Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96286 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendro Djoko Tjahjono
"Disfungsi ereksi merupakan salah satu bentuk gangguan seksual yang dapat dialami oleh pasien diabetes melitus. Tujuan dari penerapan EBNP Evidence Based Nursing Practise adalah untuk mengidentifikasi secara dini adanya disfungsi ereksi menggunakan instrument International Index of Erectile Function-5 IIEF-5 . Desain yang digunakan dengan pendekatan PICO Problem, Intervention, Comparison, Outcomes dan melalui penelusuran jurnal dari Proquest, Ebsco, Science Direct, didapatkan 16 responden. Hasil penerapan menunjukkan disfungsi ereksi ringan dialami 5 orang 31,25 , disfungsi ereksi ringan ke sedang 9 orang 56,25 dan disfungsi ereksi sedang 2 orang 12,5 . Disfungsi ereksi memerlukan penanganan lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus.

Erectile dysfunction is one form of sexual disorder that diabetic patients can be experienced. The aims of EBNP Evidence Based Nursing Practise implementation is to identify early erectile dysfunction using International Index of Erectile Function-5 IIEF-5 instruments. The design used with PICO Problem, Intervention, Comparison, Outcomes approach and Proquest, Ebsco, Science Direct journal reviews with 16 respondent. The results showed mild erectile dysfunction were 5 person 31,25 , mild to moderate erectile dysfunction were 9 56,25 and moderate erectile dysfunction were 2 12,5 . Erectile dysfuntion required further treatment needs to improving diabetic patient quality of life. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Sadhyo Prabhasworo
"Latar Belakang Diabetes melitus dapat menyebabkan gangguan sistem saraf otonom (SSO) yang disebut sebagai neuropati otonom diabetik. SSO mengendalikan banyak sistem organ dan salah satu gangguannya dapat bermanifestasi sebagai disfungsi ereksi (DE). Prevalensi DE dan neuropati otonom diabetik di dunia masih beragam dan hubungan keduanya masih memiliki hasil yang bervariasi. Dengan deteksi dini neuropati otonom diabetik diharapakan dapat turut mendeteksi DE dan mencegah progresifitas DE menjadi lebih berat. Terdapat pilihan skrining untuk mendeteksi neuropati otonom salah satunya dengan Survey of Autonomic Symptom (SAS) dan pemeriksaan variabilitas detak jantung (HRV)
Tujuan Mengetahui proporsi dan hubungan antara neuropati otonom dengan disfungsi ereksi pada DMT2 yang dinilai dengan kuesioner SAS dan pemeriksaan HRV
Metode Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dari 86 pasien DMT2 di Poliklinik Metabolik Endokrin RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sejak Agustus 2021 hingga November 2021. Pasien dilakukan wawancara dengan kuesioner SAS, IIEF-5, dan Pemeriksaan HRV. Dilakukan analisis multivariat untuk menilai hubungan variabel bebas dan terikat setelah dikontrol dengan variabel-variabel perancu yang berhubungan.
Hasil Pada penelitian ini didapatkan proporsi pasien DE pada DMT2 sebanyak 59,3%. Proporsi pasien neuropati otonom yang dinilai dengan HRV sebanyak 94,3% dan neuropati otonom yang dinilai dengan kuesioner SAS sebanyak 41,9%. Terdapat hubungan secara statistik bermakna setelah dilakukan analisis multivariat antara neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS dengan DE (adjusted OR 18,1 [IK95% 3,90-84.33]). Pemeriksaan HRV dalam penelitian ini tidak menunjukan hubungan yang signifikan secara statistik dengan DE.
Kesimpulan Proporsi pasien dengan neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS didapatkan sebesar lebih dari 40% dan yang dinilai dengan HRV lebih dari 90%. Terdapat hubungan yang secara statistik bermakna antara neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS dengan DE.

Background Diabetes mellitus (DM) affecting the autonomic nervous system known as diabetic autonomic neuropathy (DAN), which controls many organ systems and can manifest as erectile dysfunction (ED). The range of ED and DAN prevalence has been found to vary widely depending on the baseline comorbidities in the population of the subject studied. Autonomic neuropathy is still rarely studied and its relationship with erectile dysfunction needs to be explored whether the two variables are related. By early detection of autonomic neuropathy, it is hoped that can help detect ED and prevent the progression more severe. There are screening options to see autonomic neuropathy: survey of Autonomic Symptoms (SAS) questionnaire and Heart rate variability (HRV) test.
Objective To determine the proportion and relationship between diabetic autonomic neuropathy and erectile dysfunction in Type 2 DM using SAS questionnaire and HRV examination
Methods Cross-sectional study of 86 type 2 DM patients at the Metabolic Endocrine Polyclinic, dr. Cipto Mangunkusumo from August 2021 to November 2021. Patients were interviewed with the IIEF-5 questionnaire, SAS and HRV examination. Multivariate analysis with logistic regression analysis was performed to assess the relationship between diabetic autonomic neuropathy with ED in the type 2 DM population.
Results In this study, the proportion diabetic autonomic neuropathy in Type 2 DM was 41.9% with SAS questionnaire and 94,3% with HRV, and Proportion of ED was 59.3%. The proportion of autonomic neuropathy who had ED was 91.7% with SAS and 69,7% with HRV. There was a statistically significant relationship between diabetic autonomic neuropathy use SAS and ED (adjusted OR 18.1 [95% CI 3.90-84.33]). HRV examination did not show an association with ED in this study.
Conclusion More than half of the subjects had erectile dysfunction and almost all of the patients with diabetic autonomic neuropathy had erectile dysfunction. There is a statistically significant relationship between diabetic autonomic neuropathy using SAS questionnaire and ED.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tommie Prasetyo Utomo Wiharto
"Tujuan Mengetahui hubungan antara nilai glukosa darah puasa, disfungsi ereksi DE, dan lower urinary tract symptoms LUTS pada pasien dengan pembesaran prostate jinak.Metode Terdapat 42 pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan pembesaran prostat jinak. LUTS dan DE dievaluasi dengan menggunakan International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function-5 IIEF-5. Diabetes mellitus ditegakkan jika gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL. LUTS dikategorikan menjadi 3 grup; ringan, sedang, dan berat dimana DE dikategorikan menjadi 2; positif dan negative. Semua data dianalisa menggunakan SPSS ver. 22.Hasil Usia rata-rata pasien adalah 68,83 8,56 tahun dengan mayoritas menderita DE 83.33 dan LUTS 80.96. Diabetes mellitus ditemukan pada 26,19 pasien dengan rata-rata nilai gula darah puasa 108.3 21.1 mg/dL. Nilai IPSS didapati berhubungan signifikan dengan nilai gula darah puasa r = 0.879, p

Aims To discover the correlation between fasting glucose level, erectile dysfunction, and lower urinary tract symptoms LUTS in patients diagnosed with benign prostatic hyperplasia BPH .Methods There were 42 patients with BPH related LUTS aged over 50 years old enrolled in this study. LUTS and erectile dysfunction ED were evaluated using International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function 5 IIEF 5 . Diabetes mellitus was established if fasting glucose level was above 126 mg dL. LUTS was classified into 3 groups mild, moderate, and severe LUTS while ED was classified into 2 groups ED positive and ED negative. Data were analyzed using SPSS ver. 22Results Patients rsquo mean age was 68.83 8.56 years old with most of them had ED 83.33 and also suffered from severe LUTS 80.96 . Diabetes mellitus was observed in 26.19 subjects with mean fasting glucose level was 108.3 21.1 mg dL. IPSS score were significantly correlated with fasting glucose level r 0.879, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ratna Mutu Manikam
"Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut dari diabetes melitus (DM) tak terkontrol, ditandai dengan hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik. Pemberian nutrisi sering menjadi masalah, namun menunda pemberian nutrisi dini menyebabkan peningkatan kadar keton darah dan morbiditas pasien. Tujuan penulisan serial kasus ini adalah memulihkan ketosidosis dan memenuhi kebutuhan makro- dan mikronutrien. Pasien berusia antara 18?65 tahun, mengalami KAD dengan DM, dirawat 5?12 hari di Rumah Sakit Umum Tangerang. Pencetus KAD adalah infeksi, ketidakpatuhan pengobatan, dan diet yang tidak tepat. Keempat orang pasien menderita DM dengan penyakit penyerta yang berbeda. Terapi nutrisi diberikan berdasarkan kondisi klinis pasien. Energi diberikan mulai dari kebutuhan basal yang dihitung dengan persamaan Harris-Benedict, atau dimulai dari 20?25 kkal/ kg BB pada kondisi sakit kritis. Makronutrien diberikan sesuai rekomendasi American Diabetes Association dan mikronutrien sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Pemantauan yang dilakukan meliputi toleransi asupan, imbang cairan, antropometri, dan laboratorium (kadar glukosa darah, keton darah, dan elektrolit). Edukasi dan konsultasi nutrisi diberikan setiap hari. Selama pemantauan semua pasien menunjukkan perbaikan klinis dan penurunan kadar keton darah. Semua pasien dapat mencapai kebutuhan energi total dan kadar glukosa darah mendekati normal. Sebelum pulang pasien diberikan edukasi tentang cara mengetahui faktor yang dapat mencetuskan KAD dan mengatasinya, serta edukasi nutrisi untuk mencapai kontrol glikemik optimal dan mencegah KAD.

Diabetic ketoacidosis (DKA) is an acute complication of uncontrolled diabetes, characterized by hyperglycemia, ketosis, and metabolic acidosis. Nutrition intervention may often cause some problems, unfortunately, withholding early nutrition may increase blood ketones concentration and patient morbidity. Aims of this case series are resolve ketoacidosis dan meet macro and micronutrient requirement. Patients aged between 18 to 65 years old, presented DKA with diabetes mellitus, and hospitalized from 5 to 12 days at Tangerang General Hospital. Precipitating factors of DKA include infection, noncompliance to medication, and inproper diet. All patients suffered from DM with different comorbidities. Nutritional therapy was given according to patients clinical condition. The energy was given begin with basal requirement, which calculated using Harris-Benedict equation, or begin with 20?25 kcal/kg body weight (BW) in critically ill condition. Macronutrients were given according to American Diabetes Association recommendation and micronutrients based on patients? condition and requirement. Monitoring includes food intake tolerance, fluid balance, anthropometric, and laboratory results (blood glucose levels, blood ketone, and electrolytes). Education and nutrition consultation were given everyday. During monitoring all patients showed clinical improvements in general condition and blood ketone concentration?s reduction. All patients can meet total energy requirement with blood glucose levels close to normal. Before discharge, patients received education to identify and manage risk factors that may precipitate DKA. Nutrition education was also given to achieve optimal glycemic control and prevent DKA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Innes Apriliani Dewi
"[ABSTRAK
Saat ini belum ada penanda biologis yang dapat digunakan untuk mendeteksi PGK sejak dini. Rasio albumin terhadap kreatinin urin (UACR) dan estimasi laju filtrasi ginjal (eLFG) digunakan sebagai penanda gangguan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara UACR dengan eLFG pada pasien DM tipe 2 dengan normoalbuminuria dan mikroalbuminuria. Sampel yang dianalisis adalah urin dan serum 90 orang pasien DM tipe 2 di Puskesmas Pasar Minggu yang dikumpulkan tahun lalu, dengan teknik total sampling. Kreatinin urin diukur dengan metode kinetic jaffe. Albumin urin diukur dengan metode bromkresol hijau. eLFG diperoleh dari nilai kreatinin serum. Hasil rerata UACR yang didapatkan (15,60±1,93). Hasil rerata eLFG Cockroft Gault (95,65±4,17), MDRD (89,71±3,65) dan CKD-EPI (87,00±2,62). Hasil hubungan antara UACR dengan eLFG rendah MDRD (p= 0,004,r= -0,422); Cockroft (p= 0,083,r= -0,261); CKD-EPI (p= 0,006,r= -0,404), sedangkan dengan LFG tinggi MDRD (p= 0,020, r= 0,346); Cockroft (p= <0,0-01, r= 0,540); CKD (p= 0,002, r= 0,449). Kesimpulan yang didapatkan yaitu hubungan bermakna antara UACR dengan eLFG rendah dan tinggi. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara UACR normoalbuminuria dan mikroalbumnuria dengan eLFG.

ABSTRACT
Diabetes mellitus type 2 is one of the causes complication of chronic kidney disease (CKD). Currently there are no biological markers that can be used to detect CKD early. Urinary albumin to creatinine ratio (UACR) and estimated kidney filtration rate (eLFG) is used as a marker of impaired kidney function. This study aimed to determine the relationship between UACR with eLFG in patient type 2 diabetes mellitus with normoalbuminuria and microalbuminuria. Samples were urine and serum of 90 patients with type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Pasar Minggu which were collected last year, with total sampling technique. Urinary creatinine was measured by Jaffe kinetic method. Urine albumin was measured by the method bromkresol green. eLFG obtained from serum creatinine values. UACR results obtained (15.60 ± 1.93). Results eLFG Cockroft Gault (95.65 ± 4.17), MDRD (89.71 ± 3.65) and CKD-EPI (87.00 ± 2.62). Results relationship between UACR with low eLFG MDRD (p = 0.004, r = -0.422); Cockroft (p = 0.083, r = -0.261); CKD (p = 0.006, r = -0.404), while the high eLFG MDRD (p = 0.020, r = 0.346); Cockroft (p = <0.001, r = 0.540); CKD (p = 0.002, r = 0.449) so there is a significant relationship between UACR with low and high eLFG. There is no significant relationship between UACR normoalbuminuria and microalbuminuria with eLFG., Diabetes mellitus type 2 is one of the causes complication of chronic kidney disease (CKD). Currently there are no biological markers that can be used to detect CKD early. Urinary albumin to creatinine ratio (UACR) and estimated kidney filtration rate (eLFG) is used as a marker of impaired kidney function. This study aimed to determine the relationship between UACR with eLFG in patient type 2 diabetes mellitus with normoalbuminuria and microalbuminuria. Samples were urine and serum of 90 patients with type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Pasar Minggu which were collected last year, with total sampling technique. Urinary creatinine was measured by Jaffe kinetic method. Urine albumin was measured by the method bromkresol green. eLFG obtained from serum creatinine values. UACR results obtained (15.60 ± 1.93). Results eLFG Cockroft Gault (95.65 ± 4.17), MDRD (89.71 ± 3.65) and CKD-EPI (87.00 ± 2.62). Results relationship between UACR with low eLFG MDRD (p = 0.004, r = -0.422); Cockroft (p = 0.083, r = -0.261); CKD (p = 0.006, r = -0.404), while the high eLFG MDRD (p = 0.020, r = 0.346); Cockroft (p = <0.001, r = 0.540); CKD (p = 0.002, r = 0.449) so there is a significant relationship between UACR with low and high eLFG. There is no significant relationship between UACR normoalbuminuria and microalbuminuria with eLFG.]"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S59515
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Rasalhaque
"Diabetes Melitus tipe 2 merupakan penyebab kematian ke-2 pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan, sedangkan di pedesaan menduduki peringkat ke-6. Angka kejadiannya berhubungan dengan adanya resistensi insulin akibat berbagai macam faktor. Pola paling umum dijumpai adalah dislipidemia terutama hipertrigliseridemia dan pengurangan kadar HDL. Penelitian ini dirancang untuk melihat gambaran kadar trigliserida pada pasien DM tipe 2 yang berobat ke Poli IPD RSCM pada tahun 2010. Didapatkan bahwa dari 108 subyek, 55 orang berusia ≥55 tahun, 68 orang berjenis kelamin perempuan, 71 orang tidak merokok, dan 84 orang dengan kadar trigliserida normal. Dari hasil analisis didapat hubungan tidak bermakna antara kadar trigliserida dengan usia (Mann-Whitney, p = 0.104), jenis kelamin (Chi-square, p = 0.062), perilaku merokok (Chi-square, p = 0,973), kadar gula darah puasa (Mann-Whitney, p = 0.973), dan kadar gula darah dua jam post prandial. (Mann-Whitney, p = 0.539). Rerata TG berdasarkan analisis data adalah 140,5 (49-1144) mg/dL. Nilai rerata kadar glukosa darah puasa (GDP) 186,5 (114-559) mg/dL. Analisis data menunjukkan sebaran tidak normal dengan rerata kadar gula darah dua jam post prandial (GD2PP) sebesar 291 (178-582) mg/dL.

Type 2 diabetic melitus is the second death cause on urban residencies age ranged 45-54 year old, while it is the 6th leading death cause on rural area, based on RISKEDA 2007. High rate of prevalencies is because insulin resistancies as results of multifactorial. Most common patern is dislipidemia especially hypertriglyceride and low level of HDL. This researh is designed to picture triglyceride level on type 2 diabetic melitus patients in RSCM on year 2010. Known that from 108 subjects, 55 are aged ≥55 year old, 68 are women, 71 don’t smoke and 84 with normal level of triglyceride. From analitic processes, known that triglyceride level is not associated with age (Mann-hitney, p = 0.104), sex (Chi-square, p = 0.062), smoking habbit (Chi-square, p = 0,973), fasting blood glucose (Mann-Whitney, p = 0.973), and 2 hours post-prandial blood glucose (Mann-Whitney, p = 0.539). Mean rate of triglyceride level is 140,5 (49-1144) mg/dL. Mean rate fasting blood glucose is 186,5 (114-559) mg/dL. Data analysis doesn’t show normal distribution on mean rate of level 2 hours post prandial blood glucose 291 (178-582) mg/dL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Istiantho
"Latar Belakang: Diabetes melitus sering disebut penyakit multifaktor di mana faktor-faktor seperti demografi dan status gizi turut mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Ternate adalah kota dengan prevalensi DM terbesar kedua di Provinsi Maluku Utara, provinsi dengan jumlah penyandang DM dan toleransi glukosa terganggu paling tinggi di Indonesia dan juga memiliki penduduk dengan ragam sosial dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran demografi dan indeks massa tubuh; dan juga prevalensi DM masyarakat kota Ternate tahun 2008 serta ada atau tidaknya hubungan antara keduanya.
Metode: Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah cross-sectional melalui wawancara terpimpin dengan kuesioner ditambah dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Responden adalah mereka yang berumur 20 tahun ke atas yang tersebar di tiga kecamatan kota Ternate yang dipilih secara acak dengan multi-stage random sampling.
Hasil: Sebanyak 502 orang responden mengikuti penelitian ini. Dari hasil pengumpulan data didapatkan hasil prevalensi DM di kota Ternate tahun 2008 adalah sebesar 19,6% dan didapatkan hubungan bermakna antara DM dengan usia (p<0,001), bentuk keluarga (p=0,033), status gizi (p=0,022), dan pekerjaan (p=0,030). Sedangkan untuk sebaran penduduk, mayoritas responden adalah perempuan (61,8%), berusia 40 tahun ke atas (71,1%), status pernikahan menikah (79%), dan tinggal dalam keluarga inti (80,9%). Sebagian besar dari responden memiliki pendapatan yang tergolong menengah rendah (51%), pendidikan yang tergolong rendah (46,8%), suku Ternate (48,3%), tergolong sebagai obesitas kelas I (37,8%), dan bekerja sebagai ibu rumah tangga (40,5%).
Kesimpulan: Prevalensi diabetes di kota Ternate yang didapat dari penelitian ini belum dapat menggambarkan walaupun mendekati prevalensi diabetes di provinsi Maluku Utara menurut Riskesdas yang cakupan wilayahnya lebih luas. Prevalensi diabetes di kota Ternate berhubungan dengan usia, bentuk keluarga, status gizi, dan pekerjaan.

Background: Diabetes melitus is so called multifactor disease where some factor i.e. demograph and nutritional status play role to the progressivity of this disease. Ternate is the second highest city with DM?s prevalence in North Maluku, the highest province with prevalence of DM and impaired glucosa tolerance, this city has wide social and economical diversity. This study is purposed to know percentage of demograph and body mass index, and also prevalence of DM in North Maluku. This study is also wanted to know whether demograph and body mass index are related to DM.
Method: The method used for collecting data is cross-sectional study through directed interview with physical and laboratory examination. Respondents are they who are more than 19 years old and are scattered in three districts of Ternate. They are randomly chosen by multi-stage random sampling method.
Result: The results are DM?s prevalence in Ternate year 2008 is 19,6% and there is relationship between DM and age (p<0,001), family type (p=0,033), nutritional status (p=0,022), and occupation (p=0,030). Majority of respondents are: women (61,8%), older than 39 years old (71,1%), married (79%), and live with nuclear family (80,9%). Most of them: have mid-lower income category (51%), low educational level (46,8%), Ternate ethnic (48,3%), are class I obese (37,8%), and are housewifes (40,5%).
Conclusion: Prevalence of diabetes in Ternate according to this study can not represent, altough it is close to, the prevalence of diabetes in North Maluku according to Riskesdas which is include larger area. Prevalence of diabetes in Ternate has relationship with age, family type, nutritional status, and occupation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azri Nurizal
"Latar Belakang: Peningkatan kadar high sensitivity C-reactive protein ( hsCRP ) dan kekakuan arteri berhubungan dengan peningkatan insiden kejadian kardiovaskular dan peningkatan mortalitas akibat penyakit jantung koroner pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar hsCRP dan kekakuan arteri pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Metode : Melalui studi cross-sectional, dilakukan pemeriksaan kadar hsCRP dan derajat kekakuan arteri karotis pada 40 pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Kekakuan arteri karotis kommunis diperiksa dengan doppler echotracking system untuk menentukan pulse wave velocity (PWV) atau kekakuan arteri karotis lokal (carotid-PWV).
Hasil : Nilai median hsCRP pada penelitian ini adalah 4,5 (0,2 - 18,9) mg/L dan nilai rata-rata kekakuan arteri karotis adalah 8,8 ±1,7 m/detik. hsCRP berkorelasi kuat dengan karotid-PWV (r = 0,503, P = 0,001). Korelasi hsCRP dengan karotid-PWV ini tetap terlihat setelah dilakukan koreksi terhadap umur, indeks masa tubuh dan mean arterial pressure (r = 0,450, P = 0,005).
Kesimpulan : Setelah dilakukan koreksi terhadap umur, indeks masa tubuh dan mean arterial pressure, hsCRP berkorelasi positif cukup kuat dengan kekakuan arteri pada pasien diabetes melitus tipe 2.

Background: The elevated level of high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP) and arterial stiffness are associated with higher incidences of cardiovascular events and with increased mortality from coronary heart disease in type 2 diabetic patients.
Aim: The aim of this study was to investigate the relationship between hsCRP and arterial stiffness in type 2 diabetic patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted to assess the plasma levels of high sensitive C-reactive protein and carotid arterial stiffness among 40 patients with type 2 diabetes mellitus. The common carotid artery was studied by a doppler echotracking system to determine the local carotid pulse wave velocity (carotid-PWV).
Results: The median value of hsCRP in this study was 4.5 (0.2 to 18.9) mg/L and the average value of local carotid stiffness was 8.8 ± 1.7 m/sec. hsCRP showed a strong correlation with carotid-PWV (r = 0.503, P = 0.001). Levels of hsCRP were independently associated with carotid-PWV after adjusting for age, body mass index, and mean arterial pressure (r = 0,450, P = 0,005).
Conclusion: After adjusting for age, body mass index, and mean arterial pressure, hsCRP was strongly positively correlated with arterial stiffness in patients with type 2 diabets mellitus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fallah Adi Wijayanti
"Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah diabetes melitus (DM) melalui pendekatan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) dalam seting Keperawatan Medikal Bedah (KMB). DM merupakan keadaan dimana kadar gula darah tinggi karena gangguan produksi atau penggunaan insulin. DM tipe 2 pada masyarakat perkotaan disebabkan gaya hidup yang tidak sehat meliputi pola makan yang tidak sehat, stres, dan aktifitas fisik yang kurang. Pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif diperlukan untuk mencegah dampak yang lebih parah dari masalah DM.
Komplikasi ulkus kaki diabetik merupakan salah satu dampak dari ketidakpatuhan pasien terhadap penatalaksanaan DM. Penatalaksanaan holistik kaki diabetes yang dilakukan meliputi kontrol mekanik, kontrol metabolik, kontrol vaskular, kontrol luka, kontrol infeksi, dan kontrol edukasi. Asuhan keperawatan secara kontinu dilakukan pada pasien DM. Praktikan merekomendasikan dilakukannya edukasi kesehatan seperti perawatan kaki dan perawatan luka kepada pasien dan keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

The aim of this paper was to analyze the nursing care in patient with diabetes mellitus (DM) problems through Public Health Nursing in Urban approach in Medical surgical Nursing setting. DM is a condition in which high blood sugar levels due to impaired production or use of insulin. DM type 2 in urban community is caused unhealthy lifestyle including unhealthy diet, stress, and lack of physical activity. Promotive, preventive, curative, and rehabilitative approach was necessary to prevent more severe impact of the DM problem.
Complications of diabetic foot ulcers is one of the impacts of patient noncompliance to diabetes management. Holistic management of diabetic foot including mechanical control, metabolic control, vascular control, wound control, infection control, and education control. Nursing care is given to the DM patient continuously. Practitioner recommends that health education such as foot care and wound care for patient and family should be addressed to improve patient’s quality of life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ponsinah
"Tujuan penulisan ini untuk menganalisis asuhan keperawatan pasien diabetes melitus dengan pendekatan kesehatan keperawatan masyarakat perkotaan dalam seting keperawatan medikal bedah. Diabetes Melitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Gaya hidup masyarakat perkotaan saat ini seperti perubahan pola makan menjadi tinggi gula, tinggi lemak dan kurang serat, aktifitas fisik yang kurang, dan obesitas memicu terjadinya peningkatan DM tipe 2. Penatalaksanaan DM dilakukan melalui empat pilar yaitu pendidikan kesehatan, terapi gizi medis, aktifitas fisik, dan intervensi farmakologis. Diabetes melitus mempunyai komplikasi akut dan kronik, salah satu komplikasi kronik DM adalah kaki diabetik. Praktikan merekomendasikan perawat mengefektifkan discharge planing sejak pasien masuk rumah sakit dan kolaborasi dengan tim kesehatan lain sebagai tindak lanjutnya untuk mempertahankan kepatuhan pasien terhadap penatalaksanaan DM.

The purpose of this paper to analyze the nursing care of patients with diabetes mellitus with urban community health nursing approach in medical-surgical nursing settings. Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characteristic hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin secretion, insulin action or both. Lifestyle in urban community such as changes in diet are high sugar, high fat and less fiber, less physical activity, and obesity lead to an increase in type 2 diabetes mellitus. DM management is done through the four pillars of health: education, medical nutrition therapy, physical activity, and pharmacological interventions. Diabetes mellitus has acute and chronic complications, one of the chronic complications of diabetes is diabetic foot. Practitioner recommended that the discharge planning since the patient was hospitalized and collaboration with other health care team as a follow-up to maintain patient adherence to diabetes management."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>