Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59411 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jeffri
"Latar belakang: Sindrom koroner akut SKA merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Mortalitas SKA dari berbagai studi di luar negeri diketahui berhubungan dengan kadar kalium serum saat admisi. Penelitian mengenai hubungan kadar kalium serum dengan mortalitas pada SKA masih perlu dilakukan karena adanya kemajuan dalam terapi kardiovaskular yang cukup pesat terutama pada era PCI saat ini dan adanya hasil yang bertolakbelakang antara studi terbaru dengan panduan yang ada.
Tujuan: Menilai hubungan antara kadar kalium serum saat admisi dengan mortalitas selama perawatan pasien SKA in-hospital mortality.
Metode: Data kadar kalium dan kematian diperoleh dari rekam medis dengan desain studi kohort retrospektif terhadap 673 pasien SKA yang dirawat dengan sindrom koroner akut di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Keluaran utama yang diamati berupa mortalitas selama perawatan. Analisis bivariat dengan Pearson Chi-square dan multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk menentukan hubungan antara kadar kalium serum abnormal dengan kematian pada sindrom koroner akut.
Hasil dan Pembahasan: Subjek yang datang dengan kadar kalium serum yang abnormal K < 3,50 mEq/L atau > 5,0 mEq/L saat admisi sebesar 24,22 163 pasien , sedangkan grup dengan kalium normal sebesar 510 subjek 75,78. Dari analisis regresi logistik, setelah adjustment terhadap faktor perancu eGFR, didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar kalium serum abnormal saat admisi dengan mortalitas selama perawatan dengan nilai p = 0,04 adjusted RR 2,184; 95 CI: 1,037-4,601. Terjadi peningkatan risiko mortalitas pada subjek dengan kadar serum kalium 4,0-

Background: Acute coronary syndrome ACS is the leading cause of increased morbidity and mortality across the globe. This mortality was known to be associated to the serum potassium level on admission. More studies are still needed due to rapid advancement in cardiovascular medicine especially in the era of interventional cardiology and also the conflicting results that exist between recent studies and established guidelines.
Aims: To determine association between serum potassium levels on admission of subjects with acute coronary syndrome and in-hospital mortality.
Methods: Included in the study were 673 acute coronary syndrome patients hospitalised in Indonesian National Cipto Mangunkusumo Hospital. The outcome of the study was all-cause in-hospital mortality. Logistic regression models adjusted for risk factors, hospital treatment, and co-morbidities were constructed.
Results: Total of 163 patients 24,22 with abnormal serum potassium K < 3,50 mEq/L or > 5,0 mEq/L and 510 subjects with normal serum potassium 75.78. Logistic regression analysis after adjustment of the confounder eGFR shows significant association between serum potassium level on admission and in-hospital mortality with p value of 0,04 adjusted RR 2.184; 95 CI: 1.037-4.601. The risk of dying for patients with serum potassium of 4.0-.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leni Indrawati
"Latar belakang. Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia dengan penyakit jantung koroner sebagai penyebab terbanyak.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara penyakit jantung koroner dengan mortalitas pasien gagal jantung akut selama perawatan.
Metode. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang serta menggunakan 685 data sekunder dari studi Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 ? 2006.
Hasil. Penelitian ini melibatkan 957 pasien gagal jantung akut. Proporsi pasien gagal jantung akut yang mengalami penyakit jantung koroner di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 ? 2006 mencapai 74,8 %. Angka mortalitas pasien gagal jantung akut selama perawatan secara umum adalah 4,1 %. Angka mortalitas pasien yang mengalami PJK lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa PJK (P = 0,493, OR = 1,3, CI 95% 0,59 ? 2,90). Angka mortalitas pasien gagal jantung akut yang disertai penyakit jantung koroner selama perawatan adalah 4,3 %, Sedangkan pada pasien tanpa penyakit jantung koroner adalah 3,3 %.
Kesimpulan. Tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat penyakit jantung koroner dengan angka mortalitas gagal jantung akut selama perawatan di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 - 2006.

Background. Acute heart failure has become health problem on the world and coronary heart disease is known as common etiology.
Objective. To determine relationship between history of coronary heart disease and mortality of acute heart failure
Method. This study was conducted by using cross sectional method. Using 685 secondary data from study Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) in five hospital in Indonesia on December 2005 -2006.
Result. From 957 patient acute heart failure, about 76,2 % patient have coronary heart disease. Overall in-hospital mortality among patient with acute heart failure is 4,1 %. In-hospital mortality in patient with coronary heart disease is 4,3 % and 3,3 % in patient without coronary heart disease (P = 0,493, OR = 1,3, CI 95% 0,59 - 2,90).
Conclusion. There is no significant relationship between coronary heart disease and mortality of acute heart Failure in five hospitals in Indonesia on December 2005-2006.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09043fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Eldad Frederich Lasanudin
"Latar Belakang Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh penyumbatan pada arteri koroner jantung. Gejala utamanya adalah nyeri dada, yang disebut juga sebagai angina pektoris. TIMI risk score adalah suatu sarana penilaian risiko yang mengevaluasi berbagai faktor untuk menentukan prognosis pasien SKA. Namun, TIMI risk score tidak memperhitungkan tingkat transaminase aspartat serum dan transaminase alanina serum saat admisi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apabila terdapat hubungan antara enzim tersebut dengan hasil TIMI risk score.
Metode Penelitian ini merupakan suatu studi cross-sectional analitik yang dilaksanakan melalui pengumpulan data rekam medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, yang meliputi TIMI risk score, tingkat transaminase aspartat serum saat admisi pasien, dan tingkat transaminase alanina serum saat admisi pasien. Terdapat 111 sampel dan data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil Tingkat transaminase aspartate serum pada saat admisi tidak berhubungan dengan hasil TIMI risk score pasien (p=,183). Tidak ditemukan hubungan statistik yang bermakna antara tingkat transaminase alanina serum pada saat admisi dengan hasil TIMI risk score pasien (p=,835).

Background Acute coronary syndrome (ACS) is a disease caused by blockage in the coronary arteries. Its characteristic symptom is chest pain, also called as angina pectoris. TIMI risk score is a risk assessment method that evaluate various factors to determine the prognosis of ACS patients. However, it does not take into account admission serum AST and ALT levels of the patient. This research aims to see whether the said liver enzymes are associated with TIMI risk score results.
Method The research is an analytical cross-sectional research that is performed through data collection, which includes TIMI risk scores, admission serum AST levels, and admission serum ALT levels, from the medical records of Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. There are 111 samples collected and the data that has been gathered is analysed using the SPSS program.
Results Admission serum AST levels are not associated with patients’ TIMI risk score results (p=.183). There is also no statistical significance between the patient’s admission serum ALT and his/her TIMI risk score result (p=.835).
Conclusion Data analysis show that there are no significant association between patients’ admission serum AST and ALT with their TIMI risk score. Thus, the use of admission serum AST and ALT are not able to assess prognosis of ACS patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
"Rasio Netrofil-Limfosit (RNL) adalah pemeriksaan laboratorium murah dan mudah didapatkan dimanapun, dan saat ini berkembang menjadi penanda luaran pada berbagai kondisi, termasuk pada Sindrom Koroner Akut (SKA). RNL menggabungkan dua jalur inflamasi berbeda (netrofil dan limfosit) untuk memprediksi luarannya, dan beberapa studi telah menunjukkan manfaatnya dalam memprediksi Major Adverse Cardiac Events (MACE). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan manfaat RNL dalam stratifikasi risiko SKA pada populasi Indonesia, dan menentukan nilai titik potong RNL untuk peningkatan risiko MACE.
Metode: 380 rekam medis pasien SKA dari Januari 2012-Agustus 2015 diikutkan dalam studi ini. Karakteristik, faktor risiko kardiovaskuler, dan hasil pemeriksaan laboratorium subjek dikumpulkan dan diikuti secara retrospektif untuk menilai kemunculan MACE (aritmia, infark ulang, in-stent restenosis, gagal jantung akut, syok kardiogenik, kematian) selama perawatan. Nilai RNL didapatkan dari pembagian hitung netrofil dan limfosit absolut. Analisis statistik untuk menentukan nilai titik potong RNL dan penyesuaian untuk faktor perancu dilakukan untuk memvalidasi hasil.
Hasil: Subjek mayoritas merupakan laki-laki, dengan rerata usia 57,92 tahun. Hipertensi dan merokok merupakan faktor risiko yang paling sering ditemukan. Rerata RNL subjek adalah 4,72, dan MACE ditemukan pada 73 kasus (19,2%). Setelah analisis ROC, didapatkan nilai titik potong sebesar 3.55 (sensitivitas 72,6%, spesitifitas 60,6%, AUC 0.702). Ditemukan bahwa terdapat peningkatan insidens MACE pada kelompok RNL>3.55 (30.47% vs 9.71% pada ≤3.55, p<0.001). Setelah penyesuaian untuk faktor perancu, RNL>3.55 tetap signifikan dalam memprediksi MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (IK95% 1,401-4,922)).
Kesimpulan: RNL>3.55 adalah prediktor independen untuk kejadian MACE.

Background: Neutrophil-Lymphocyte Ratio (NLR) is a low-cost, readily available laboratory examination in various places, and is currently emerging as a prognostic marker for various conditions, including Acute Coronary Syndrome (ACS). NLR, which combines two different inflammatory pathways (neutrophil and lymphocyte), have been shown by several studies to be useful in predicting Major Adverse Cardiac Events (MACE). This study aims to prove NLR’s use in ACS risk stratification in Indonesians and determine a cutoff level for MACE risk increase.
Methods: 380 ACS patients’ medical records from January 2012 to August 2015 were included in this study. Subjects’ characteristics, cardiovascular risk factors and laboratory findings were collected, and retrospectively followed to evaluate for MACE (arrhythmia, reinfarction, in-stent restenosis, acute heart failure, cardiogenic shock, death) during hospitalization. NLR value was calculated from neutrophil and lymphocyte counts division. Statistical analysis to determine NLR cutoff point for MACE risks, and adjustment for confounding factors were done for results validation.
Results: Subjects were predominantly male, with average age of 57.92 years old. Hypertension and smoking were the most frequent risk factors found. Average NLR was 4.72, and MACE was found in 73 cases (19.2%). After ROC analysis, a cutoff of 3.55 was determined to be satisfactory (sensitivity 72.6%, spesitivity 60.6%, AUC 0.702). It was found that there is a significant increase in MACE incidence in NLR>3.55 (30.47% vs 9.71% in ≤3.55, p<0.001). After adjusting for confounding factors, NLR>3.55 was still significant in predicting MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (CI95% 1,401-4,922)).
Conclusion: NLR>3.55 is an independent predictor of in-hospital MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jihaz Haneen Hakiki
"ABSTRAK
Sindrom Koroner Akut SKA merupakan kondisi kegawatdaruratan akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan suplai darah yang dapat berakibat pada kematian. Penanganan SKA dengan intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pedoman American Heart Association AHA merekomendasikan standar waktu ? 120 menit dari awal mula munculnya gejala hingga pasien tiba di rumah sakit yaitu. Namun masih ditemukan terjadinya keterlambatan prehospital. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan representasi gejala dengan keterlambatan prehospital pada pasien sindrom SKA. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan metode purposive sampling yang melibatkan sampel sebanyak 63 responden. Responden didominasi oleh lansia yang berusia 51-60 tahun, laki-laki, tingkat Pendidikan SMA. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara representasi gejala yang meliputi tingkat nyeri p 0.001, kualitas nyeri p 0.01, dan lokasi nyeri p 0.032 dengan keterlambatan prehospital terkecuali gejala penyerta p 0.054. Perawat dianjurkan meningkatkan kompetensi dalam pengkajian gejala SKA dan pemberian edukasi. Sehingga dapat menurunkan angka keterlambatan prehospital.

ABSTRACT
Acute Coronary Syndrome ACS is an emergency condition due to an imbalance between the need for oxygen and the blood supply that can result in death. ACS with percutaneous coronary intervention may improve the quality of life. The American Heart Association ACCF AHA guidelines recommended is 120 minutes from onset symptoms until hospital arrived. for recording time standards when facing symptoms arrive at the hospital However, there is still a pre hospital delay. This study aimed to identify correlation of symptoms representation with pre hospital delay in patients with ACS symptoms. This crossectional study design is cross sectional of purposive sampling method involved 63 respondents. Respondents mostly 51 60 years old, men, and high school education level. The results showed there was a correlation symptoms factor representation including pain level p 0.001, pain quality p 0,01, and pain location p 0,032 except commorbid symptom p 0,054. Nurses recommended to improve their ability to assess ACS symptoms and provide proper health education to decrease educational the prehospital delays."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq
"Latar Belakang: Studi epidemiologi menunjukkan bahwa DM merupakan salah satu faktor dalam proses terjadinya aterosklerosis dan mempengaruhi secara nyata kesaldtan dan kematian akibat PIK. Dibandingkan dengan penderita bukan DM, penderita DM 2-4 kali lebih banyak menderita P3K dan 2-4 kali lebih banyak mengalami kematian jangka pendek setelah menderita serangan infark miokard akut Dewabrata mendapati 23,2% penderita infark miokard akut yang di rawat di RSCM selama periode 1994-1999. Data di Indonesia tersebut belum banyak menggambarkan bagaimana karakteristik penderita DM tersebut saat terbukti menderita infark miokard akut. Dengan demildan, gambaran penderita DM yang mengalami sindrom koroner akut merupakan ha! yang renting untuk diketahui, baik karakteristik klinis maupun komplikasi yang muncul akibat S1CA tersebut.
Tujuan. Penelitian ini ingin mengetahui prevalensi SKA pada penderita DM tipe-2. Penelitian ini juga ingin mengetahui karakteristik klinis dan komplikasi SKA pada penderita DM tipe-2 serta perbandingannya dengan penderita bukan DM. Metodologi. Studi potong lintang retrospektif untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik klinis serta studi kohort retrospektif untuk mengetahui perbandingan komplikasi SKA pads penderita DM tipe-2 dan penderita bukan DM, terhadap penderita yang dirawat di ICCU RSCM periode 1 Januari 2001 s.d. 31 Desember 2005.
Hasil. Didapatkan data: Prevalensi SKA penderita DM tipe-2: 34,2%. Awitan nyeri penderita DM lebih lama, 70,7% vs 53,4%, p=0,001; 1K 95%; DR=2,259 (1,372-3,719). Nyeri dada tidak khas, didapati penderita DM lebih banyak, 17,3% vs 9,8% p~ 0,041; 1K 95%; OR=1,713 (1,019-2,881)_ Komplikasi: Gagal jantung: penderita DM tipe-2 Iebih banyak: 39,35% vs 16,8%, p=0,001; 11(95%; RR-3,213 (1,992-5,182). Untuk komplikasi syok kardiogenik, didapati penderita DM tipe-2 Iebih banyak, 16,2% vs 8,9%, p= 0,031; IK 95%; RR==1,983 (1,057-3,721). Sedangkan komplikasi kematian didapati penderita DM tipe-2 lebih banyak, 17,3% vs 6,3%, dengan p= 0,001; 1K 95%; RR= 3,116 (1,556-6,239).
Simpulan. Didapatkan perbedaan karakteristik klinis SKA antara penderita DM tipe-2 dengan penderita SKA bukan DM. Awitan nyeri lebih lama dan keluhan nyeri dada yang tidak khan, Iebih banyak didapati Dada penderita DM tipe-2. Didapatkan juga perbedaan dalam hat komplikasi SKA. Kejadian gagal jantung, syok kardiogenik dan kematian didapatkan lebih tinggi pada penderita DM tipe-2.

Background. Epidemiologic studies revealed diabetes mellitus (DM) as one of the factors involved in atherosclerosis process. DM also influence morbidity and mortality-related to coronary artery disease (CAD). Compared to non diabetic patients, type -2 DM patients suffer CAD 2-4 times more often and had increased short term mortality rate due to acute myocardial infarction 2-4 times more likely. During 1994-1999, Dewabrata found 23.2% of all acute myocardial infarction patients was diabetic patients treated in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital. Unfortunately these data did not describe the clinical characteristic and complication ACS in type -2 DM patients. Therefore it is important to know the clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM patients.
Objectives. To know the prevalence of type-2 DM among ACS patients, to learn clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM compared to non diabetic patients.
Methods. A cross sectional retrospective study was performed to know the prevalence of ACS in type -2 DM patients and their clinical characteristics_ A retrospective cohort study was performed to compare the differences in ACS related complications in type -2 DM and non diabetic patients who were hospitalized in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital during 5 years period (January 1st, 200I December 31st, 2005).
Results. Prevalence of Type-2 DM among ACS patients : 34.2%. The onset of chest pain in type-2 DM patients was longer, 70.7% vs 53.4%, p=0.40l; CI 95%; OR=2.259 (1.372-3.719). Aypical chest pain were often in type-2 DM patients, 17.3% vs 9.8%; p= 0.041; CI 95%; OR 1.713 (L019 2.881). Heart failure as complications were more often found in type-2 DM patients, 39.35% vs 16.8%, p=0.001; CI 95%; RR=3.213 (1.992-5.182), cardiogenic shock were more often found in type-2 DM patients, 16.2% vs 8.9%, p= 0.031; CI 95%; RR 1.983 (1.057-3.721), and death were more often found in type-2 DM patients, 17.3% vs 6.3%, p= 0.001; CI 95%; RR= 3.116 (L556-6.239).
Conclusions. There are differences in clinical characteristics of ACS between type-2 DM patients and non diabetic patients; which are longer onset of chestpain and atypical chestpain more often in type-2 DM patients. There are also differences in complications related ACS between Type-2 DM patients and non diabetic patients; heart failure, cardiogenic shock, and death more often in Type-2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunung Nursyarofah
"Latar Belakang: Respon antar-individu yang bervariasi terhadap obat antiplatelet (clopidogrel) telah dilaporkan. Perbedaan tingkat metabolisme clopidogrel untuk metabolit aktif tiol menggambarkan variabilitas antar-individu dalam penghambatan trombosit. Sitokrom P4502C19 (CYP2C19) memetabolisme zat metabolit aktif tiol. Carier polimorfisme yang menyebabkan hilangnya fungsi CYP2C19 * 2 dan * 3 alel pada terapi antiplatelet mengakibatkan berkurangnya penghambatan agregasi trombosit. Informasi mengenai hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 dengan inhibisi agregasi trombosit pada pasien Sindroma koroner akut di Indonesia masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua varian, CYP2C19 * 2 (6816>A) dan CYP2C19 * 3 (636G>A) terhadap penurunan fungsi inhibisi agregasi trombosit.
Bahan dan Metode: Desain penelitian cross sectional. Jumlah responden adalah 114 orang (dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi). Pemeriksaan polimorfisme CYP2C19 dilakukan dengan menggunakan teknik Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) TaqMan SNP Genotyping Assays dengan alat dari applied Biosystems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standart or 9600 emulation mode). Inhibisi agregasi trombosit diperiksa dengan menggunakan metode Light Transmisi Aggregometry (LTA) dengan alat Helena AggGRAM Analyzer pada penambahan 5umol/L ADP sebagai agregator.
Hasil: Distribusi inhibisi agregasi trombosit menunjukkan perbedaan rerata antara responden non carier polimorfisme dengan responden carier polimorfisme (16,9 CI95%: 12,1-21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). Analisis regresi linier menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme memiliki inhibisi agregasi trombosit lebih rendah dibandingkan dengan responden non carier polimorfisme. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme mempunyai odds untuk merespon kurang baik terhadap clopidogrel sebesar 1,9 kali jika dibandingkan dengan responden yang non carier setelah dikontrol oleh variabel umur dan jenis kelamin, hal tersebut mengindikasikan bahwa carier polimorfisme mempunyai inhibisi yang rendah terhadap agregasi trombosit.
Kesimpulan: Temuan kami membuktikan adanya hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 polimorfisme dengan inhibisi agregasi trombosit.

Background: Inter-individual variability in response to antiplatelet drugs (clopidogrel) has been reported. The difference in the extent of metabolism of clopidogrel to its active metabolite tiol is the most plausible mechanism for the observed inter-individual variability in platelet inhibition. The cytochrome P4502C19 (CYP2C19) metabolizes the active metabolite tiol. The carrier polymorphisms of reduced - functions of CYP2C19*2 and *3 allele on antiplatelet therapy showed diminished platelet aggregation inhibition. There is limited information on the association between CYP2C19 *2 and *3 with platelet aggregation inhibition in ACS patients generally in Indonesia Population. The aim of this study was to determine the association between two variants, CYP2C19*2 (6816>A) and CYP2C19*3 (636G>A) reduced function with platelet aggregation inhibition.
Material & Method: a cross sectional study was done with 114 subjects (selected by inclusions and exclusions criteria). The CYP2C19 polymorphisms were genotype using the PCR method with TaqMan SNP Genotyping Assays from applied Bio systems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standard or 9600 emulation mode). The platelet aggregation inhibition was tested using Light Transmission Aggregometry (LTA) by Helena AggGRAM Analyzer with 5umol/L ADP as aggregator.
Results: The distribution of platelet inhibition aggregation showed difference between respondents with non-carrier polymorphisms and carrier polymorphisms (16,9 CI95%: 12,1 -21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). The linier regression analysist indicated that the carrier polymorphisms have lowest platelet aggregation inhibition compared with non-carrier polymorphisms. The logistic regression analysis indicated that carrier polymorphisms respondents has 1,9 odds to be low response to clopidogrel if compared with non-carrier polymorphisms respondents after adjusted with age and sex and it is indicated that it has low platelet aggregation inhibition.
Conclusion: Our present findings the evidence of an association between CYP2C19 *2 and *3 polymorphisms and platelet aggregation inhibition.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leroy Leon Leopold Lasanudin
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen pada otot jantung yang disebabkan oleh obstruksi arteri koroner. Elevasi segmen-ST infark miokard (STEMI) akut terjadi ketika pasien dengan SKA mengalami oklusi total pada pembuluh arteri koroner. Penanganan utama untuk pasien dengan STEMI adalah terapi reperfusi menggunakan angioplasti primer. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade merupakan metode penilaian aliran darah, dimana TIMI 0 flow menandakan tidak adanya perfusi dan TIMI 3 flow menandakan perfusi lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prediktor klinis pasien yang berhubungan dengan TIMI flow akhir 3. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang dilaksanakan melalui pengumpulan data karakteristik klinis pasien STEMI dan TIMI flow akhir dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. Sampel penelitian melibatkan 3706 pasien STEMI yang diobati dengan angioplasti primer antara Februari 1, 2011 dan Agustus 31, 2019. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 20. TIMI flow akhir 3 berhubungan dengan durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi ≤6 jam (p<0.001) dan dislipidemia (p = 0.008). Sedangkan, TIMI flow akhir <3 berhubungan dengan infark miokard pada dinding anterior jantung (p = 0.03) dan kadar kreatinin dalam darah di atas 1.2 mg/dl (p = 0.03). Durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi yang lebih dini (≤6 jam) merupakan prediktor klinis terkuat untuk TIMI flow akhir 3.

Acute coronary syndrome (ACS) is an imbalance between oxygen supply and demand of the heart muscle due to an obstruction in the coronary artery. Acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) occurs when a patient with ACS has a complete coronary artery occlusion. The main treatment for patients with STEMI is reperfusion therapy using primary angioplasty. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade is a method of measuring blood flow, where TIMI 0 flow indicates no perfusion and TIMI 3 flow indicates complete perfusion. This study is aimed to determine which clinical predictors are associated with final TIMI 3 flow. This is an analytical, cross-sectional study which was conducted through data collection of STEMI patients’ clinical characteristics and final TIMI flow from the Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. The study samples include 3706 STEMI patients who were treated with primary angioplasty between February 1, 2011 and August 31, 2019. The data was analyzed using IBM SPSS version 20. Final TIMI 3 flow is associated with the duration between symptom onset and reperfusion therapy of ≤6 hours (p<0.001) and dyslipidemia (p = 0.008). Meanwhile, final TIMI <3 flow is associated with anterior wall myocardial infarction (p = 0.03) and creatinine level above 1.2 mg/dl (p = 0.03). An earlier duration between symptom onset and reperfusion therapy (≤6 hours) is the strongest clinical predictor of final TIMI 3 flow."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Rustan
"ABSTRAK
Tujuan:
Untuk mengetahui hubungan antara kadar kromium serum dengan kadar insulin, gula darah, HbAlc, profit lipid dan tingkat oklusi koroner pada penderita baru penyakit jantung koroner.
Tempat : Bagian Cath-Lab RS Jantung Harapan Kita.
Bahan dan Cara:
Penelitian dilakukan pada laki-laki di atas usia 35 tahun yang memenuhi kriteria dikumpulkan data mengenai sosio-ekonomi, keadaan kesehatan, gaya-hidup, aktivitas, IMT, asupan makanan, proporsi zat dan pemeriksaan tekanan darah, kadar kromium serum, insulin, gula darah, HbAlc, profil lipid dan tingkat oklusi koroner.
Karakteristik subyek disajikan secara deskriptif, sedangkan analisis dilakukan dengan uji statistik chi kuadrat, t, Mann Whitney, dan uji korelasi Spearman.
Hasil:
Dari 65 subyek penelitian yang diteliti, umur rata-rata 51.17 + 7.44 tahun, terbanyak (60 %) antara 40 - 55 tahun, 73.9% golongan ekonomi menengah atas, prevalensi DM 13.8%, Hipertensi 16.9%, Merokok 69.2%, olahraga 28%, Obese dan gemuk 52.3%, aktivitas ringan 100%. Asupan nutrisi secara kualitatif sesuai dengan anjuran diit Konsensus Nasional Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia, secara kuantitatif subyek dengan tingkat oklusi > 50%, mempunyai asupan protein hewani dan kolesterol yang lebih besar secara bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan subyek dengan tingkat oklusi < 50%, dan telah jauh di atas AKG. Nilai rata-rata kromium serum 8.08 ug/L. Nilai ini 431 lebih rendah dari nilai normal. Nilai insulin, gula darah puasa dan trigliserida masih berada dalam batas normal. Nilai HbAlc, LDL, HDL dan Total kolesterol berada dalam batas yang diwaspadai. Berdasarkan Triad Lipid 98.5% menderita Dislipidemia.
Berdasarkan tingkat oklusi koroner, didapatkan 44 orang subyek dengan tingkat oklusi >50%, dan 21 orang dengan tingkat oklusi <50% . Subyek dengan tingkat oklusi >50% mempunyai kadar LDL dan total kolesterol yang lebih besar secara bermakna. Kadar kroaium, insulin, gula puasa, HbAlc, trigliserida dan HDL kolesterol tidak berbeda secara bermakna. Pada tingkat oklusi koroner <50%, tidak ada korelasi yang bermakna antara kromium serum dengan faktor-faktor resiko. Pada tingkat oklusi koroner >50% ada korelasi yang bermakna kromium serum dengan gula puasa, trigliserida dan HDL kolesterol.
Kesimpulan:
Tidak ada hubungan antara kromium serum dengan kadar gula puasa, profil lipid dan tingkat oklusi koroner. Pada tingkat oklusi > 50% ada korelasi yang bermakna antara kroaium serum dengan gula puasa, trigliserida dan HDL kolesterol."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Putri Adimukti Ningtias
"Sindrom koroner akut (SKA) berkaitan erat dengan aspek nutrisi. Pencegahan primer dan sekunder dimulai saat diketahui pasien memiliki risiko atau telah mengalami gejala. Permasalahan nutrisi pada SKA dapat menurunkan asupan selama perawatan intensif, terutama pada pasien usia lanjut karena terdapat berbagai komorbid yang dapat menjadi kendala pemberian nutrisi. Risiko malnutrisi selama perawatan di rumah sakit juga dapat terjadi dan akan mempengaruhi luaran klinis. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons inflamasi, mempertahankan imbang energi dan nitrogen positif, mencegah katabolisme, serta mencegah komplikasi. Serial kasus ini melaporkan empat orang pasien SKA yang dirawat di ruang rawat intensif. Usia pasien antara 51–64 tahun. Status gizi pasien saat admisi berkisar dari berat badan normal hingga obes morbid. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan pada perawatan jantung intensif, sakit kritis, dan panduan lain sesuai kondisi klinis pasien. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai kondisi klinis dan toleransi saluran cerna dengan target kebutuhan energi total dan protein tercapai saat persiapan pulang rawat. Mikronutrien yang diberikan adalah vitamin B kompleks dan asam folat. Seluruh pasien pulang dengan perbaikan kondisi klinis. Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien.

Acute Coronary Syndrome (ACS) is closely related to nutritional aspects. Primary and secondary prevention should be started when the patients are known to be at risk or have experienced the symptoms. Patients with ACS have nutritional problems that can reduce intake during intensive care, particularly in elderly patients, because of various comorbidities that can be nutritional challenges. The risk of malnutrition during hospitalized may also occur and will affect clinical outcomes. Medical therapy in nutrition aims to reduce the inflammatory response, maintain energy and positive nitrogen balance, and prevent catabolism and complications. The patients were 51–64 years old. The nutritional status of patients at admission ranges from normal weight to morbid obesity. Medical therapy in nutrition was given using the guidelines for cardiac intensive care, critical illness, and other guidelines according to the patient's clinical condition. Provision of nutrition was gradually increased according to the clinical and gastrointestinal tolerance with the goal of achieving total energy requirements during discharge planning. The micronutrients given were B-complex vitamins and folic acid. All patients discharged with improvements in clinical conditions. Adequate medical therapy in nutrition supports the patients recovery."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>