Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183002 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rommi Rusfiandhi
"Latar Belakang: Penyemprot cat mobil adalah salah satu pekerjaan yang sering mengakibatkan pajanan logam berat di tempat kerja, salah satunya adalah kromium. Banyak efek kesehatan yang terkait dengan pajanan senyawa Cr VI . Melihat bahaya dan gangguan kesehatan akibat senyawa Cr VI serta pajanan yang ada dengan kebiasaan-kebiasaan para pekerja cat duco yang tidak memakai alat perlindungan diri dan merokok. Peneliti ingin meneliti korelasi lama pajanan dengan Cr VI darah serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar Cr VI darah.Metode: Desain penelitian menggunakan metode cross-sectional dengan total sampel sebesar 45 orang menggunakan data sekunder dari penelitian Prodia OHI tahun 2017. Usia, masa kerja, kadar Cr VI udara personal, lama pajanan, pajanan total, kebiasaaan merokok, kebiasaan konsumsi makanan laut makanan kaleng, sumber air minum, dan penggunaan APD adalah variabel-variabel yang diteliti.Hasil: Korelasi kadar kromium dalam darah dengan variabel-variabel yang diteliti tidak ada yang bermakna secara statistik. Korelasi kadar kromium dalam derah dengan usia p = 0,221 dan r = -0,186 , masa kerja p = 0,453 dan r = -0,115 , kadar Cr VI udara personal p = 861 dan r = 0,027 , lama pajanan p = 0,975 dan r = 0,005 , dan pajanan total p = 0,151 dan r = 0,218 . Hubungan kadar Cr VI darah dengan pajanan di luar pekerjaan juga tidak ada yang menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik. Hubungan kadar kromium darah dengan kebiasaan merokok p = 0,257 , konsumsi makanan laut p = 0,692 , konsumsi makanan kaleng p = 0,307 , dan sumber air minum p = 0,599 . Semua responden tidak menggunakan APD sehingga tidak dapat dianalisis.Kesimpulan: Tidak ada korelasi antara kadar Cr VI darah dengan lama pajanan. Karakteristik perkerjaan di sektor informal yang tidak menentu jumlahnya, variasinya sangat luas antar tiap responden, dan banyaknya faktor perancu lain yang sulit dikendalikan.

Background Car paint sprayers are one of the jobs that often lead to heavy metal exposure in the workplace, one of which is chromium. Many health effects are associated with exposure to Cr VI compounds. Looking the health hazards of Cr VI compounds and existing exposures with the habits of duco sprayers which smoking and never use any self protection equipment. Researchers wanted to examine the correlation between exposure duration with Cr VI blood levels as well as factors that affecting it.Method The study design used a cross sectional method with a total sample of 45 people using secondary data from Prodia OHI study in 2017. Age, working period, Cr VI personal air levels, exposure duration, total exposure, smoking habits, seafood canned food consumption habits, drinking water sources, and the use of PPE are the variables studied.Result Correlation of chromium blood levels with the studied variables was not significant. The correlation of chromium blood levels with age p 0,221 and r 0,186 , working period p 0,453 and r 0,115 , Cr VI personal air levels p 861 and r 0,027 , exposure duration p 0.975 and r 0.005 , and total exposure p 0.151 and r 0.218 . The association of Cr VI blood levels with non occupational exposure also did not show significant associations. The correlation of chromium blood levels with smoking habit p 0,257 , seafood consumption p 0,692 , consumption of canned food p 0,307 , and drinking water source p 0,599 . All respondents did not use PPE so it can not be analyzed.Conclusion There is no correlation between Cr VI blood levels with the exposure duration. The characteristics of work in the informal sector that are uncertain in number, the variation is very wide among each respondent, and many other confounding factors that are difficult to control."
Lengkap +
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Puspita Sari
"ABSTRAK
Kromium merupakan salah satu di dalam 129 polutan prioritas di dalam catatan
The Environmental Protection Agency (EPA). Pada penelitian sebelumnya
kromium memiliki risiko (RQ) paling tinggi sebesar 3,371 pada air minum
(konsentrasi 0,29 mg/l). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi risiko
pajanan kromium dari sumber air minum dan bahan pangan terpilih. Metode
Public Health Assessment (PHA) digunakan untuk melihat evaluasi pemajanan
dan evaluasi efek kesehatan, serta kepedulian masyarakat. Sampel penelitian ini
adalah 60 rumah tangga dengan menguji 12 sampel air, 12 sampel beras, 4 sampel
labu siam, dan 4 sampel buah pisang dengan laju konsumsi tertinggi. Data
antropometri, pola konsumsi, dan pola aktivitas penduduk dikumpulkan dengan
wawancara kuesioner untuk mengetahui intake pajanan kromium penduduk.
Proporsi gangguan gastrointestinal dan gangguan kulit dilihat sebagai efek kritis
dari pajanan kromium (VI) secara ingesti. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
konsentrasi kromium (VI) pada beras sebesar 0,093 mg/kg, pada labu siam 0,048
mg/kg, dan 0,268 mg/kg pada pisang. Sampel makanan diukur berdasarkan nilai
limit batas alat ukur 0,035 mg/kg. Sedangkan untuk air, nilai kandungan kromium
(VI) tidak terdeteksi, nilai ini masih di bawah nilai baku mutu Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 2001 yaitu 0,05 mg/liter di dalam kromium total. Tingkat
risiko pajanan kromium pada air yang dikonsumsi bernilai kecil dari 1 yang
berarti tidak berisiko, sedangkan untuk semua bahan makanan pada kelompok
usia dewasa nilai risiko nya adalah lebih dari 1. Proporsi kejadian diare adalah
sebanyak 13,33% dan 30% mengalami gangguan kulit

ABSTRACT
Chromium is one of 129 pollutants priority in the Environmental Protection
Agency listed. Previous studies show that chromium have the highest risk 3,371in
drinking water with 0,29 mg/l concentration. This research aims to know the
estimated risk exposure of chromium from drinking water and food elected. The
methods of Public Health Assessment (PHA)is used to evaluated exposure and
health effect, and the community concern. Research sample are 60 households
with 12 samples of water, 12 rice, 4 chayote, and 4 bananas (food with the highest
consumption). Anthropometry data, consumption and activity patterns of residents
gathered with questionnaires to know the exposure intake of chromium in the
population. The proportion of gastrointestinal and skin disorders are seen as the
critical effects of chromium (VI) exposure. The results showed an average of
chromium (VI) in rice 0,093 mg/kg, in chayote 0,048 mg/kg, and 0,268 in
bananas. All food samples are measured by limit of detection 0,035 mg/kg. The
results for chromium (VI) in the sample of water is not detected and still safe
below the Government Regulation No.8/2001(0,05 mg/l in chromium total). The
risk exposure of chromium in the water consumed worth less than 1 which means
no risk, while for all foods in adult age was greater than 1. The proportion of
diarrhea is 13,33% and 30% have skin disorders."
Lengkap +
2016
T46403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aidila Fitri
"Polusi udara menjadi salah satu penyebab tingginya angka kejadian penyakit kardiovaskular di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis pajanan personal debu PM2,5 dan kadar Apolipoprotein-B Apo-B sebagai biomarker aterosklerosis dalam darah pekerja di Pusat Pengujian Kendaraan Bermotor Cilincing tahun 2017. Status merokok, obesitas, penggunaan APD, dan riwayat penyakit juga di analisis dalam penelitian ini dengan menggunakan T-Test independen. Sampel penelitian berjumlah 35 orang pekerja PKB Cilincing sebagai kelompok terpajan dan 24 orang pekerja FKM UI sebagai kelompok kontrol. Pajanan personal diukur menggunakan Leland Legacy Pump dan Sioutas Cascade Impactor, sedangkan analisis Apo-B menggunakan metode Polyethyleneglycol PEG enhanced immunoturbidimetric assay. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsentrasi pajanan pada pekerja adalah 232,233 g/m3, sedangkan rata-rata kadar Apo-B pada kelompok terpajan adalah 107,30 mg/dL dan kelompok kontrol adalah 91,17 mg/dL.Kata Kunci: Apolipoprotein-B Apo-B , aterosklerosis, Particulate matter 2.5 PM2,5.

Air pollution becomes one cause of cardiovascular disease in the world. This study aim for measuring personal exposure of particulate matter 2,5 PM2,5 , and Apolipoprotein B level in diesel exhaust emission inspector blood in PKB Cilincing, 2017. In addition this study analyze smoking status, obesity, FPE using, and history of disease using independent T Test. Study samples of 35 worker of PKB Cilincing as exposed group and 24 worker of FKM UI as control group. Personal exposure measure using Leland Legacy Pump and Sioutas Cascade Impactor, while analysis of Apo B using Polyethyleneglycol PEG enhanced immunoturbidimetric assay method. Result of study shows mean concentration of personal exposure to worker is 232,233 g m3, while mean Apo B level to exposed group is 107.30 mg dL and control group is 91.17 mg dL. Keywords Apolipoprotein B Apo B , atherosclerosis, Particulate matter 2.5 PM2,5."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S69843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mitha Theresia
"Kebisingan merupakan bunyi yang tidak diinginkan dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, salah satunya kelelahan pada pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pajanan kebisingan dengan tingkat kelelahan kerja pada pekerja di station produksi stamping PT X Plant Jakarta. Penelitian menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 125 orang pekerja. Data kebisingan didapatkan melalui data sekunder perusahaan yang melakukan pengukuran rutin melalui dokumen monitoring measurement. Data kelelahan pekerja didapatkan dengan menggunakan data primer melalui kuesioner alat ukur perasaan kelelahan kerja (KAUPK2) yang sudah teruji validitasnya. Variabel lain sebagai karakteristik pekerja (usia, masa kerja, shift kerja, dan status gizi ) juga diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji chi-square, didapatkan hubungan signifikan antara pajanan kebisingan dengan tingkat kelelahan kerja (p-value=0.033, OR=2.333). Didapatkan pula hasil yang signifikan dengan kelelahan kerja yaitu usia (p-value=0.029, OR=2.365) dan shift kerja (p- value=0.008, OR=2.865). Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa kebisingan diatas NAB meningkatkan risiko pekerja mengalami kelelahan kerja terutama pada pekerja usia tua dan pekerja shift malam.

Noise is unwanted sound and can cause health problems, one of which is work fatigue. This study aims to analyze the relationship between noise exposure and fatigue levels of workers at the stamping production station of PT X Plant Jakarta. The study used quantitative research methods with cross-sectional studies. The number of samples in this study are 125 workers. Data of noise is obtained from secondary data of companies that carry out routine measurements through monitoring measurement documents. Worker fatigue data was obtained using primary data through a questionnaire measuring feelings of work fatigue (KAUPK2) which had been tested for validity. Other variables as worker characteristics (age, length of work, shift work, and nutritional status) were also observed in this study. Based on statistical tests using the chi-square test, there was a significant relationship between noise exposure and work fatigue (p-value = 0.033, OR = 2.333). Also obtained significant results with work fatigue, namely age (p-value = 0.029, OR = 2.365) and work shift (p-value = 0.008, OR = 2.865). Based on result of the study, show that noise above NAB increases the workers risk of work fatigue, especially in old age workers and night shift workers."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vicky Amalia
"Pendahuluan: Pestisida, salah satunya organofosfat masih banyak digunakan untuk
meningkatkan hasil produksi pertanian, karena efektif dalam pengendalian hama. Efek pajanan
kronis organofosfat terhadap manusia belum diketahui secara jelas. Indonesia merupakan negara
agrikultural dan termasuk negara pengguna pestisida terbanyak. Terdapat beberapa bukti, bahwa
paparan perstisida dalam jangka panjang, dapat menyebabkan gangguan neurologis, dengan
peningkatan kadar b-amyloid plasma, yang dapat meningkatkan risiko risiko terjadinya penyakit
Alzheimer.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kadar b-amyloid plasma pada laki-laki
penyemprot pestisida di perkebunan dan mengetahui apakah terdapat hubungan dengan intensitas
pajanan pestisida jangka panjang.
Metode: : Studi cross-sectional pada penyemprot pestisida di perkebunan yang sudah
menggunakan pestisida organofosfat dan/atau karbamat selama enam bulan. Pengumpulan data
dilakukan pada pagi hari sebelum mulai bekerja, dengan cara mewawancara dan mengambil
sampel darah vena dari fossa cubiti, kemudian dianalisis menggunakan metode LC-MS. Jumlah
responden yang memenuhi kriteria inklusi dan masuk dalam penelitian ini yaitu 57 responden.
Intensitas pajanan pestisida dinilai dengan metode skoring, yang sudah digunakan sebelumnya
dan sudah dimodifikasi Agricultural Health Study di Amerika Serikat dan disesuaikan dengan
situasi di Indonesia.
Hasil: Sebanyak 91,2% pekerja mengalami peningkatan kadar β-Amyloid plasma. Skor intensitas
pajanan pestisida jangka panjang antara 45 sampai 300, dengan nilai median 260. Berdasarkan
analisis bivariat secara korelasi antara kadar b-amyloid plasma dengan total skor kumulatif
intensitas pajanan didapatkan korelasi rendah (r=0.243) dan memiliki korelasi linier berbanding
lurus, di mana peningkatan skor total kumulatif intensitas memberikan peningkatan kadar β-
amyloid plasma sebesar 4,6%, tetapi tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini, tidak ada hubungan antara kadar β-amyloid plasma
dengan intensitas pajanan pestisida.

Introduction: The use of pesticides, especially organophosphates are still very often to increase
agricultural production, because it is effective in pest control. Indonesia is an agricultural country,
which is among the highest user of pesticides The effect of chronic organophosphate exposure on
humans health is not fully understood yet. There are some evidence that long term exposure to
pesticides can lead to neurologic diseases, among others by increasing b-amyloid plasma
levels,which can lead to Alzheimer disease..
Objective: This study aims to identify b-amyloid plasma levels among male plantation pesticide
sprayer and determine if there is an association with the intensity of longterm pesticide exposure.
Methods: A Cross-sectional study was conducted among pesticide sprayers on plantations, that
have used organophosphate and / or carbamate pesticides for at least the last six months. Data
was collected in the morning before working, by interviewing and taking venous blood sample.
The blood sample was analyzed using the LCMS Method to measure b-amyloid plasma levels.
Fifty-seven subjects were included in this study. The intensity of long term exposure to pesticides
was assessed using a scoring method, that has been used before. which is modified from the
Agricultural Health Study.and adjusted to the situation in Indonesia.
Results: As many as 91.2% workers had plasma β-amyloid levels above normal. While the
intensity score for long term pesticide exposure was between 45 to 300 with a median 260. Using
correlation analysis, No significant correlation between b-amyloid plasma levels and total
cumulative intensity exposure score was found (r = 0.243, p>0,05),.
Conclusion: Based on this study, 91.2% had high levels of b-amyloid plasma and no relationship
between intensity of pesticide exposure with plasma β-amyloid levels was found
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erikha Maurizka Mayzarah
"ABSTRAK
Masalah utama pada penelitian ini adalah penggunaan metode koagulasi membutuhkan biaya yang sangat besar dan koagulan yang berbahan kimia dapat menimbulkan efek jangka panjang, sehingga memerlukan metode pengolahan air limbah yang lebih ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat efisiensi metode koagulasi yang telah dilakukan PT. Vale Indonesia, menganalisis tingkat efisiensi metode fitoremediasi untuk mengurangi kandungan kromium heksavalen, dan menganalisis persepsi stakeholders terkait metode fitoremediasi. Metode analisis tingkat efisiensi digunakan untuk menentukan tingkat efisiensi metode koagulasi dan fitoremediasi, Analisis untuk menentukan pengaruh berat tanaman kayu apu Pistia stratiotes terhadap tingkat efisiensi penyisihan kromium heksavalen, dan analisis ANOVA two ways untuk mengetahui pengaruh dari sumber tanaman dan HRT terhadap efisiensi fitoremediasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi metode koagulasi pada tahun 2017 sebesar 95 . Tingkat efisiensi metode fitoremediasi skala batch sebesar 60-100 dengan variasi konsentrasi 0,5 ppm, 1 ppm, 2 ppm, 5 ppm, dan 7 ppm. tingkat efisiensi metode fitoremediasi skala kontinyu 27-30 dengan HRT 1,5 jam, 2 jam, 3 jam dan sumber tanaman D-Lagoon. Persepsi stakeholders mengungkapkan metode fitoremediasi mampu memberikan manfaat pada aspek triple bottom lines pada waktu jangka panjang. Kesimpulannya adalah penggunaan Tanaman Kayu Apu sebagai fitoremediator berpotensi dalam mereduksi kromium heksavalen.

ABSTRACT
The main problem is research is the use of coagulation methods requires many costs and chemical coagulants can have long term effects that require more ecofriendly methods of wastewater treatment. This study aims to analyze the efficiency level of coagulation method that has been done by PT. Vale Indonesia, analyzed the efficiency of phytoremediation methods to reduce hexavalent chromium content, and analyzed stakeholder perceptions regarding phytoremediation methods. Efficiency level analysis method was used to determine the efficiency level of coagulation and phytoremediation method, Analysis to determine the influence of weight of water lettuce Pistia stratiotes on the efficiency level of hexavalent chromium removal, and ANOVA two ways analysis to determine the effect of plant source and HRT on phytoremediation efficiency. This study shows that the efficiency level of coagulation method in 2017 is 95 . The efficiency level of batch scale phytoremediation method is 60 100 with concentration variation of 0.5 ppm, 1 ppm, 2 ppm, 5 ppm and 7 ppm. Efficiency level of continuous scale phytoremediation method 27 30 with HRT 1.5 hours, 2 hours, 3 hours and source of D Lagoon plant. Stakeholders 39 perceptions reveal phytoremediation methods capable of providing benefits to long term aspects of triple bottom lines. The use of P. stratiotes as a phytoremediator shows potential in removing hexavalent chromium. "
Lengkap +
[, ]: 2018
T51008
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Muji Lastari
"Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit yang memiliki angka prevalensi yang terus meningkat setiap tahunnya. Masyarakat dihimbau untuk melakukan upaya pencegahan dan pengobatan untuk menurunkan risiko DM dan risiko komplikasi akibat DM. Salah satunya adalah Hatha yoga, yang merupakan jenis yoga yang berfokus pada kesehatan pankreas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara frekuensi latihan dengan kadar gula darah anggota klub hatha yoga. Penelitian ini menggunakan deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional terhadap 84 anggota klub yoga Hatha di Institut Yoga Jakarta Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan glukometer. Hasil uji One Way Anova diperoleh nilai (p = 0,0001; p < 0,05) yang berarti ada hubungan yang signifikan antara frekuensi latihan dengan kadar gula darah anggota klub Hatha yoga. Hasil penelitian ini merekomendasikan kepada penderita diabetes melitus untuk melakukan senam hatha yoga baik di tempat hatha yoga maupun di luar jam praktek serta menghimbau kepada fasilitas kesehatan untuk mengembangkan program kesehatan senam jasmani di masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan.

Type II diabetes mellitus is a disease that has a prevalence rate that continues to increase every year. The public is encouraged to make prevention and treatment efforts to reduce the risk of DM and the risk of complications due to DM. One of them is Hatha yoga, which is a type of yoga that focuses on pancreatic health. The purpose of this study was to examine the relationship between exercise frequency and blood sugar levels of hatha yoga club members. This study used descriptive analytic with a cross sectional approach to 84 members of the Hatha yoga club at the South Jakarta Yoga Institute. Data was collected using a questionnaire and a glucometer. One Way Anova test results obtained a value (p = 0.0001; p <0.05) which means that there is a significant relationship between the frequency of exercise and blood sugar levels of members of the Hatha yoga club. The results of this study recommend to people with diabetes mellitus to do hatha yoga exercise both in hatha yoga and outside practice hours and urge health facilities to develop physical exercise health programs in the community in order to improve health quality."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anin Ika Rosa
"Seng merupakan mikronutrien yang penting dalam masa pertumbuhan anak dan untuk menjaga daya tahan tubuh pada masa pandemi ini. Seng tidak memiliki cadangan yang besar yang dapat menyimpan atau mengeluarkan seng sesuai dengan kebutuhan, sehingga seng menjadi penting untuk diperhatikan kecukupannya. Kekurangan seng lebih mungkin terjadi selama masa kanak-kanak, ketika kebutuhan harian seng lebih tinggi. Defisiensi seng dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga dapat berdampak pada status gizi dan pertumbuhan. Kadar seng rambut dapat menggambarkan status seng secara kronis, lebih stabil, dan lebih sesuai digunakan pada anak karena kurang invasive. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi asupan seng dengan kadar seng rambut anak usia 2-3 tahun. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data subjek dilakukan di Kelurahan Kampung Melayu (n=70) dan dilakukan pemeriksaan kadar seng rambut. Dari penelitian ini didapatkan median asupan seng adalah 6 (1,2-22,5) mg/hari dan sebanyak 20% anak memiliki asupan seng yang kurang. sedangkan nilai median kadar seng rambut adalah 132 (30-451) μg/g dan sebanyak 17,1% anak memiliki kadar seng rambut dibawah nilai normal. Hasil analisis menunjukkan korelasi negatif sangat lemah antara asupan seng dengan kadar seng rambut, namun secara statistik tidak bermakna (r=-0,077, p=0,528). Sedangkan untuk faktor faktor yang berhubungan, didapatkan hasil korelasi positif lemah bermakna antara nilai VAS nafsu makan dan kadar seng rambut (r=0,247, p=0,039). Sebagai kesimpulan, asupan seng pada anak usia 2-3 tahun tidak berkorelasi dengan kadar seng rambut, dan faktor yang berhubungan dengan kadar seng rambut adalah nilai VAS nafsu makan

Zinc is an important micronutrient in the growth period of children and to maintain the immune system during this pandemic. Zinc does not have a large reserve that can store or release zinc as needed, so it is important to pay attention to its adequacy. Zinc deficiency is more likely during childhood, when daily zinc requirements are higher. Zinc deficiency can cause loss of appetite, which can have an impact on nutritional status and growth. Hair zinc levels can describe chronic zinc status, are more stable, and are more suitable for use in children because they are less invasive. The purpose of this study was to determine the correlation of zinc intake with hair zinc levels of children aged 2-3 years. This study used a cross-sectional design. Subject data collection was carried out in Kampung Melayu Sub-district (n=70) and hair zinc levels were examined. From this study, it was found that the median intake of zinc was 6 (1.2-22.5) mg/day and as many as 20% of children had insufficient zinc intake. while the median hair zinc level was 132 (30-451) g/g and 17.1% of children had hair zinc levels below the normal value. The results of the analysis showed a very weak negative correlation between zinc intake and hair zinc levels, but not statistically significant (r=-0.077, p=0.528). For the associated factors, there was a significant weak positive correlation between VAS appetite value and hair zinc levels (r=0.247, p=0.039). In conclusion, zinc intake in children aged 2-3 years did not have a correlation with hair zinc levels, and factor associated to hair zinc levels was VAS appetite value."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngesti Mulyanah
"Peningkatan BB selama kehamilan yang tidak optimal akan meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, ibu dan anak melalui mekanisme peningkatan IL-6. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar IL-6 serum perempuan hamil trimester 3 dengan peningkatan BB selama kehamilan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari - Februari 2014 di Puskesmas Jatinegara, Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah potong lintang, consecutive sampling, pada 64 subyek perempuan hamil trimester 3 ≥37 minggu. Didapatkan hasil penelitian yaitu 42,2% mempunyai IMT trimester 1 BB lebih, 40,6% mempunyai asupan energi total berlebih dan sesuai anjuran serta rerata peningkatan BB 12,1 (±3,8) kg dengan 40,6% mempunyai peningkatan BB selama kehamilan sesuai rekomendasi IOM. Kadar IL-6 serum perempuan hamil trimester 3 pada penelitian ini adalah 3,067 (0,608 ? 18,207) pg/ml dengan kadar IL-6 serum pada peningkatan BB kurang (3,441 (±1,819) pg/ml) dan lebih (3,017 (1,234?14,083) pg/ml) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sesuai (2,707 (0,608?18,207) pg/ml). Didapatkan korelasi positif lemah tidak bermakna antara kadar IL-6 serum perempuan hamil trimester 3 dengan peningkatan BB selama kehamilan (r=0,144, p=0,257) dan analisis kadar IL-6 serum berdasarkan kelompok peningkatan BB selama kehamilan didapatkan hasil tidak berbeda bermakna (p=0,708). Kesimpulan hasil penelitian ini adalah kadar IL-6 serum berkorelasi lemah dengan peningkatan BB selama kehamilan.

Gestational weight gain (GWG) that is not optimal will increase the risk of complications in pregnancy through increasing the IL-6 mechanism. This study aimes to determine the correlation of IL-6 serum levels on third trimester pregnancy with GWG. This is a cross-sectional study with consecutive sampling in 64 pregnant women ≥37 weeks. It was conducted in January-February 2014 at community health centers Jatinegara, Jakarta. The results are most subjects have overweight BMI at 1st trimester (42,2%), most of subjects have either sufficient or excessive total energy intake than the recommendation (40.6%), the majority of the subjects having sufficient GWG based on IOM guidelines (40.6%) with mean GWG is 12.1 (± 3.8) kg. Serum level of IL-6 is 3.067 (0.608-18.207) pg/ml with serum levels of IL-6 in insufficient GWG (3.441 (± 1.819) pg/ml)) and excessive GWG (3.017 (1.234-14.083) pg/ml)) tends to be higher compared with sufficient GWG (2.707 (0.608-18.207) pg/ml)). The correlation of IL-6 serum level on 3rd trimester with GWG is positive, weak and not significant (r = 0.144, p = 0.257). Analysis of IL-6 serum levels within GWG categories show no significant difference between groups (p = 0.708). In conclusion, there is weak correlation between IL-6 serum level on 3rd trimester of pregnancy with GWG."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livia Kurniati Saputra
"Inflamasi derajat rendah diduga terlibat dalam patogenesis penyakit kronis yang
terjadi secara global. Salah satu penanda inflamasi yang kerap digunakan adalah
high sensitivity C-reactive protein (hsCRP). Asupan serat pangan yang lebih rendah
diduga berperan terhadap kadar hsCRP serum, akan tetapi hasil penelitian
sebelumnya masih bervariasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara
asupan serat pangan dengan kadar hsCRP serum pada pekerja sedentari usia 19-49
tahun di Jakarta Timur, Indonesia. Studi ini merupakan studi potong lintang pada
58 pekerja sedentari yang dilaksanakan pada Bulan Agustus hingga Oktober 2020.
Data dasar dikumpulkan memakai kuesioner. Asupan makanan dicatat dengan 3-
day food record dan dilakukan pengukuran antropometri untuk mengetahui indeks
massa tubuh (IMT) dan ukuran lingkar pinggang. Pemeriksaan hsCRP serum
memakai metode imunoturbidimetri. Analisis untuk menilai korelasi antara asupan
serat pangan dan kadar hsCRP serum dilakukan menggunakan uji Spearman jika
nilai p<0,05 dianggap bermakna. Mayoritas subjek adalah perempuan, tidak
merokok, dengan aktivitas fisik kurang dan memiliki status gizi normal serta tidak
obesitas abdominal. Berdasarkan data asupan makanan didapatkan asupan energi,
karbohidrat total, dan serat pangan total berada dibawah rekomendasi AKG. Hanya
asupan lemak total yang sesuai dengan rekomendasi AKG. Asupan serat pangan
total didapatkan sebesar 7,45 g/hari. Nilai hsCRP serum masih dalam batasan
normal, yaitu sebesar 0,4 mg/L. Pada analisis bivariat tidak didapatkan korelasi
antara asupan serat pangan dengan kadar hsCRP serum (r=0,003, p=0,981). Hasil
penelitian ini tidak mendapatkan adanya korelasi antara asupan serat pangan
dengan kadar hsCRP serum, namun diketahui asupan serat pangan masih sangat
rendah sehingga perlu dilakukan promosi kesehatan untuk meningkatkan asupan
serat pangan pada pekerja sedentari.

Low grade inflammation has previously been linked to the global development of
chronic disease. High sensitivity C-reactive protein (hsCRP) is commonly used to
detect inflammation. Low dietary fiber intake was hypothesized to have an effect
on serum hsCRP concentration. To this day, studies on the relationship between
dietary fiber and serum hsCRP have shown inconclusive result. In this study, we
aimed to find a correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP on
sedentary worker age 19-49 years old at East Jakarta, Indonesia. This was a cross
sectional study on 58 sedentary workers. This study was conducted in August-
October 2020. Subject’s characteristics was obtained using a questionnaire. Dietary
assessment was conducted using 3-day food record. Anthropometic measurements
included body mass index (BMI) and waist circumference. Serum hsCRP
concentrations were measured using immune turbidimetry. Spearman test was used
to determine correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP, with
p<0,05 being significant. Subjects were mostly female, non-smoker, with
inadequate physical activity. A majority of subjects had normal BMI and waist
circumference. Dietary assessment showed subject has inadequate intake of energy,
carbohydrate, and dietary fiber. Only fat intake was adequate in the present study.
Total dietary fiber intake was 7,45 g/day. Median value of serum hsCRP was 0,4
mg/L. There was no correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP
(r=0,003, p=0,981). However, this study found that dietary fiber intake was very
low. Thus, education on increasing dietary fiber intake is necessary for sedentary
workers.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>