Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Dzul Ikhram Nur
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Sekretaris DPRD dalam sistem pemerintahan daerah, dan untuk mengetahui tanggung jawab Sekretaris DPRD dalam sistem pemerintahan daerah. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis-normatif guna mendapatkan hasil penelitian yang relevan. Penelitian dilakukan dengan Pendekatan perundang-undangan, Pendekatan kasus, dan Pendekatan historis. Bahan-bahan hukum yang digunakan oleh penulis adalah; Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan juga pengumpulan data dengan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, seluruh peraturan perundangundangan, baik undang-undang maupun peraturan pemerintah, baik yang pernah maupun sedang berlaku, menempatkan kedudukan Sekretaris DPRD sebagai bagian dari ranah lembaga eksekutif. Hal ini dikarenakan Sekretariat DPRD yang dipimpin oleh Sekretaris DPRD merupakan unsur dari perangkat daerah yang kedudukan, susunan organisasi, perincian tugas dan fungsi, serta tata kerjanya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah yang merupakan wewenang dari seorang Kepala Daerah. Kemudian, jabatan Sekretaris DPRD telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1948 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, akan tetapi perihal tanggung jawab Sekretaris DPRD secara eksplisit baru mulai diatur pada tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada mulanya Sekretaris DPRD diatur bertanggung jawab kepada Pimpinan DPRD, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan yang dimulai pada tahun 2004 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut adalah yang awalnya bertanggung jawab sepenuhnya kepada Pimpinan DPRD menjadi bertanggung jawab secara teknis operasional kepada Pimpinan DPRD dan bertanggung jawab secara administratif kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Perubahan tersebut berlaku hingga saat ini.

This study aims to determine the position of the Secretary of the DPRD in the system of regional government, and to know the responsibilities of the Secretary of the DPRD in the system of regional governance. This study uses juridical-normative research to obtain relevant research results. This research was conducted with a legal approach, case approach, and historical approach. The legal material used by the author is; Primary Legal Material is a legal material that has binding power such as laws and regulations and Secondary Legal Materials, which are non-binding legal materials but explain primary legal materials, as well as tertiary legal materials. Collection of legal material in this study is literature study and also data collection by interview.
The results of the study show that, all laws and regulations, both government laws and regulations, both past and present, place the position of Secretary of the DPRD as part of the realm of the executive body. This is because the DPRD Secretariat, which is chaired by the Secretary of the DPRD, is an element of the regional apparatus whose position, organizational structure, details of their duties and functions, and their work procedures are determined by the Regional Head Regulation which is the authority of a Regional Head. Then, the position of Secretary of the DPRD has been regulated in laws and regulations since 1948 through Law No. 22 of 1948 concerning the Establishment of Basic Rules Regarding Self-Governing in Regions that have the right to Regulate and Manage Their Own Households, but regarding responsibility. The Secretary of the DPRD explicitly only began to be regulated in 1999 through Law Number 22 of 1999 concerning Regional Government.
At first the Secretary of the DPRD was regulated to be responsible to the leadership of the DPRD, but in its development there were changes which began in 2004 with the enactment of Law Number 32 of 2004 concerning Regional Government. These changes are those that are initially fully responsible to the leadership of the DPRD to be technically responsible for the operation of the DPRD leaders and administratively responsible to the regional head through the Regional Secretary. This change is valid until now.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Prio Prabowo
"Pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPK merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Kekuasaan dalam mengelola keuangan negara yang dipegang oleh Presiden kemudian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Atas pengelolaan keuangan daerah tersebut, BPK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah. Melalui pemeriksaan tersebut, BPK dapat mengeluarkan rekomendasi yang pada pokoknya dapat memperbaiki pengelolaan keuangan daerah, sehingga otonomi daerah dapat berjalan dengan baik.

An examination of the management and accountability of state finances that conducted by the Audit Board is an important element in the implementation of regional autonomy. Power in managing state finances held by the President then handed over to the governor / regent / mayor as head of local government to manage local financial and represents local governments ownership of property that is separated. Towards local governments financial management, Audit Board has the authority to conduct an examination of the management and financial responsibility. Through the investigation, the Audit Board may issue a recommendation that can substantially improve the local financial management, so that local autonomy can work well."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44961
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noverva Pradina Pramesti
"Skripsi ini memberikan gambaran mengenai kedudukan DPRD yang selama ini disebut sebagai lembaga “legislatif” daerah oleh masyarakat, ternyata bukanlah demikian. DPRD adalah salah satu unsur dari penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama dengan Kepala Daerah, sehingga DPRD merupakan lembaga eksekutif daerah. DPRD hanya menjalankan fungsi legislasi di daerah dengan membentuk peraturan-peraturan perundang-undangan tingkat daerah bersama Kepala Daerah, seperti Peraturan Daerah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil Penelitian menunjukan bahwa DPRD Kabupaten Banyumas telah menjalankan fungsi legislasi di daerah dengan baik, dimana hal ini terlihat dari peraturan-peraturan daerah yang telah dihasilkan. Oleh karena peraturan daerah adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem peraturan perundang-undangan nasional maka harus ada mekanisme pengawasan terhadapnya, baik melalui lembaga eksekutif (executive review) maupun lembaga peradilan (judicial review). Hal ini perlu dilakukan agar Pemerintah Daerah tidak menyalahgunakan wewenangnya dalam melakukan tugasnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.

This thesis provides a description of the position of Council as an institution has been called "legislative" by the local community, but it is not so. Council is one of the elements of the regional administration, together with the Regional Head, so the Council is in the executive area. Council only perform the function of legislation in areas with established rules and regulations in regional level together with Regional Head, such as local regulation. This research is a descriptive qualitative research design.
Research results showed that Banyumas Regency has run its legislative function well, where it is seen from local regulations that have been generated. Because of local regulations is an integral part of the system of national legislation there must be monitoring mechanisms to it, either through the executive (executive review) and the judiciary (judicial review). This is necessary so that the local government does not abuse his authority in doing his job as a regional administrator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriati
"Republik Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang menggabungkan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus kepada presiden dan wakil presiden. Karena dwi fungsi ini menyebabkan presiden dan wakil presiden tidak terlibat terlalu mendetail dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari. Bahkan untuk kepentingan koordinasi terbukti masih diperlukan Menteri Koordinator. Penelitian ini membahas mengenai kedudukan dan kewenangan Kementerian Koordinator dalam sistem pemerintahan. metode penulisan dalam penelitian ini adalah normatif dengan menggunakan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan Menteri Koordinator yang ada di Singapura, Republik Demokratik Timor Leste, dan Ekuador yang memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Afrika Selatan tidak memiliki Menteri Koordinator tetapi dalam konstitusinya disebutkan bahwa pemerintahan diselenggarakan dengan prinsip cooperative government. Kedudukan dan kewenangan Kementerian Koordinator dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia akan berbeda bila dilihat dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan Inpres No. 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah. Hasil tesis ini menyarankan agar kedudukan dan kewenangan Kementerian Koordinator perlu diperkuat mengingat berdasarkan faktor sejarah Kementerian Koordinator sudah ada sejak Tahun 1948 dengan nama Menteri Koordinator Keamanan Dalam Negeri bahkan dalam faktor Kebutuhan Nasional sejak tahun 1962 Kementerian Koordinator tidak pernah dihapuskan.

The Republic of Indonesia adheres to a presidential government system that combines the functions of the head of state and head of government as well as the president and vice president. Because this dual function has caused the president and vice president not to be too involved in the operational matters of daily government. Even for coordination purposes it is proven that a Coordinating Minister is still needed. This study discusses the position and authority of the Coordinating Ministry in the government system. the method of writing in this study is normative using an approach to legislation and a comparative approach of the Coordinating Ministers in Singapore, the Democratic Republic of East Timor, and Ecuador who have different government systems. South Africa does not have a Coordinating Minister, but in its constitution it is stated that governance is carried out with the principle of cooperative government. The position and authority of the Coordinating Ministry in the government system of the Republic of Indonesia will be different if seen from the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Law No. 39 of 2008 concerning the State Ministry, and Presidential Instruction No. 7 of 2017 concerning Taking, Supervision and Control of Policy Implementation at the Level of State Ministries and Government Agencies. The results of this thesis suggest that the position and authority of the Coordinating Ministry need to be strengthened considering that based on historical factors the Coordinating Ministry has existed since 1948 with the name of the Coordinating Minister for Homeland Security even in the National Needs factor since 1962 The Coordinating Ministry was never abolished."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53947
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Gunawan
"ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan permasalahan-permasalahan tentang keberadaan dan fungsi dari wakil kepala daerah di Indonesia karena tidak mengatur secara tegas mengenai tata cara pengisian jabatan dan jumlah wakil kepala daerah yang dapat dimiliki oleh tiap-tiap daerah. Tesis ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder sebagai sumber datanya, serta bersifat preskriptif, yaitu memberikan saran, penyelesaian dan saran terhadap penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa akibat karena tidak tegasnya pengaturan tentang wakil kepala daerah dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu ketidakpastian hukum untuk mengadakan jabatan wakil kepala daerah karena pengaturannya mudah berubah-ubah dan tergantung pada undang-undang lain. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan atas undang-undang tentang pemerintahan daerah, khususnya mengenai keberadaan dan jumlah wakil kepala daerah harus diatur secara eksplisit di dalam undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah.

ABSTRACT
Law number 23 on 2014 of Regional Governance which has been amended by Law Number 2 of 2015 on Amendment of Law Number 23 on 2014 and Law Number 9 of 2015 on Second Amendment of Law Number 23 on 2014 Law of Regional Governance caused problems about Deputy Head of Regional Government 39 s existence and functions in Indonesia because Law Number 23 on 2014 did not regulate the mechanism to fill the deputy head position and also did not determine the possible number of deputy heads that can be appointed by each regions. This is a prescriptive and juridical normative thesis that used secondary data as it source and intended to give solutions and recommendations. The result is, there are implications that caused by unclear norms in Law of Regional Governance in Indonesia. The implication is, the rule about legal standing of deputy head of regional governance becomes uncertain, because the norm is easy to be changed and depends on another regulation outside the Law of Regional Governance. Therefore, the norms in Law of Regional Governance needs to be revised, especially the norms about number and existence about deputy head of regional governance."
Depok: 2017
T49645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athaya Safiraputri
"Pengelolaan sampah terutama di negara-negara berkembang memiliki tantangan sendiri dalam pelaksanaannya. Hal tersebut berkaitan dengan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan sampah sendiri yaitu pengurangan sampah dan penanganan sampah. Kegiatan penanganan sampah dimulai dari tahap pemilahan sampai dengan tahap pemrosesan akhir sampah. Pemrosesan akhir sampah sendiri tentu menjadi kegiatan pengelolaan sampah yang sangat penting dan berperan besar untuk mengetahui apakah bentuk pengembalian atau hasil pengembalian sampah yang dikembalikan ke media lingkungan dapat diproses dengan aman dan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Pemrosesan akhir sampah di kota-kota besar tentu memiliki permasalahan tersendiri dalam kegiatannya, termasuk Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara, perlu diingat bahwa transisi adanya perubahan paradigma pengelolaan sampah, termasuk dengan pemrosesan akhir sampah yang dulunya hanya sebatas open dumping (pembuangan terbuka), menjadi diproses dengan pengurugan di landfill atau dikenal dengan lahan urug terkendali tentu tidaklah mudah dalam pelaksanaannya. Adanya permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan sampah di wilayah Provinsi DKI Jakarta sendiri mengharuskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan kegiatan pengelolaan sampah termasuk kegiatan pemrosesan akhir sampah di TPST Bantargebang. Dalam hal ini membuat penulis ingin meneliti bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta terhadap kegiatan pemrosesan akhir sampah wilayah Provinsi DKI Jakarta, bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan kegiatan pemrosesan akhir sampah dengan metode yang tidak menyebabkan pencemaran lingkungan hidup, dan bagaimana peraturan perundang-undangan tentang persampahan mengatur mengenai kegiatan pengelolaan sampah dan kegiatan pemrosesan akhir sampah secara spesifik, dan bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejauh ini melaksanakan kegiatan pemrosesan akhir sampah di TPST Bantargebang dan bagaimana pemrosesan akhir sampah yang dilakukan di sana dengan regulasi-regulasi yang ada. Dalam menyusun penelitian skripsi ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yang dikenal dengan bentuk penelitian yuridis normatif.

Solid waste management, especially in developing countries, has its own challenges in its implementation. This is related to activities in solid waste management; waste reduction and waste handling. Waste handling activities start from the waste sorting to the final waste processing. The final waste processing itself is very significant in solid waste management activities and it plays a major role in determining whether the results of final waste processing returned to environmental media can be processed safely and will not cause any environmental pollutions. Final waste processing in large metropolitan areas, including DKI Jakarta Province as the capital of the country, it is necessary that there is a transition in solid waste management, including the final waste processing which was previously implemented open dumping method, being processed by landfilling the waste or known as controlled landfill, and it also has its own challenges in its implementation. The following problems in solid waste management activities in DKI Jakarta Province requires the responsible parties, mainly including the Local Government to execute solid waste management activities at Bantargebang Integrated Waste Disposal. This topic is brought up to examine the legal responsibility of the DKI Jakarta Provincial Government in final waste processing activities, how the DKI Jakarta Provincial Government conducts final waste processing activities with appropriate management methods that do not cause any environmental pollutions, and the compliance with environmental law and regulations and specifically regulate solid waste management activities and final waste processing activities in compliance with the existing regulations. A normative legal research method is used to conduct the research."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Sutrisno
"Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kedudukan sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan strategis tersebut mengalami banyak tantangan dan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak efektif dan untuk merumuskan konstruksi kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan teknik analisis data deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jawa Timur dengan melakukan serangkaian wawancara mendalam dan diskusi aktif dengan berbagai narasumber mulai dari gubernur, bupati/walikota, instansi vertikal, ahli dan praktisi pemerintahan daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berjalan tidak efektif yang disebabkan oleh 6 (enam) determinant factor, yaitu lemahnya dukungan instrumen kebijakan, ketiadaan institusi kelembagaan, ketiadaan personil aparatur, ketidakjelasan anggaran, kepemimpinan, dan political will pemerintah. Hasil penelitian merumuskan dua desain sistem pemerintahan daerah. Pertama, provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom - kabupaten/kota daerah otonom. Kedua, provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom ? kabupaten/kota wilayah administrasi dan daerah otonom. Kedua desain tersebut meletakkan dekonsentrasi dan desentralisasi pada provinsi dan mendudukkan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat mapun selaku kepala daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya institusi kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam penelitian ini dirumuskan sebagai intermediate government dalam bentuk deputi dekonsentrasi.

Governor as the Central Government representative has a very important position on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia. The strategic position have faced lots of challenges and problems. This study aims to analyze why the position of the governor as the central government representative is ineffective and to formulate the construction of the governor?s position, role and function as the Central Government representative on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia for the future. This study applied qualitative paradigm with descriptive data analysis techniques. The data were collected in the Central Kalimantan Province and East Java Province by conducting a series of in-depth interviews and active discussions with various sources ranging from the governors, regents/mayors, vertical institutions, experts and practitioners of local government.
The results show that the governor's position as the central government representative is ineffective. The ineffectiveness determinant factors are the lack of support in policy instruments, institutions, personnel officers, budget uncertainty, leadership, and political will of the governments. This study formulates two designs for the local administration system. First, the provinces are both an administrative area and an autonomous region, then the regencies/municipalities arean autonomous region. Second, both the provinces and regencies/municipalities are an administrative area and an autonomous region. Both designs set deconcentration and decentralization at the provinceas well asgovernor as the Central Government representative and as the head area. This study indicate the needof governor's institution as the central government representative which in this study is formulated as an intermediate government in the deconcentration deputy format.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2076
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Purnawan
"ABSTRAK
Pertanggungjawaban hukum Kepala Daerah merupakan pertanggungjawaban karena
adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Kepala Daerah.
Pertanggungjawaban hukum Kepala Daerah juga disebut sebagai
pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam arti luas, yakni pertanggungjawaban
dengan sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi administratif, sanksi pidana,
dan/atau sanksi perdata. Dalam pertanggungjawaban hukum ini, Kepala Daerah
dituntut untuk mempertanggungjawabkan secara hukum pelanggaran hukum yang
dilakukannya berdasarkan penilaian hukum dan pembuktian oleh hakim.

ABSTRACT
Legal liability of head and deputy of region is a liability due to deed of againsting the
law committed by head and deputy of region. Legal liability of head and deputy of
region is also referred to as head and deputy of region?s liability in a broad sense,
namely liability with sanctions. The sanctions may include administrative penalties,
criminal penalties, and / or civil sanctions. In this legal liability, Head and Deputy of
region legally required to accountable for his violations of the law based on legal
assessment and verification by the judge.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43872
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ramzy Sayuda Patria Hani Putra
"Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diimplementasikan sebagai daerah otonom khusus. Otonomi Khusus yang diberikan didasari oleh adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Undang-Undang Otsus Papua). Lebih lanjut, salah satu mekanisme kewenangan yang diberikan adalah dalam penentuan pengisian jabatan anggota DPRP, kewenangan tersebut menetapkan frasa “diangkat” orang asli Papua sebagai anggota DPRP, dengan tujuan untuk melindungi hak-hak asli masyarakat Papua dan agar dipastikannya masyarakat asli Papua dapat ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi Papua. Namun frasa tersebut dirasa memberikan dampak hilangnya hak konstitusional berupa kedudukan yang sama dalam pemerintahan, Oleh karena itu untuk mengetahui Kedudukan DPRP dalam NKRI diperlukan analisis terkait Putusan MK Nomor 4/PUU-XVIII/2020 terhadap Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Otsus Papua melalui Metode Penelitian Yuridis Normatif. Berdasarkan analisis dari putusan tersebut kedudukan Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam NKRI telah sesuai dengan tujuan negara yaitu mensejahterakan rakyat dengan penyesuaian terhadap adat istiadat dan kebiasaan masing-masing wilayahnya. Akan tetapi pemerintah masih dirasa perlu untuk melakukan perumusan perundang perundangan yang merumuskan secara jelas kriteria orang asli papua yang “diangkat” sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi serta karakteristik budaya masyarakat

Papua Province is one of the provinces in Indonesia which is implemented as a special autonomous region. The Special Autonomy granted is based on the provisions of Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for the Papua Province (Law on Special Autonomy for Papua). Furthermore, one of the mechanisms of authority given is in determining the filling of positions for members of the DPRP, this authority stipulates the phrase "appointed" native Papuans as members of the DPRP, with the aim of protecting the indigenous rights of the Papuan people and ensuring that indigenous Papuans can participate. in the administration of the Papuan provincial government. However, this phrase is felt to have an impact on the loss of constitutional rights in the form of an equal position in the government. Therefore, to find out the position of the DPRP in the Republic of Indonesia, an analysis is needed regarding the Constitutional Court Decision Number 4/PUU-XVIII/2020 against Article 6 paragraph (2) of the Special Autonomy Law for Papua. through Normative Juridical Research Methods.Based on the analysis of the decision, the legal position of the Papuan People's Representative Council (DPRP) in the Unitary State of the Republic of Indonesia is in accordance with the state's goal, namely the welfare of the people by adjusting to the customs and habits of each region. However, the government still feels the need to formulate legislation that clearly formulates the criteria for indigenous Papuans who are "appointed" in accordance with the socio-economic characteristics and cultural characteristics of the community."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzy Fathoni
"Perjanjian Internasional merupakan sumber utama hukum internasional. Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional dapat mengikatkan diri dan tunduk kepada Perjanjian Internasional. Namun, kedudukan dan cara pemberlakuan perjanjian internasional di dalam suatu negara dapat berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan dalam mengatur kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional suatu negara, harus diperhatikan teori manakah yang dianut negara tersebut terkait hubungan hukum internasional dan hukum nasional, apakah monisme atau dualisme. Dari berbagai praktik negara dalam mengatur perjanjian internasional, Amerika Serikat dan Inggris merupakan contoh negara dualis, sementara Belanda merupakan contoh negara monis. Australia dan Tiongkok tidak mengatur jelas kedudukan perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya, dan Jerman terlihat mencoba mengkombinasikan kedua teori tersebut. Terkait praktik di Indonesia, perjanjian internasional tidak memiliki kedudukan dan cara pemberlakuan yang jelas, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan praktisi dan para penegak hukum. Kerugian yang timbul akibat ketidakjelasan ini adalah adanya ketidakpastian hukum dan langkah hukum Indonesia yang tidak dapat diprediksi. Skripsi ini merupakan penelitian hukum yang memiliki bentuk yuridis normatif.

Treaty are the main source of international law. State as one of the subjects of international law can bind itself and subject to the Treaty. However, the position and enforcement of treaty in a state can be different from one another. This is because in regulating the position of international treaties in the national legal system of the state, should be considered which theory espoused by the state related to the relationship of international law and national law, whether monism or dualism. Of the various practices of the state in regulating international treaty, the United States and the United Kingdom are examples of dualist state, while the Netherlands is an example of monist state. Australia and China did not set out clear position of international treaty in their domestic law, and Germany look to try to combine the two theories. Related practices in Indonesia, treaty do not have the clear position and how to enforcement clearly, giving rise to confusion among practitioners and law enforcement. Losses incurred as a result of this vagueness is legal uncertainty and Indonesian legal steps that can not be predicted. This thesis is a study of law has normative juridical form."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60697
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>