Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140717 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Grariani Nufadianti
"Uveitis adalah inflamasi intraokular yang terjadi pada saluran uvea mata ataupun jaringan yang berada di dekatnya, diantaranya retina atau vitreous. Uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor tiga di dunia dengan prevalensi tertinggi pada kelompok umur pekerja aktif 20-50 tahun . Selama ini diagnosis uveitis infeksi dan non-infeksi di Indonesia ditegakkan secara klinis dan didukung pemeriksaan serologi darah. Pemeriksaan antibodi pada cairan akuos dan serum serta marka genetik, khususnya HLA B-27 belum pernah dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan alternatif pendukung diagnosis klinis yaitu pemeriksaan deteksi molekuler HLA B-27 dan deteksi antibodi dengan perhitungan koefisien Goldmann-Witmer. Subjek penelitian adalah pasien uveitis aktif di Poliklinik Infeksi dan Imunologi RSCM Kirana yang berjumlah 79 orang. Berdasarkan koefisien Goldmann-Witmer, mikroba penyebab uveitis adalah Toxoplasma gondii dan virus Varicella zoster. Gen HLA-B27 ditemukan pada enam subjek penelitian dan terdapat kesesuaian dengan kasus uveitis non-infeksi tetapi belum dapat dibuktikan kemaknaannya secara statistik.
Uveitis is an intraocular inflammation which occurs on the uvea or its surrounding tissue such as retina or vitreous. Uveitis is known as the third major cause of blindness in the world with the highest prevalence is productive age group 20 50 years old . To date, infectious and non infectious uveitis stipulation in Indonesia is based on clinical examination and serology test. The aqueous and serum antibody titer measurement as well as genetic marker examination, especially on HLA B27, has never been done before. In this research we perform HLA B27 detection through molecular analysis and antibody titer measurement to know the Goldmann Whitmer coefficient. Sample size used in this research is 79 patients with active uveitis obtained from ldquo Poliklinik Infeksi dan Imunologi RSCM Kirana rdquo . The analysis of Goldmann Whitmer coefficient showed that the pathogens responsible for uveitis are Toxoplasma gondii and Varicella zoster. HLA B27 were found in six patients and there is similiarity between non infectious uveitis but this value does not have prove statistically. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nora Harminarti
"ABSTRAK
Toksoplasmosis okular adalah infeksi yang menyerang satu atau kedua mata, yang disebabkan oleh coccidia Toxoplasma gondii. Infeksi dapat diperoleh selama kehamilan dari ibu atau melalui konsumsi daging yang tidak dimasak dan yang terinfeksi, sayuran atau air yang terkontaminasi. Konfirmasi toksoplasma sebagai etiologi masih bergantung pada uji serologi toksoplasma dan pemeriksaan oftalmologi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan IgG anti toksoplasma pada cairan mata untuk diagnosis toksoplasmosis okular. Metode Penelitian yang digunakan adalah studi potong-lintang, retrospektif terhadap 46 sampel serum untuk pemeriksaan serologi IgG dan IgM anti toksoplasma, serta IgG anti toksoplasma dan PCR toksoplasma dari cairan mata. Hasil penelitian berupa keluhan utama pasien adalah kabur. Dari data sekunder hasil pemeriksaan pada serum 43 93,5 positif IgG anti toksoplasma, 2 4,3 positif IgM anti toksoplasma, serta terdapat hasil IgG dan IgM anti toksoplasma keduanya positif pada 2 sampel. Dari dua keadaan hasil positif serologi serum IgG dan IgM ini ternyata hasil pemeriksaan serologi IgG cairan mata dan deteksi DNA dengan menggunakan PCR hasilnya negatif. Dilihat dari hasil pemeriksaan serologi cairan mata 23 50,0 IgG anti toksoplasma yang terdeteksi pada cairan mata positif dan 6 13 PCR positif. Terdapat korelasi sedang antara serologi mata dan serum. Pemeriksaan serologi dan PCR pada cairan mata dapat digunakan untuk membantu diagnosis toksoplasmosis okular.

ABSTRACT
Ocular toxoplasmosis is an ophthalmology infectious disease affecting one or both eyes, caused by the coccidia Toxoplasma gondii. Infections may be acquired during pregnancy from the mother or through the ingestion of uncooked and infected meat, contaminated vegetables or water. Confirmation of Toxoplasma as the aetiology still relies on the Toxoplasma serology test and the ophthalmology examination. This study aims to analyze the use of anti Toxoplasma IgG in vitreus humor for the diagnosis of ocular toxoplasmosis. Methods of this study is a cross sectional, retrospective from 46 serum samples examined for IgG and IgM anti Toxoplasma and IgG anti Toxoplasma and PCR Toxoplasma from aquous humor. Chief complaint was loss of vision. From 46 sample of secondary data serum 43 93,5 positive IgG, 2 4, negative IgM anti Toxoplasma. We also found IgG and IgM anti Toxoplasma results were both positive 2 sample. Althought results positive for serological serum both IgG and IgM but the result for IgG aquous humor serology and detection of DNA by using PCR was a negative. Result for serologic examination aquous humor 23 50.0 IgG anti Toxoplasma detected in positive aquous humor and 6 13 PCR Toxoplasma positive. There are correlation beetwen aquous and serum serologic. Serologic examination of aquous humor and PCR could be used to help diagnose ocular toxoplasmosis."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kanagasingam Yogesan, editor
"In this book, experts from around the world describe how digital teleretinal screening can be set up and optimally utilized. Technical issues are discussed, and the appropriate use of screening for different diseases and in different age groups is explained. The major part of the book draws upon the clinical experience of leading practitioners in a wide range of teleretinal applications. "
Heidelberg: [, Springer], 2012
e20410724
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Filly Mandalie
"ABSTRAK
Latar Belakang : Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosiss (MTB) dan merupakan masalah kesehatan utama didunia.1World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 melaporkan 10 juta orang terdiagnosis TB di seluruh dunia. Indonesia merupakan negara dengan insiden TB tertinggi ketiga di dunia, terjadi peningkatan kasus baru sebesar 70% dari 331.703 menjadi 563.879 antara tahun 2015-2018 dan kasus TB MDR/TB RR, rata-rata 8.8 per 100.000 populasi, 2.4 % merupakan kasus baru dan dan 13% merupakan TB pengobatan ulang.2
Berdasarkan data WHO tingkat kegagalan pengobatan pada pasien TB MDR cukup besar (lebih dari 50%), juga terjadi di Indonesia yang disebabkan tinggi nya angka kematian (17%) dan loss to follow up (26%). Kegagalan pengobatan mengakibatkan pengobatan dihentikan dan diperlukan penggantian rejimen. Komorbiditas, Efek samping obat, resistensi obat merupakan faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan dan dinilai melalui konversi sputum yang merupakan indikator respons pengobatan dan digunakan sebagai indikator keberhasilan pengobatan atau kegagalan pengobatan.
Tujuan : Mengetahui hubungan konversi sputum pasien TB MDR dengan berbagai faktor non genetic dan genetic yang terjadi selama fase intensif yang sedang diobati di RS paru DR.M.Goenawan Partowidigdo.
Metode: Data diambil secara kohort retrospektif melalui rekam medis TB MDR (1 Oktober 2018 sampai 31 Maret 2019). Data yang terkumpul dilakukan uji statistik.
Hasil : SP yang mendapat terapi jenis STR memiliki karakteristik rerata usia sebesar 35,11 tahun dengan jenis kelamin laki-laki sedikit lebih banyak dibanding perempuan (57,9% vs 42,1%), sebagian besar memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya (84,2%) namun tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien TB aktif (87,7%). Terdapat 32 SP yang tidak memiliki riwayat pengobatan dan tidak memiliki riwayat kontak tetapi terinfeksi kuman TB MDR sebanyak sepertiga SP memiliki komorbiditas DM.
SP yang mendapat terapi jenis konvensional memiliki karakteristik rerata usia sebesar 40,22 tahun, lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (61,5%), dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (73,5%) namun tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien TB aktif (86,3%), sebanyak sepertiga SP memiliki komorbiditas DM
Subjek yang tidak mememiliki komorbiditas dan tidak konversi sputum sebesar 18,4% sedangkan yang tidak memiliki komorbiditas dan tidak konversi sputum sebesar 55,2% dimana hasil ini bermakna secara statistik (p=0,016, RO 2,23 IK95% 1,15 - 4,32). SP dengan DM memiliki risiko 2,23 kali untuk tidak terjadi konversi sputum. Jumlah efek samping obat anti tuberkulosis lebih dari 2 jenis yang mengalami konversi sputum sebesar 43,1 % sedangkan yang jumlah efek sampingnya ≤ 2 mengalami konversi sputum sebesar 23,6 % dimana hasil ini bermakna secara statistik (p<0,001, RO 0,11 IK95% 0,05 -0,25). Pada akhir bulan keenam dan dilakukan kultur dan DST dan LPA lini dua didapatkan perubahan sifat resistensi, bisa akibat mutasi atau pasien terinfeksi oleh 2 strain yang berbeda.
Kesimpulan: Konversi kultur sputum yang tertunda mengakibatkan waktu pengobatan yang diperpanjang dan beresiko kegagalan pengobatan. DM, efek samping onat dan resistensi adalah salah satu Faktor yang menyebabkan waktu konversi sputum lebih lama, sehingga resiko kegagalan terapi menyebabkan resiko mortalitas meningkat.

ABSTRACT
Background: Tuberculosis (TB) is an infection caused by Mycobacterium tuberculosis (MTB) and is a main health problem in the world.1 The World Health Organization (WHO) in 2018 reported 10 million people diagnosed with TB worldwide. Indonesian is country with the third highest incidence of TB in the world, an increase in new cases is 70% from 331,703 to 563,879 between 2015-2018 and MDR TB cases an average of 8.8 per 100,000 population, 2.4% is a new cases and 13% is a re-treatment of TB cases.2
Based on WHO data, the treatment failure rate in MDR TB patients is quite large (more than 50%), also occurring in Indonesia which causes high mortality (17%) and loss to follow-up (26%). Treatment failure causes the treatment being stop and replacement regimen are needed. Many factors that influence treatment and approved through sputum conversion which is an indicator of treatment response and is used as an indicator of treatment success or treatment failure.
Objective: To know the relation of sputum conversion in patients with various factor non genetic and genetic that occur during intensive phase while in the process of treatment in pulmonary hospital of Dr. M. Goenawan Partowidigdo.
Methods: Data were collected in retrospective cohort through MDR TB medical records (1 October 2018 until 31 March 2019). The data collected is done by statistical tests.
Results: SP who received STR type therapy had characteristic a mean age of 35.11 years with sex of male more slightly than female (57.9% vs 42.1%), most had a history medication of previous treatment TB (84, 2%) but do not have a contact history with active TB patients (87.7%). There were 32 SPs who had no history of treatment and had no contact history but were infected with MDR TB as much as one third of SP have comorbid DM.
SP who received individua type of therapy had a mean age of 40.22 years, most are male (61.5%), with a history of previous TB treatment (73.5%) but had no contact history with active TB patients (86.3%), as many as one third of SP have comorbid DM.
Subjects who did not have comorbidity and no sputum conversion were 18.4% while those who did not have comorbidity and had no sputum conversion were 48.9% where these results were statistically significant (p = 0.016, RO 2.23 IK95% 1.15 - 4 , 32). SP with DM has a risk of 2.23 times for not occur sputum conversion. The number of side effects of anti tuberculosis drugs more than 2 types be through sputum conversion was 43.1% while the number of side effects ≤ 2 be through sputum conversion was 23.6% where these results were statistically significant (p <0.001, RO 0.11 IK95 % 0.05 - 0.25). At the end of the sixth month and culture had be done and DST and LPA line two, there was a change of characteristic resitence, it could be due to mutations or the patient was infected by 2 different strains.
Conclusion: Delayed conversion of sputum culture causes the time extended of treatment and risk treatment failure. DM, drugs side effects and resistance are one of the factors that cause a longer sputum conversion time, so the risk of therapy failure causes an increased risk of mortality."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alisha Soraya Arifany
"Hiperurisemia merupakan salah satu penyakit metabolisme dimana kadar asam urat di dalam darah melebihi 7 mg/dL. Pada tahun 2017, diperkirakan terdapat 7.44 juta kasus hiperurisemia dan gout di seluruh dunia. Melinjo merupakan tanaman yang kaya akan komponen bioaktif yang memiliki fungsi antihiperurisemia yaitu flavonoid. Penelitian ini memiliki tumuan untuk menginvestigasi ekstraksi optimum berdasarkan metode ekstraksi, jenis pelarut, dan waktu ekstraksi. Metode ekstraksi yang dibandingkan adalah dekoksi dan refluks dengan jenis pelarut yang berbeda. Jumlah flavonoid terbanyak didapatkan menggunakan ekstraksi refluks selama 90 menit menggunakan pelarut ethanol 80% dengan jumlah flavonoid sebanyak 0.696 mg QE/mL. Didapatkan juga nilai perpindahan massa tertinggi menggunakan pelarut ethanol 80% menggunakan metode refluks dengan koefisien perpindahan massa sebanyak 0.822 cm/s. Analisis LC-MS juga dilakukan untuk mengetahui keberadaan flavonoid golongan kaempferol-3-rhamnoside, quercitrin, dan quercetin 3, 7 dirhamnoside. Kemampuan ekstrak sebagai agen antihiperurisemia juga dipelajari melalui uji in-silico dengan metode molecular docking menggunakan program Molecular Operating Agent (MOE) untuk mempelajari interaksi antara protein penyebab hiperurisemia dan komponen bioaktif melinjo dengan Allopurinol yang merupakan sebuah obat sediaan farmasi. Penambatan molecular menunjukkan interaksi antara protein penyebab hiperurisemia dan komponen bioaktif pada melinjo dalam bentuk pengikatan energi bebas dan konstanta inhibisi. Bentuk permodelan ini juga menunjukkan efektivitas antara tiap dosis dari ekstrak melinjo.

Hyperuricemia is a form of metabolic disorder where the uric acid level in blood is increased above 7 mg/dL. In 2017, there were estimated around 7.44 million cases of hyperuricemia and gout worldwide. Melinjo is rich in a bioactive component that has an antihyperuricemic function which is flavonoid. This research aims to investigate the optimum extraction based on extraction method, type of solvent, and extraction time. The extraction methods being compared are decoction and reflux method with a variety of solvent. The highest flavonoid content was detected through reflux extraction for 90 minutes using 80% ethanol as its solvent, having the value of 0.595 mg QE/mL. Mass transfer coefficient is also investigated here in which it unveils that reflux using 80% ethanol has the highest mass transfer coefficient with 0.822 cm/s. LC-MS analysis was then conducted which unveiled the presence of kaempferol-3-rhamnoside, quercitrin, and quercetin 3, 7 dirhamnoside flavonoids. The extract’s ability as anti hyperuricemia agent is then investigated through in-silico testing by using molecular docking with Molecular Operating Agent (MOE) program to study the interaction between hyperuricemic causing proteins with active substance of Melinjo interact in comparison with Allopurinol, a pharmaceutical drugs. Molecular docking unveils that melinjo’s active substance interacts with protein that causes hyperuricemia in the form of free binding energy and inhibition constant. This modeling also unveils the effectiveness of every dose of melinjo extract."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasha
"Latar belakang: Clinically significant prostate cancer (csPCa) merupakan kanker prostat yang mempunyai kemungkinan progresi lokal, metastasis, rekurensi, dan kematian yang sedang hingga tinggi, serta tata laksana yang lebih agresif. Penelitian ini bertujuan untuk membantu diagnosis antara csPCa dan bukan csPCa menggunakan rasio apparent diffusion coefficient (rADC) lesi prostat dengan urine. Metode: Penelitian dilakukan pada lesi prostat kategori 3-5 prostate imaging-reporting and data system yang telah dibiopsi prostat transperineal tertarget magnetic resonance imaging (MRI) dengan ultrasound/MRI fusion software di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo pada Juni 2019 hingga Maret 2021. rADC lesi prostat dengan urine merupakan perbandingan rerata nilai apparent diffusion coefficient (ADC) lesi prostat dan urine di vesica urinaria pada MRI prostat peta ADC potongan aksial multi-institusi. rADC lesi prostat dengan urine antara csPCa (adenokarsinoma asinar prostat dengan skor Gleason ≥7) dan bukan csPCa (jaringan prostat nonneoplastik atau adenokarsinoma asinar prostat dengan skor Gleason 6) dibandingkan dan ditentukan nilai titik potongnya menggunakan receiver operating curve. Hasil: Terdapat perbedaan rADC lesi prostat dengan urine yang bermakna antara 19 lesi prostat yang merupakan csPCa dan 35 lesi prostat yang bukan merupakan csPCa, dengan nilai tengah rADC lesi prostat dengan urine pada csPCa 0,21 (0,11-0,33), nilai tengah rADC lesi prostat dengan urine pada bukan csPCa 0,43 (0,30-0,61), dan nilai p <0,001. Nilai titik potong rADC lesi prostat dengan urine dalam membedakan csPCa dan bukan csPCa adalah 0,30 dengan sensitivitas 94,73% dan spesifisitas 100%, area under curve 0,998 (IK95% 0,994-1,000), serta nilai p <0,001. Kesimpulan: rADC lesi prostat dengan urine dapat membantu diagnosis csPCa dan bukan csPCa pada lesi prostat sebelum biopsi prostat yang tidak invasif, mudah dikerjakan, serta tidak membutuhkan persiapan dan pemeriksaan tambahan.

Background: Clinically significant prostate cancer (csPCa) is prostate cancer with moderate to high probability of local progression, metastasis, recurrence, and death, as well as more aggressive management. This study aims to aid diagnose between csPCa and non-csPCa using apparent diffusion coefficient ratio (rADC) of prostate-lesion-to-urine. Methods: This study analyze prostate lesions with prostate imaging-reporting and data system category 3-5 that underwent magnetic resonance imaging (MRI)-targeted transperineal prostate biopsy using ultrasound/MRI fusion software at Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo from June 2019 to March 2021. rADC of prostate-lesion-to-urine is defined as comparison between mean apparent diffusion coefficient (ADC) value of prostate lesion and urine in urinary bladder from axial section of ADC map of multi-institutional prostate MRI. rADC of prostate-lesion-to-urine between csPCa (acinar adenocarcinoma of the prostate with Gleason score ≥7) and non-csPCa (non-neoplastic prostate tissue or acinar adenocarcinoma of the prostate with Gleason score 6) is compared and the cutoff point is determined using receiver operating curve. Results: There is significance rADC of prostate-lesion-to-urine difference between 19 prostate lesions with csPCa and 35 prostate lesions with non-csPCa, with mean rADC of prostate-lesion-to-urine in csPCa is 0.21 (0.11-0.33), mean rADC of prostate-lesion-to-urine in non-csPCa is 0.43 (0.30-0.61), and p value is <0.001. The cut-off value of rADC of prostate-lesion-to-urine to differentiate between csPCa and non-csPCa is 0.30, with 94.73% sensitivity and 100% specificity, area under curve is 0.998 (CI95% 0.994-1.000), and p value is <0.001. Conclusion: rADC of prostate-lesion-to-urine may help diagnose between csPCa and non-csPCa in prostate lesions before prostate biopsy, which is non-invasive, easy to perform, does not require additional preparation and examination."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Chandra Putra
"Latar Belakang: Faktor transkripsi Hypoxia inducible factor-1 (HIF-1 merupakanpengatur utama hipoksia, termasuk menyebabkan penekanan sistem perbaikan deoxyribose nucleic acid (DNA), sehingga menghasilkan instabilitas genetik pada sel kanker. Varian genetik HIF-1α C1772T (P582S) dan G1790A (A588T) dipercaya mempunyai aktivitas transkripsi yang lebih tinggi.Peranan polimorfisme HIF-1α ini sudah diteliti pada beberapa jenis kanker seperti kanker ginjal, payudara, ovarium, tetapi belum ada penelitian pada kanker paru.
Metode: Polimorfisme HIF-1α diperiksa dengan menggunakan direct sequencing dengan total sampel 83 pasien kanker paru (42 adenokarsinoma, 30 skuamous sel karsinoma, empat adenoskuamous sel karsinoma dan tujuh kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan 110 subjek sehat sebagai kontrol. Hubungan polimorfisme HIF-1α dengan kelainan genetik/epigentik loss of heterozygot (LOH) TP53, LOH 1p34, LOH retinoblastoma-1 (RB1), inaktivasi p16 dan kelainan epidermal growth factor receptor (EGFR) kemudian diperiksa.
Hasil: Frekuensi polimorfisme HIF-1α pada kanker paru dan kontrol telah sesuai dengan keseimbangan Hardy-Weinberg. Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan frekuensi genotipe C1772T atau G1790A antara kanker paru dengan kontrol sehat. Tetapi, frekuensi varian HIF1A C1772T ditemukan tinggi bermakna di pasien kanker paru dengan LOH TP53 (p=0,015). Pada pasien adenokarsinoma, individu dengan varian alel memiliki frekuensi tinggi LOH TP53 (p=0,047), LOH 1p34 (p=0,009) atau keduanya (LOH TP53 dan LOH 1p34) (p=0,008). Aktivitas transkripsi juga diperiksa secara in vitro dan ditemukan HIF1A varian pada sel kanker paru A549 mempunyai aktivitas yang meningkat secara bermakna dibanding wild type HI1F1A baik di kondisi normoksia atau hipoksia, terutama P582A di sel dengan mutan p53 (p< 0,0005 dan p< 0,005).
Kesimpulan: Penelitian ini mengindikasikan polimorfisme gen HIF-1α mempunyai peranan penting dalam karsinogenesis paru terutama pada adenokarsinoma, diduga melalui peningkatan instabilitas genetik.

Background and objective: The transcription factor, hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1), is a master regulator of hypoxia, including repression of DNA repair systems, resulting in genomic instability in cancer cells. The roles of the polymorphic HIF-1a variants, C1772T (P582S) and G1790A (A588T), which are known to enhance transcriptional activity, were evaluated in lung cancers.
Methods: HIF-1a polymorphisms were assessed by direct sequencing in a total of 83 lung cancer patients (42 adenocarcinomas, 30 squamous cell, four adenosquamous cell and seven small cell lung carcinomas) and in 110 healthy control subjects. The relationship between these polymorphisms and the frequently observed genetic and/or epigenetic aberrations, TP53 loss of heterozygosity (LOH), 1p34 LOH, retinoblastoma-1 (RB1) LOH, p16 inactivation and epidermal growth factor receptor aberrations, was then assessed.
Results: There were no significant differences in genotype frequencies for either C1772T or G1790A between lung cancer patients and healthy controls. However, the frequency of the HIF1A C1772T variant allele was significantly higher in lung cancer patients with TP53 LOH (P = 0.015). Among adenocarcinoma patients, individuals with variant alleles of either polymorphism showed significantly higher frequencies of TP53 LOH (P = 0.047), 1p34 LOH (P = 0.009), or either of these (P = 0.008) in the tumours. The in vitro transcriptional activity of these HIF1A variants in A549 lung cancer cells was significantly greater than that of the wild type under either normoxic or hypoxic conditions, especially for P582S in cells containing mutant p53 (P < 0.0005 and P < 0.005, respectively).
Conclusions: These findings indicate that functional polymorphisms in the HIF-1a gene may have an important impact on lung carcinogenesis, especially in adenocarcinomas, possibly by increasing genomic instability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Hitam
"BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengukuran tekanan bola mata merupakan hal yang panting pada pemeriksaan mata karena dapat dipakai untuk menilai salah satu parameter dinamika cairan akuos. Alat yang paling banyak dipakai mengukur tekananan bolamata pada saat ini adalah tonometer indentasi Schiotz dan tonometer aplanasi Goldmann (1).
Hasil pemeriksaan tonometri aplanasi Goldmann diakui paling teliti, hal ini disebabkan perubahan volume cairan akuos selama pemeriksaan sedikit sekali Yaitu ± 4,5 ul, sehingga dianggap hasil pemeriksaan tersebut tidak dipengaruhi oleh kekakuan
dinding bola mata (ocular rigidity) seperti halnya hasil pemeriksaan dengan tonometri indentasi Schiotz {2,3). Keadaan di atas menyebabkan tonometri aplanasi Goldmann menjadi rujukan dari pemeriksaan tonometri Schiotz. Sayangnya bila tidak digunakan dengan hati-hati dapat terjadi kerusakan epitel kornea akibat obat anestesi yang dipakai dan tersentuhnya kornea oleh alat tersebut. Dilaporkan bahwa pemeriksaan tonometer ini dapat pula menyebarkan infeksi seperti radang konjungtiva, hepatitis,
maupun penyakit AIDS melalui alat yang terkontaminasi (3).
Oleh karena itu kebutuhan terhadap alat yang dapat mengukur tekanan bola mata dengan teliti tanpa menyentuh kornea amat terasa. Baru pada tahun 1972 alat yang demikian diperkenalkan oleh Bernard Goldman yang disebutnya tonometer nonkontak (4). Pengukuran tekanan bola mata dilakukan dengan jalan meniupkan udara ke kornea, jadi tanpa menyentuhnya secara langsung. Penilaian tingginya tekanan bola mata dilakukan dengan mengamati pantulan cahaya dari kornea pada saat aplanasi terjadi, lalu diproses oleh komputer dan hasilnya disajikan dalam bentuk angka angka.
Penelitian di beberapa negara Barat memperlihatkan bahwa hasil pemeriksaan tonometri nonkontak tidak banyak berbeda secara bermakna dibandingkan tonometer aplanasi Goldmann pada tekanan bola mata yang normal (5). Akan tetapi penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Hitam (8) di Indonesia memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Dalam laporannya setelah memeriksa 20 penderita, ia menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dari kedua cara pemeriksaan di atas, walaupun yang dilakukannya bukan suatu pemeriksaan tersamar ganda yang selama ini dianggap blebih ideal. Perbedaan hasil yang didapat dari beberapa penelitian di luar negri dibandingkan penelitian pendahuluan yang dikerjakan Hitam di Indonesia, mendorong penulis untuk melanjutkan penelitian pendahuluan tersebut dengan jumlah sampel yang lebih banyak disertai pemeriksaan yang lebih baik yaitu dengan milakukannya secara tersamar ganda.
Pada tekanan bola mata yang lebih tinggi ketelitian tonometer nonkontak berkurang (5). Seperti halnya tonometer aplanasi Goldmann, tonometer nonkontak tidak dapat dilakukan pada keadaan kornea yang tidak normal, penderita dengan fiksasi yang jelek, serta penderita yang tidak dapat bekerjasama (4,5)?
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lilies Dwi Sulistyani
"Tujuan: Penelitian ini menganalisis hubungan faktor determinan terhadap densitas mandibula dan pengaruhnya terhadap penyembuhan luka ekstraksi.
Metode: Penelitian pertama potong-lintang dengan wawancara, pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Penelitian kedua kohort prospektif dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Hasil: Faktor determinan pada densitas mandibula adalah: lama menopause, kadar estradiol, kadar osteoprotegerin, dan polimorfisme gen OPG G1181C. Terdapat perbedaan bermakna penurunan tinggi soket antar densitas mandibula saat awal sampai delapan minggu pasca ekstraksi.
Kesimpulan: Model dapat menjelaskan densitas mandibula sebesar 46,90%. Densitas mandibula berpengaruh terhadap penurunan tinggi soket pada penyembuhan luka ekstraksi saat awal sampai delapan minggu pasca ekstraksi.

Objective: To analyze the correlation of mandible density determinant factors and its effect in extraction wound healing. Methods: First study was cross-sectional study by interview, clinical, radiology, and laboratory assessment. Second study was prospective cohort by clinical and radiology assessment.
Results: Deteminant factors in mandible density are menopause length, estradiol, osteoprotegerin, and OPG (G1181C) gene polymorphism. There is significant difference between socket height levels in mandible density from the beginning until eight weeks after extraction.
Conclusion: Model described mandible density 46.90%. Mandible density has effect on socket height levels in extraction wound healing from the beginning until eight weeks after extraction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>