juga dijadikan oleh masyarakat Turki sebagai sumber informasi tentang kudeta dan alat untuk menyebarkan aksi penolakan terhadap kudeta. Secara umum, penelitian ini menegaskan bahwa pentingnya menangkap aktor kunci seperti aktor pemerintahan dan militer dalam suatu kudeta disamping juga menguasai tempat-tempat strategis serta kelompok kudeta juga harus mendapatkan dukungan masyarakat atau tidak ada penolakan dari masyarakat agar suatu kudeta berhasil dijalankan. Di sini juga penelitian ini menegaskan pentingnya menguasi perkembangan teknologi dan media sosial untuk mempengaruhi persepsi masyarakat tentang kudeta yang dijalankan.

ABSTRACT
This study discusses about the failure of military coup of Gulenist faction in Turkey on July 15, 2016. The observed problems are what factors that led to the failure of the military coup of Gulenist faction in Turkey were and how these factors affect the collapse of the Gulenist military coup did. The researcher uses Edward Luttwak 39 s coup theory which speaks about the stages of a coup in order for the coup to succeed to analyze this case. Furthermore, a case study approaches with qualitative research methods are used in this study. The data in this study research were done by literature reviews and interviews. The result showed that the failure of the Gulenist military coup d 39 etat was caused by the failure of the coup group to arrest the key actor such as President Erdogan and Prime Minister Binali Yildirim so that the two figures succeeded in mobilizing the mass to decline the coup. Moreover, there was some refusal from various Turkish society so that the coup group failed to gain public support. Technological advances such as FaceTime and social media also have an important role that affected the failure of the coup. FaceTime and social media such as Facebook and Twitter were used as tools by Erdogan and Binali Yildirim to communicate and invite people to decline the coup attempt. Social media was also used by Turkish society as a source of information and a tool to spread action against the coup d 39 etat. In conclusion, this study confirms that the importance of arresting key actor such as government and military actors in a coup while dominates the strategic places. The coup group must also have public support to get a successful coup. The study also emphasizes the importance of technology and social media to influence society about the coup."
2018
T51239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh paradigma militer Turki yang masih beranggapan bahwa militer masih mendominasi berbagai aspek dalam sosial politik Turki sebagaimana pada masa awal pemerintahan Republik. Kudeta lima jam membuktikan kapabilitas Erdogan yang mampu mengalahkan dominasi militer di Turki sehingga kondisi ini mengharuskan militer Turki untuk melakukan penyesuaian dengan gaya kepemimpinan dan sistem politik Erdogan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif. Data diperoleh melalui kajian kepustakaan terhadap berbagai media cetak dan digital seperti buku, artikel ilmiah, dan laporan mengenai dinamika militer di Turki serta berbagai perubahan kebijakan pada militer Turki pasca kudeta 2016. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah transisi demokrasi Huntington dan Strong State Francis Fukuyama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Adaptasi militer Turki dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu Adaptasi Ideologi, Adaptasi Konstitusi dan Adaptasi Organisasi Militer (Restrukturisasi Organisasi). Pada Adaptasi Ideologi Sekuler-Kemalis di Tubuh Militer menitik beratkan pada ketegangan antara ideologi Pro Islam-Konservatif dengan ideologi Kemalist Sekuler. Pada Adaptasi konstitusi terjadi beberapa perubahan yakni melemahnya kewenangan dan keterlibatan militer dalam sistem politik di Turki, sehingga kewenangan yang diberikan terhadap militer hanya sebatas pada pertahanan negara saja. Pada Adaptasi Organisasi Militer, Erdogan mengambil kebijakan yang cukup ekstrem yaitu untuk mengembalikan konteks militer ke barak. Fenomena ini memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan kontrol pemerintahan sipil terhadap Angkatan Bersenjata Turki pasca percobaan kudeta terjadi pada tahun 2016.

This research is motivated by the Turkish military paradigm which still thinks that the military still dominates various aspects of Turkey's social politics as in the early days of the Republican government. The five-hour coup proved Erdogan's capability to defeat military domination in Turkey, so that this condition required the Turkish military to make adjustments to Erdogan's leadership style and political system. The method used in this research is qualitative. The data was obtained through a literature review of various print and digital media such as books, scientific articles, and reports on military dynamics in Turkey as well as various policy changes to the Turkish military after the 2016 coup. The theory used in this research is Huntington's democratic transition and Francis Fukuyama's Strong State.  This study concludes that Turkey's military adaptation can be seen from three dimensions, namely Ideological Adaptation, Constitutional Adaptation and Military Organizational Adaptation (Organizational Restructuring). The Adaptation of Secular-Kemalist Ideology in the Military Body focuses on the tension between Pro-Islamic-Conservative and the Secular Kemalist. In the adaptation of the constitution, several changes occurred, namely the weakening of the authority and involvement of the military in the political system in Turkey, so that the authority given to the military was only limited to national defense. In the adaptation of the Military Organization, Erdoğan took a quite extreme policy, namely to return the military context to the barracks. This phenomenon shows that there has been an increase in the control of the civilian government over the Turkish Armed Forces after the attempted coup occurred in 2016."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Fadila
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji kudeta selama masa pemerintahan Necmettin Erbakan dan Recep Tayyib Erdogan, di mana hasil kedua kudeta tersebut menunjukkan kontradiksi. Penelitian ini menggambarkan secara kualitatif faktor-faktor yang memimpin kudeta dengan melihat faktor militer internal dan eksternal. Mengacu pada teori penyebab kudeta oleh Eric Nordlinger menemukan bahwa, pertama Keberhasilan atau kegagalan kudeta ditentukan oleh kondisi internal militer, semakin kuat militer internal, semakin besar kemungkinan kudeta akan berhasil. Keberhasilan kudeta terhadap Erbakan didorong oleh faktor militer internal yang kuat dan kegagalan kudeta terhadap Erdogan disebabkan oleh faktor militer internal yang lemah melalui amandemen konstitusi 1982. Jika stabilitas dan keamanan negara stabil maka peluang kudeta untuk berhasil sangat kecil. Kegagalan kudeta terhadap Erdogan adalah efek dari stabilitas dan keamanan negara yang cenderung lebih stabil dan aman daripada selama pemerintahan Erbakan yang menderita krisis ekonomi yang berkepanjangan dan masalah-masalah Kurdi yang tak berujung.

ABSTRAK
This thesis examines coups during the reign of Necmettin Erbakan and Recep Tayyib Erdogan, in which the result of those two coups show a contradiction. This study describes qualitatively the factors that led the coup by looking at internal and external military factors. Referring to the theory of the cause of coup by Eric Nordlinger found that, first The success or failure of a coup is determined by the internal condition of the military, the stronger the internal military, the more likely the coup will succeed. The success of the coup against Erbakan was driven by a strong internal military factor and the failure of the coup against Erdogan was caused by the weak internal military factor through the 1982 constitutional amendment. If the stability and security of the country is stable then the chances of coup to be succeeded are very small. The failure of the coup against Erdogan was the effect of the stability and security of the state which tended to be more stable and secure than during the Erbakan government which suffered a prolonged economic crisis and the endless Kurdish problems."
2017
S67054
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhafiati Soerja Djanegara
"Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kudeta oleh militer di Myanmar tahun 2021. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menggunakan kerangka teori milik Harold Crouch tentang faktor pendorong intervensi militer. Crouch mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang melatarbelakangi kudeta yang dilakukan oleh militer, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi orientasi dan kepentingan militer, sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi, keadaan politik, dan faktor dunia internasional. Dengan memaparkan faktor-faktor tersebut, faktor internal dan faktor eksternal merupakan faktor yang melatarbelakangi kudeta di Myanmar pada tahun 2021. Faktor internal berkaitan dengan orientasi militer bahwa hanya Tatmadaw satu-satunya institusi yang bisa menjaga keutuhan negara dan faktor kepentingan militer dimana menguatnya supremasi sipil berpotensi rentan bagi konglomerasi bisnis yang dijalankan Tatmadaw. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kemenangan partai NLD pada pemilihan umum tahun 2020 berpotensi menghilangkan dominasi yang dimiliki oleh Tatmadaw.

This study discusses the factors that led to the military coup in Myanmar in 2021. With a qualitative approach, this study uses Harold Crouch's theoretical framework regarding the factors driving military intervention. Crouch argued that there were two factors behind the coup carried out by the military, namely internal factors and external factors. Internal factors include military orientation and interests, while external factors relate to socio-economic conditions, political conditions, and international factors. By explaining these factors, internal factors and external factors are the factors behind the coup in Myanmar in 2021. The internal factors are related to the military orientation that only the Tatmadaw is the only institution that can maintain the integrity of the country and the military interest factor where the strengthening of civilian supremacy has the potential vulnerable to the business conglomerates run by the Tatmadaw. Meanwhile, external factors related to the victory of the NLD party in the 2020 general election have the potential to eliminate the dominance of the Tatmadaw."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Rahman Syifa
"Pasca pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011, Sudan mengalami penurunan pendapatan negara yang membuat kondisi perekonomian memburuk. Kondisi perekonomian ini juga menyebabkan anggaran untuk militer dikurangi dan memicu maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat. Masyarakat yang tidak puas terhadap kondisi tersebut melakukan aksi protes yang dimulai pada akhir tahun 2018. Puncaknya pada 11 April 2019, Al-Bashir dicopot dari jabatannya sebagai Presiden oleh pihak militer Sudan dan memasuki masa pemerintahan transisi yang diwakili TMC dari pihak militer dan perwakilan dari pihak sipil yang diwakili oleh Forces of Freedom and Change (FFC), kedua organisasi tersebut kemudian membentuk Dewan Kedaulatan dan menandatangani Draft Piagam Konstitusi. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya kudeta militer Sudan tahun 2019, mengetahui proses pemerintahan transisi Sudan setelah adanya kudeta, dan mengetahui dampak kudeta terhadap masyarakat Sudan. Artikel ini disusun menggunakan metode penelitian kualitatif, analisis, dan deskriptif yang menggunakan pendekatan studi pustaka. Hasil dari tulisan ini adalah Kudeta Militer di Sudan dapat terjadi karena pemerintah telah kehilangan legitimasinya, sehingga militer dapat melakukan intervensi dan mencopot jabatan al-Bashir. Dalam proses transisinya, pemerintahan transisi Sudan lebih didominasi oleh militer dibanding sipil, bahkan pihak militer membubarkan pemerintahan transisi secara sepihak pada Oktober 2021. Kudeta ini menyebabkan adanya reformasi hukum-hukum Islam di Sudan serta normalisasi hubungan dengan Israel sebagai upaya dalam mencari dukungan dari pihak internasional.

After the separation of South Sudan in 2011, Sudan experienced a decline in state income which made economic conditions worsened. This economic condition also led to a reduction in the budget for the military and triggered widespread corruption cases among officials. Sudanese who are dissatisfied with these conditions hold protest that started in late 2018. The peak was on April 11, 2019, Al-Bashir was removed from his position as President by the Sudanese military and entered a transitional government represented by the TMC from the military and representatives from the civilian side represented by the Forces of Freedom and Change (FFC), the two organizations then formed the Sovereign Council and signed the Draft Constitutional Declaration. This article aims to find out the causes of the Sudanese military coup in 2019, to find out the process of Sudan's transitional government after the coup, and to find out the impact of the coup on Sudanese society. This article was compiled using qualitative, analytical, and descriptive research methods using a literature study approach. The result of this paper is that the Military Coup in Sudan can occur because the government has lost its legitimacy, so the military can intervene and remove al-Bashir from his position. In the transition process, Sudan's transitional government is dominated by the military rather than civilians, the military even disbands the transitional government unilaterally in October 2021. This coup led to the reform of Islamic laws in Sudan and the normalization of relations with Israel in an effort to seek international support."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Tiara Angelica
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai dampak rivalitas oligarki antara Raja Bhumibol Adulyadej dan Thaksin Shinawatra terhadap terjadinya kudeta militer tahun 2006 dan 2014 di Thailand. Dengan menggunakan teori oligarki oleh Jeffrey A. Winters dan konsep kudeta oleh Edward Luttwak, penelitian ini mengidentifikasi oligarch yang menghadapi berbagai ancaman dalam mempertahankan kekayaan dan kekuasaan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana rivalitas yang terjadi antar oligarch tersebut, dan melihat bagaimana rivalitas tersebut berpengaruh terhadap terjadinya kudeta militer di tahun 2006 dan 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Raja Bhumibol Adulyadej dan Thaksin Shinawatra merupakan oligarch karena mereka memiliki sumber daya kekuasaan: hak politik formal; jabatan resmi; kuasa pemaksaan; kekuatan mobilisasi; dan kekuasaan material. Merujuk pada cara mereka dalam menghadapi berbagai ancaman, Raja Bhumibol Adulyadej tergolong sebagai oligarch sultanistik, sementara Thaksin Shinawatra tergolong sebagai penguasa kolektif. Bentuk konkret dari rivalitas kedua oligarch tersebut dapat dilihat melalui bangkitnya kelompok yellow shirt dan red shirt. Rivalitas yang terjadi antara kedua oligarch tersebut pada akhirnya berujung pada kudeta militer di Thailand tahun 2006 dan 2014. Kedua tersebut merupakan bentuk dari pola revolusi karena tujuannya adalah untuk membuat perubahan dalam struktur sosial politik, yakni untuk menggulingkan Thaksin Shinawatra dari pemerintahan dan menghapus pengaruhnya dalam konstelasi politik yang akan datang.

ABSTRACT
This research discusses the impact of the oligarch rivalry between King Bhumibol Adulyadej dan Thaksin Shinawatra towards the 2006 and 2014 military coups in Thailand. By combining the oligarch theory by Jeffrey A. Winters and the concept of coup by Edward Luttwak, it identifies the oligarchs who must deal with several threats in their attempt to defend their wealth and power. The purpose of this research is to see how far the rivalry goes between the two oligarchs and aims to see how it later contributes to the military coup in 2006 and 2014. The findings of this study suggest that King Bhumibol Adulyadej and Thaksin Shinawatra are both oligarchs because they have power resources: formal political rights; official position; coercive powers; mobilizational power; and material power. In terms of how they respond to several threats, while King Bhumibol Adulyadej is considered to be a sultanistic oligarch, Thaksin Shinawatra is considered to be a collective authority. The form of this oligarch rivalry is visible through the rise of the yellow shirt and the red shirt group, and eventually resulted in a military coup in Thailand in 2006 and subsequently the 2014 coup. Both coups were considered as a revolutionary coup because the aim was to make changes in the socio-political structure, namely replacing Thaksin Shinawatra from the prime minister's position and remove his influence in upcoming politics."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rifka Kholilah
"Kudeta Militer yang terjadi di Myanmar yang dimulai sejak bulan Februari 2021, menjadi perhatian berbagai negara internasional termasuk organisasi regional Asia tenggara yaitu ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). Kudeta militer ini terjadi karena tidak terimanya pihak militer atas kemenangan NLD (National League for Democracy) pada pemilu yang diadakan pada bulan November 2020. Adanya kudeta militer membuat masyarakat Myanmar tidak terima dan menginginkan kembalinya demokrasi. Masyarakat Myanmar melakukan aksi protes yang mana pihak militer melawannya dengan tindakan koersif hingga terjadi berbagai pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) seperti penculikan, penembakan dan sebagainya. Pelanggaran HAM yang terjadi ini menimmbulkan banyak korban jiwa dan keadaan Myanmar yang semakin tidak kondusif sehingga menjadi sebuah krisis kemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional merasa prihatin dan mengambil peran untuk membantu Myanmar mencari solusi untuk mengatasi kudeta militer dan mengembalikan Myanmar ke arah demokrasi. Dalam menganalisis peran ASEAN, penulis menggunakan konsep flexible engangement atau constructive intervention dan responsibility to protect. Penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data yang diperoleh dari buku, jurnal, skripsi, artikel, berita, perjanjian atau piagam internasional dan situs – situs online. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelembagaan untuk melihat peran lembaga regional yaitu ASEAN dalam membantu Myanmar mengatasi konflik HAM pasca kudeta militer. ASEAN menjalankan perannya dengan mengutamakan keharmonisan melalui cara damai untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Hal tersebut diimplementasikan dengan melakukan berbagai pertemuan formal dan informal hingga menghasilkan lima poin konsensus sebagai rekomendasi kepada Myanmar.

The military coup that took place in Myanmar, which began in February 2021, has attracted the attention of various international countries, including the Southeast Asian regional organization, namely ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). This military coup occurred because the military did not accept the victory of the NLD (National League for Democracy) in the elections held in November 2020. The military coup made the people of Myanmar not accept and want the return of democracy. The people of Myanmar staged a protest which the military fought with coercive measures that resulted in various human rights violations such as kidnappings, shootings and so on. The human rights violations that have occurred have caused many casualties and Myanmar's increasingly unfavorable situation has become an increasingly worrying humanitarian crisis. Therefore, ASEAN as a regional organization is concerned and takes a role to help Myanmar find a solution to overcome the military coup and return Myanmar to democracy. In analyzing the role of ASEAN, the author uses the concept of flexible engagement or constructive intervention and responsibility to protect. In this study, the authors used qualitative methods using data obtained from books, journals, theses, articles, news, international treaties or charters and online sites. The approach used in this research is institutional to see the role of regional institutions, namely ASEAN in helping Myanmar overcome human rights conflicts after the military coup. ASEAN carries out its role by prioritizing harmony through peaceful means to resolve humanitarian problems that occur in Myanmar. This was implemented by holding various formal and informal meetings to produce five consensus points as recommendations to Myanmar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyah Nur Fadilah
"Revolusi yang terjadi di Mesir tahun 2011 membawa gelombang demokratisasi di Mesir. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi kelompok Ikhwanul Muslimin yang selama ini direpresi oleh pemerintah untuk tampil dalam politik melalui partainya Freedom and Justice Party (FJP). Melalui pemilu 2012, FJP mampu memperoleh suara hingga 45 persen dan kandidat presidennya Muhammad Mursi terpilih menjadi presiden dengan perolehan suara sebesar 51,7 persen.
Namun sayangnya demokratisasi yang terjadi di Mesir hanya berlangsung sesaat. Pada tanggal 3 Juli 2013 militer melakukan kudeta terhadap Mursi. Kudeta yang terjadi di Mesir merupakan bentuk dari lemahnya kontrol sipil terhadap militer. Mursi gagal melakukan kontrol terhadap militer sehingga ia tidak bisa mencegah tindakan militer yang menurunkannya secara paksa melalui jalan kudeta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi hubungan sipil militer di masa kepemimpinan Mursi dan bagaimana faktor-faktor tersebut menyebabkan lemahnya kontrol sipil terhadap militer sehingga menyebabkan terjadi kudeta militer. Penelitian ini menggunakan beberapa teori, diantaranya adalah teori hubungan sipil militer, teori tentara pretorian, teori kudeta dan teori kepentingan internasional.
Dalam tesis ini penulis menguraikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan kontrol sipil terhadap militer sehingga menimbulkan kudeta. Faktor-faktor tersebut adalah; 1) Tipikal militer Mesir yang merupakan tentara pretorian dan doktrin yang dianut militer. 2) Kepentingan dan intervensi negara-negara asing terhadap Mesir. 3) Fragmentasi kelompok sipil di Mesir yang bersifat fratricidal (saling menjatuhkan).

The revolution that occurred in Egypt in 2011 brought a wave of democratization in Egypt. It also provided an opportunity for the Muslim Brotherhood, which had been repressed by the government, to perform in politics through its political wing, the Freedom and Justice Party (FJP). Through the 2012 elections, the FJP was able to acquire up to 45 percent voice and its presidential candidate, Mohammed Mursi was elected president by a vote of 51.7 percent.
But unfortunately democratization in Egypt only lasted a moment. On July 3, 2013 the military staged a coup against Mursi. The coup happened in Egypt was a form of weak civilian control over the military. Mursi failed to exercise control over the military so a military coup was inevitable, forcing him into detention.
This study aims to determine the factors that affect civil-military relations during Mursi‟s administration and how these factors lead to lack of civilian control over the military that led to a military coup. This study uses several theories, including the theory of civil-military relations, theory of praetorian army, coup theory and theory of international interest.
In this thesis, the author outlines the factors affecting the failure of civilian control over the military, giving rise to a coup. These factors are; 1) Egypt praetorian military and the doctrine it adopted. 2) The interest and intervention of foreign countries on Egypt. 3) Fragmentation of civil groups in Egypt who are fratricidal, each against other.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Wulida Sulistiya
"Praktek kerja profesi di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta Barat dilaksanakan selama dua bulan dimulai dari bulan Juli 2016 hingga Agustus 2016. Tujuan dilaksanakannya praktek kerja profesi ini adalah agar calon Apoteker mampu memahami peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker dalam praktek pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinis. Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita telah melakukan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuan perundangan dan etika farmasi yang berlaku yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, sedangkan pelayanan farmasi klinis yang belum dilakukan adalah penelusuran riwayat penggunaan obat, konseling, pemantauan terapi obat PTO, monitoring efek samping obat MESO, evaluasi penggunaan obat EPO dan pemantauan kadar obat dalam darah PKOD.

Internship at Anak dan Bunda Harapan Kita Hospital was held two months started at July 2016 until August 2016. This internship was intended to make Apothecary student understand roles and responsilibities of Pharmacist in hospital understand managerial activities of pharmaceutical products, medical devices and single use medical tools and also giving pharmaceutical care. Moreover, managerial activities pharmaceutical products, medical devices and single use medical tools in Anak dan Bunda Harapan Kita Hospital are appropriate with Regulation of Minister of Health No. 58 Year 2014 about Standarization of Pharmaceutical Care in Hospital. Clinical pharmacy activities in Anak dan Bunda Harapan Kita Hospital that are not done are history searches of medication use, counseling, therapeutic drug monitoring, monitoring of drug side effects, drug use evaluation and monitoring of drug levels in blood."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lisna Andriani
"ABSTRAK
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Puskesmas Kecamatan Jatinegara bertujuan agar mahasiswa memahami tugas dan tanggung jawab apoteker sesuai dengan ketentuan perundang ndash; undangan dan etika yang berlaku, mendapatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis dan gambaran nyata tentang permasalahan praktek kefarmasian, mempelajari strategi untuk pengembangan praktek kefarmasian, serta mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan tenaga kesehatan lain. Tugas khusus yang diberikan berjudul Pengkajian Resep Diagnosis Myalgia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.30 Tahun 2014 di Puskesmas Kecamatan Jatinegara. Tujuan penyusunan tugas khusus ini untuk mengetahui hasil pengkajian resep diagnosis myalgia di Puskesmas Kecamatan Jatinegara berdasarkan Permenkes RI nomor 30 tahun 2014.
ABSTRACT
Internship at Puskesmas Kecamatan Jatinegara aims to make students understand the responsibilities of pharmacists in accordance with laws and ethics, improve practical knowledge and skills, get a description of the problem to practice pharmaceutical care and learn strategies to develop it, also be able to communicate and interact with other health professionals. The specific assignment is Prescription Screening Diagnosis Myalgia based on Peraturan Menteri Kesehatan RI No.30 2014 at Puskesmas Kecamatan Jatinegara. The aim of this specific assignment to know the results prescription screening with diagnosis myalgia at Puskesmas Kecamatan Jatinegara based on Permenkes RI nomor 30 2014.
"
2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>