Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133045 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anditha Ratnadhiyani
"ABSTRAK
Pasien gagal jantung sering mengalami penurunan kualitas hidup karena keadaan ldquo;high simptom burden rdquo; dan hospitalisasi berulang, sehingga berdampak pada prognosis yang buruk. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas hidup pasien jantung adalah dengan perawatan paliatif. Manajemen simptom merupakan komponen sangat penting dalam perawatan paliatif. Edmonton symptom assessment system ESAS merupakan instrumen pengkajian keluhan simptomatik yang umum digunakan pada pasien dengan penyakit kronis. Hasil analisis Rasch terhadap 35 kuesioner ESAS yang diisi oleh pasien gagal jantung menunjukkan bahwa ESAS memenuhi syarat unidimensionalitas eigenvalue 41 , yang berarti ESAS mampu mengukur beban simptom. Nilai Cronbach rsquo;s alpha 0,812 menunjukkan reliabilitas yang sangat baik, namun nilai person reliability 0,58 menunjukkan bahwa konsistensi jawaban dari pasien lemah. Rekomendasi penulis dari penerapan EBN ini adalah pengukuran uji validitas dan reliabilitas ulang terhadap ESAS dengan jumlah sampel tiap unit yang memadai setelah dilakukan double translation instrumen. Kata kunci : ESAS, beban simptom, paliatif, gagal jantung
ABSTRAK
Heart failure is known as high symptom burden disease. Symptom burden interfere with patients rsquo;s quality of life and lead to worse prognosis. Palliative care is an approach to improve patient rsquo;s quality of life by providing relief from pain and other distressing symptoms. Symptom management is one of the most crucial component of palliative care. Edmonton symptom assessment system ESAS is a clinical tools to document the symptom burden in chronically ill patients. Rasch analysis of 35 ESAS questionnaire completed by heart failure patients shows that ESAS is a unidimensional eigenvalue 41 measure of symptom burden. The calculated Cronbach rsquo;s alpha was 0,812, interpreted to good reliability; but low person reliability score 0,58 indicated low consistency of person response. The recommendation for this evidence-based nursing intervention is re-analysis of instrument rsquo;s validity and reliability with sufficient number of samples form each unit and double translation procedure. Keywords: ESAS, simptom burden, palliative, heart failure"
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sulistiowati
"Perkembangan ilmu dan pengetahuan keperawatan semakin berkembang untuk meningkatkan pelayanan bagi pasien. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di dunia dan prevalensi nya yang tinggi menjadi perhatian dan tantangan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Perawat spesialis dengan perannya sebagai pemberi asuhan, pendidik, peneliti dan inovator memiliki peran penting dalam pelayanan kesehatan khususnya pada penyakit kardiovaskular. Pelaksanaan praktik residensi bertujuan untuk mengaplikasikan peran perawat spesialis dengan menggunakan pendekatan Teori Model Adaptasi Roy. Peran sebagai pemberi asuhan dan pendidik diterapkan pada 31 psaien dengan berbagai kasus kardiovaskular baik medical maupun surgical. Peran sebagai pendidik juga diberikan kepada rekan sejawat dengan melakukan jurnal reading dan diskusi. Hasil analisis praktik menunjukkan bahwa teori Model Adaptasi Roy dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular. Peran sebagai peneliti dilakukan dengan penerapan terapi oksigen nasal kanul aliran rendah tanpa humidifikasi. Hasil penerapan didapatkan bahwa terapi oksigen nasal kanul aliran rendah tanpa humdifikasi dapat dijadikan alternative pemberian terapi oksigen. Peran sebagai inovator dijalankan dengan menyusun form skrining pasien yang memerlukan perawatan paliatif pada pasien gagal jantung, dengn hasil evaluasi didapatkan bahwa form layak untuk digunakan.

The development of nusing science and knowledge is increasingly evolving to improve services for patients. Cardiovascular disease is the leading cause of death in the world and its prevalence is high. It's become concern and challenge for health workers in providing health services. Nurses Specialist with his role as caregiver, innovators, researchers and educators have an important role in health services especially in cardiovascular disease. Implementation practice residencies aim to apply the role of specialist nurses using Theory approach Model Adaptation by Roy. The role as a caregiver and educator was applied in 31 cases with various cardiovascular cases either medical or surgical. The role of the educator is also given to other nurses by journal reading and discussion. Practice analysis results showed that the Roy Adaptation Model can be applied on nursing care of patients with cardiovascular diseases. The role as a researcher executed by evidence-based nursing, low flow nasal cannula oxygen therapy without humidification could become alternative modality in oxygen therapy. The role as an innovator executed by created palliative screening for heart failure, with the evaluation showed that the form is acceptable."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Okto Dewantoro
"Latar Belakang. Indeks Glikemik (IG) diketahui berhubungan dengan kejadian penyakit kardiovaskular, semakin tinggi IG semakin tinggi kejadian penyakit kardiovaskular. Highly Sensitivity-CRP (hs-CRP) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk menilai faktor risiko PIK. Semakin tinggi hs-CRP semakin besar risiko terjadinya Acute heart Disease. Indeks Glikemik diketahui berhubungan positif dengan hs-CRP. Saat ini di Indonesia belum ada penelitian yang menghubungkan IG, hs-CRP dan PIK.
Tujuan. Diketahuinya nilai dan rerata IG dan hs-CRP pada penderita PIK, serta melihat ada tidaknya korelasi antara IG, hs-CRP dan pada penderita PJK. Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 14 penderita PIK jenis angina pectoris stabil yang datang berobat di poliklinik Kardiologi RSCM. Kemudian dilakukan diagnosa PJK dengan Treadmill, pemeriksaan hs-CRP dan kemudian wawancara gizi dengan Food Frequency Quesioner yang menggambarkan pola diet penderita untuk mendapatkan nilai IG.
Hasil. Didapatkan rerata IG 80,96 (tinggi), rerata hs-CRP 1,88 mg/L, serta korelasi positif antara IG dan hs-CRP. Nilai korelasi antara IG dan hs-CRP adalah 0,682 dengan kemaknaan statistik 0,007.
Simpulan. Didapatkan rerata IG dan hs-CRP yang tinggi serta korelasi positif antara IG dan hs-CRP pada penderita PJK.

Background. Glycemic Index (GI) significantly correlated with cardiovascular disease, especially Coronary Arterial Disease (CAD). High Sensitivity-CRP is a marker to predict the risk of Cardiovascular Disease and the higher hs-CRP the higher risk of CAD. Glycemic Index has been known to have a positive correlation with hs-CRP. There was no research in Indonesia, which was trying to see the correlation between IG, hs-CRP and CAD.
Objectives. To get an average value of GI and hs-CRP and to know if there is a correlation between GI and hs-CRP in CAD patient.
Methods. A cross sectional study was done to this research. Fifteen CAD patients especially stable chronic angina which already diagnose with treadmill were examined their blood and then filled form of FFQ to see their GI pattern.
Results. The average result of GI was 80.96 (high) and average result of hs-CRP was 1.88 mg/L. There was a positive correlation between GI and hs-CRP in-patient with CAD in this research.
Conclusions. There was a high average value of GI and hs-CRP in-patient with CAD. There was a positive correlation between GI and hs-CRP in CAD patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alana Arumsari Pramono
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit tidak menular. Faktor risiko penyakit jantung koroner antara lain hipertensi, merokok, kolesterol tinggi, obesitas, dan rendahnya konsumsi buah dan sayuran. Menurut data Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi penyakit jantung koroner dengan diagnosa dokter adalah sebesar 0,5%.Sedangkan pada tahun 2018 prevalensi penyakit jantung koroner dengan diagnosa dokter adalah sebesar 1,5%. Maka terjadi peningkatan oleh responden yang menderita penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner disebabkan oleh penumpukan plak di dinding arteri yang memasok darah ke jantung dan bagian tubuh lainnya. Plak tersebut terdiri dari deposit kolesterol dan zat lain di arteri. Penumpukan plak menyebabkan bagian dalam arteri menyempit dari waktu ke waktu, yang sebagian atau seluruhnya dapat menghalangi aliran darah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan efek gabungan hipertensi dan obesitas dengan kejadian penyakit jantung koroner
Metode: Pada analisis ini menggunakan analisis univariat untuk mengetahui proporsi dari varibel penelitian, analisis bivariat untuk mengetahui adanya hubungan pada variabel, analisis stratifikasi untuk mengetahui adanya confounding dan efek modifikasi. Analisis multivariat untuk mengetahui model akhir. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional.
Hasil: didapatkan variabel penyakit jantung koroner 1,44%, hipertensi dan obesitas 9,77%, hipertensi dan tidak obesitas 9,64%, tidak hipertensi dan obesitas 22,04%, tidak hipertensi dan tidak obesitas 58,55%. Dan hubungan hipertensi dan obesitas terhadap penyakit jantung koroner setelah dikontrol oleh variabel usia dan jenis kelamin.
Kesimpulan: Hubungan dari efek gabungan hipertensi dan obesitas dengan kejadian penyakit jantung koroner setelah dilakukan kontrol oleh variabel usia dan jenis kelamin

Background: Coronary heart disease is a non-communicable disease. Risk faktors for coronary heart disease include hypertension, smoking, high cholesterol, obesity, and low consumption of fruits and vegetables. According to Riskesdas data in 2013, the prevalence of coronary heart disease with a doctor's diagnosis was 0.5%. Meanwhile, in 2018 the prevalence of coronary heart disease with a doctor's diagnosis was 1.5%. Then there is an increase in respondents who suffer from coronary heart disease. Coronary heart disease is caused by the buildup of plaque on the walls of the arteries that supply blood to the heart and other parts of the body. The plaque consists of deposits of cholesterol and other substances in the arteries. Plaque buildup causes the inside of the arteries to narrow over time, which can partially or completely block blood flow. The purpose of this study was to determine the relationship between the combined effect of hypertension and obesity with the incidence of coronary heart disease
Methods: This analysis uses univariate analysis to determine the proportion of research variables, bivariate analysis to determine the relationship between variables, stratification analysis to determine the presence of confounding and modification effects. Multivariate analysis to determine the final model. This study used a cross sectional design.
Results: found coronary heart disease variables 1.44%, hypertension and obesity 9.77%, hypertension and not obesity 9.64%, not hypertension and obesity 22.04%, not hypertension and not obesity 58.55%. And the relationship of hypertension and obesity to coronary heart disease after being controlled by age and sex variables.
Conclusion: The relationship of the combined effect of hypertension and obesity with the incidence of coronary heart disease after being controlled by age and sex variables.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Dwight J.O.
"Penyakit kardiovaskular, khususnya aritmia, merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia. Aritmia terjadi akibat gangguan irama jantung yang dapat dideteksi menggunakan Elektrokardiogram (EKG), yang dideteksi dengan menganalisa perubahan atau kejanggalan dari sinyal EKG yang dilihat oleh pengamat. Namun, sinyal EKG seringkali tidak akurat karena bersifat non-linear dan memiliki amplitudo rendah, sehingga perubahan kecil mungkin dilalaikan oleh mata telanjang manusia. Oleh karena itu, diperlukan metode yang lebih efektif dalam mengklasifikasikan aritmia. Penelitian ini mengusulkan penggunaan metode Bidirectional Recurrent Convolutional Neural Network (BiRCNN) untuk klasifikasi sinyal EKG. Metode BiRCNN menggabungkan Convolutional Neural Network (CNN) yang mengekstraksi fitur morfologi sinyal EKG dan Recurrent Neural Network (RNN) yang menangkap informasi temporal dari detak jantung. Gabungan kedua metode ini diharapkan dapat memberikan hasil yang akurat dan konsisten. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Basis Data MIT-BIH Arrhythmia, yang terdiri dari ribuan rekaman detak jantung normal dan aritmia. Data yang digunakan melalui tahap praproses dengan memilih segmen sinyal EKG dengan 187 titik waktu, dengan normalisasi pada semua data agar berada dalam rentang amplitudo yang sama. Untuk mengatasi ketidakseimbangan kelas dalam dataset, metode SMOTE digunakan untuk meningkatkan jumlah sampel kelas minoritas hingga mencapai 100% dari jumlah sampel kelas mayoritas, sehingga memastikan distribusi data yang lebih seimbang. Evaluasi kinerja model dilakukan menggunakan metrik akurasi, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai AUC-ROC. Hasil penelitian dari lima simulasi pembangunan model menunjukkan bahwa metode BiRCNN memiliki kinerja yang baik dalam klasifikasi aritmia, dengan rata-rata nilai akurasi sebesar 98.25%, sensitivitas sebesar 94.67%, spesifisitas sebesar 98.70%, dan AUC-ROC sebesar 99.44%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, metode ini mampu mengidentifikasi aritmia secara konsisten dengan ketepatan yang cukup baik.

Cardiovascular disease, particularly arrhythmia, is one of the leading causes of death in the world. Arrhythmias occur due to heart rhythm disturbances that can be detected using an Electrocardiogram (ECG), detected by analyzing the changes or irregularities in the ECG signal seen by the observer. However, ECG signals are often inaccurate because they are non-linear and have low amplitude, so small changes may be overlooked by the naked human eye. Therefore, a more effective method of classifying arrhythmias is needed. This research proposes the use of Bidirectional Recurrent Convolutional Neural Network (BiRCNN) method for ECG signal classification. The BiRCNN method combines a Convolutional Neural Network (CNN) that extracts morphological features of ECG signals and a Recurrent Neural Network (RNN) that captures temporal information of the heartbeat. The combination of these two methods is expected to provide accurate and consistent results. The data used in this study comes from the MIT-BIH Arrhythmia Database, which consists of thousands of normal and arrhythmic heartbeat recordings. The data used went through a preprocessing stage by selecting ECG signal segments with 187 time points, with normalization on all data to be in the same amplitude range. To overcome the class imbalance in the dataset, the SMOTE method was applied to increase the number of minority class samples to 100% of the number of majority class samples, thus ensuring a more balanced data distribution. Model performance evaluation was performed using accuracy, sensitivity, specificity, and AUC-ROC value metrics. The results of five model fitting simulations showed that the BiRCNN method performed well in arrhythmia classification, with an average accuracy value of 98.25%, sensitivity of 94.67%, specificity of 98.70%, and AUC-ROC of 99.44%. Based on the results, this method is able to identify arrhythmias consistently with fairly good accuracy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Viotra Kamaruddin
"Latar Belakang: Kekakuan arteri merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pasien menjalani dialisis. Beberapa studi yang membandingkan kekakuan arteri antara pasien yang menjalani hemodialisis dengan continuos ambulatory peritoneal dialysis CAPD masih kontroversi. Pelaksanaan hemodialisis yang dilakukan dua kali seminggu di Indonesia akan meningkalkan kekakuan arteri.
Tujuan: Membandingkan kekakuan arteri antara pasien menjalani yang CAPD dengan hemodialisis dua kali seminggu.Metode: Studi komperatif membandingkan kekakuan arteri pasien yang menjalani CAPD dengan hemodialisis. Penelitian ini terdiri dari 30 subjek CAPD dan 30 subjek hemodialisis selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekakuan arteri menggunakan SphygmoCor.
Hasil: Karakteristik subjek yang menjalani CAPD dan hemodialisis tidak terdapat perbedaan pada usia, jenis kelamin, tekanan darah, lama menjalani dialisis dan diabetes melitus. Kadar fosfat subjek yang menjalani CAPD 5,09 1,83 mg/dL lebih rendah dibandingkan hemodialisis 6,07 1,83 mg/dL dan bermakna secara stastistik p = 0,046. Subjek yang menjalani CAPD mempunyai PWV 8,04 1,54 m/s lebih rendah dibandingkan hemodialisis 9,05 1,98 m/s dan bermakna secara stastistik p = 0,03.
Simpulan: Pasien yang menjalani CAPD mempunyai kekakuan arteri yang lebih rendah dibandingkan hemodialisis dua kali seminggu.

Background: Arterial stiffness is a predictor of cardiovascular morbidity and mortality in dialysis patients. Several studies comparing arterial stiffness among patients undergoing continuous ambulatory peritoneal dialiyis CAPD and hemodialysis are still controversial. In, Indonesia hemodialysis is still performed twice a week that can cause the arterial stiffness higher than CAPD.
Objective: This study is aimed to compare arterial stiffness between CAPD and hemodialysis that performed twice a week patients.
Method: The comparative study between CAPD and hemodialysis patients. This study consisted of 30 CAPD and 30 hemodialysis patients. The examination of arterial stiffness used SphygmoCor.
Result: The CAPD and hemodialysis patients were no different in age, sex, blood pressure, dialysis duration and diabetes mellitus. Phosphate levels in CAPD 5.09 1.83 mg/dL were lower than hemodialysis patients 6.07 1.83 mg/dL and stastically significant p = 0.046. CAPD patients have lower PWV 8.04 1.54 m/s than hemodialysis 9.05 1.98 m/s and stastically significant p = 0.03.
Conclusion: The CAPD patients have lower arterial stiffness than hemodialysis patients that performed twice a week."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aulia Rahman
"Ibadah haji merupakan ibadah yang dilaksanakan oleh umat Islam di seluruh dunia pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Pada tahun 2023, sebanyak 1.845.045 orang dari berbagai negara mengikuti ibadah ini dan Jemaah haji dari Indonesia sendiri berjumlah 211.386 orang. Sebagian besar aktivitas dalam ibadah haji bersifat fisik dan ditambah dengan stresor eksternal seperti cuaca panas dan terik matahari, sehingga faktor kesehatan menjadi sangat penting untuk kelancaran ibadah haji. Kriteria kesehatan jemaah haji ditentukan berdasarkan istithaah kesehatan. Pada tahun 2023, terdapat peningkatan signifikan dalam angka kematian jemaah haji dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu mencapai 774 orang, dengan 43% di antaranya disebabkan oleh penyakit kardiovaskular atau berjumlah 336 jiwa. Oleh karena itu, penelitian potong-lintang dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari Sistem Komputerisasi Haji Terpadu Bidang Kesehatan (SISKOHATKES) untuk mengetahui pengaruh faktor risiko terhadap kematian jemaah haji Indonesia akibat penyakit kardiovaskular. Hasil uji analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa usia, Jenis kelamin, indeks massa tubuh, status hipertensi, status diabetes melitus secara signifikan mempengaruhi kematian jemaah haji akibat penyakit kardiovaskular, sedangkan status merokok dan pendidikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan.

Hajj is a pilgrimage carried out by Muslims worldwide at a specified time and place. In 2023, a total of 1,845,045 people from various countries participated in this pilgrimage, including 211,386 pilgrims from Indonesia. Most of the activities during Hajj are physical, coupled with external stressors such as hot weather and intense sunlight, making health a critical factor for the smooth conduct of the pilgrimage. The health criteria for pilgrims are determined based on health feasibility (istithaah kesehatan). In 2023, there was a significant increase in the mortality rate of pilgrims compared to previous years, reaching 774 people, with 43% of these deaths (336 individuals) caused by cardiovascular diseases. Therefore, a cross-sectional study was conducted using secondary data from the Integrated Hajj Health Computerization System (SISKOHATKES) to determine the influence of risk factors on the mortality of Indonesian Hajj pilgrims due to cardiovascular diseases. The results of the multiple logistic regression analysis showed that age, gender, body mass index, hypertension status, and diabetes mellitus status significantly affected the mortality of pilgrims due to cardiovascular diseases, while smoking status and education level did not have a significant influence."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abduh
"Latar Belakang: Pada pasien dengan penyakit jantung, gangguan pada fungsi paru dapat memperburuk kondisi jantung dengan menyebabkan terjadinya dekompensasi. Infeksi virus SARS-CoV-2 berpotensi mengakibatkan terjadinya fibrosis paru dan gangguan fungsi paru lainnya yang dapat dinilai dengan pemeriksaan spirometri dan kadar ST2 terlarut dalam darah. Infeksi COVID-19 varian Omicron mengakibatkan luaran yang relatif lebih baik dibandingkan varian Delta namun jumlah kasusnya lebih banyak dan tetap dapat mengakibatkan komplikasi tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini akan membandingkan kedua parameter tersebut pada pasien pasca infeksi COVID-19 varian Omicron dan Delta.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar ST2 terlarut dan luaran spirometri pada pasien pasca COVID-19 varian Omicron dibandingkan varian Delta pada pasien dengan penyakit kardiovaskular serta perbedaan pada kedua populasi.
Metode: Studi observasional potong lintang pada 76 pasien dengan penyakit jantung yang terinfeksi COVID-19 varian Omicron dan Delta dilakukan pemeriksaan spirometri dan kadar ST terlarut 12 minggu pasca konfirmasi negatif. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar ST2 terlarut pada varian Omicron dibandingkan dengan Delta terhadap gangguan fungsi paru menggunakan spirometri dan perbedaan luaran kedua varian.
Hasil: Dari 76 subjek penelitian, proporsi pasien dengan varian Omicron lebih banyak dibandingkan Delta (53 orang berbanding 23 orang), dengan perbedaan pada proporsi pasien dengan gagal jantung, penyakit jantung koroner, penerima vaksin dan distres pernafasan akut pada admisi. Kadar ST2 terlarut (p=0.026, OR 1.01 (95% CI 1.00-1.01)) dan kondisi gagal jantung (p=0.019, OR 6.07 (95% CI 1.34-27.47)) memiliki hubungan terhadap kejadian luaran gambaran spirometri abnormal khususnya gambaran restriksi terutama pada varian Omicron, namun hubungan ini lemah dan kemaknaan klinis tidak signifikan.
Hasil studi ini mengindikasikan bahwa kadar ST2 terlarut, meskipun lemah, mungkin memiliki asosiasi terhadap kelainan spirometri pada penyintas COVID-19, namun temuan ini terbatasi oleh perbedaan pada masing-masing populasi dari studi ini.

Background: In patients with heart disease, impaired lung function can exacerbate cardiac conditions due to decompensation. Infection by the SARS-CoV-2 virus has the potential to cause pulmonary fibrosis and other lung impairment which could be assessed by spirometry and measurement of soluble ST2 levels. Omicron infection resulted in a relatively better outcome than the Delta variant but higher number of cases and it could still cause these complications. Therefore, this study aims to compare these two parameters in survivors of COVID-19 infected by Omicron and Delta variant.
Objective: To determine the relationship between soluble ST2 levels and spirometry outcomes in patients with cardiovascular disease after COVID-19 infection by Omicron variant as compared to the Delta variant and the differences in the two populations.
Methods: A cross-sectional observational study on 76 patients with heart disease who were infected by Omicron and Delta variant of COVID-19 underwent spirometry and blood sampling for soluble ST levels at the Outpatient clinic in 12 weeks after confirmed negative. Statistical analysis will be performed to find out the association between soluble ST2 levels in the Omicron variant compared to Delta and impairment of lung function using spirometry and the difference in the outcomes of the two variants.

 

Results: From 76 study subjects, the proportion of survivor of Omicron variant was higher than Delta (53 versus 23), with differences in the proportion of patients with heart failure, coronary artery disease, recipients of vaccine and acute respiratory distress syndrome on admission. Soluble ST2 levels (p=0.026, OR 1.01 (95% CI 1.00-1.01)) and heart failure (p=0.019, OR 6.07 (95% CI 1.34-27.47)) have a significant association to abnormal spirometry pattern, especially the restrictive pattern in the Omicron variant, however this relationship may be weak and the clinical implication might be insignificant.

Conclusion: The results of this study indicate that soluble ST2 levels, although weak, may have an association with spirometry abnormalities in COVID-19 survivors, but these findings may be limited by differences in each population and study design.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ines Vidal Tanto
"Latar Belakang : Infeksi COVID-19 dewasa ini telah diketahui memiliki implikasi jangka panjang meski periode akut telah tertangani, suatu fenomena yang dinamakan long COVID syndrome atau sindrom pasca COVID-19. Patofisiologi dari kejadian ini masih belum diketahui dengan jelas. Studi melaporkan bahwa sindrom pasca COVID-19 melibatkan beberapa organ, diantaranya adalah sistem kardiovaskular. Pemeriksaan nilai LV GLS dan RV LS pada ekokardiografi dinilai akurat dalam mendeteksi disfungsi miokard dan fibrosis endomiokardial. Selain itu, hingga saat ini, data mengenai faktor-faktor saat admisi sebagai prediktor terhadap kejadian sindrom pasca COVID-19 masih terbatas.
Tujuan : Mengetahui nilai parameter ekokardiografi LV GLS dan RV LS sebagai penanda disfungsi miokard dan fibrosis jantung serta mengidentifikasi faktor-faktor saat admisi yang berpengaruh terhadap kejadian sindrom pasca COVID-19.
Metode : Penelitian ini adalah deskriptif-analisis menggunakan metode potong lintang. Pemilihan subjek dilakukan dengan metode consecutive sampling. Pemeriksaan ekokardiografi termasuk pemeriksaan global longitudinal strain (GLS) dilakukan oleh dua orang observer 4 bulan pasca perawatan rumah sakit. Selanjutnya, analisis multivariat berupa regresi linear dilakukan untuk mengetahui faktor admisi yang berpengaruh terhadap perbedaan nilai GLS pada kelompok penelitian.
Hasil : 100 subjek dengan komorbiditas kardiovaskular dan riwayat COVID-19 memenuhi kriteria dan syarat penelitian. Ditemukan nilai penurunan nilai LV-GLS pada kelompok ini. Subjek dengan komorbiditas kardiovaskular tanpa riwayat COVID-19 (n=31, kontrol 1) yang telah melalui proses matching berdasarkan usia, gender, dan faktor resiko, serta subjek sehat (n-31, kontrol 2) sebagai pembanding validitas GLS. Terdapat perbedaan signifikan rerata nilai LV GLS antar 3 kelompok (p<0.05, rerata ±SB -16.17 ± 3.379, -19.48 ± 1.141, -21.48 ± 1.777 berturut-turut untuk kelompok kasus, kontrol 1, kontrol 2), dengan nilai paling rendah pada kelompok kasus. Faktor saat admisi yaitu status CAD memiliki hubungan yang signifikan (p 0.038) dengan penurunan LV GLS pada pasien post covid-19 dengan komorbid kardiovaskular.
Kesimpulan : Terdapat penurunan nilai LV GLS yang signifikan pada sindrom pasca COVID-19 disertai komorbiditas kardiovaskular. CAD merupakan prediktor penurunan fungsi maupun fibrosis jantung sebagai manifestasi sindrom pasca COVID-19.

Background : Recently, COVID-19 infection has been known to have a longer implication, even after the initial acute phase has been managed, a phenomenon termed as long COVID syndrome or “sindroma pasca COVID-19”. The exact pathophysiological mechanism of this event is still unknown. Previous studies reported that long COVID syndrome involves multiple organs, one of which is the cardiovascular system. Measurement of echocardiography LV GLS and RV LS values are reported to be accurate to detect myocardial dysfunction and endomyocardial fibrosis. Moreover, up until now, data regarding admission factors as predictors for long COVID syndrome incidences are still limited.
Objective : Assessing echocardiography LV GLS and RV LS values as a marker for myocardial dysfunction and heart fibrosis and identifying admission factors which may predict the incidence of long COVID syndrome
Methods : This is an observational study with a cross-sectional using a consecutive sampling method. Echocardiography including global longitudinal strain (GLS) measurement was done by two examiners 3 months after initial hospitalization. Multivariate analysis linear regression was subsequently used to investigate admission factors which are associated with differences in GLS measurement.
Results : Total of 100 subjects with cardiovascular comorbidities and prior COVID-19 infection were enrolled. Echocardiography examination showed lower GLS values in this group compared to the normal population. Age, sex and risk factors-matched subjects with cardiovascular comorbidity without a history of COVID-19 (n=31, Control 1) and healthy subjects (n-31, Control 2) were subsequently used as comparisons to validate GLS results. There were significant differences in LV-GLS levels between the three groups, with the lowest values measured in the case group (p<0.05, mean ±SD -16.17 ± 3.379, -19.48 ± 1.141, -21.48 ± 1.777 respectively for case, control 1, and control 2 groups). A history of coronary artery disease upon admission was found to be associated with decreased LV GLS values in recovered COVID-19 patients with cardiovascular comorbidity.
Conclusion : LV GLS values significantly decrease in long COVID syndrome with cardiovascular comorbidities. Having a previous history of CAD upon admission may serve as predictors of deteriorated functions or heart fibrosis as manifestations of long COVID syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martiningsih
"ABSTRAK
Penyakit kardiovaskular (PKV) adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah. PKV dapat dicegah terutama pada kelompok berisiko, diantaranya dengan penilaian risiko menggunakan Framingham Risk Score (FRS). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis risiko PKV dan korelasinya dengan Ankle Brachial Index (ABI) dan obesitas pada peserta Prolanis di Kota Bima. Pengambilan data menggunakan instrumen Framingham Risk Score, pengukuran tekanan darah, indeks massa tubuh, lingkar lengan, dan lingkar perut. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross-sectional. Pemilihan sampel ditentukan secara consecutive sampling pada semua responden yang aktif mengikuti kegiatan Prolanis dan memenuhi kriteria inklusi di lima Puskesmas di Kota Bima tahun 2018. Analisis data dengan uji parametrik Spearman. Hasil penelitian menunjukkan kelompok risiko tinggi 33 orang (40,7%), risiko sedang 28 orang (34,6%), dan risiko rendah 20 orang (24,7%). Tidak terdapat korelasi antara risiko PKV dengan ABI dan obesitas. Temuan lain dalam penelitian ini mengindikasikan adanya korelasi antara risiko PKV dengan subvariabel obesitas sentral walaupun tidak ditemukan adanya signifikansi (p> 0,05). Pada penelitian selanjutnya, disarankan jumlah sampel yang lebih banyak di komunitas dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang berimbang.

ABSTRACT
Risk of Cardiovascular Disease at Chronic Disease Management Program Participants in The Community Health Centers of Bima Town: The Correlation with Ankle Brachial Index and Obesity. Cardiovascular disease (CVD) is a disease caused by impaired heart and blood vessel function, which can be prevented, especially in risk groups that can be risk assessed using the Framingham Risk Score (FRS). The purpose of this study was to analyze the risk of CVD and the correlation with ABI and obesity in Prolanis participants at Bima City. Data collection was done by using the instrument FRS and measuring systolic blood pressure, body mass index, arm circumference, and waist circumference. This study was a descriptive-analytic study with a cross-sectional design. The sample selection was determined by consecutive sampling for all respondents who actively participated in Prolanis activities and fulfilled the inclusion criteria in five community health center at Bima City in 2018. Data analyzed with Spearmen parametric test. The results of research showed high risk group was 33 peoples (40.7%), moderate risk was 28 peoples (34.6%), and low risk was 20 peoples (24.7%). There was no correlation between risk of CVD with ABI and obesity. Other findings in this study indicate a correlation between CVD risk and subvariable central obesity, although no significance was found (p> 0.05). In further research, it is recommended that a larger number of samples in the general community with a balanced proportion of men and women.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
610 JKI 22:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>