Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adisty Safitri
"Artikel ini membahas fenomena third wave coffee pada kedai kopi di Jakarta. Studi-studi mengenai konsumsi kopi sebelumnya banyak berfokus pada kopi retail second wave coffee dan pengaruh brand terhadap konsumsi kopi para konsumernya. Artikel ini berfokus pada third wave coffee yang ditandai dengan jumlah kedai kopi dan konsumernya. Third wave coffee menjadi kultur kaum muda karena kopi tidak hanya befungsi sebagai komoditas untuk di konsumsi, namun pemahaman akan kopi itu sendiri menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kaum muda sebagai konsumer. Dalam konteks ini, taste dan distingsi menjadi unsur penting dalam konsumsi. Artikel ini melengkapi kajian sebelumnya melalui third wave coffee dan implikasinya bagi kultur kaum muda. Penulis berargumen bahwa taste dan distingsi yang melekat dalam konsumsi third wave coffee berkontribusi tehadap pembentukan kultur kaum muda di Jakarta. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data dari hasil studi literatur, observasi, dan wawancara mendalam pada konsumer, pekerja, dan pemilik kedai kopi third wave coffee.

This article discusses the phenomenon of third wave coffee at coffee shop in Jakarta. Previous studies about coffee consumption focused much on retail coffee second wave coffee and brand influence on coffee consumption of its customers. This article focuses on third wave coffee that marked by the number of coffee shops and consumers. Third wave coffee is a youth culture because coffee not only serves as a commodity for consumption, but the understanding of coffee itself becomes an unattached part of young people as consumers. In this context, taste and distinction are important elements of consumption. This article complete the previous study through third wave coffee and its implications for youth culture. Researchers argue that taste and distinction inherent in third wave coffee consumption contribute to the formation of youth culture in Jakarta. This article uses a qualitative method by collecting data from the results of literature studies, observations, and in-depth interviews on consumers, workers, and owners of third wave coffee shops.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Sutedi
"Studi ini meneliti gaya hidup, budaya “ngopi” di coffee shop, dan identitas di kalangan generasi Z sebagai konsumer coffee shop di Kota Jakarta. Beberapa tahun terakhir, konsumsi kopi di coffee shop telah berkembang menjadi suatu fenomena global yang mencerminkan gaya hidup masyarakat perkotaan dan konsumerisme. Dalam fenomena ini, generasi Z memainkan peran sentral dengan turut memproduksi makna dan praktik konsumsi kopi di coffee shop sehingga membentuk identitas dalam masyarakat perkotaan. Studi-studi sebelumnya mengenai konsumsi kopi di coffee shop pada generasi Z telah banyak membahas terkait bagaimana kaum muda menggunakan coffee shop sebagai ruang sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam studi ini, konsumerisme dan taste menjadi unsur penting dalam mengkaji gaya hidup generasi Z dalam budaya “ngopi” di coffee shop yang dapat merepresentasikan identitas di kalangan mereka. Peneliti berargumen bahwa aspek simbolis dan taste dalam budaya “ngopi” di coffee shop berperan terhadap pengukuhan gaya hidup dan identitas kelas menengah kaum muda di perkotaan. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data dari studi literatur, wawancara mendalam, dan observasi partisipan terhadap konsumer kopi di coffee shop di Jakarta.

This study examines the lifestyle and culture of consuming coffee in coffee shops and the identity of Generation Z as coffee shop consumers in Jakarta. In recent years, coffee consumption in coffee shops has evolved into a global phenomenon reflecting urban lifestyle and consumerism. In this phenomenon, Generation Z plays a central role by producing meaning and coffee consumption practices in coffee shops, thereby shaping identity in urban society. Previous studies on coffee consumption in coffee shops among Generation Z have extensively discussed how young people use coffee shops as social spaces in their daily lives. In this study, consumerism and taste become crucial elements in examining Generation Z's lifestyle in the culture of consuming coffee in coffee shops that can represent identity among them. The researcher argues that symbolic aspects and taste in the culture of consuming coffee in coffee shops play a role in reinforcing the lifestyle and identity of the urban middle-class youth. This study uses a qualitative approach with data collection from literature studies, in-depth interviews, and participant observations of coffee shop consumers in Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Octaviani
"ABSTRAK
Mobilisasi pengumpulan dana sebagai wujud perilaku prososial, yang dilakukan melalui media sosial dan platform crowdfunding online semakin marak ditengah masyarakat yang semakin rasional khususnya di perkotaan. Hal ini menarik karena di sisi lain solidaritas sosial dalam urbanized society justru merenggang. Berbagai penelitian mengenai perilaku prososial dilatari pada perspektif psikologi sosial yang berfokus pada faktor internal individu seperti motivasi, altruisme dan empati. Studi sebelumnya tidak menggunakan konteks media sosial dan platform crowdfunding online. Berbeda dengan penelitian terdahulu, studi ini menekankan bagaimana peran teknologi di dalam perilaku prososial khususnya masyarakat perkotaan yang akrab dengan teknologi. Studi ini dilakukan pada 85 responden di Jakarta. Sampel penelitian dijaring secara snowball. Temuan dalam studi ini bahwa ternyata masyarakat urban kurang memiliki kecenderungan berperilaku prososial dalam menyumbang melalui media sosial dan platform crowdfunding online meski pemanfaatan teknologi digital menjadi keseharian mereka.

ABSTRACT
Mobilization of fundraising as a form of prosocial behavior, conducted through social media and crowdfunding online platform increasingly rampant amid increasingly rational society, especially in urban areas. This is interesting because on the other hand social solidarity in urbanized society is stretched. Various studies on prosocial behavior are based on a social psychology perspective focusing on individual internal factors such as motivation, altruism and emphathy. Previous studies did not use the context of social media and crowdfunding online platform. Unlike previous research, this study emphasizes how the role of technology in prosocial behavior, especially urban communities are familiar with technology. This study was conducted on 85 respondents in Jakarta. The study sample was collected by snowball. The findings in this study show that urban communities lack the tendency of prosocial behavior to donate through social media and crowdfunding online platforms despite the utilization of digital technology into their daily lives."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 20187
T50194
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Ananggadipa Haryono
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hal yang dilakukan oleh seorang biseksual setelah melewati terjadinya proses coming out kepada lingkungan sekitarnya. Penelitian ini berangkat dari konsep agensi yang dikemukakan oleh Archer yang mengartikan agensi sebagai refleksi bagi seseorang untuk bisa mengembangkan dirinya. Konsep agensi yang digunakan adalah transformative agency yang diartikan sebagai adanya pertemuan antara agensi dan struktur, di mana agensi ini mempunyai kemampuan untuk berstrategi menghadapi struktur yang ada setelah adanya interaksi sosial dengan agen lainnya. Penelitian ini beragumen bahwa setelah melakukan proses coming out, agensi ini menghadapi konsekuensi yang ada karena struktur heteronormatif, sehingga individu-individu biseksual ini ada keinginan untuk bisa menegosiasi struktur heteronormatif dalam menghadapi penolakan, stigma, dan menjalani identitas sebagai biseksual. Temuan penelitian ini membuktikan bahwa seorang biseksual belum bisa menggunakan kemampuan sepenuhnya sebagai transformative agency untuk mengubah struktur heteronormatif yang ada. Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam.

This study aims to explain what a bisexual person is going to do after they coming out to the people around them. This study is based on the concept of agency by Archer who describe agency as a reflection of a person to develop themselves. The concept of agency that used in this study is transformative agency, when agency and structure meets and develop a capability to make a strategy to confront the structure in some environment after the social interaction is happening with another agents. This study argues that after the process of coming out, the agency of bisexual people is going to dealt with some consequences because of the existence of heteronormative structure in their everyday life. Therefore, a bisexual person have a power to negotiate the heteronormative structure when they dealt with rejection, facing some stigma about bisexual people and also build their bisexual identity. This study confirms that a bisexual person can not use their full potential as a transformative agency to negotiate or change the heteronormative structure. This study used qualitative approaches with in depth interview method."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadamega Dara Azzaria
"Artikel ini membahas tentang fenomena Korean Wave dan dampaknya terhadap remaja di Indonesia. Korean Wave adalah fenomena yang menggambarkan bagaimana arus budaya pop Korea mendunia sejak akhir 1990 dan mulai menjamah Indonesia pada tahun 2002. Tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi dan internet membuat budaya ini lebih cepat berkembang dan tersebar luas. Ia bahkan mampu menggeser popularitas budaya populer lain dan memperoleh banyak penggemar. Selama satu dekade, Korean Wave berhasil menunjukkan dan mempertahankan eksistensinya di mata masyarakat, khususnya pada kalangan generasi muda. Hal ini tercermin dari kemunculan tren-tren Korea di kalangan remaja Indonesia, yang menunjukkan bagaimana gaya hidup sosial dan ekonomi mereka terbentuk akibat kehadiran budaya pop ini. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan mengumpulkan studi literatur, berita-berita sezaman, dan wawancara remaja penggemar Korea yang berdomisili Jakarta sebagai pendukung penelitian.

This article discusses the Korean Wave phenomena and its impact to Indonesian teenagers. Korean Wave phenomena describes how Korean pop culture started to globalize at the end of 1990s and reached Indonesia in 2002. Growing in parallel with internet and advances in technology, this tide expanded faster and wide spread. It was able to exceed the other popular culture and gain many fans. For a decade, Korean Wave had shown and maintained its existence in the public rsquo s eyes, specifically among young generations. This is reflected by the emergence of Korean trends amid Indonesian rsquo s youths and how Korean culture has influenced their social and economic lifestyle. This article used historical method including literature studies, primary resource, and interviews with Korean fans living in Jakarta as supporting data. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mimandita Atsari
"Artikel ini membahas bagaimana budaya otaku sebagai sebuah budaya populer visual Jepang dikonsumsi oleh kaum muda di Jakarta. Budaya ini juga direproduksi melalui identifikasi diri mereka. Studi ini menggunakan kerangka berpikir industri budaya oleh Adorno dan Horkheimer. Peneliti berargumen bahwa budaya otaku anime, manga, dan video games bekerja sebagai mass consumption dengan menawarkan fungsi image creation atau fantasi akan dunia. Hal ini mendukung bekerjanya industri budaya sebagaimana digambarkan oleh Adorno dan Horkheimer. Temuan data menunjukkan bahwa budaya otaku, di satu sisi mendukung prinsip bekerjanya industri budaya, namun di sisi lain memunculkan kapasitas agensi melalui tiga tahap pengidentifikasian otaku dan reproduksi narasi dari para penggemarnya. Ditemukan pula bahwa budaya otaku mampu menjadi budaya populer yang bersifat transnasional karena memenuhi kebutuhan sosial kaum muda yang berbeda latar belakang kebangsaan. Budaya otaku menjadi suatu hal yang dekat dalam kehidupan sebagian kaum muda yang menemani mereka menuju kedewasaan.

This article discusses how otaku culture as a Japanese visual popular culture is consumed by youths in Jakarta. This culture is also reproduced through self identification. It is argued that otaku culture anime, manga, and video games works to generate mass consumption by offering an image creation or fantasy function. This supports how culture industry works as explained by Adorno and Horkheimer. It is found that otaku culture, on one side supports the principal function of culture industry, but on the other creates a capacity of agency through three stages of otaku identification and reproduction of narratives by its fans. It is also found that otaku culture can become a transnational popular culture for its function that mediates social needs of particular youths with different national backgrounds. Otaku culture becomes a close matter in the lives of particular youths that accompanies them as they grow into adulthood.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mimandita Atsari
"ABSTRAK
Artikel ini membahas bagaimana budaya otaku sebagai sebuah budaya populer visual Jepang dikonsumsi oleh kaum muda di Jakarta. Budaya ini juga direproduksi melalui identifikasi diri mereka. Studi ini menggunakan kerangka berpikir industri budaya oleh Adorno dan Horkheimer. Peneliti berargumen bahwa budaya otaku anime, manga, dan video games bekerja sebagai mass consumption dengan menawarkan fungsi image creation atau fantasi akan dunia. Hal ini mendukung bekerjanya industri budaya sebagaimana digambarkan oleh Adorno dan Horkheimer. Temuan data menunjukkan bahwa budaya otaku, di satu sisi mendukung prinsip bekerjanya industri budaya, namun di sisi lain memunculkan kapasitas agensi melalui tiga tahap pengidentifikasian otaku dan reproduksi narasi dari para penggemarnya. Ditemukan pula bahwa budaya otaku mampu menjadi budaya populer yang bersifat transnasional karena memenuhi kebutuhan sosial kaum muda yang berbeda latar belakang kebangsaan. Budaya otaku menjadi suatu hal yang dekat dalam kehidupan sebagian kaum muda yang menemani mereka menuju kedewasaan.

ABSTRACT
This article discusses how otaku culture as a Japanese visual popular culture is consumed by youths in Jakarta. This culture is also reproduced through self identification. It is argued that otaku culture anime, manga, and video games works to generate mass consumption by offering an image creation or fantasy function. This supports how culture industry works as explained by Adorno and Horkheimer. It is found that otaku culture, on one side supports the principal function of culture industry, but on the other creates a capacity of agency through three stages of otaku identification and reproduction of narratives by its fans. It is also found that otaku culture can become a transnational popular culture for its function that mediates social needs of particular youths with different national backgrounds. Otaku culture becomes a close matter in the lives of particular youths that accompanies them as they grow into adulthood."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alif Pratama
"Penelitian ini membahas mengenai kedai kopi sebagai salah satu budaya perkotaan di Kota Bekasi, Jawa Barat. Kehadiran Kedai kopi di perkotaan dipengaruhi dengan digitalisasi dan penciptaan ruang publik perkotaan, lalu dengan jadwal aktivitas perkotaan yang padat dan kebutuhan akan tempat rekreasi, relaksasi dan hiburan untuk tetap produktif dan fleksibel. Dengan begitu kedai kopi menjadi tempat ketiga yang dibutuhkan masyarakat perkotaan, dengan berbagai fasilitas, suasana, lingkungan dan interaksi sosial yang diperlukan. Penelitian ini dilakukan pada beberapa kedai kopi di Kota Bekasi, seperti Cotta Coffee, Fwb Coffee dan Kopi Prijaji dengan menggunakan metode etnografi dengan nongkrong langsung dan wawancara kepada pelanggan dan barista kedai kopi dan juga studi pustaka. Dalam penelitian ini menggambarkan budaya perkotaan yang ter manifestasikan ke dalam sebuah kedai kopi dengan melihat pola-pola interaksi didalamnya dan menganalisis pemikiran kedai kopi sebagai tempat ketiga.

This study discusses coffee shops as one of the urban cultures in Bekasi City, West Java. The presence of coffee shops in Indonesia is influenced by digitalization and creating urban public spaces, then with the busy schedule of urban activities and the need for recreation, relaxation and entertainment places to stay productive and flexible. That way the coffee shop becomes the third place needed by urban communities, with various facilities, atmosphere, environment and social interaction needed. This research was conducted in several coffee shops in Bekasi City, such as Cotta Coffee, Fwb Coffee and Prijaji Coffee using the ethnographic method by hanging out directly and interviewing customers and coffee shop baristas as well as literature study. This study describes urban culture that is manifested in a coffee shop by looking at the patterns of interaction in it and analyzing the thinking of a coffee shop as a third place."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Igor Hermando
"Hiperrealitas kerap direpresentasikan dalam bentuk produk hiburan seperti, taman bermain, film, dan karya seni. Selain dalam produk hiburan hiperrealitas juga terjadi pada institusi agama. Institusi agama yang dimaksud adalah salah satu megachurch di Jakarta yang diminati oleh jemaat kaum muda kelas menengah atas. Berbeda dengan gereja arus utama, gereja tersebut memiliki berbagai karakteristik yang mendukung konsumerisme, dan terbentuknya hiperrealitas.
Beberapa studi sebelumnya membahas mengenai komodifikasi produk simbolis namun dalam artikel ini penulis menganalisis simulakra dan proses simulasi melalui ideologi khotbah, artis simbol gereja, oleh para petugas gereja setempat, fasilitas gereja seperti alat musik.
Dalam artikel ini penulis berargumen bahwa salah satu megachurch di Jakarta adalah sebuah hiperrealitas yang menawarkan produk simbolis untuk dikonsumsi oleh jemaat yang dapat memberikan efek kepuasan simbolis kepada jemaat secara khusus kaum muda. Dalam tulisan ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai sembilan informan yang merupakan jemaat salah satu megachurch di Jakarta.

Beside the entertaiment world, hyperreality is also practised in the religious institution. Religious institution is megachurch in Jakarta that is attended by middle-upper class youth. Unlike the mainline church, the megachurch has various characteristics that support consumerism, and the formation of hyperreality. Previous studies have discussed the commodification of symbolic products.
This study focuses on the commodification of religion by analyzing simulacra and simulation processes through ideology sermons, artists church symbols, by local church officials, church facilities such as musical instruments.
This article argues that the megachurch in Jakarta regulates hyperreality by offering symbolic products to congregation. The congregation provides symbolic satisfactions towards the youth. In this paper, the researcher applies a qualitative approach by interviewing nine informers who are part of the megachurch congregation
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
David, Abe
Sutherland: Left Books Club, 1989
337.940 DAV t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>