Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108139 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denie Kartono
"Latar Belakang: CT scan orbita merupakan modalitas radiologi yang mudah dan efisien untuk menilai adanya penebalan otot ekstraokular pada penderita oftalmopati Graves. Penebalan otot ekstraokular memiliki korelasi dengan masing-masing derajat oftalmopati Graves. Di Indonesia, belum ada korelasi antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves menurut klasifikasi NOSPECS.
Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 89 orbita yang berasal dari 50 pasien penderita oftalmopati Graves yang telah menjalani pemeriksaan CT scan orbita di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga Desember 2016. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2017. Pengukuran ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dilakukan setelah meninjau ulang derajat oftalmopati Graves melalui hasil pemeriksaan oftalmologi.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna di antara rerata ketebalan otot ekstraokular menurut derajat oftalmopati Graves (p<0,05). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi yang bermakna dan nilai r yang bervariasi di antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves. Nilai r=0,43 untuk rektus medial, r=0,37 untuk rektus lateral, r=0,49 untuk rektus superior, r=0,45 untuk rektus inferior dan r=0,57 untuk ketebalan total ekstraokular.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.

Background: CT scan is an easy and efficient radiological modality to measure extraocular enlargement in the patient with Graves' ophthalmopathy disease. Extraocular muscles enlargements were had correlated with each grade of Graves' ophthalmopathy. In Indonesia, there is not yet a study about correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity based on NOCPECS classification.
Purpose: To obtain the correlation values between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity.
Method: This study used a cross sectional design. Eighty nine samples from fifty patients with Graves' opthalmopathy were chosen using consecutive sampling from patients that underwent orbital CT scan at the Radiology Departement of the Indonesia University's Faculty of Medicine' Cipto Mangunkusumo Hospital from time periode January 2012 until December 2016. This study was done from February until March 2017. The measurement of extraocular muscles diameter in orbital CT scan was performed after had reviewed Graves' ophthalmopathy severity from ophthalmology examination on medical record.
Results: There are significantly differences between extraocular muscles diameter mean with Graves' ophthalmopathy severity (p<0,05). Spearman correlation test between extraocular muscles diameter with Graves' ophthalmopathy grading shows significant correlation with varied r values, r=0,43 for rectus medial, r=0,37 for rectus lateral, r=0,49 for rektus superior, r=0,45 for rectus inferior and r=0,57 for total diameters of extraocular muscles.
Conclusion: There is a moderate positive correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cecilia Anggraini
"Latar belakang: Perubahan okular pasien oftalmopati Graves (OG) tidak pernah mengalami remisi sempurna pasca tatalaksana berdampak negatif pada psikososial pasien. Kuesioner Graves Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) versi Bahasa Indonesia belum tervalidasi sehingga belum bisa mengevaluasi kualitas hidup pasien yang menjadi indikator dalam tatalaksana pasien OG.
Tujuan: Menyajikan kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia yang sahih dan andal dan mengetahui hubungan kualitas hidup pasien dengan aktivitas klinis dan derajat keparahan OG.
Metode: Proses validasi melalui adaptasi transkultural dengan desain potong lintang. Validitas dinilai dengan content validity index (CVI) dan reliabilitas dinilai dengan Cronbach's alpha.
Hasil: Kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia memiliki content validity index (CVI) mencapai 1,00. Nilai Cronbach’s alpha  subskala fungsi penglihatan 0,971; subskala tampilan 0,993; total 0,986. Kualitas hidup pasien OG di subskala tampilan dan keseluruhan  memiliki hubungan bermakna dengan clinical activity score (p<0,05) dan derajat keparahan (p<0,001).
Kesimpulan: GO-QoL versi Bahasa Indonesia validitas dan reliabilitas sangat baik. Aktivitas klinis OG yang aktif dan semakin tinggi derajat keparahan memperburuk kualitas hidup pasien pada subskala tampilan dan keseluruhan.

Background: Graves' ophthalmopathy (GO) ocular abnormalities persisted even after treatment, negatively impacting the patient's psychological and social health. The Indonesian Graves' Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) Questionnaire has not been validated, hence it cannot measure patient quality of life, which is crucial to GO treatment.
Objective: Providing a reliable Indonesian GO-QoL questionnaire and identifying an association between patient quality of life and clinical activity and severity of GO.
Method: The process of questionnaire validation involves transcultural adaptation and cross-sectional design. The content validity index (CVI) and Cronbach's alpha assessed validity and reliability, respectively.
Result: Content validity index (CVI) was 1.00 for the Indonesian GO-QoL questionnaire. Cronbach's alpha visual function subscale value was 0.971, while the appearance subscale value was 0.993, and the total score was 0.986. The appearance subscale and total score of OG patients' quality of life had a significant association with the clinical activity score (p<0.05) and disease severity (p<0.001).
Conclusion: The Indonesian version of GO-QoL has good validity and reliability. Both the active clinical activity of OG and the severity of the disease decreased the patient's appearance and general quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Tasya Pradnya Pratistita
"Pendahuluan: Graves' disease merupakan etiologi dari hipertiroidisme yang paling sering ditemukan dan salah satu manifestasi klinis yang sering muncul adalah oftalmopati. Jalur persinyalan CD40-CD40L memiliki peranan yang penting dalam patogenesis penyakit autoimun, salah satunya adalah Graves' disease. Graves' disease melibatkan jalur persinyalan CD40-CD40L yang berperan pada proses diferensiasi, proliferasi, dan aktivasi sel B dewasa sebagai respons dari antigen yang berbeda. Penelitian ini bertujuan menganalisis gen CD40L pada rs3092951, yang terletak pada 5' flanking region bagian promoter.
Metode: Sampel berasal dari 60 penderita Graves' disease yang dianalisis dengan metode SSP-PCR untuk mengetahui variasi genetik dan metode ELISA untuk mengetahui kadar sCD40L.
Hasil: Variasi genetik CD40L rs3092951 tidak berperan pada risiko kekambuhan dan derajat oftalmopati (p>0,05). Ditemukan perbedaan kadar sCD40L yang signifikan pada pasien kambuh dengan tidak kambuh (p<0,05) dan pada pasien dengan derajat oftalmopati (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar sCD40L terhadap risiko kekambuhan dan derajat oftalmopati pada penderita Graves' disease, hubungan yang signifikan tidak ditemukan pada variasi genetik gen CD40L rs3092951.
Introduction: Graves disease is the most common etiology of hyperthyroidism. Graves' ophthalmopathy occurs in patients with hyperthyroidism and one of the most common clinical manifestations is ophthalmopathy. The CD40- CD40L signaling pathway play an important role in the pathogenesis of autoimmune diseases, one of them is Graves' Disease. Graves' disease involves the CD40-CD40L signaling pathways which play a role in differentiation, proliferation, and activation of mature B cells in response to different antigen. This study analyzed the CD40L gene at rs3092951 which is located at the promoter of the 5' flanking region.
Methods: Samples were taken from 60 Graves' disease patients analyzed by SSP-PCR method to determine the genetic variation and ELISA method to determine the levels of sCD40L.
Results: Significant correlation was not found between genetic variation of CD40L rs3092951 with the risk of recurrence and the degree of ophthalmopathy (p>0.05). There is a significant difference in sCD40L levels in patients with recurrence and without recurrence (p <0.05) and in patients with degrees of ophthalmopathy (p<0.05).
Conclusion: There was a significant correlation between the sCD40L levels with the risk of recurrence and the degree of ophthalmopathy, no significant correlation was found in genetic variation of CD40L rs3092951."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Margareta L. Toruan
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to determine the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had IOP elevation and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were association between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off value 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male (PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off value ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alva Andhika Sa`Id
"Degenerasi makula atau Age-Related Macular Degeneration (AMD) adalah penyakit mata yang menyebabkan kebutaan pada bagian tengah mata yang merusak kinerja retina pada bagian makula yang berfungsi untuk mempertajam penglihatan untuk beberapa aktivitas, seperti membaca, menulis, dan mengenali wajah seseorang. Penderita AMD akan mengalami penglihatan yang buram, distorsi penglihatan, atau bahkan kehilangan penglihatannya. Dalam mendiagnosis AMD dapat digunakan oftalmoskopi, beberapa metodenya yaitu Ocular Coherence Tomography (OCT) dan fotografi fundus sudah banyak dilakukan untuk membantu diagnosis AMD. Namun, diagnosis AMD dengan mengandalkan ahli dapat berlangsung lama dan memungkinkan terjadinya error subjektivitas oleh pendiagnosis. Diagnosis awal diperlukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan terjadinya AMD pada tahap awal yang gejalanya tidak dirasakan oleh penderita. Pendekatan diagnosis AMD salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan machine learning. Machine learning sudah berperan besar dalam sektor medis membantu permasalahan klasifikasi diagnosis penyakit seperti metode Support Vector Machines (SVM) dan Twin Support Vector Machines (TSVM). Salah satu cabang machine learning yang sangat baik dalam klasifikasi penyakit lewat gambar adalah deep learning. Metode yang digunakan deep learning untuk permasalahan klasifikasi data citra salah satunya adalah Convolutional Neural Network (CNN). Pada penelitian ini, akan digunakan metode Convolutional Neural Network – Twin Support Vector Machines (CNN-TSVM) untuk mengklasifikasi penyakit AMD menggunakan data citra fundus yang diperoleh dari Ocular Disease Recognition (ODIR-5K) 2019, dengan 227 data citra fundus normal dan 227 data citra fundus penyakit AMD. Evaluasi kinerja metode CNN-TSVM menggunakan teknik hold-out validation dengan membagi data latih dan data uji dengan proporsi 10% - 90% dan metrik akurasi, presisi, dan recall. Hasil kinerjanya dibandingkan dengan metode CNN dan Convolutional Neural Network – Support Vector Machines (CNN-SVM). Hasil yang diperoleh menunjukkan CNN-TSVM menggunakan kernel RBF memberikan akurasi dan recall terbaik, sementara CNN-TSVM menggunakan kernel polinomial memberikan presisi terbaik.

Age-related Macular Degeneration (AMD) is an eye disease that causes blindness in the middle of the eye that impairs retinal performance in the macula that serves to sharpen vision for some activities, such as reading, writing, and recognizing a person's face. AMD sufferers will experience blurred vision, vision distortion, or even loss of vision. In AMD diagnosed, ophthalmology can be used, several methods of ophthalmology including Ocular Coherence Tomography (OCT) and fundus photography have been widely done to help the diagnosis of AMD. However, AMD diagnosis by relying on experts can be long-lasting and allow subjective errors to occur in the diagnosis. An initial diagnosis is needed to detect the possibility of AMD occurrence at an early stage where symptoms are not felt by the sufferer. One of AMD diagnosis approach can be done with machine learning approach as one of artificial intelligence methods. Machine learning method has played a major role in the medical sector helping classification problems of disease diagnosis such as Support Vector Machines (SVM) and Twin Support Vector Machines (TSVM). One of the excellent branches of machine learning in the classification of diseases through images is deep learning. The suitable method used by deep learning for image data classification problems is convolutional neural network (CNN). In this study, Convolutional Neural Network–Twin Support Vector Machines (CNN-TSVM) method will be used to classify AMD diseases using fundus image data obtained from Ocular Disease Recognition (ODIR-5K) 2019, with 227 normal fundus image data and 227 fundus image data of AMD disease. Performance evaluation of CNN-TSVM method using hold-out validation techniques by dividing training data and testing data by a proportion of 10% - 90% and metrics of accuracy, precision, and recall. The performance results will be compared to CNN and Convolutional Neural Network – Support Vector Machines (CNN-SVM). The results showed CNN-TSVM using RBF kernel provided the best accuracy and recall, while CNN-TSVM using polynomial kernel provided the best precision."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yanti
"ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Oftalmopati adalah manifestasi ekstratiroid yang paling umum dan serius pada penderita penyakit Graves. Oftalmopati Graves terjadi karena adanya inflamasi autoimun kronis pada jaringan orbita dan retro-orbita. Keadaan oftalmopati secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderita penyakit Graves. Patofisiologi oftalmopati Graves melibatkan ikatan CD154 dan CD40 yang transkripsinya diregulasi oleh faktor transkripsi AKNA. Pada penelitian ini dianalisis variasi genetik gen AKNA rs3748178 dan kadar sCD154 serta hubungannya dengan derajat oftalmopati pada penderita penyakit Graves. METODE: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan melibatkan 60 sampel yang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi NOSPECS. Analisis variasi genetik dilakukan dengan teknik PCR-RFLP dan pengukuran kadar sCD154 dengan teknik ELISA. Analisis statistik yang digunakan adalah uji chi-square dan uji Kruskal-Wallis, dengan kemaknaan p<0,05. HASIL: Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara genotip gen AKNA rs3748178 dengan derajat oftalmopati Graves pada kelompok derajat 1-3 dan 4-6 yang dibandingkan dengan kelompok derajat 0 (p=0,011). Genotip GG berisiko 14 kali lebih besar untuk mengalami oftalmopati derajat 4-6. Terdapat hubungan yang bermakna antara alotip gen AKNA rs3748178 dengan derajat oftalmopati Graves pada kelompok derajat 1-3 dan 4-6 yang dibandingkan dengan kelompok derajat 0 (p=0,003). Alotip A berisiko 13 kali lebih besar untuk mengalami oftalmopati derajat 4-6. Kadar sCD154 berbanding lurus dengan derajat keparahan oftalmopati Graves (p<0,001). Genotip GG gen AKNA rs3748178 pada kelompok derajat 4-6 menunjukkan kadar sCD154 yang paling tinggi (p=0,01). KESIMPULAN: Variasi genetik AKNA ekson 11 rs3748178 dan kadar sCD154 berperan terhadap derajat keparahan oftalmopati Graves

ABSTRACT
BACKGROUND: Ophthalmopathy is the most common and serious extrathyroidal manifestation of Graves' disease. Graves? Ophthalmopathy occurs due to chronic autoimmune inflammatory of orbital and retro-orbital tissue. Graves? Ophthalmopathy significantly impairs the quality of life of patients with Graves' disease. Pathophysiology of Graves? Ophthalmopathy involves CD154-CD40 binding which regulated by transcription factor AKNA. This study analyzed the genetic variation of AKNA rs3748178 and sCD154 levels associated with ophthalmopathy grade of patients with Graves' disease. METHODS: This research is a cross sectional study examining 60 samples grouped according to NOSPECS classification system. Genetic variation was analyzed with PCR-RFLP. Serum sCD154 level was measured with ELISA. Chi-square and Kruskal-Wallis test used for statistical analysis, p value less than 0,05 was considered significant. RESULTS: The results showed a significant relationship between genotype of AKNA rs3748178 with Graves? ophthalmopathy severity (p=0.011). There is a significant relationship between alotype of AKNA rs3748178 with Graves? ophthalmopathy severity (p=0.003). Level of sCD154 in serum was considered significant with Graves? ophthalmopathy severity (p<0.001). Genotype GG of AKNA rs3748178 in grade 4-6 group showed the highest level of sCD154 (p=0.01). CONCLUSIONS: Genetic variation of AKNA rs3748178 and sCD154 level contribute to the severity of Graves? ophthalmopathy"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Mansjoer
"Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun pada kelenjar tiroid dengan manifestasi berbagai sistem organ, termasuk sistem kardiovaskular akibat hipertiroid. Pada pasien hipertiroid terjadi peningkatan fungsi sistolik ventrikel kiri dibandingkan populasi normal. Beberapa penelitian tentang kadar hormon tiroid mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Hipotesis pada penelitian ini adalah peningkatan kadar hormon tiroid akan diikuti peningkatan fungsi ventrikel kiri.
Tujuan
Diketahui korelasi kadar tiroksin bebas dan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien Graves yang belum diobati.
Metode
Pada penelitian potong lintang ini digunakan kadar tiroksin bebas sebagai parameter hormon tiroid dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) menurut cara Simpson yang dimodifikasi dengan ekokardiografi sebagai parameter fungsi sistolik ventrikel kiri. Kadar tiroksin bebas diperiksa di laboratorium sedangkan fraksi ejeksi ventrikel kiri cara Simpson dinilai dengan alat ekokardiografi.
Hasil
Didapatkan 10 pasien, 7 laki-laki dan 3 perempuan, dengan usia 18-52 tahun. Lama gejala dirasakan pasien 2-12 bulan. Pada pasien didapatkan rerata kadar fT4 5,75 (SB 0,96) ngldL dan rerata fraksi ejeksi ventrikel kiri 70,57 (SB 4,50) %. Didapatkan koefisien korelasi positif antara kadar tiroksin bebas dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r=0,711, p=0,021) pada pasien Graves yang belum diobati
Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif kuat antara kadar tiroksin bebas (fT4) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) pada pasien Grave yang belum mendapat pengobatan.

Graves' disease is an autoimmune disease of thyroid gland which can be manifested in many organ system, especially cardiovascular system due to hyperthyroid. Hyperthyroid patients have a higher left ventricular systolic function than normal. Several studies of correlation between thyroid hormone level and cardiac function have showed different results. The hypotesis tested in this study is the increasing thyroid level will followed by the increase of left ventricular systolic function in Graves' disease.
Objective
To determine the correlation between thyroid hormone level and left ventricular ejection fraction in newly diagnosed Graves' patients.
Methods
In this cross-sectional study, we use the free thyrosine level as a parameter of thyroid hormon and use left ventricular ejection fraction as a parameter of left ventricular systolic function. Free thyroxine level was measured in the laboratory and the LVEF were assessed by Simpson's methods of echocardiography study.
Results
Ten patients (7 men and 3 women; age 18-52 years old) were studied. Their average of ff4 was 5.75 (SD 0.96) ngldL and their average of LVEF was 70.57 (SD 4.50) %. There was positive correlation coefficient between free thyroxine level and left ventricular ejection fraction (r=0.711, p=0.021) in newly diagnosed Graves' patients.
Conclusion
In this study there was strong positive correlation between free thyroxine (fT4) and left ventricular ejection fraction (LVEF) in newly diagnosed Graves' patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Annisa
"Latar belakang: Hormon tiroid berperan dalam regulasi metabolisme glukosa. Kondisi hipertiroid menyebabkan perubahan fungsi sel beta pankreas, percepatan pengosongan lambung, dan gangguan absorpsi glukosa di usus yang menyebabkan kelainan metabolisme glukosa hingga terjadinya resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Tujuan: Mengetahui korelasi kadar hormon tiroid dengan resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas pada pasien penyakit Graves fase toksik. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai HOMA-IR dan HOMA-B pada pasien penyakit Graves fase toksik. Penelitian dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo dari Januari 2019 hingga Agustus 2020. Kriteria inklusi penelitian ini yaitu pasien penyakit Graves usia 18-65 tahun, belum menerima terapi obat antitiroid atau sudah diberikan terapi obat selama maksimal 1 bulan dan masih dalam fase toksik. Analisis data menggunakan korelasi Pearson. Hasil: Dari total 38 pasien dengan kecurigaan penyakit Graves, 2 pasien dieksklusi dari penelitian karena hasil TRAb negatif. Pada studi ini ditemukan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar T4 bebas dengan resistensi insulin (r 0,208 ; p 0,298) dan disfungsi sel beta pankreas (r 0,215 ; p 0,928) pada pasien penyakit Graves fase toksik. Tidak ditemukan juga korelasi antara TSH dan T3 total dengan resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Didapatkan korelasi yang kuat dan bermakna antara HOMA-IR dan HOMA-B (r 0,991 ; p 0.000). Kesimpulan: Tidak didapatkan korelasi antara kadar hormon tiroid (T4 bebas, T3 total, dan TSH) dengan resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas.

Background: Thyroid hormones play a significant role in glucose metabolism. Hyperthyroid cause changes in pancreatic beta cell function, accelerated gastric emptying, and impaired glucose absorption in the intestine which cause abnormality in glucose metabolism, resulting in insulin resistance and pancreatic beta cell dysfunction. Aim: To determine correlation of thyroid hormone with insulin resistance and pancreatic beta cell dysfunction in toxic phase Graves’ disease patients. Method: This study is a cross-sectional study to assess HOMA-IR and HOMA-B in toxic phase Graves’ disease patients. The research was conducted at Cipto Mangunkusomo Hospital from January 2019 to August 2020. Inclusion criteria for this study were Graves’ disease patients aged 18-65 years, never received anti-thyroid medication or anti-thyroid medication had been given for maximum of 1 month and patient still in the toxic phase. Data analysis used Pearson correlation. Results: From 38 patients suspected with Graves’ disease, 2 patients were excluded from the study because of negative TRAb results. This study found there was no correlation between free T4 levels and insulin resistance (r 0,208; p 0,298) and pancreatic beta cell dysfunction (r 0,215; p 0,928) in toxic phase Graves’ disease patients. There was also no correlation found between TSH and total T3 with insulin resistance and pancreatic beta cell dysfunction. A strong and significant correlation was found between HOMA-IR and HOMA-B (r 0,991; p 0.000). Conclusion: There was no correlation between thyroid hormone (free T4, total T3, and TSH) and insulin resistance. Thyroid hormones also did not correlate with pancreatic beta cell dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrana Nadhila
"Penyakit Graves (GD) merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar tiroid dan menjadi penyebab utama terjadinya hipertiroidisme. Manifestasi klinis ekstratiroid yang umum terjadi pada pasien GD ialah oftalmopati Graves (OG). Salah satu penentu genetik yang terkait dengan respon autoimunitas baik pada GD atau OG ialah gen CD40. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan variasi genetik CD40 (rs1883832 dan rs11086998) dan kadar sCD40 terhadap derajat keparahan oftalmopati pada penderita Graves. Studi potong lintang ini menggunakan 60 sampel DNA dan serum pasien Graves yang dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok OG kelas 0, kelas I-III, dan kelas IV-VI. Analisis variasi genetik dilakukan dengan metode PCR-RFLP dan pengukuran kadar sCD40 menggunakan metode ELISA. Derajat keparahan OG dinilai menggunakan klasifikasi NOSPECS yang mana data diperoleh dari rekam medik pasien. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variasi gen CD40 pada bagian 5’UTR rs1883832 tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kadar sCD40 dan derajat keparahan OG (p>0,05), sedangkan pada ekson 9 rs11086998 tidak ditemukan variasi genetik (hanya diperoleh genotip CC dan alel C). SNP gen CD40 pada rs1883832 menunjukkan genotip TT dan alel T memiliki rata-rata kadar sCD40 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok variasi genetik lainnya pada penderita Graves. Disimpulkan, variasi genetik CD40 pada 5’UTR rs1883832 dan ekson 9 rs11086998 tidak berhubungan dengan derajat keparahan OG.

Graves' Disease (GD) is an autoimmune disease which causes hyperthyroidism by attacking the thyroid gland. The most common extra thyroid manifestation in GD is Graves' ophthalmopathy (OG). One of the genetic determinants associated with the autoimmune response to GD and OG is the CD40 gene. The aim of this study is to determine the association between genetic variation of CD40 gene (rs1883832 and rs11086998) and the serum level of sCD40 to the degree of ophthalmopathy severity in patients with Graves' disease. In this cross- sectional study, 60 DNA and serum of Graves patients were categorized into three groups; namely OG class 0, class I-III, and class IV-VI. Analysis of genetic variations were carried out using the PCR-RFLP method and ELISA method for the measurement of sCD40 levels. The severity of OG was assessed using NOSPECS classification where the data was obtained from medical records. The results showed that the genetic variation of the CD40 gene at 5’UTR rs1883832 does not have a significant association with sCD40 levels and degree of OG severity (p> 0.05). There was no genetic variation found in exon 9 rs11086998 with only CC genotypes and alleles C were obtained. SNP rs1883832 of the CD40 gene indicates that the TT genotype and the T allele have higher average of sCD40 levels compare to the other group of genetic variation in patient with Graves' disease. In conclusion, genetic variation in 5’UTR rs1883832 and exon 9 rs11086998 of CD40 gene have no correlation with the severity degree of OG."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Oktarina
"Stroke atau cerebrovascular accident(CVA) merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Stroke merupakan penyakit kronis yang bersifat menetap dan tidak dapat pulih secara total yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Mansjoer et al, 2000; Taylor, 1999). Efek yang ditimbulkan dari CVA beragarn, tergantung pada daerah otak yang terganggu. Selain kelumpuhan, kesulitan berbicara, dan memori yang terganggu, gangguan yang sering rnuncul adalah afasia yaitu gangguan pada kemampuan menggunakan kata-kata (Davison & Neale, 1996).
Gangguan bahasa (Afasia) merupakan salah satu akibat dari kerusakan hemisfer kiri pada pasien stroke yang kinan. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam bidang neuropsikologi yaitu TADIR (Tes afasia, diagnosa, inforrnasi, dan rehabilitasi). Melalui TADIR dapat dilihat sindrom afasia yang diderita oleh pasien. Pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasiiikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Atas dasar aspek-aspek penamaan, kelancaran, peniruan dan pernahaman auditif, maka
Goodglass 3: Kaplan (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia. Setiap sindrom afasia dihubungkan dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Salah satu tujuan pemeriksaan ialah menenlukan letak kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prius, 2002) dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia klasifikasi Boston (Dharmaperwira-Pnns, 2002).
Sementara itu dibidang kedokteran, khusuanya secara neurologis, untuk diagnostik lebih lanjut yang menunjukkan tempat kerusakan di otak dapat dimanfaatkan teknologi tertentu seperti penggunaan CT-scan dan MRI.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar telah membenarkan lokalisasi sindrom afasia yang klasifikasi Boston. Sedangkan pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kembali hasil penelitian itu, terutama di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan
sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR.
Di dalam penelitian ini digunakan data sekunder dari bagian Fungsi Luhur, Neurologi RSCM selama tahun 2003. Untuk menghitung korelasi antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR, digunakan teknik Cramer Coejicient C dan diolah dengan menggunakan program SPSS 10.0 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otalc dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarlcan hasil tes TADIR. Dengan demikian hasil penelitian ini akan memperkuat teori klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass & Kaplan (dalam Dharmapenvira-Prius, 2002) yang menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia dimana tiap sindrom afasia dihubungkan
dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Selain itu hasil penelitian ini juga
mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) dengan menggunakan CT-scan yang secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia berdasarkan klasifikasi Boston.
Sebagai penutup, diberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Untuk penelitian lanjutan dapat memperbanyak sampel, hal ini terkait dengan generalisaai hasil pada populasi. Selain itu secara statistik, dengan sampel besar diharapkan agar semua kategori dalam perhitungan dapat diolah dan tidak ada kategori yang hilang. Perlunya penelitian lanjutan akan afasia terkait dengan aspek psikososial yang ditimbulkannya, dimana seseorang yang terkena afasia akan mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam penggunaan bahasanya. Dampak dari perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh pasien tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya. Perlunya kerjasama lebih lanjut antara bidang neurologi, psikologi, logopedi dan Iinguistik dalam menangani gangguan bahasa atau afasia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan informasi bagi para dokter, perawat, psikolog, terapis wicara, dan pihak lain yang terkait bahwa selain CT-scan dan MRI, tes TADIR dapat digunakan untuk mendeteksi lokasi kerusakan di otak, serta merupakan salah satu pilihan dari alat diagnostik gangguan bahasa (Afasia) dengan biaya yang relatif tenjangkau dan pelaksanaannya tidak memakan banyak waktu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>