Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114234 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhadi
"Latar Belakang: Infark miokard salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia. MACE (Major Adverse Cardiac Event) adalah komplikasi akut utama yang terjadi pada pasien infark miokard, meliputi gagal jantung akut, syok kardiogenik dan aritmia fatal. Diperlukan biomarker yang akurat, mudah dilakukan dan cost-effective untuk memprediksi MACE dan kematian. Cedera hati hipoksik atau HLI (hypoxic liver injury) adalah salah satu biomarker potensial menggunakan kadar enzim hati transaminase (aspartate transaminase) sebagai parameter. Penelitian ini bertujuan mengetahui peran HLI sebagai prediktor MACE pada pasien infark miokard tanpa gambaran EKG elevasi segmen ST (NSTEMI).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan keluaran berupa MACE dan kohort retrospektif dengan keluaran kematian selama masa perawatan. Populasi penelitian adalah semua pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM. Sampel penelitian adalah pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada tahun 2006-2016 dan memenuhi kriteria penelitian sebanyak 277 subyek. Penentuan titik potong HLI berdasarkan kadar aspartate transaminase (AST) yang dapat memprediksi MACE dan kematian dihitung dengan kurva ROC. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan POR terhadap MACE dengan memasukkan kovariat. Analisis bivariat mengenai sintasan pasien terhadap kematian dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-Meier dan diuji dengan Log-rank.
Hasil: MACE pada penelitian ini adalah 51,3% (gagal jantung akut 48,4%, aritmia fatal 6,5%, syok kardiogenik 7,2%) dan angka kematian sebesar 6,13%. Median nilai AST adalah 35 U/L pada seluruh subyek, 40 (8-2062) U/L pada subyek dengan MACE dan 31 (6-1642) U/L dengan subyek tanpa MACE (p 0,003). Nilai titik potong yang diambil untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L (sensitivitas 21,8%, spesifisitas 89,6%, POR 2,727 (IK 95% 1,306-5,696), p 0,006). Pada analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara HLI dengan MACE. Nilai titik potong untuk memprediksi kesintasan terhadap kematian adalah 99,0 U/L (sensitivitas 23,5%, spesifisitas 83,8%, likelihood ratio + 1,46). Tidak didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna antara subyek dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar AST.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan median nilai AST yang bermakna pada pasien NSTEMI dengan dan tanpa MACE. Titik potong kadar AST untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L. Titik potong kadar AST untuk memprediksi kesintasan adalah 99 mg/dl. Tidak terdapat perbedaan kesintasan pada pasien dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar AST.

Background: Myocard infarction (MI) is the leading cause of death around the world. Major Adverse Cardiac Events (MACE) complicating MI are acute heart failure, cardiogenic shock and fatal arrhytmia. An accurate, easy and cost-effective biomarker is needed to predict MACE and mortality in patients with MI. Hypoxic liver injury (HLI) is a potential biomarker using aspartate transaminase (AST) level as the parameter. This study is aimed to discover HLI's role in predicting MACE in Non ST Elevation Myocard Infarct (NSTEMI).
Method: This study is designed as cross sectional to predict MACE and prospective cohort for survival analysis. Study population is all NSTEMI patients admitted to ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital and study sample are NSTEMI patients admitted to ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital that meets all criteria during 2006-2016 (277 subjects). Cut-off level of AST for HLI to predict MACE and mortality is analyzed using ROC curve and AUC. Survival analysis is done using Kaplan Meier curve and the difference is tested with Log-Rank.
Result: Incidence of MACE in this study is 51.3% (acute heart failure 48.4%, fatal arrhytmia 6.5%, cardiogenic shock 7.2%) and mortality rate is 6.13%. The median of AST level on all subject is 35 U/L, 40 (8-2062) U/L in subjects with MACE and 31 (6-1642) U/L in subjects without MACE (p 0.003). Cut-off level for AST used to predict MACE is 101 U/L (sensitivity 21.8%, specificity 89.6%, POR 2.727 (CI 95% 1.306-5.696), p 0.006). In multivariate analysis, HLI is insignificantly related to MACE. Cut-off level for AST used to predict survival is 99 U/L (sensitivity 23.5%, specificity 83.8%, likelihood ratio + 1.46). There are no significant difference of survival between groups with HLI level below and above the cut-off AST level.
Conclusion: There is significant differences of median AST level between NSTEMI patients with and without MACE. Cut-off level for AST used to predict MACE is 101 U/L. Cut-off level for AST used to predict survival is 99 U/L. There are no significant difference of survival between groups with AST level below and above the cut-off AST level."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghea Shafa Aldora
"Liver injury didefinisikan sebagai kenaikan konsentrasi enzim hati yang sering diukur, termasuk aminotransferase [aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT)], alkalin fosfatase (ALP), atau γ-glutamyl transpeptidase. Drug-induced liver injury (DILI) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahaya tak terduga pada hati yang disebabkan oleh obat yang umum digunakan. Penelitian cross-sectional retrospektif ini dilakukan untuk menganalisis prevalensi kejadian DILI dan golongan obat yang berpotensi menyebabkan kejadian DILI pada pasien rawat inap ICU dan non-ICU Rumah Sakit Universitas Indonesia Tahun 2021. Analisis DILI dilakukan dengan menggunakan algoritma Naranjo. Pada penelitian ini, prevalensi DILI pada pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 sebesar 35,83% dari pasien dengan diagnosis liver injury saat masuk rawat inap dan selama perawatan, sedangkan prevalensi DILI pada seluruh pasien rawat inap ICU dan non-ICU di RSUI tahun 2021 adalah sebesar 1,01%. Sebanyak 1 pasien (2,13%) termasuk dalam kejadian dapat terjadi DILI (probable) dan 42 pasien (89,36%) kejadian belum pasti terjadi DILI (possible). Golongan obat yang ditemukan berpotensi menimbulkan DILI adalah antibiotik (31,58%), agen kardiovaskular (24,21%), analgesik (14,74%), antitukak (11,58%), antivirus (8,42%), antiemetik (8,42%), dan antidiabetes (1,05%). Pada penelitian ini, DILI banyak ditemukan pada pasien laki-laki, berumur 18-59 tahun, memiliki BMI gemuk (≥25,1), dan memiliki jumlah masalah kesehatan ≥2. Hasil menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia, BMI, dan jumlah masalah kesehatan dengan DILI. Dapat disimpulkan bahwa DILI merupakan salah satu penyebab utama dari liver injury di RSUI sehingga diperlukannya monitoring dan penilaian DILI secara berkala.

Liver injury is defined as elevations in the concentration of frequently measured liver enzymes, including aminotransferase [aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT)], alkaline phosphatase (ALP), or γ-glutamyl transpeptidase. Drug-induced liver injury (DILI) is a term used to describe unexpected harm to the liver caused by commonly described drugs. This retrospective cross-sectional study was conducted to analyze the prevalence of DILI and the categories of drugs that have the potential to caused DILI in ICU and non-ICU inpatients at University of Indonesia hospital in 2021. DILI analysis was performed using Naranjo algorithm. According to this research, the prevalence of DILI in inpatients at RSUI in 2021 was 35.83% of patients diagnosed with liver injury on admission and during treatment in the hospital, while the prevalence of DILI in all inpatients at RSUI in 2021 was 1.01%. In which, 1 patient (2.13%) was assessed as a probable DILI event, and 42 patients (89.36%) were assessed as possible DILI event. Antibiotics (31.58%), cardiovascular agents (24.21%), analgesics (14.74%), anti-ulcers (11.58%), antivirals (8.42%), antiemetics (8.42%), and antidiabetics (1,05%) were the major categories of drugs with the potential of causing DILI. In this study, most cases of DILI occurred in men gender, age 18-59 years, with obese BMI (≥25.1), and patients with health issues ≥2. The analysis showed there was no significant relationship between gender, age, BMI, and number of health problems with DILI. It can be concluded that DILI is one of the main causes of liver injury at RSUI in which regular monitoring and assessment of DILI is deemed to be necessary."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadi
"ABSTRAK
Major adverse cardiac event (MACE) adalah komplikasi akut utama yang terjadi pada pasien infark miokard, meliputi gagal jantung akut, syok kardiogenik, dan aritmia fatal. Diperlukan biomarker yang akurat, mudah dilakukan, dan cost-effective untuk memprediksi MACE dan kematian. Cedera hati hipoksik atau HLI (hypoxic liver injury) adalah salah satu biomarker potensial menggunakan kadar enzim hati transaminase (serum glutamic-oxaloacetic transaminase/SGOT) sebagai parameter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran HLI sebagai prediktor MACE pada pasien infark miokard tanpa gambaran EKG elevasi segmen ST (NSTEMI).
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan luaran berupa MACE dan kohort retrospektif dengan keluaran kematian selama masa perawatan. Populasi penelitian adalah semua pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sampel penelitian adalah pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada tahun 2006-2016 dan memenuhi kriteria penelitian. Penentuan titik potong HLI berdasarkan kadar SGOT yang dapat memprediksi MACE dan kematian dihitung dengan kurva ROC. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan nilai prevalence odds ratio (POR) terhadap MACE dengan memasukkan kovariat. Analisis bivariat mengenai sintasan pasien terhadap kematian dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-Meier dan diuji dengan log-rank.
Hasil. Sebanyak 277 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Proporsi subjek dengan MACE pada penelitian ini adalah 51,3% (gagal jantung akut 48,4%, aritmia fatal 6,5%, syok kardiogenik 7,2%) dan angka kematian sebesar 6,13%. Median nilai SGOT adalah 35 U/L pada seluruh subjek, 40 (rentang 8-2062) U/L pada subjek dengan MACE dan 31 (rentang 6-1642) U/L pada subjek tanpa MACE (p = 0,003). Nilai titik potong yang diambil untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L (sensitivitas 21,8%; spesifisitas 89,6%; POR 2,727 (IK 95%: 1,306-5,696), p = 0,006). Pada analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara HLI dengan MACE. Nilai titik potong untuk memprediksi kesintasan terhadap kematian adalah 99,0 U/L (sensitivitas 23,5%; spesifisitas 83,8%; likelihood ratio +1,46). Tidak didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna antara subjek dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar SGOT.
Simpulan. Cedera hati hipoksik (HLI) tidak dapat digunakan untuk memprediksi MACE pada pasien NSTEMI kecuali dikombinasikan dengan variabel lain. Tidak terdapat perbedaan kesintasan yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa HLI."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farell Hwardaya Putraprasetyo
"Latar Belakang: Cedera Otak Traumatik (COT) mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan temuan radiologi TBI dengan angka kecacatan dan kematian di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari rekam medis dan arsip pasien yang disediakan oleh Departemen Neurologi FKUI-RSCM yang telah didiagnosis menderita COT sedang dan berat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari hingga Desember 2021. Hasil CT diklasifikasikan menggunakan skor CT Rotterdam. GOSE digunakan sebagai outcome prediktor dimana penilaian dilakukan pada hari ke 14, 30, dan 90. Analisis bivariat akan dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square dan uji Mann-Whitney. Hasil: TBI sedang menjadi dominan (88,5%) dan SAH menjadi kelainan CT paling umum di RSCM (57,6%). Usia ditemukan menjadi faktor signifikan dalam perkembangan hasil yang lebih buruk pada hari ke-14 pasca-trauma (p= 0,026). Keparahan juga ditemukan sebagai faktor yang signifikan terlepas dari kapan skor GOSE diambil (hari ke-14 p= 0,004, hari ke-30 p= <0,001, hari ke-90 p=<0,001). SAH merupakan prediktor hasil yang signifikan pada hari ke-14 (p=0,030), hari ke-30 (p=0,010), dan hari ke-90 (p = 0,009). DAI (p= 0,048) dan edema serebral (p=0,009) memainkan peran penting terhadap hasil pada hari ke-90. Skor CT Rotterdam memiliki hubungan yang signifikan terhadap prediksi hasil pada hari ke-14 (p=0,009), hari ke-30 (p <0,001), dan hari ke- 90 (p <0,001). Kesimpulan: Tingkat keparahan COT, SAH, DAI, dan edema serebral mempunyai peran penting dalam prediksi hasil akhir penelitian.

Introduction: TBI affects millions of individuals around the world. This research aims to explore the relationship between radiological findings of TBI and the disability and mortality rate in Cipto Mangunkusumo Hospital Methods: This is a descriptive analytical research, done in a retrospective way by the usage of secondary data extracted from medical records of patients that had been diagnosed with TBI in Cipto Mangunkusumo hospital in 2021. GOSE was used as an outcome predictor in which assessment was done at the 14th, 30th, and 90th day. Analysis was done using Chi-square test and Mann-Whitney test Results: Moderate TBI to be predominant (88.5%) and SAH to be the most prevalent CT abnormality in Cipto Mangunkusumo hospital (57.6%). Age was found to be a significant factor in the development of worse outcomes in the 14th day post-trauma (p= 0.026). Severity was found to be a significant factor also regardless of when the GOSE score was taken (14th day p= 0.004, 30th day p= <0.001, 90th day p=<0.001). SAH was a significant predictor of outcome at the 14th day (p=0.030), 30th day (p=0.010), and 90th day (p = 0.009). DAI (p= 0.048) and cerebral edema (p=0.009) played a significant role on the outcome at the 90th day. Rotterdam CT score had a significant association in outcome prediction at the 14th day (p=0.009), 30th day (p < 0.001), and 90th day (p < 0.001). Conclusion: Severity, Rotterdam CT score, SAH, DAI, and cerebral edema had a significant role in prediction of outcome at the end of the study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafif A. S.
"Peningkatan insidensi fraktur maksilofasial berdampak pada peningkatan beban kerja rumah sakit serta diprediksi mempengaruhi sistem kesehatan masa mendatang. Karakteristik fraktur maksilofasial dipengaruhi budaya, sosioekonomi, serta sosiodemografi suatu negara. Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi dan frekuensi fraktur maksilofasial di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo periode 2009-2013. Analisis dilakukan pada 407 rekam medik dengan 659 kasus fraktur maksilofasial. Distribusi dan frekuensi dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi fraktur, regio fraktur, derajat keparahan cedera fasial, dan lama rawat inap. Mayoritas pasien berusia 20-26 tahun (29,2%) dan berjenis kelamin laki-laki (82,3%) dengan perbandingan 4,7:1 terhadap perempuan. Etiologi fraktur tersering adalah kecelakaan motor (75,5%). Fraktur maksilofasial ditemukan terbanyak pada regio simfisis dan parasimfisis mandibula (16,4%). Derajat keparahan cedera fasial berkisar antara ringan hingga sedang dengan rata-rata skor 2,50 + 1,2. Rata-rata lama perawatan inap pasien adalah 10,28 + 6,9 hari.

Increased number of maxillofacial fracture incidency affecting hospital workload and predicted have impact on future health system. Maxillofacial fracture characteristics were depends on culture, socioeconomy, and sociodemography. The aim of this study was determine distribution and frequency of maxillofacial fracture in Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital from 2009-2013. 407 medical records with 659 cases was analyzed. Distribution and frequency analyzed concerning age, gender, etiology, fracture region, facial injury severity, and patient length of stay. Most of the patients were 20-26 years old in age (29,2%) and men were more involved than women (82,3%) with ratio 4,7:1. Motorcycle accident were most frequent cause (75,5%). Mandibular symphisis and parasymphisis found as the most fractured anatomical site (16,4%). Facial injury severity of patients found between mild to moderate with FISS score average 2,50 + 1,2. Mean of patient length of stay were 10,28 + 6,9 days."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ro Shinta Christina Solin
"Luka bakar merupakan salah satu bentuk trauma tersering dan infeksi luka bakar merupakan masalah serius yang menyebabkan hambatan pada maturasi epidermal dan penambahan pembentukan jaringan parut. Pada tahun terkahir berbagai penelitian menemukan patogen yang resisten terhadap terapi antibiotik. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran profil bakteri dan antibiogram pada infeksi luka bakar serta mortalitas di Unit Luka Bakar ULB Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo RSUPNCM periode Januari-Desember 2015. Penelitian ini dilaksanakan secara retrospektif dan didapatkan 214 isolat dari spesimen pus, swab, dan jaringan luka bakar yang berasal dari 89 pasien yang dirawat di ULB RSUPNCM. Isolat bakteri terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, dan Acinetobacter baumannii. Proporsi mortalitas didapatkan sebesar 32.5

Burns is one of the most common forms of trauma and burn wound infection is a serious problem that causes a drag on epidermal maturation and addition of scar tissue formation. In recent years various studies finding pathogens that are resistant to antibiotic therapy. This study aims to get an overview of bacteria and antibiogram profile in infections and mortality burns in the Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period from January to December 2015. In this study, 214 isolates from pus specimens, swabs, and tissue burns derived from 89 patients treated at Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Most bacterial isolates is Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, and Acinetobacter baumannii. The proportion of mortality obtained amounted to 32.5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55643
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Lewa
"Latar belakang: Pada tahun 2018, diperkirakan tercatat 265.00 kematian yang disebabkan oleh luka bakar. Sekitar 96% kasus kematian terjadi di negara berkembang, dimana dua per tiga-nya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Metode:Subjek dibagi ke dalam dua grup yang diidentifikasi secara retrospektif dari rekam medis, dan dibandingkan secara prospektif. Studi ini membandingkan mortalitas, insiden sepsis, dan lama rawat inap pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini (n=23) yang dibandingkan dengan pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda (n=23). Data dianalisa dengan Fisher Exact Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Dari Januari 2016 sampai Agustus 2018, terkumpul 46 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini berbeda secara bermakna (p<0.001) dengan kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda dengan risiko relatif 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada mortalitas dan lama rawat inap pada kedua grup tersebut (p>0.05).
Kesimpulan: Eksisi tangensial dini bermanfaat untuk mencegah kejadian sepsis pada pasien luka bakar deep dermal dan luka bakar full thickness. Namun begitu, penilaian kedalaman luka bakar bersifat subjektif terhadap pengalaman klinis seorang dokter bedah. Eksisi tangensial dini harus dilakukan tidak lebih dari 96 jam setelah kejadian luka bakar.

Background: In the year 2018, it is estimated that 265.000 deaths are associated with burn injury annually. Approximately 96% of these cases occur in developing countries, out of which two-thirds are in the Africa and Southeast Asia regions, including Indonesia
Methods: There were two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare mortality, sepsis incidence and hospital length of stay in patients underwent early tangential excision (n=23) to those who underwent delayed tangential excision (n=23) using Fisher Exact Test and Mann-Whitney.
Result: From January 2016 to August 2018, 46 patients met the inclusion criteria of this study. The incidence of sepsis was statistically significant with all sepsis incidence occurs only delayed tangential excision group (p<0.001) with relative risk 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). There were no differences on the mortality as well as hospital length of stay between early and delayed tangential excision groups (p>0.05).
Conclusion: Early tangential excision is beneficial to prevent sepsis in patients with deep dermal and full thickness burn. Although burn depth assessment can be subjective to surgeon's clinical experience. Early tangential excision should be done no longer than 96 hours after burn injury.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Rafiqah Aulia
"Trauma kepala merupakan suatu istilah untuk salah satu jenis gangguan traumatis yang berdampak pada fungsionalitas otak. Trauma kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis, gangguan fisik, gangguan fungsi kognitif, dan gangguan psikososial secara temporer ataupun permanen. Trauma kepala merupakan salah satu masalah global karena menjadi salah satu penyebab terbanyak kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Penelitian ini telah memberikan gambaran secara faktual, sistematis, dan terbaru mengenai insidensi kasus trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) beserta karakteristik demografi yang diselidiki. Penelitian observasional dengan metode deskriptif dan analitik ini menggunakan desain potong lintang. Populasi penelitian adalah pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM selama periode tahun 2016–2020 dengan besar sampel sebanyak 90 subjek yang pada data rekam medis didiagnosis mengalami trauma kepala dan diintervensi melalui prosedur bedah. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Dari 90 subjek penelitian, didapatkan bahwa mayoritas pasien berasal dari kelompok usia <21 tahun (31,1%), laki-laki (84,4%), pengguna JKN (88,9%), kecelakaan sebagai etiologi (65,6%), bukan rujukan (48,9%), rujukan dari Jawa (45,6%), antrean non-cito (55,6%), dan domisili Jabodetabek (61,1%). Hipotesis nol diterima pada analisis bivariat. Karakteristik demografi dari pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM mayoritas berusia <21 tahun, laki-laki, pengguna JKN, korban kecelakaan, pasien bukan rujukan, pasien rujukan terbanyak dari Jawa, antrean non-cito, dan berdomisili di Jabodetabek. Tidak ada perbedaan penggunaan jaminan kesehatan dan etiologi antara berbagai golongan usia pasien. Selain itu, tidak ada perbedaan etiologi trauma kepala antara pasien laki-laki dan perempuan.

Head trauma is a traumatic disorder that impacts brain functionality. Head trauma can cause temporary or permanent neurological, physical, cognitive, and psychosocial dysfunction. Head trauma is a global problem because it is one of the leading causes of death and disability throughout the world. This research has provided a factual, systematic, and up-to-date description along with demographic characteristics of head trauma cases that underwent surgical procedures at RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). This observational research with descriptive and analytical methods uses a cross-sectional design. The study population was head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM during 2016–2020 with a sample size of 90 subjects who were diagnosed with head trauma in medical record and were intervened through surgical procedures. Sampling used purposive sampling technique. Of the 90 subjects, the characteristics were majorly <21 years (31.1%), men (84.4%), JKN users (88.9%), accidents as the etiology (65.6% ), non-referral (48.9%), referral from Java (45.6%), non-cito queue (55.6%), and Jabodetabek domicile (61.1%). The null hypothesis was accepted in the bivariate analysis. The demographic characteristics of head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM were majorly <21 years old, male, JKN users, accident victims, non-referral patients, most referral patients were from Java, non-cito queues, and lived in Jabodetabek. There were no differences in the use of health insurance and etiology between various patient age groups. In addition, there was no difference in the etiology of head trauma between male and female patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renindra Ananda Aman
"Background: This study aims to determine the association between neuroinflammation and oxidative stress with prognosis of brain injury patients and the association between neurosurgical procedure with neuroinflammation and oxidative stress condititons.
Methods: The study design is a prospective observation of 40 brain injury patients who underwent surgery. IL-6, uric acid, MDA, NR2A antibodies and GSH serum level of pre- and 1 day post-operation on brain injury patients were measured, and their association with GCS, GOS and neurosurgical procedures were analyzed.
Results: The post-operative IL-6 serum level showed a downward trend compared to pre-operative value (mean decrease: -190.61 pg/mL). The post-operative IL-6 level was significantly associated with GCS 7 days post-operation (p = 0.006), with OR 24. The post-operative IL-6 serum level was significantly associated with GOS 3 months post-trauma (p = 0.016) with OR 11.6. The post-operative uric acid serum level showed a downward trend compared to pre-operative value (mean decrease: -0.26 mg/dL). There was a significant difference between the mean value of post-operative uric acid serum level in patients with 7 days post-trauma with GCS ≤ 8 (mean: 4.16 mg/dL) and GCS > 8 (mean: 2.71 mg/dL), (p = 0.042). The post-operative MDA serum level showed a downward trend compared to pre-operative value (mean decrease: -0.08 nmol/mL). There is no significant association between MDA serum level, GCS and GOS and no significant association of NR2A antibody and GSH serum level with GCS, GOS and neurosurgical procedure. From the multivariate analysis, the most important neuroinflammatory variable associated with GCS and GOS is IL-6.
Conclusion: Neuroinflammation and oxidative stress may have prognostic values in brain-injured patients, in particular IL-6. Neurosurgical procedures may decrease the neuroinflammation process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adriansyah
"1. Trauma laringotrakea adalah trauma yang dibatasi pada daerah laring, trakea bagian cervikal, dan esofagus.
2. Penderita terbanyak adalah laki-laki dewasa usia produktif. Diagnosis relatif mudah ditegakkan, sehingga klassifkasi menurut Fuhrman dkk tidak dipakai di Sub.Bag.Bedah Torak FKUI RSCM.
3. Pemeriksaan CT scan atau triple endoskopi ( laringoskopi, bronkoskopi, esofagoskopi ) untuk akurasi diagnosis dan mencegah ekstended eksplorasi.
4. Cedera esophagus lebih sering dijumpai pada trauma tembus tajam dengan cedera laringotrakea lebih dari setengah Iingkaran.
5. Angka morbiditas dan mortalitas tergantung pada kecepatan diagnosis dan penatalaksanaannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T57937
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>