Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
G.M. Yudi Prasetia Adhiguna
"Skleroderma adalah penyakit autoimun yang melibatkan jaringan ikat. Salah satu gejala klinis skleroderma adalah Fenomena Raynaud dengan perubahan 3 warna pada kulit. Pemeriksaan marker seperti C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) digunakan untuk memeriksa tingkat inflamasi terkait Fenomena Raynaud.
Tujuan penelitian adalah menelusuri hubungan kemaknaan antara CRP maupun LED dengan Fenomena Raynaud pada pasien skleroderma. Desain penelitian adalah desain potong lintang dan non-probability sampling. Jumlah sampel adalah 73 (30 memiliki Fenomena Raynaud, 43 tidak memiliki Fenomena Raynaud). Analisis data menggunakan uji chi square (diganti menjadi uji Fisher) untuk mengetahui apakah data yang diperoleh bermakna secara statistik dan klinis. Data bermakna secara statistik jika nilai p < α. Data bermakna secara klinis jika nilai besar efek penelitian > besar efek minimal.
Hasil penelitian memperoleh, pasien skleroderma terbanyak adalah 26, 38, dan 47 tahun (masing-masing 6,8%), rentang usia 20-73 tahun, mayoritas wanita (87,7%). Hasil yang diperoleh, tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik maupun klinis antara CRP dengan Fenomena Raynaud, maupun antara LED wanita dengan Fenomena Raynaud. Hubungan antara LED pria dengan Fenomena Raynaud diperoleh tidak bermakna secara statistik, namun dianggap bermakna secara klinis.

Scleroderma is an autoimmune disease that involves connective tissue. One of the clinical symptoms is Raynaud's Phenomenon with 3 colors change on the skin. Marker inflammations, such as C-reactive protein (CRP) and erythrocyte sedimentation rate (ESR) can be used for investigating inflammation level in establishing Raynaud's Phenomenon.
The aim was to investigate whether there was a significant relationship between CRP and ESR level with Raynaud's Phenomenon on scleroderma patients. This research use cross sectional design and non-probability samplingTotal sample used was 73 (30 with Raynaud's Phenomenon, 43 did not have). The test used was chi square (then change into Fisher Test) to determine whether the data obtained were statistically and clinically significant. Data is considered statistically significant if the value of p < α. Data is considered clinically significant if value of research effect size > minimal effect size.
The results showed that most of scleroderma patients were 26, 38, and 47 years old (6,8% respectively) with range 20-73 years old, the majority was women (87,7%). The results obtained were no statistically or clinically significant relationship between CRP and Raynaud's Phenomenon, nor between female's ESR and Raynaud's Phenomenon. The relationship between male's ESR and Raynaud's Phenomenon was not statistically significant, but was considered clinically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hilfi Radifan Pandia
"Latar belakang - Skleroderma merupakan kelainan jaringan ikat yang ditandai dengan keterlibatan multisistem organ, bersifat kronik dan progresif, dan memiliki tingkat mortalitas serta disabilitas yang tinggi. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien skleroderma.
Tujuan - Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara laju endap darah dan kadar protein reaktif C dengan kejadian hipertensi pulmonal pada pasien skleroderma.
Metode - Desain studi pada penelitian ini adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari 115 pasien skleroderma di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Hasil - Dari 115 pasien, hanya 46 subjek yang memenuhi syarat. Hipertensi pulmonal terdeteksi pada 4 pasien berdasarkan hasil ekokardiografi. Tidak ada perbedaan rerata laju endap darah yang bermakna antara kelompok yang mengalami hipertensi pulmonal dengan yang tidak (p = 0,154; perbedaan rerata = 22,58; IK95%:  -8,80 – 53,97). Rerata kadar protein reaktif C juga tidak berbeda bermakna antara kelompok hipertensi pulmonal dengan yang tidak (p = 0,748; perbedaan rerata 0,80; IK95%: 0,19 – 3,29).
Simpulan - Dari penelitian ini, tidak ada hubungan antara laju endap darah dan kadar Protein reaktif C terhadap kejadian hipertensi pulmonal pada pasien skleroderma. Walaupun demikian, laju endap darah dan kadar protein reaktif C cenderung lebih tinggi pada kelompok yang tidak mengalami hipertensi pulmonal.

Background - Scleroderma is connective tissue disease characterized by multisystem organ involvement, chronic and progressive course, and high mortality and disability rate.
Objectives - This study aimed to determine the association between erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein level to the occurrence of pulmonary hypertension in scleroderma patients.
Methods - This study design was cross-sectional. One-hundred-and-fifteen medical records of scleroderma patient in Cipto Mangunkusumo National Hospital were reviewed.
Results - From 115 patients, only 46 subject eligible in this study. Pulmonary hypertension was detected in 4 patients by echocardiography. There was no significant erythrocyte sedimentation rate mean  difference between the group with pulmonary hypertension and those without (p = 0,154; mean difference = 22,58; CI95%:  -8,80 – 53,97). Mean C-reactive protein level was not significantly different between those with pulmonary hypertension and those without (p = 0,748; mean difference = 0,80; CI95%: 0,19 – 3,29).
Conclusions - From this study, there was no significant association between erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein level to the occurrence of pulmonary hypertension in scleroderma patients. Nevertheless, erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein tend to be higher in those without pulmonary hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti
"
Latar Belakang : Inflamasi kronik berhubungan dengan tumor dan menyebabkan prognosis yang buruk pada pasien kanker. Salah satu penanda inflamasi yang meningkat pada tumor adalah C-Reactive Protein (CRP). Kadar CRP meningkat pada lebih dari 50% pasien keganasan. Peningkatan CRP berhubungan kuat dengan keparahan penyakit pada beberapa kanker. Salah satu zat gizi dalam inflamasi adalah asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 dapat meningkatkan pembentukan specialized pro-resolving mediators (SPM) yang berfungsi meningkatkan mediator antiinflamasi, melindungi blood brain barrier, menurunkan sitokin proinflamasi, menurunkan apoptosis neuron. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan asupan asam lemak omega-3 dengan CRP pada pasien tumor sistem saraf pusat.
Metode : Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek berusia 18-65 tahun di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan November hingga Desember 2023. Pengukuran CRP menggunakan metode immunoturbidimetric assay. Pengambilan asupan asam lemak omega-3 menggunakan Food Frequency Questionnaires semikuantitatif. Analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan antara variabel bebas dan terikat.
Hasil : Dari total 63 subjek penelitian, sebanyak 35 subjek (55,6%) pada kelompok asupan asam lemak omega-3 < 2 g/hari dan 28 subjek (44,4%) pada kelompok asupan asam lemak omega-3 ≥ 2 g/hari. Nilai median CRP 8,3 (0,6 – 71,5) mg/L. Tidak terdapat hubungan yang bermakna (p = 0,714) antara asupan asam lemak omega-3 dengan CRP pada pasien tumor sistem saraf pusat.
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara asupan asam lemak omega-3 dengan CRP pada pasien tumor sistem saraf pusat.

Background: Chronic inflammation is associated with tumors and causes poor prognosis in tumor patients. One of the inflammatory markers that increase in tumors is C-Reactive Protein (CRP). CRP levels are elevated in more than 50% of patients with malignancies. Elevated CRP is associated with disease severity in some cancers. One of the nutrients in inflammation is omega-3 fatty acids. Omega-3 fatty acids can increase the formation of specialized pro-resolving mediators (SPM) which function to increase anti-inflammatory mediators, protect the blood brain barrier, reduce pro-inflammatory cytokines, reduce neuron apoptosis. This study aims to assess the relationship between omega-3 fatty acid intake and CRP in patients with central nervous system tumors.
Methods: This cross-sectional study was conducted on subjects aged 18-65 years at Cipto Mangunkusumo Hospital from November to December 2023. CRP measurement using immunoturbidimetric assay method. Omega-3 fatty acid intake was collected using semiquantitative Food Frequency Questionnaire. Bivariate analysis was used to assess the relationship between independent and dependent variables.
Results: From the total 63 research subjects, 35 subjects (55,6%) in the omega-3 fatty acid intake group < 2 g/day and 28 subjects (44,4%) in the omega-3 fatty acid intake group ≥ 2 g/day. The median CRP value was 8.3 (0.6 - 71.5) mg/L. There was no significant relationship (p = 0,714) between omega-3 fatty acid intake and CRP in patients with central nervous system tumors.
Conclusion: There is no significant relationship between omega-3 fatty acid intake and CRP in patients with central nervous system tumors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdillah Yasir Wicaksono
"ABSTRACT
Skleroderma (sklerosis sistemik) merupakan penyakit autoimun dengan ciri fibrosis kulit dan organ viseral. Skleroderma menurunkan kualitas hidup penderitanya dan menyebabkan kematian, yang dapat diakibatkan oleh penyakit paru interstisial (ILD) sebagai manifestasi fibrotik pada skleroderma. Pemantauan ILD pada skleroderma memerlukan penilaian penanda inflamasi, termasuk di antaranya adalah laju endap darah (LED) dan kadar protein c-reaktif (CRP) darah, serta penilaian fungsi paru dengan menilai kapasitas vital paksa (KVP). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara LED dan CRP dengan KVP pada pasien skleroderma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian potong lintang dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medis pasien tahun 2013-2015. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara LED dengan KVP (r=0,209; p=0,287) dan CRP dengan KVP (r=0,261; p=0,241).
ABSTRACT
Scleroderma (systemic sclerosis) is an autoimmune disease characterized by the fibrosis of skin and visceral organs. Scleroderma affects the quality of life and cause mortality, which may be caused by interstitial lung disease (ILD) as the fibrotic manifestation of scleroderma. Monitoring of ILD in scleroderma requires the evaluation of markers of inflammation, including erythrocyte sedimentation rate (ESR) and CRP level, and also evaluation of lung function by measuring forced vital capacity (FVC). The objective of this study is to determine the correlation of ESR and CRP to FVC in scleroderma patients of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. A cross-sectional study was done by gathering data from medical records of patients from year 2013-2015. The study showed that there is no significant correlation between ESR and FVC (r=0,209; p=0,287 and between CRP and FVC (r=0,261; p=0,241)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar C-Reactive Protein pada pasien kanker paru stadium IIIB-IV. Progresivitas kanker paru dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh, faktor genetik dan respon inflamasi. CRP sebagai salah satu marker inflamasi dapat diandalkan sebagai salah satu parameter untuk memprediksi perkembangan kanker. Subjek didapatkan melalui consecutive sampling yang melibatkan 49 subjek kanker paru stadium IIIB ndash; IV yang tidak sedang menjalani terapi di RS Kanker 'Dharmais'. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 55,82 12,26 tahun, sebanyak 63,3 berjenis kelamin laki-laki. Nilai median CRP yaitu 23,82 0,30 - 207,29 mg/L. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna antara asupan karbohidrat dengan kadar CRP serum p = 0,919 , asupan protein dengan kadar CRP serum p = 0,257 dan asupan lemak dengan kadar CRP serum p = 0,986 . Kesimpulan: pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar CRP serum sebagai penanda perkembangan kanker.

The aim of the study was to determine the correlation between carbohydrate, fat and protein intake with the serum C Reactive Protein level in lung cancer patients stage IIIB ndash IV. The progression of lung cancer is influenced by immune system, genetic factors and inflammatory response, therefore CRP can be relied as one of the parameters for predicting cancer cell growth. Subjects were recruited by consecutive sampling, 49 subjects with lung cancer stage IIIB IV who currently not receving any treatment in Dharmais Cancer Hospital participating in this study. The mean age of subject was 55,82 12,26 years old and 63,3 were male. The median value of CRP was 23,82 0,30 207,29 mg L. This study did not showed significant correlation between carbohydate, protein and fat intake with serum CRP value p 0,919 p 0,257 p 0,986, respectively. In conclusion, there is no correlation between carbohydrate, protein and fat intake with serum CRP level in lung cancer stage IIIB ndash IV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kadar C-reactive protein (CRP) dalam plasma di laporkan meningkat pada individu obes."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Anastasya
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara penilaian risiko malnutrisi menggunakan skor PG-SGA dengan kadar CRP serum sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkat inflamasi pada pasien kanker kepala dan leher stadium I_IV guna mencegah terjadinya kaheksia. Malnutrisi hingga kaheksia pada kanker terjadi karena interaksi faktor tumor, faktor pejamu dan faktor-faktor lainnya. Faktor tumor berupa sitokin pro-inflamasi akan memicu respons pejamu untuk memproduksi protein fase akut seperti CRP. Protein fase akut memerlukan sejumlah substrat yaitu asam amino yang berasal dari otot rangka. Otot rangka akan mengalami degradasi sehingga menyebabkan wasting otot rangka. Oleh karena itu, CRP selain dapat digunakan sebagai marker inflamasi sistemik juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator faktor risiko yang berperan dalam terjadinya malnutrisi dan kaheksia. Efek wasting otot rangka yang ditimbulkan secara tidak langsung oleh CRP dapat dinilai dengan terdapatnya penurunan BB maupun berkurangnya massa otot yang juga merupakan komponen dalam penilaian PG-SGA. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan consecutive sampling yang melibatkan 51 subjek kanker kepala dan leher stadium I_IV yang belum mendapatkan terapi. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 46,6 13,9 tahun, sebanyak 76,5 berjenis kelamin laki-laki. Kanker nasofaring merupakan kanker terbanyak 80,4 , dan stadium terbanyak yaitu stadium IVA. Rerata indeks massa tubuh IMT yaitu 20,6 4,0 kg/m2, dan sebanyak 37,3 subjek berada pada IMT normal. Berdasarkan skor PG-SGA sebanyak 64,7 subjek berisiko tinggi malnutrisi dengan rerata skor PG-SGA 11,7 6,2. Nilai median CRP yaitu 6,4 0,4_170,4 . Penelitian ini memperoleh korelasi positif yang signifikan antara skor PG-SGA dengan kadar CRP serum dengan kekuatan korelasi lemah r = 0,372; p = 0,007.

The purpose of this study was to determine the correlation between the malnutrition risk assessment using PG SGA score with serum CRP levels so that it can be used to predict the levels of inflammation in head and neck cancer patients stage I IV to prevent cachexia. Malnutrition and cancer cachexia occurs due to the interaction of tumor factors, host factors and other factors. Tumor factors such as pro inflammatory cytokines will trigger a response of the host to produce acute phase proteins such as CRP. Acute phase protein which require a number of amino acids derived from skeletal muscle. Skeletal muscles will be degraded, causing skeletal muscle wasting. Therefore, CRP can be used as a marker of systemic inflammation and can be used as one indicator of the risk factors also that contribute to malnutrition and cachexia. Effect of skeletal muscle wasting which caused indirectly by the CRP can be assessed by the weight loss and reduced muscle mass which is a component in the assessment of PG SGA also. This study is a cross sectional study using consecutive sampling, 51 subjects head and neck cancer stage I IV who had not received treatment participated in this study. Data showed the mean age of subjects was 46.6 13,9 years, and 76 were male. Most cancer sites were as nasopharyngeal 80,4, and mostly in stage IVA. The mean body mass index BMI is 20,6 40 kg m2, with most of the BMI is normal 37,3. Based on PG SGA score 64,7 of the subjects at high risk of malnutrition, and the PG SGA mean score is 11,7 6,2. The median value of CRP is 6,4 0,4 170,4. The result of this study showed a significant positive correlation between PG SGA score with serum CRP levels with the strength of correlation is weak r 0,372 p 0,007. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andriamuri Primaputra
"Latar Belakang. Pasien yang mengalami sepsis dan syok sepsis akan mengalami disfungsi organ akibat reaksi radikal bebas dengan sel endotel mikrovaskular sehingga menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Kondisi difungsi organ dapat diukur melalui perubahan kadar Interleukin-6 (IL-6), C-Reactive Protein (CRP), dan skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) yang terjadi pada pasien-pasien tersebut. Pemberian asam askorbat yang memiliki kemampuan sebagai free radical scavenging, diharapkan dapat menurunkan proses peradangan atau inflamasi sehingga terjadi perbaikan fungsi organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena terhadap perubahan kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol, tersamar tunggal yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun dengan diagnosis sepsis atau syok sepsis dalam perawatan 24 jam pertama masuk intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta dan ICU RSUP H. Adam Malik-Medan sejak bulan Juli sampai dengan Desember 2019. Sebanyak 49 subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok perlakuan (n=23), yang menerima vitamin C 1,5 gram per 6 jam selama 3 hari, dan kelompok kontrol (n=26), yang tidak menerima vitamin C tersebut. Pemeriksaan kadar IL-6, kadar CRP, dan skor SOFA dilakukan pada jam ke-24, 48, dan 72.
Hasil. Tidak terdapat perubahan bermakna pada kadar IL-6 (P=0,423), CRP (P=0,080), dan skor SOFA (P=0,809) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Kesimpulan. Pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena tidak memberikan perubahan bermakna terhadap kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.

Background. Septic and septic shock patients will have organ dysfunctions due to free radical reaction with microvacular endothelial cells, thus morbidity and mortality rate will increase in these conditions. Those organ dysfunctions can be measured through the changes of Interleukin-6 (IL-6) levels, C-Reactive Protein (CRP) levels, and Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scores. The administration of ascorbic acid has a feature known as free radical scavenging. The feature is expected to reduce the inflammatory rate in the organs and to improve the functions. This study was aimed to analyze the intravenous administration effect of 6 grams of ascorbic acid towards the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit
Methods. This was a single blind randomized controlled clinical trial study on patients aged 18-65 years old with septic and septic shock conditions in the first 24 hour care in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital-Jakarta and H. Adam Malik Hospital-Medan from July to December 2019. In total, 49 subjects were included in the study and randomized into two groups. Intervetion group (n=23) received 1.5 gram/6 hours of vitamin C in three days consecutively, whereas the control group (n=26) did not receive the vitamin C. Measurements of IL-6 levels, CRP levels, and SOFA scores were performed in the 24th, 48th, and 72th hour.
Results. There were no significant changes of IL-6 levels (p=0.423), CRP levels (p=0.080), and SOFA scores (p=0.809) between the two groups.
Conclusion. The intravenous administration of 6 grams of ascorbic acid did not significantly affect the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Ramadhiani
"Psoriasis vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik kulit yang didasari oleh proses imunologi. Derajat keparahan psoriasis vulgaris dinilai secara klinis dengan penilaian body surface area (BSA) dan psoriasis area and severity index (PASI). Inflamasi kulit pada psoriasis vulgaris diperankan oleh berbagai sitokin inflamasi yang dapat meningkatkan inflamasi sistemik dan aktivasi trombosit. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) sebagai penanda inflamasi sistemik serta mean platelet volume (MPV) sebagai penanda aktivasi trombosit diduga dapat dijadikan prediktor derajat keparahan psoriasis vulgaris. Penelitian ini berdesain observasional analitik potong lintang. Setiap subjek penelitian (SP) dengan psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan perhitungan derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan PASI dan BSA. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP dan MPV. Dari 32 SP, didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara hs-CRP dengan BSA (r=0,118; p=0,518) dan PASI (r=0,322; p=0,073). Korelasi negatif tidak bermakna ditunjukkan antara MPV terhadap BSA (r=-0,035; p=0,848)dan PASI (r=-0,035; p=0,848). Korelasi antara hs-CRP dengan MPV tidak bermakna (r=-0,178; p=0,329). Nilai hs-CRP dan MPV tidak memiliki korelasi bermakna terhadap PASI dan BSA sehingga tidak dapat digunakan sebagai prediktor yang spesifik untuk keparahan psoriasis vulgaris.

Psoriasis vulgaris is a chronic immunologic inflammatory skin disease. The severity of psoriasis vulgaris is clinically-assessed by using body surface area (BSA) and the psoriasis area and severity index (PASI). Skin inflammation in psoriasis vulgaris is played by various inflammatory cytokines that can perpetuate systemic inflammation and platelet activation. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) as a marker of systemic inflammation and mean platelet volume (MPV) as a marker of platelet activation are thought to be predictors of psoriasis vulgaris severity.
This is a cross-sectional analytic observational study. Each subject with psoriasis vulgaris who met the inclusion and exclusion criteria underwent anamnesis, physical examination, and assessment of PASI and BSA, then examined for hs-CRP and MPV levels.
Among the 32 subjects, a weak insignificant positive correlation was found between hs-CRP and BSA (r=0.118; p=0.518)and PASI (r=0.322; p=0.073). A weak negative insignificant correlation was shown between MPV and BSA (r=-0.035; p=0.848) and PASI (r=-0.035; p=0.848). No significant correlation was found between hs-CRP and MPV (r=-0.178; p=0.329
The hs-CRP and MPV levels ​​do not have a significant correlation with PASI and BSA, therefore cannot be used as specific predictors of psoriasis vulgaris severity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>