Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110277 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gita Ayu Chitrasmara
"Latar belakang dan tujuan : Nodul tiroid banyak ditemukan pada populasi dewasa. Kebanyakan merupakan lesi jinak yang tidak memerlukan tindakan lanjutan, namun 7-15% dapat ganas. Modalitas paling sensitif untuk evaluasi adalah ultrasonografi (USG), namun untuk memastikan jenis nodul tetap diperlukan diagnosis invasif dengan lini pertama yaitu pemeriksaan sitopatologi dengan fine needle aspiration biopsy (FNAB). Saat ini berkembang elastografi untuk menilai kekakuan jaringan, dengan teori semakin ganas nodul maka semakin padat jaringan dan elastisitas berkurang. Elastografi kualitatif menggunakan skoring dengan kriteria Rago berdasarkan warna nodul yang semakin gelap dengan meningkatnya kepadatan. Diharapkan elastografi dapat menjadi tambahan untuk evaluasi nodul tiroid. Tujuan penelitian untuk mengetahui kesesuaian antara pemeriksaan strain elastografi kualitatif kriteria Rago dengan hasil sitopatologi.
Metode : Uji kesesuaian menggunakan data primer elastografi nodul tiroid berdasarkan sistem skoring Rago dengan hasil sitopatologi berdasarkan klasifikasi Bethesda, dengan desain potong lintang (cross sectional), di RSCM bulan Juli-Agustus 2018. Subjek penelitian adalah 39 nodul yang dikategorikan menjadi benign, intermediate, dan malignant. Analisis statistik menggunakan uji McNemar dan Kappa.
Hasil : Didapatkan kesesuaian antara hasil strain elastografi dengan FNAB dengan hasil McNemar test p=0,214, nilai Kappa R=0,52 dan p=0,000.
Kesimpulan : Terdapat kesesuaian antara elastografi menggunakan sistem skoring kategori Rago dengan sitopatologi dengan tingkat kesesuaian moderate sehingga elastografi dapat menjadi pemeriksaan tambahan untuk evaluasi nodul tiroid.

Introduction : Thyroid nodule is common condition in adult populations, which mostly are benign. Nevertheless, malignancy can be found in 7-15% nodules. The most sensitive modality to evaluate thyroid nodule is ultrasonography (USG), although invasive examination is still necessary to confirm benignity or malignancy with first line is cytopathology with fine needle aspiration biopsy (FNAB). Elastography is developed to asses tissue elasticity, with theory that higher malignancy the cells are denser and elasticity is decreasing. In qualitative elastography there is Rago scoring system criteria based on colors appearing in nodules which darker as nodule grows denser. Elastography may become additional examination to evaluate thyroid nodules. The objective of this research is to acknowledge the concordance between qualitative strain elastography and cytopathology result.
Methods : This research is suitability test using primary data of thyroid nodules elastography and cytopathology results in RSCM between July to August 2018. The design is cross sectional. The subjects are 39 nodules and every nodule is grouped into three categories which is benign, intermediate, and malignant. Statistical analysis is performed using McNemar and Kappa test.
Result : Concordance can be found between scoring system strain elastography with FNAB results with McNemar test p=0,214, Kappa R=0,52 and p=0,000.
Conclusion : There is concordance between scoring system strain elastography using Rago criteria with FNAB results with moderate level of agreement. Thus, elastography can be used as additional examination to evaluate thyroid nodules.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Utomo
"Pendahuluan: Ultrasonography adalah modalitas radiologis terpilih untuk mendeteksi dan evaluasi gambaran morfologis nodul tiroid. Thyroid Imaging Reporting and Data System (TIRADS) adalah sistem untuk mengevaluasi resiko keganasan nodul tiroid, yang diajukan pertama oleh Horvath et al. Terdapat berbagai variasi sistem TIRADS diajukan oleh peneliti - peneliti lain. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian untuk mengevaluasi penerapan atau nilai diagnostik sistem TIRADS di indonesia.
Metode: Penelitian diagnostik dengan pendekatan potong lintang menggunakan evaluasi retrospektif data USG dan histopatologis untuk mengetahui kesesuaian sistem TIRADS dibandingkan pemeriksaan histopatologis pada nodul tiroid.
Hasil: Terdapat hubungan kesesuaian (p=0.065) antara hasil TIRADS dan hasil histopatologis nodul tiroid. Sistem TIRADS memberikan nilai sensitivitas 96,4%, nilai spesifisitas 83.0%, nilai prediksi positif 85,7%, dan nilai prediksi negatif 95,7%.
Kesimpulan: Sistem TIRADS dapat diterapkan pada evaluasi dan pelaporan hasil USG tiroid dengan memiliki nilai diagnostik yang baik.

Introduction: Ultrasonography is the modality of choice to detect, and to evaluate the morphology of thyroid nodule. Thyroid Imaging Reporting and Data System (TIRADS) is a system to evaluate risk of malignancy of thyroid nodule first proposed by Horvath et al. There are various TIRADS system proposed by other authors. Until the writing of this study there is not yet found a study to evaluate implementation and diagnostic value of TIRADS system in indonesia.
Methods: Diagnostic study with cross sectional approach using retrospective evaluation of ultrasonography data and histopathology data to evaluate conformity relationship between TIRADS and histopathological result of thyroid nodule.
Results: There is comparable result (p=0.065) between TIRADS result and histopathological result of thyroid nodule.
Conclusion: The TIRADS system resulted in 96,4% sensitivity, 83.0% specificity, 85,7% positive predictive value, dan 95,7% negative predictive value.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sumampouw, Marshal
"Latar Belakang: Peningkatan kasus kanker tiroid belakangan ini menimbulkan pertanyaan tentang overdiagnosis. ACR-TIRADS merupakan sistem stratifikasi yang dikembangkan untuk mengurangi overdiagnosis dalam mendeteksi kanker tiroid dengan menggunakan ultrasonografi. AI-TIRADS merupakan modifikasi baru dari ACR-TIRADS yang diklaim memiliki nilai diagnostik yang lebih baik, namun AI-TIRADS belum pernah diuji pada populasi Indonesia. Tujuan: Peneliti ingin mengetahui apakah AI-TIRADS memang benar lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS dalam menentukan keganasan suatu nodul tiroid. Metode: Penelitian ini mengevaluasi 124 nodul tiroid yang terdiri atas 62 nodul jinak dan 62 nodul ganas berdasarkan ACR-TIRADS dan AI-TIRADS. Setiap penentuan keganasan didasarkan dari lima kategori yang dipakai oleh TIRADS (komposisi, ekogenisitas, bentuk, tepian dan fokus ekogenik). Hasil temuan kedua sistem stratifikasi risiko ini kemudian dibandingkan nilai diagnostiknya dengan pemeriksaan sitopatologi berdasarkan kriteria Bethesda. Hasil: AI-TIRADS secara umum menunjukkan nilai diagnostik yang lebih baik daripada ACR-TIRADS. Tingkat kesesuaian AI-TIRADS terhadap pemeriksaan sitopatologi lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS (0,387 dan 0,242). Spesifisitas AI-TIRADS lebih baik (58,06% vs 41,94%; p< 0,00) dibandingkan ACR-TIRADS, namun sensitivitas AI-TIRADS sedikit lebih rendah dibandingkan ACR-TIRADS (80,65% vs 82,26%; p<0,00). AI-TIRADS juga memiliki nilai duga positif dan nilai duga negatif yang lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS (AI-TIRADS: 65,79% dan 75% vs ACR-TIRADS: 58,62% dan 70,27%). Kesimpulan: AI-TIRADS memiliki nilai diagnostik yang lebih baik dan dapat mengurangi jumlah positif palsu, namun AI-TIRADS masih memiliki kesulitan dalam mendeteksi keganasan pada nodul tiroid yang padat kistik. Diperlukan pengembangan lebih lanjut dari AI-TIRADS untuk meningkatkan kemampuan diagnostik dalam menentukan keganasan nodul tiroid, khususnya pada nodul padat kistik.

Background: The recent increase in thyroid cancer cases has raised questions about overdiagnosis. ACR-TIRADS is a risk stratification system developed to reduce overdiagnosis in thyroid cancer detection using ultrasound. AI-TIRADS is a recent modification of ACR-TIRADS claimed to have better diagnostic value, but it has not been tested in the Indonesian population. Objective: The author aimed to determine whether AI-TIRADS is indeed superior to ACR-TIRADS in assessing the malignancy of thyroid nodules. Methods: This study evaluated 124 thyroid nodules, consisting of 62 benign and 62 malignant nodules, based on ACR-TIRADS and AI- TIRADS. Malignancy determinations were based on five categories used by TIRADS (composition, echogenicity, shape, margins, and echogenic foci). The findings of both risk stratification systems were then compared with their diagnostic values in cytopathological examinations based on Bethesda criteria. Results: AI- TIRADS, in general, demonstrated superior diagnostic value compared to ACR- TIRADS. The concordance rate of AI-TIRADS with cytopathological examinations was better than that of ACR-TIRADS (0.387 and 0.242). AI-TIRADS exhibited better specificity (58.06% vs. 41.94%; p < 0.00) compared to ACR-TIRADS, although AI-TIRADS had slightly lower sensitivity (80.65% vs. 82.26%; p < 0.00) compared to ACR-TIRADS. AI-TIRADS also had better positive predictive values and negative predictive values (AI-TIRADS: 65.79% and 75% vs. ACR-TIRADS: 58.62% and 70.27%). Conclusion: AI-TIRADS has better diagnostic value and managed to reduces the number of false positives. However, AI-TIRADS still faces challenges in detecting malignancy in solid cystic thyroid nodules. Further development of AI-TIRADS is needed to enhance its diagnostic capabilities in determining the malignancy of thyroid nodules, especially in solid cystic nodules."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ifni Nursam
"Latar belakang: Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas utama untuk evaluasi nodul tiroid. Dependensi operator yang tinggi membuat nilai diagnostik USG relatif rendah terutama bagi operator yang minim pengalaman. Computer Aided Diagnosis (CAD) merupakan sistem terkomputerisasi yang mampu melakukan penilaian USG nodul tiroid dengan objektif, konsisten dan diharapkan dapat meningkatkan akurasi diagnostik USG dalam penilaian nodul tiroid. AmCAD adalah aplikasi CAD untuk penilaian nodul tiroid yang sudah tersedia saat ini, namun belum ada data mengenai penggunaan AmCAD di Indonesia, sehingga diperlukan penelitian untuk melihat kesesuaian penilaiannya dengan kriteria penilaian yang selama ini sudah digunakan Tujuan: Menilai kesesuaian AmCAD dan ACR TI-RADS dalam menentukan nodul jinak dan ganas tiroid berdasarkan gambaran USG. Metode: Data sekunder hasil USG pasien dengan nodul tiroid di Departemen Radiologi RSCM dari tahun 2015-2019 dilakukan penilaian oleh peneliti sesuai kriteria ACR TI-RADS, kemudian gambar yang sama dilakukan penilaian terpisah menggunakan aplikasi AmCAD. Kesesuaian AmCAD dan ACR TI-RADS dalam menentukan nodul jinak dan ganas tiroid dianalisis. Hasil: Sampel penelitian ini sebanyak 85 nodul tiroid (jenis kelamin terbanyak wanita, rerata usia 49,8 ± 13,9 tahun). Hasil analisis menunjukkan AmCAD dan ACR TI-RADS memiliki kesesuaian yang baik dalam membedakan nodul jinak dan ganas tiroid berdasarkan gambaran USG dengan nilai konkordans 87,1 % , Kappa Cohen R 0,570 (p 0,001). Kesimpulan: AmCAD dan kriteria ACR TI-RADS memiliki kesesuaian yang baik dalam melakukan penilaian nodul tiroid.

Background: Ultrasonography (USG) is the main modality for evaluation of thyroid nodules. High operator dependency makes the diagnostic value of ultrasound relatively low especially for operators who lack experience. Computer Aided Diagnosis (CAD) is a computerized system that is able to carry out ultrasound assessment of thyroid nodules objectively, consistently and is expected to improve the diagnostic accuracy of ultrasound in the assessment of thyroid nodules. AmCAD is a CAD application for the assessment of thyroid nodules that are currently available, but there is no data regarding the use of AmCAD in Indonesia, so research is needed to see the appraisal of the assessment with the assessment criteria that have been used so far. Objective: Assess the suitability of AmCAD and ACR TI-RADS in determine benign and malignant thyroid nodules based on ultrasound images. Methods: Secondary data on the ultrasound results of patients with thyroid nodules in the Department of Radiology RSCM from 2015-2019 were assessed by researchers according to the ACR TI-RADS criteria, then the same image was assessed separately using the AmCAD application. The suitability of AmCAD and ACR TI-RADS in determining benign and malignant thyroid nodules was analyzed. Results: The sample of this study was 85 thyroid nodules (most female sex, mean age 49.8 ± 13.9 years). The results of the analysis showed that AmCAD and ACR TI-RADS were well-suited in distinguishing benign and malignant thyroid nodules based on ultrasound images with concordance values ​​of 87.1%, Kappa Cohen R 0.570 (p 0.001). Conclusion: AmCAD and ACR TI-RADS criteria are well-matched in assessing thyroid nodules."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Gumilang Koerniawan
"Latar Belakang: Kanker tiroid adalah keganasan yang paling sering terjadi pada sistem endokrin. Kanker tiroid yang paling sering terjadi adalah karsinoma tiroid papiler (KTP), dengan sebagian besar kasus dapat disembuhkan dengan angka kesintasan >95% selama 20 tahun. Namun, apabila terjadi kekambuhan, maka angka mortalitasnya yang meningkat. Skoring prognostik penting sebagai penentu pengobatan yang bertujuan untuk mengelompokkan pasien ke dalam kelompok risiko yang sesuai sehingga memungkinkan pasien untuk mendapatkan optimalisasi modalitas pengobatan. Skoring prognosis yang umum digunakan adalah skoring AMES, MACIS, dan AGES. Mutasi gen BRAF V600E dihubungkan dengan prognosis yang buruk karena persistensi dan kekambuhan penyakit. Suatu studi menambahkan pemeriksaan mutasi BRAF V600E kedalam skoring prognosis dan bermakna secara statistik sedangkan studi lainnya tidak memiliki kemaknaan secara statistik. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap pasien KTP di RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan data sekunder berupa status mutasi BRAF V600E dan data untuk mengkalkulasi skoring prognosis (Usia, USG preoperatif, CT-Scan atau MRI, data histopatologi, dan data laporan pembedahan). Parameter yang diukur meliputi proporsi dan hubungan antara mutasi BRAF V600E dengan skoring prognosis (AMES, MACIS, dan AGES). Hasil: Proporsi mutasi BRAF V600E pada skoring prognosis yaitu: Skoring AMES: High Risk: 71,4% dan Low Risk: 28,6%, Skoring MACIS: Skor ³ 8: 38,1%; Skor 7 – 7,99: 9,5%; Skor 6 – 6,99: 19%; dan Skor < 6: 33,3%, dan Skoring AGES: Skor ³ 6: 61,9%; Skor 5 – 5,99: 0%; Skor 4 – 4,99: 4,8%; dan Skor < 4: 33,3%. Analisis bivariat menunjukan mutasi BRAF V600E bermakna secara statistik dengan skoring MACIS dengan Odd Ratio (OR) 2,96 (p Value = 0,044, Confidence Interval (CI) 95% = 1,01 – 8,64), sedangkan skoring AMES dan AGES tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan: Mutasi BRAF V600E dengan hasil positif meningkatkan prognosis buruk pada skoring MACIS sebanyak 2,96 kali.

Introduction: Thyroid cancer is the most common malignancy of the endocrine system. The most common type of thyroid cancer is papillary thyroid carcinoma (PTC), and most cases are curable, with a 20-year survival rate of more than 95%. However, when it recurs, it has a high mortality rate. Prognostic scoring systems are important as treatment determinants that aim to classify patients into appropriate risk groups to optimize treatment modalities. Commonly used prognostic scoring systems are the AMES, MACIS, and AGES. Mutation of BRAF V600E is associated with a poor prognosis due to disease persistence and recurrence. One study added the BRAF V600E mutation to the prognosis scoring, and it was statistically significant, while another study showed no statistical significance. Methods: This study was a cross-sectional study of PTC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital using secondary data, such as BRAF V600E mutation status and data to calculate prognosis scoring systems. Parameters measured included the proportion and association between the BRAF V600E mutation and prognosis scoring systems (AMES, MACIS, and AGES). Results: The proportion of BRAF V600E mutations in prognosis scoring systems was as follows: AMES - High Risk: 71.4% and Low Risk: 28.6%; MACIS Scoring - Score ≥ 8: 38.1%; Score 7–7.99: 9.5%; Score 6–6.99: 19%; and Score < 6: 33.3%; and AGES - Score ≥ 6: 61.9%; Score 5–5.99: 0%; Score 4–4.99: 4.8%; and Score < 4: 33.3%. Bivariate analysis showed that the BRAF V600E mutation was statistically significant with MACIS scoring, with an Odd Ratio (OR) of 2.96 (p Value = 0.044, Confidence Interval (CI) 95% = 1.01–8.64), while AMES and AGES scoring were not statistically significant. Conclusion: A positive BRAF V600E mutation result increases the poor prognosis on MACIS scoring by 2.96 times."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
"Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya.
Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC.
Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8.
Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita.

Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them.
Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve.
Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8.
Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardyanto Florensius
"Latar Belakang: Indonesia menduduki urutan kedua terbanyak kasus karsinoma nasofaring (KNF) di dunia. CT masih menjadi modalitas awal untuk mendeteksi KNF. Akan tetapi gambaran CT pada KNF kadang sulit untuk dibedakan dengan nasofaringitis kronis (NFK) terutama jika ukuran tumor masih kecil. Texture analysis (TA) merupakan suatu metode matematika yang digunakan untuk menganalisis distribusi dan hubungan pixel gray level suatu gambar. TA banyak diteliti di bidang onkologi kepala dan leher untuk membedakan karakteristik tumor, jinak atau ganas, menilai respon terapi serta memprediksi prognosis pasien.
Metode: Studi komparatif dengan desain potong lintang. Terdapat 27 sampel KNF dan 18 sampel NFK yang dilakukan ROI pada regio tumor, kemudian dilakukan pengukuran nilai histogram yang terdiri dari mean, skewness, kurtosis dan nilai grey level co-occurencce matrix (GLCM) terdiri dari homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy. Nilai yang diperoleh dari kedua kelompok kemudian dibandingkan dengan menggunakan T-test atau Mann-Whitney U Test.
Hasil: Tidak didapatkan perbedaan signifikan secara statistik untuk mean (P = 0,098), kurtosis (P = 0,914), skewness (P = 0,775), Homogeinity (P = 0,943), Energy (P = 0,745), Contrast (P = 0,891), Correlation (P = 0,517), Entropy (P = 0,286) antara kelompok KNF dan NFK
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan signifikan dari nilai histogram (mean, skewness, kurtosis) dan nilai GLCM (homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy) antara kelompok KNF dan NFK.

Background: : Indonesia is the second country with most nasopharyngeal carcinoma (NPC) cases in the world. CT is still the initial modality for detecting NPC. However, CT imaging of NPC are sometimes difficult to distinguish from chronic nasopharyngitis (CNP), especially with small tumor size. Texture analysis (TA) is a mathematical method used to analyze the distribution and relationship of gray level pixels of an image. TA is widely studied in head and neck oncology to distinguish the characteristics of tumors, benign or malignant, assess response to therapy and predict patient prognosis.
Methods: This is a cross-sectional comparative study. There were 27 NPC samples and 18 CNP samples with ROI performed on the tumor region, then measured the histogram value consisting of mean, skewness, kurtosis and the gray level co-occurrence matrix (GLCM) consisting of homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy. The values between two groups were then compared using the T-test or the Mann-Whitney U Test.
Results: There were no statistically significant differences for mean (P = 0.098), kurtosis (P = 0.914), skewness (P = 0.775), Homogeinity (P = 0.943), Energy (P = 0.745), Contrast (P = 0.891), Correlation (P = 0.517), Entropy (P = 0.286) between NPC and CNP group.
Conclusion: There were no significant difference for histogram values (mean, skewness, kurtosis) and GLCM values (homogeinity, energy, contrast, correlation, entropy) between the NPC and NFK groups.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Irwan
"Sejak operasi kraniofaringioma pertama kali dilakukan oleh A.E.Halstead tahun 1908, selalu terjadi perdebatan di antara para ahli khususnya mengenai patologi dan terapi kraniofaringioma. Karena sifat tumor yang tumbuh secara lambat, maka dimungkinkan pengangkatan tumor secara total makroskopis. Posisi anatomisnya yang berdekatan dengan struktur penting, khususnya hipotalamus serta sifatnya yang menimbulkan perlekatan erat pada struktur tersebut, maka perlu hal tersebut menjadi pertimbangan sebelum melakukan tindakan pembedahan. Misalnya apakah akan dilakukan pengangkatan tumor secara total dengan kemungkinan terjadinya defisit neurologis pasca operasi atau dengan pengangkatan sebagian tumor dan dilanjutkan dengan terapi radiasi. Hasii akhir yang balk di antara semua metode yang pemah dicoba tetap saja masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa penulis telah membuktikan bahwa pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih balk dan angka rekurensi yang lebih rendah. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro di bidang bedah saraf, maka dimungkinkan pengangkatan tumor kraniofaringioma secara total.
Setiap kraniofaringioma mempunyai kekhususan tersendiri terutama mengenai letak tumor terhadap struktur di sekitarnya serta konsistensi massa tumornya, sehingga teknik pendekatan dan jalur anatomis untuk tindakan operasinya juga memerlukan strategi yang berbeda-beda untuk setiap kraniofaringioma. Untuk itu diperlukan pengetahuan topografi dan anatomi bedah mikro yang balk. Operator harus mengenal dan dapat memperkirakan secara akurat posisi tumor terhadap hipotalamus, jaras optik, sistem ventrikel serta arteri karotis bahkan arteri basilaris beserta cabangcabangnya. Tanpa pengetahuan dasar anatomi mikro yang memadai, tidak mungkin seorang ahli bedah saraf dapat menjadi operator yang handal khususnya pada operasi kraniofaringioma, yang merupakan salah satu golongan tumor yang sulit memberikan hasil yang baik.
Yasargil' pads sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam periode 22 tahun telah melakukan 144 operasi kraniofaringioma, dapat mengangkat seluruh tumor balk melalui sekali atau beberapa kali operasi. Setelah dilakukan evaluasi akhir disimpulkan bahwa tata laksana dengan pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih baik.
Sedangkan Tomita melakukan pengangkatan total pada 27 kasus kraniofaringiorna pada anak. empat kasus diantaranya tidak dapat dilakukan pengangkatan secara total karena terdapat perlekatan yang hebat pada hipotalamus, letak khiasma yang pre fixed disertai bentuk tumor yang bilobus, letak khiasma terlalu post fixed dan terjadi episodic bradikardi setiap kali dicoba membebaskan perlekatan tumor dari hipotalamus.
Tim E Adamson I meneliti 104 spesimen dari 93 penderita kraniofaringioma dan menyebutkan bahwa tipe adamantinous yang 91-95 % massa tumor terdiri dari komponen kistik, mempunyai defisit neurologis visual pasca operasi yang lebih rendah dibanding dengan tipe skuamous papilari Hanya hal tersebut tidak diteliti lebih lanjut apakah hasil yang lebih baik tersebut dikarenakan sifat tumornya yang mempunyai komponen terbanyak berbentuk kistik yang lebih mudah diangkat pada waktu operasi.
Penelitian ini mencoba melihat gambaran klinis pasien dengan kraniofaringioma sebelum dan sesudah operasi dalam kaitannya dengan ukuran tumor. Parameter keberhasilan pengangkatan tumor tersebut dibagi dalam pengangkatan sub total dan total. Dilakukan beberapa tabulasi silang untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut, antara Iain konsistensi tumor ( kistik dan solid ), massa kalsifikasi, teknik pendekatan operasi, dan sebagainya, mempengaruhi kesulitan pengangkatan tumor selama operasi. Walaupun tentunya disadari bahwa masih banyak faktor di luar hal tersebut yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan operasi, misalnya penguasaan pengetahuan dan teknik operasi, dukungan neuro anestesi dan perawatan paska operasi yang tidak dapat dideskripsikan dalam penelitian. Sampai saat ini belum ada yg menulis aspek Minis kraniofaringioma dengan tinjauan khusus pada penurunan visus di Bagian Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
571.978 TUM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Asman Boedisantoso Ranakusuma
"Pada pagi hari ini bagi kita yang hadir, tiada kata yang lebih indah untuk diucapkan selain puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan kesehatan kepada kita semua, sehingga pada pagi hari ini kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk mendengarkan pidato pengukuhan saya.
Mengapa saya memilih Ilmu Penyakit Dalam (IPD)?
Sebenarnya mudah dimengerti dan dipahami bahwa seorang dokter muda memilih IPD karena ilmu penyakit dalam adalah ibu dari semua cabang ilmu kedokteran. Ilmu ini melihat manusia sebagai sosok tubuh seutuhnya, dari ujung rambut ke ujung jari kaki; dan kulit luar ke dalam sel yang paling dalam pada tubuh kita. Ilmu ini juga menelusuri titik awal penyakit dengan segala akibat-akbatnya. Pengembangan logika analitik sangat diperlukan, pola pikir holistik, integral antar organ dan sistem dibutuhkan. Agaknya dunia ilmu ini penuh tantangan. Di sini titik mula.hati saya terpikat. Sebagai seorang dokter muda yang penuh khayalan ternyata pola pikir itu bukanlah mudah dan sederhana. Ternyata ilmu penyakit dalam tidak semudah yang dikhayalkan, terlalu banyak untuk dicerna dan terlalu sulit untuk diantisipasi apalagi 'untuk menyembuhkan pasien. Angka kematian di bangsal perawatan rumah sakit tinggi. Pada saat itu kesulitan tetap berputar-putar di.sekitar diri saya. Terkadang tidak tahu harus mulai dari mana, selalu terbayang wajah pasien yang menderita yang hanya dapat saya obati dengan kata-kata.
Wajah pucat pasi
pedih cemas berbaur satu
Langan tangan menggapai
seraya mencari siapakah membantu
Kuberi lengan sebelah
Sepenggal ilmu
Sia, sia
Kau, Aku Berpisah
Sama-sama meniti jalan panjang
Kelam
(Antara Jakarta ,- Magelang, Media- Juli 1984)
Kalimat di atas dapat menggambarkan betapa galau hati seorang dokter muda sewaktu mulai bekerja di bagian IPD. Dalam proses peningkatan keterampilan, saya dapat merasakan pendidikan dengan pola penalaran holistik integral, tidak terkotak kotak, pengembangan logika analitik dan kerjasama yang erat antar sejawat telah dapat meningkatkan keterampilan dan mengikis sedikit demi sedikit kegalauan yang ada."
Jakarta: UI-Press, 1994
PGB Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>