Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213087 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Euis Maryani
"Latar belakang: Trauma toraks memiliki spektrum klinis yang luas sehingga kemungkinan komplikasi dan lama rawat berbeda-beda. Lung Injury Score LIS dapat dipakai untuk menilai disfungsi respirasi yang terjadi sehingga dapat dijadikan prediksi mortalitas dan lama rawat.
Metode: Penelitian dengan desain kohort retrospektif untuk menguji validitas LIS pada kasus trauma toraks baru le; 24 jam yang ditangani di RSCM pada periode Januari 2017 ndash; Maret 2018. Variabel-variabel LIS foto toraks, P/F rasio, PEEP, dan komplians paru dicatat dan dihitung skornya kemudian dihubungkan dengan luaran berupa mortalitas dan lama rawat, Pada uji statistik dihitung menggunakan Mann Whitney mortalitas dan Rank-Spearman Correlation lama rawat . Cut off point diukur menggunakan kurva ROC.
Hasil: Didapatkan total 56 pasien yang memenuhi kriteria. Mortalitas pada 3 pasien. rata-rata LIS 1,52. Rata-rata lama rawat 10 hari. Tidak ada korelasi yang bermakna antara LIS dengan mortalitas p=0,52 , didapatkan korelasi yang bermakna antara LIS dengan lama rawat p < 0.001 . Dari kurva ROC, didapatkan cut off point LIS dengan mortalitas pada skor 2,25, namun tidak bermakna secara statistik, dan cut off point LIS terbaik untuk lama rawat 8 hari pada skor 1,25.
Kesimpulan: LIS memiliki korelasi yang bermakna dengan lama rawat, namun tidak memiliki korelasi dengan mortalitas. LIS dapat digunakan untuk memprediksi lama rawat pada pasien yang tidak membutuhkan ventilator dengan Cut off point LIS terbaik pada skor 1,25 untuk lama rawat 8 hari.

Introduction : Thoracic trauma has wide clinical spectrum, resulting in complications and different hospital length of stay. The Lung Injury Score LIS is assumed could be used for measuring degree of respiratory disfunction and degree of thoracic trauma and predicts mortality and length of stay.
Methods : Validity study was performed on 56 new trauma cases le; 24 jam treated in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2017 ndash; March 2018 with cohort retrospective design. LIS rsquo; variables was measured thoracic X-ray, P/F ratio, PEEP and lung compliance and converted into LIS then connected with hospital length of stay and mortality as the outcome. Statistical analysis using Mann Whitney Whitney mortality dan Rank-Spearman Correlation length of stay . Cut off point measured using ROC.
Results : We have 56 patients, with 3 mortality cases, average of LIS is 1,52, average of length of stay are10 days. There is no significant correlation between LIS and mortality p=0,52 , but LIS has significant correlation with length of stay p < 0.001 Cut off point LIS-mortality was at 2,25 and cut off point LIS-8 days length of stay was at 1,25.
Conclusions : LIS has significant correlation with length of stay but not with mortality. LIS could be used to predict hospital length of stay in thoracic trauma patients without ventilators with cut off point 1.25.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Vonky Rebecca
"Latar Belakang : Kejadian AKI di unit perawatan intensif berhubungan dengan peningkatan mortalitas, morbiditas pasca AKI dan biaya perawatan tinggi. Penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif di Indonesia khususnya RSUPN dr. Cipto Mangungkusumo belum pernah dilakukan.Tujuan: Mengetahui prevalensi AKI, angka mortalitas pasien AKI, dan faktor- faktor yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif di ICU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.Metode : Penelitian kohort retrospektif terhadap seluruh AKI di unit perawatan intensif di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2015 ndash; Desember 2016. Dilakukan analisis hubungan bivariat saampai dengan multvariat dengan STATA Statistics 15.0 antara faktor usia >60 tahun, sepsis, ventilator, durasi ventilator, dialisis, oligoanuria, dan skor APACHE II saat admisi dengan mortalitas. Hasil : Prevalensi pasien AKI di unit perawatan intensif didapatkan 12,25 675 dari 5511 subjek dan sebanyak 220 subjek 32,59 dari 675 subjek yang dianalisis meninggal di unit perawatan intensif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada analisis multivariat adalah sepsis OR 6,174; IK95 3,116-12,233 , oligoanuria OR 4,173; IK95 2,104-8,274 , ventilator OR 3,085; IK95 1,348-7,057 , skor APACHE II saat admisi 1/2 [OR 1,597; IK95 1,154-2,209], dan durasi ventilator OR 1,062; IK95 1,012-1,114 . Simpulan : Prevalensi pasien AKI dan angka mortalitasnya di unit perawatan intensif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo didapatkan sebesar 12,25 dan 32,59 . Sepsis, oligoanuria, ventilator, skor APACHE II saat admisi 1/2, dan durasi ventilator merupakan faktor-faktor yang berhubungan bermakna dengan peningkatan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif. Kata Kunci : Acute Kidney Injury, Faktor Risiko, Mortalitas, Unit Perawatan Intensif

Background Acute kidney Injury AKI in ICU associated with increased mortality rate, morbidity post AKI, and high health care cost. There is no previous study about factors associated with mortality of AKI patients in ICU in Indonesia, especially at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.Aim To identify prevalence, mortality rate, and factors associated with mortality of AKI patients in ICU.Method This is a retrospective cohort study. Data were obtained from all of medical records of AKI patients period January 2015 until December 2016 in ICU at Cipto Mangunkusumo hospital. Association of risk factors age 60 years old, sepsis, ventilator, duration of ventilator, oligoanuria, and APACHE II score at admission and mortality will be analyzed using STATA Statistics 15.0. Results AKI prevalence in ICU was 12,25 675 subjects from total 5511 subjects . A total of 220 subjects out of 675 subjects AKI died at ICU. Sepsis OR 6,174 95 CI 3,116 12,233 , oligoanuria OR 4,173 95 CI 2,104 8,274 , ventilator OR 3,085 95 CI 1,348 7,057 , APACHE II score at admission 1 2 OR 1,597 95 CI 1,154 2,209 , and duration of ventilator OR 1,062 95 CI 1,012 1,114 . were significant factors associated with mortality of AKI patients in ICU. Conclusion AKI prevalence and mortality rate in ICU at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital were 12,25 and 32,59 . Sepsis, oligoanuria, ventilator, APACHE II score at admission 1 2, and duration of ventilator were significant factors associated with mortality of AKI patients in ICU. Keywords Acute Kidney Injury, Intensive Care Unit, Mortality, Risk Factor "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berri Primayana
"Latar Belakang : Kejadian AKI Acute Kidney Injury pascabedah akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan kriteria AKIN. Kondisi dan manajemen perioperatif sangat mempengaruhi kekerapan AKI pascabedah.
Tujuan : Mengetahui hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM.
Metode : Penelitian kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien yang dirawat di ICU pascabedah elektif antara Januari 2014 hingga Desember 2015. Seratus satu pasien diikutkan dalam penelitian dari total 1739 data pasien yang didapatkan. Diagnosis AKI ditegakkan dengan keriteria AKIN. Data diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji Chi Square dan Independent T test.
Hasil : Analisis dilakukan pada 101 pasien dari 1739 populasi terjangkau. Insiden AKI didapatkan sebesar 44,6 . Diagnosis AKI ditegakkan dengan penurunan jumlah urin sesuai dengan Stage 1 AKI berdasarkan AKIN. Rata-rata usia AKI didapatkan sebesar 50,44 13,7 tahun p=0,304 . Analisis berdasarkan masing-masing variabel didapatkan kekerapan AKI pada diabetes melitus sebesar 50 p=0,633 , penyakit jantung sebesar 40,7 p=0,641 , hipertensi sebesar 46,9 p=0,749 , dan operasi intraabdomen sebesar 61,9 p=0,072 .
Kesimpulan : Dari variabel yang diteliti tidak ada hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlia Majidiah
"Latar belakang: Trombosis vena dalam merupakan komplikasi tersering yang dijumpai pada keganasan. Insidens trombosis vena dalam pada kanker paru sangatlah tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum. Saat ini belum ada pedoman alur diagnosis yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena dalam pada kanker paru. Selain itu, penelitian serupa juga belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi penelitian pendahuluan yang menitikberatkan pada trombosis vena dalam pada kanker paru.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai proporsi trombosis vena dalam menggunakan kriteria klinis yaitu skor Wells’ pada pasien kanker paru yang dirawat di RS Persahabatan.
Metode: Desan penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Kami melakukan pemeriksaan pada pasien kanker paru yang dirawat sejak September 2012 hingga Februari 2013. Kami menyingkirkan pasien kanker paru dengan penyakit infeksi serta pasien kanker paru dengan sediaan histopatologi yang belum tegak. Pemeriksaan fungsi hemostasis seperti PT, APTT dan D-dimer tetap dilakukan bersama dengan penggunaan kriteria klnis skor Wells’. Diagnosis trombosis vena dalam ditentukan apabila skor Wells berat.
Hasil: Subjek dalam penelitian ini terbanyak adalah laki-laki (69,2%) dengan kelompok usia terbanyak yaitu kelompok usia 51-60 tahun (33,3%). Jenis histopatologi yang terbamyak ditemukan adalah jenis adenokarsinoma (57,7%). Hampir sebagian besar pasien yaitu 64 pasien (82,1%) memiliki D-dimer >500 dan hanya 14 pasien (17,9%) dengan D-dimer normal. Penelitian ini mengungkapkan proporsi trombosis vena dalam menggunakan skor Wells adalah 23,1%.%. Faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, riwayat merokok, jenis tumor, stadium tumor, status penampilan, serta fungsi hemostasis tidak berpengaruh terhadap trombosis vena dalam namun nilai D-dimer >500 berpengaruh terhadap trombosis vena dalam.
Kesimpulan: Proporsi trombosis vena dalam pada pasien kanker paru di RS Persahabatan hampir sama jumlahnya dengan penelitian-penelitian di negara lain yaitu sekitar 21%. Penelitian ini menunjukkan bahwa skor Wells masih mempunyai peran penting dalam menentukan trombosis vena dalam mengingat penggunaannya mudah dan praktis. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk menilai metode yang mudah dan sederhana digunakan dalam praktek sehari-hari bersama dengan skor Wells dalam menentukan trombosis vena dalam pada kanker paru.

Background: Deep vein trombosis (DVT) is the common complication found in malignancy. Its incidence in lung cancer is much higher than in general population. Since there were no current diagnosis guideline which could help identify DVT in lung cancer and there were no similar study conducted before in Indonesia, thus this study could be a pilot study for further research focusing DVT in lung cancer.
Objective: The objective of this study is to find deep vein trombosis proportion among lung cancer patients which is determined by clinical criteria such as Wells’ score in Persahabatan Hospital.
Method: The study design is using a cross-sectional method. We examined the lung cancer patients who were hospitalized within September 2012 to Februari 2013. We excluded the lung cancer patients with infection comorbidity or who had not yet had histopathological confirmation. The hemostatis work up included PT, APTT, and D-dimer were conducted along with clinical Wells’ score criteria. Deep vein trombosis among the patients is determined by severe Wells’ score.
Results: Subjects in this study were mostly male (69,2%) with predominant age group of 51-60 years old (33,3%). Predominant histopathologic sub type was adenocarcinoma (57,7%). Mostly, 64 patients (82,1%) had D-dimer >500 and only 14 patients (17,9%) with normal D-dimer. This study found that deep vein trombosis proportion is 23,1% using Wells’ score. Clinical characteristics such as sex, age, smoking history, tumor cell type, tumor staging, performance status and hemostasis function does not have correlation with DVT but score of D-dimer >500 have correlation with DVT.
Conclusion: The DVT proportion among lung cancer patients in Persahabatan Hospital is similar found in some studies in other countries which is approximately 21%. This study revealed that the simple and practical application of Wells’ score in determining DVT is still have valueable role. Further study is needed to find the best simple and easy methods along with Wells’ score in determining DVT in daily practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Chandra Kirana Sugianto
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan salah satu jenis keganasan tersering penyebab kematian di dunia. Penelitian faktor-faktor prognostik pada Non-Small Cell Lung Carcinoma sangatlah penting karena berpotensi membawa kita kepada tatalaksana pasien yang lebih baik. CYFRA 21-1 dan CEA merupakan penanda tumor yang diketahui memiliki spesifisitas tinggi terhadap NSCLC dan dapat digunakan dalam memperkirakan prognosis. Meskipun demikian, belum ada studi yang mencari hubungan CYFRA 21-1 dan CEA terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di Indonesia dan saat ini belum ada nilai titik potong CYFRA 21-1 dan CEA yang terstandarisasi sebagai faktor prognostik.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar CEA dan CYFRA 21-1 awal dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM dan menentukan titik potong CEA dan CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik.
Metodologi: Desain studi ini adalah kohort retrospektif terhadap 111 subjek penelitian dengan NSCLC stadium lanjut berusia >18 tahun yang terdiagnosa dari Januari 2012 hingga Mei 2018 dan telah diperiksakan CEA dan CYFRA 21-1 saat awal terdiagnosis. Karakteristik nilai CEA dan CYFRA 21-1 awal, status performa, jenis histologi, terapi dan stadium didokumentasikan secara lengkap dan diambil dari data Unit Rekam Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Studi ini menggunakan analisis kesintasan, cox proportional hazards dan log-rank test.
Hasil: Area under the curve (AUC) CEA didapatkan kurang dari 50% (AUC = 0,446) dan tidak bermakna, sebaliknya AUC CYFRA 21-1 cukup bermakna dalam analisis kesintasan ini dengan nilai AUC = 0,741 (0,636-0,847) dan p<0,001. Nilai titik potong CEA didapatkan sebesar >21,285 ng/mL, dengan sensitivitas 48,8% dan spesifisitas 48,3%. Sedangkan nilai titik potong CYFRA 21-1 didapatkan sebesar > 10,9 ng/mL dengan sensitivitas 69,5% dan spesifisitas 65,5%. Variabel-variabel yang memenuhi asumsi proportional hazard pada analisis ini adalah CYFRA 21-1, PS, jenis histologi kanker dan terapi. Nilai p>0,05 didapatkan baik pada kurva analisis CEA maupun stadium sehingga hasil tersebut tidak bermakna pada penelitian ini. CYFRA 21-1 >10,9 ng/mL memiliki HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028). PS dengan ECOG 3-4 memiliki HR 2,434 (HR=2,434;
p=0,026), NSCLC jenis non-adenokarsinoma memiliki HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), dan kelompok yang tidak dikemoterapi memiliki HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Kesimpulan: Nilai CEA awal yang tinggi tidak terbukti berhubungan dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut, sebaliknya nilai CYFRA 21-1 awal yang tinggi terbukti dapat menjadi faktor prognostik yang signifikan terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM. Nilai titik potong CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik adalah sebesar >10,9 ng/mL.

Background: Lung cancer is one of the most common types of malignancy that causes death in the world. Research of prognostic factors in Non-Small Cell Lung Carcinoma is very important because it has the potential to lead us to better patient management going forward. CYFRA 21-1 and CEA are tumor markers that are known to have high specificity to NSCLC and can be used in estimating prognosis. However, there have been no studies looking for the association of CYFRA 21-1 and CEA with one-year survival of advanced stage NSCLC in Indonesia, and there is currently no cut-off value for CYFRA 21-1 and CEA as standardized prognostic factors.
Objective: This study aims to determine the association of initial CEA and CYFRA 21-1 levels with one-year survival NSCLC advanced stage in RSCM and determine the cut-off value of CEA and CYFRA 21-1 as a prognostic factor.
Methodology: The study design was a retrospective cohort of 111 subjects with advanced stage of NSCLC aged > 18 years who were diagnosed from January 2012 to May 2018 and had initial CEA and CYFRA 21-1 value before being treated. Characteristics of the initial CEA and CYFRA 21-1 values, performance status, type of histology, stage of the disease and therapy were fully documented and taken from the Medical Record Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used survival analysis, cox proportional hazards and log-rank tests.
Results: The CEA’s area under the curve (AUC) was found to be less than 50% (AUC = 0.446) and not significant, whereas AUC of CYFRA 21-1 was quite significant in this survival analysis with AUC = 0.741 (0.636-0.847) and p <0.001. CEA cut-off point were obtained > 21,285 ng / mL, with a sensitivity of 48.8% and specificity of 48.3%. While the CYFRA 21-1 cut point was > 10.9 ng / mL with a sensitivity of 69.5% and a specificity of 65.5%. The variables that meet the proportional hazard assumption in this analysis are CYFRA 21-1, PS, the cancer histology and therapy. A p value > 0.05 was obtained both on the CEA and the stage analysis curve so that the results were not significant in this study. CYFRA 21-1 > 10.9 ng / mL has HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028), PS with ECOG 3-4
had HR 2,434 (HR=2,434; p=0,026), NSCLC non-adenocarcinoma type had HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), and non-chemotherapy group had HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Conclusion: A high initial CEA value was not proven to be associated with one-year survival of advanced stage NSCLC, whereas conversely a high initial CYFRA 21-1 value was shown to be a significant prognostic factor for one-year survival of advanced stage NSCLC in RSCM. The cut-off point of CYFRA 21-1 as a prognostic factor is > 10.9 ng
/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nieniek Ritianingsih
"ABSTRAK
PPOK merupakan penyakit yang mengarah kepada adanya beberapa gangguan yang
mempengaruhi keluar masuknya udara paru-paru. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
terutama kebutuhan oksigen dapat terganggu dengan adanya PPOK, sehingga untuk
mengoptimalkan kesehatan pasien kembali diperlukan tindakan keperawatan yang tepat.
Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan fungsi ventilasi paru
adalah mengatur posisi pasien PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
perbedaan pengaruh posisi duduk high fowler dan orthopneic terhadap fungsi ventilasi
paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK di RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo
Bogor. Desain penelitian menggunakan metoda kuasi eksperimental dengan pendekatan
pre test post test group design. Sampel berjumlah 36 orang yang diambil secara
purposive sampling. Pasien diberikan tindakan pengaturan posisi high fowler dan
orthopneic. Hasil penelitian menunjukkan posisi high fowler dan orthopneic dapat
meningkatakan fungsi ventilasi paru (p=0,0005), tetapi posisi orthopneic dapat
meningkatkan fungsi ventilasi paru lebih baik dibandingkan high fowler (p=0,0005).
Usia berhubungan terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pasien PPOK baik pada
posisi high fowler (p=0,0048) maupun pada orthopneic (p=0,0005). Tinggi badan
(p=0,453 dan p=0,456), berat badan (p=0,385 dan p=0,411), dan jenis kelamin (p=0,240
dan 0,164) tidak mempengaruhi peningkatan fungsi ventilasi paru baik pada posisi high
fowler maupun orthopneic. Rekomendasi hasil penelitian adalah perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pasien PPOK dengan dispnea sebaiknya memberikan
posisi orthopneic sehingga fungsi ventilasi paru pasien dapat ditingkatkan

ABSTRACT
Fungsi ventilasi paru dapat terganggu dengan adanya penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan fungsi
ventilasi paru adalah mengatur posisi pasien PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan perbedaan pengaruh posisi duduk high fowler dan orthopneic terhadap
fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK di RS Paru Dr. M.
Goenawan Partowidigdo Bogor. Desain penelitian menggunakan metoda kuasi
eksperimental dengan pendekatan pre test post test group design. Sampel berjumlah 36
orang yang diambil secara purposive sampling. Pasien diberikan pengaturan posisi high
fowler dan orthopneic. Hasil penelitian frekuensi nafas memiliki nilai yang sama. Posisi
high fowler dan orthopneic dapat meningkatkan nilai APE (p=0,0005), tetapi posisi
orthopneic dapat meningkatkan nilai APE lebih baik dibandingkan high fowler
(p=0,0005). Usia berhubungan terhadap peningkatan nilai APE pasien PPOK baik pada
posisi high fowler (p=0,0048) maupun pada orthopneic (p=0,0005). Tinggi badan, berat
badan, dan jenis kelamin tidak mempengaruhi fungsi ventilasi paru baik pada posisi high
fowler maupun orthopneic. Rekomendasi hasil penelitian adalah perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pasien PPOK dengan dispnea sebaiknya memberikan
posisi orthopneic sehingga fungsi ventilasi paru pasien dapat ditingkatkan
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T24772
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
"Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD.
Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD.

Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital.
Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital.
Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD.
Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Febriandri
"Latar belakang: Pasien bekas TB yang telah diobati akan mengalami perubahan struktur anatomi paru permanen sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian gejala sisa. Gejala sisa yang terjadi dapat meninggalkan lesi di paru dan ekstra paru. Pada lesi paru biasanya diawali dengan perubahan struktur bronkial dan parenkim paru seperti distorsi bronkovaskuler, bronkietaksis, emfisematus dan fibrosis. Fungsi paru pada pasien 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan TB kategori I ditemukan nilai tes fungsi paru cenderung lebih rendah walapun sudah menyelesaikan obat anti tuberculosis (OAT) selama 6 bulan.
Metode: penelitian menggunakan metode potong lintang pada 65 pasien yang mendapatkan OAT lini I di Poli Paru RSUP persahabatan. Subjek penelitian akan menjalani pemeriksaan spirometri, DLCO, darah rutin dan HRCT toraks.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median usia subjek 45 tahun dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 60 tahun. Jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki sebanyak 33 subjek (51%). Sebanyak 66% subjek terdapat kelainan spirometri. Hasil spirometri dengan kelainan terbanyak yaitu gangguan restriksi dan obstruksi (campuran) pada 29 (44%) subjek, gangguan restriksi sebanyak 13 (21%) subjek, satu (1%) subjek gangguan obstruksi dan 22 (33%) subjek tidak ditemukan kelainan. Derajat lesi pada HRCT toraks menggunakan modifikasi Goddard score didapatkan derajat lesi ringan sebanyak 33 (51%), sedang 20 (31%), berat 8 (12%) subjek. Karakteristik lesi terbanyak pada parenkim paru secara berurutan fibrosis, kalsifikasi, bullae, retikuler opasitas, ground glass opacity (GGO), nodul, konsolidasi dan jamur. Lesi saluran napas yang terbanyak secara berurutan yaitu bronkietaksis, ateletaksis, dilatasi trakea. Gangguan kapasitas difusi terbanyak yaitu derajat ringan 25 (38%), moderate 22 (33%) dan berat 3 (5%). Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna antara derajat kelainan kapasitas difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks dan terdapat risiko 8,68 kali (IK 95% 2,3-32,72)..
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara derajat gangguan difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks. Penurunan fungsi paru setelah menyelesaikan pengobatan TB dapat terjadi sehingga diperlukan pemeriksaan fungsi paru dan HRCT toraks secara berkala.

Background: Former TB infection patients will experienced changes in anatomical structure of the lung. Hence, it wil increased risk of sequelae. Sequelae can occur in extra pulmonary. Lung lesions changes in the structure of the bronchial and lung parenchyma such as bronchovascular distortion, bronchietacsis, emphysema and fibrosis. Lung functions in patients 6 months after completing TB treatment found that lung function test tend to be lower even after completing treatment for 6 months.
Methods: This studi used a cross-sectional method on 65 patients whom received anti tuberculosis drugs at Lung Polyclinic, Persahabatan Hospital. Research subjects will undergo spirometry, DLCO, blood test and HRCT thorax.
Results: In this study median age of subjects was 45 years. The youngest was 18 years and oldest was 60 years. Male population was 33 (51%) subjects. Total 66% subjects have lung function impairment. Resulst of spirometry showed mixed disorder in 29 (44%) subjects, restriction disorder in 12 (19%) subjects, one subjects with obstructive disorders and 22 (33%) subjects are normal. Based on Goddard modificaion score showed mild degree in 33 (51%) subects, moderate 20 (31%) dan severe 8 (12%) subjects. The most characteristic lesions in the lung parenchymal were fibrosis, calcification, bullae, reticular opacity, GGO, nodules, consolidation and fungi. The most common airway lesions were bronchietacsis, atelectasis and trachel dilatation. The most common lung diffusion impairment is mild 25 (38%), moderate 22 (33%) and severe 3 (5%). In this study found that there was a significant difference among lung diffusion impairment and degree of lesion based on HRCT thorax with OR 8.68 (CI 95% 2.3- 32.72).
Conclusion: There was significant relationship between lung diffusion impairment and degree of lesions based on HRCT thorax. Decrease lung function after completing TB treatment can occur so that routine lung function test and HRCT thorax imaging are recommended.
"
2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laharsa Madison
"Pemeriksaan HRCT toraks mengevaluasi secara objektif perubahan pada gambaran parenkim paru akibat respons inflamasi termasuk pada pasien pasca COVID-19. Riwayat terapi selama pasien dirawatinapkan merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap gambaran HRCT toraks pasca COVID-19. Penelitian ini menganalisis hubungan antara riwayat terapi tersebut dengan gambaran HRCT toraks dengan subjek yang diperiksakan antara Juni 2020-Juli 2021. Metode yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan kohort pada data sekunder melalui telusur rekam medis. Pada 73 subjek penelitian dilakukan analisis univariat, bivariat (uji kai kuadrat dan fisher) dan multivariat (uji regresi logistik) dengan variabel independen terdiri atas karakteristik individu (usia, jenis kelamin, komorbiditas, derajat COVID-19) dan riwayat terapi (antivirus, antiinflamasi dan antitrombotik) serta variabel dependen berupa gambaran HRCT toraks. Terdapat gambaran sekuele sebanyak 55 subjek (75,3%) dengan rincian 7 subjek (9,6%) dengan gambaran fibrosis, 5 subjek (6,8%) dengan gambaran GGO, 43 subjek (59,9%) dengan gambaran GGO dan fibrosis serta gambaran nonsekuele sebanyak 18 subjek (24,7%). Gambaran sekuele terhadap variabel masing-masing adalah sebagai berikut: laki-laki dan perempuan yaitu 78,8% dan 66,7% (p=0,025, OR= 0,019-0,770), derajat ringan, sedang dan berat-kritis yaitu 56,5%, 75,0% dan 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjek dengan dan tanpa warfarin yaitu 57,1% dan 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjek dengan dan tanpa heparin yaitu 83,3% dan 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari dan >10 hari yaitu 61,0% dan 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Laki-laki-laki lebih banyak memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks daripada perempuan. Derajat COVID-19 adalah faktor paling berpengaruh dan menentukan pemilihan terapi rawat inap. Kelompok subjek dengan warfarin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa warfarin. Kelompok subjek dengan heparin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa heparin. Kelompok subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih sedikit daripada dengan terapi antiinflamasi >10 hari.

Chest HRCT is an objective examination to evaluate alteration in lung parenchyma due to inflammation response including in post COVID-19 patients. Inward patient therapy history is one of factor to be suspected has an influence to chest HRCT features in post COVID-19 patients. This study analyzes a relation between therapy history and chest HRCT features was examined between June 2020 and June 2021. Observational analytic with retrospective approach method is used by medical record explore as secondary data. In 73 subjects in this study, univariate analysis, bivariate analysis (chi square and fisher’s test), and multivariate analysis (logistic regression) had done to perform the description of independent variable consists individual characteristics (age, sex, comorbidity, COVID-19 severity degree) and therapy history (antiviral, antiinflammation, antithrombotic), and chest HRCT features as dependent variable. There are sequelae features in 55 subjects (75.3%) consist of 7 subjects (9.6%) with fibrotic features, 5 subjects (6.8%) with GGO and 43 subjects (59.9%) and also 18 subjects (24.7%) non-sequelae features. Sequelae features for each variable are: male and female are 78,8% vs 66,7% (p=0.025, OR= 0.019-0.770), mild, moderate, and severe-critical COVID-19 severity degree are 56,5% vs 75,0% vs 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjects with and without warfarin are 57,1% vs 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjects with and without heparin are 83,3% vs 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subject with antiinflammation therapy duration ≤10 days is higher risk than >10 days are 61,0% vs 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Males are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than females. The severity degree of COVID-19 is the most influencing factor and this determines on inpatient therapy selection. Warfarin history subjects are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without warfarin. Heparin history subjects are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without heparin. Anti-inflammatory therapy duration ≤10 days are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in > 10 days.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wicaksono
"World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa kanker paru telah menjadi satu diantara penyebab kematian utama di seluruh dunia. Prognosis kanker paru merupakan yang paling buruk diantara jenis kanker lainnya. Studi ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kesintasan dan risiko kematian pada pasien Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil (KPKSK) dan Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan sejak Januari 2021 hingga Desember 2023 dan di foloow-up hingga September 2024 menggunakan desain kohort retrospektif. Variable yang di analisis pada penelitian ini meliputi jenis histologi, usia, jenis kelamin, ras/suku, status pekerjaan, status perkawinan, Tingkat Pendidikan, derajat merokok, jenis pasien, performance status, lateralitas tumor, clinical stage dan penatalaksanaan. Dari 938 pasien kanker paru yang dianalisis, 6.29% adalah KPKSK dan sisanya 93.71% adalah KPKBSK. Dengan median overall survival (OS) pada KPKSK adalah 142 hari dan pada KPKBSK adalh 298 hari setelah terdiagnosa selama tiga tahun pengamatan. Pada final model dikatuhi bahwa usia, derajat merokok, performance statusserta tatalaksana bermakna secara statistic terhadap risiko kematian pada pasien kanker paru setelah dikontrol variable confounding (p<0.05). Terdapat interaksi antara usia ≥60 dan jenis histologi KPKBSK yang bermakna secara statistic terhadap penurunan risiko kematian sebesar 59% setelah dikontrol oleh variable confounding (aHR 0.41 95% CI 0.26 – 0.66 p=0.000) dibandingkan dengan pasien KPKSK. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk klinisi dan menjadi referensi penelitian selanjutnya.

According to the World Health Organization (WHO), lung cancer is one of the leading causes of death worldwide. The prognosis of lung cancer is the worst among other cancers. This study aims to compare survival and risk of death in patients with small cell lung cancer (SCLC) and non-small cell lung cancer (NSCLC) at Persahabatan General Hospital from January 2021 to December 2023 and follow-up until September 2024 using a retrospective cohort design. The variables analysed in this study included histology type, age, gender, race/ethnicity, employment status, marital status, education level, smoking status, patient type, performance status, tumour laterality, clinical stage and treatment. Of the 938 lung cancer patients analysed, 6.29% had SCLC and the remaining 93.71% had NSCLC. The median overall survival (OS) in SCLC is 142 days and in NSCLC is 298 days after diagnosed during three years of observation. In the final model, it was found that age, smoking level, performance status and treatment were statistically significant on the risk of death in lung cancer patients after controlling for confounding variables (p <0.05). There was an interaction between age ≥60 and histology type of NSCLC which was statistically significant on decrease the risk of death by 59% after controlling for confounding variables (aHR 0.41 95% CI 0.26 - 0.66 p = 0.000) compared to SCLC patients. The results of this study are expected to inform clinicians and provide a reference for further research."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>