Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190335 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jane Florida Kalumpiu
"

Kriptokokosis adalah infeki jamur yang disebabkan olehCryptococcus. Manifestasi klinis utama pada pasien terinfeksi HIV adalah kriptokokosis meningeal.  Angka kematian masih tinggi, walaupun pasien telah mendapatkan obat anti-retroviral (ARV). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi, profil klinis-mikologis dan prediktor yang mempengaruhi luaran klinis. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan menelusuri rekam medik pasien RSCM yang bahan kliniknya diperiksa di Departemen Parasitologi FKUI pada Januari 2013 – Oktober  2018. Prevalensi kriptokokosis meningeal pada 161 pasien HIV yang diteliti adalah 24,2% (39 pasien). Pemeriksaan cairan otak  dengan tinta india menunjukan hasil positif pada 47 dari 50 pasien (94%). Pemeriksaan lateral flow assay(LFA) menunjukkan hasil positif pada 27 dari 28 pasien (96,4%) dan biakan pada 29 dari 30 pasien (96,7%). Profil klinis pada 46 pasien yang diteliti menunjukkan gejala klinis terbanyak  sakit kepala (93,5%), diikuti demam (65,2%), muntah (65,2%) dan penurunan berat badan (47,8%). Pencitraan otak pada 38 pasien, menunjukkan hasil normal pada 20 pasien (52,6%), lesi fokal pada 5 pasien dan penyangatan meningen pada 5 pasien (13,1%). Analisis statistik menunjukkan  pemeriksaaan fisis tekanan darah >130/90 mmHg, kaku kuduk dan papiledema didapatkan berhubungan dengan kematian (p<0,05). Dari 46 pasien setelah keluar dari RSCM, luaran hidup ditemukan sebanyak 21 orang (45,7%). Pada tindak lanjut 20 pasien setelah enam bulan keluar RSCM, luaran hidup ditemukan pada 13 orang (65%). Prediktor yang berhubungan dengan luaran klinis mati pada penelitian ini adalah penurunan berat badan, status HIV baru dan papiledema (p<0,05). 


Cryptococcosis is a fungal infection caused by Cryptococcus. The main clinical manifestation in HIV-infected patients is meningeal cryptococcosis. The mortality rate is still high, despite the use of anti-retroviral drugs (ARVs). The purpose of this study was to determine the prevalence, clinical-mycological profile and predictors for clinical outcomes. This study was retrospective, the data was retrieved  from medical records at Cipto Mangunkusumo hospitalwhose clinical materials were examined in the Parasitology Department faculty of medicine University of Indonesia in January 2013 - October 2018. The prevalence of meningeal cryptococcosis in 161 HIV patients studied was 24.2% (39 patients). Examination of brain fluids with Indian ink showed positive results in 47 of  50 patients (94%). Lateral flow assay (LFA) positive in 27 of 28 patients (96.4%) and from culture the result was positive in 29 out of 30 (96,7%). The clinical profile in 46 patients studied showed the most clinical symptoms is headache (93.5%), followed by fever (65.2%), vomiting (65.2%) and weight loss (47.8%). Brain imaging in 38 patients showed normal results in 20 patients (52.6%), focal lesions in 5 patients and meningeal enhancement in 5 patients (13.1%). Physical examination of blood pressure >130/90 mmHg, neck stiffness and papilledema was found to be associated with death (p<0.05). Of the 46 patients after leaving the Cipto Mangunkusumo hospital, live outcomes were found in 21 patients (45.7%). Live outcomes at follow-up of 20 patients after six months out of the Cipto Mangunkusumo hospitalwere found in 13 patients (65%). Predictors related to dead clinical outcomes in this study were weight loss, new HIV status and papilledema (p <0.05).

"
2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Hermansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit infeksi paru menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk mikosis paru yang disebabkan oleh infeksi, kolonisasi jamur maupun reaksi hipersensitif terhadap jamur. Bronkoskopi sebagai alat diagnostik untuk melihat gambaran lesi endobronkial dan mengambil bahan klinis seperti bronchoalveolar lavage BAL dan bilasan bronkus. Pemeriksaan biakan jamur dari bahan klinis bronkoskopi dapat membantu penegakan diagnosis mikosis paru.Metode: Studi deskriptif potong lintang pada pasien bronkoskopi yang dilakukan pemeriksaan biakan jamur dari BAL dan bilasan bronkus. Jumlah sampel adalah total sampling sejak Januari 2016 sampai dengan Desember 2017. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.Hasil: Bahan klinis dari bronkoskopi pada penelitian ini berupa bilasan bronkus sebanyak 67 buah dan BAL sebanyak 21 buah. Dari bahan klinis didapatkan hasil biakan tumbuh jamur sebanyak 35 buah dan tidak tumbuh jamur sebanyak 53 buah.Jenis jamur yang tumbuh adalahCandida sp. dengan spesies terbanyak Candida albicans sebanyak 30 isolat, Candida parapsilosis sebanyak 3 isolat, serta spesies Candida glabratadanCandida tropicalis masing-masing sebanyak 1 isolat.Kesimpulan: Bahan bronkoskopi BAL dan bilasan bronkus dapat digunakan untuk pemeriksaan biakan jamur.Kata Kunci: biakan jamur, bronkoskopi, bronchoalveolar lavage, bilasan bronkus.
Background: ABSTRACT
Lung infection diseases become health main problem in Indonesia, including lung mycosis caused by infection, fungal colonization or hypersensitivity reaction against the fungal. Bronchoscopy is used as diagnostic tool to see endobronchial lesion and to gain clinical specimens such as bronchoalveolar lavage BAL and bronchial washing. Fungal culture from clinical specimen of bronchoscopy can help diagnosing lung mycosis.Method: Cross sectional descriptive study of bronchoscopy patients with fungal culture assay from BAL and bronchial washing. Total sample is total sampling from January 2016 to December 2017. The study is in Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Persahabatan Hospital, JakartaResult: Clinical specimens from bronchoscopy in this study are 67 samples of bronchial washing and 21 samples of BAL. There are positive fungal growth in 35 samples and no fungal growth in 53 samples.All growing fungal come from Candida sp. with most species come from Candida albicans 30 isolates, followed by Candida parapsilosis 3 isolates, Candida glabrata and Candida tropicalis each one 1 isolate.Conclusion: Bronchoscopy samples of BAL and bronchial washing can be used forfungal culture assay examination."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robiatul Adawiyah
"Latar Belakang: Kriptokokosis meningeal merupakan infeksi oportunistik yang muncul pada penderita terinfeksi HIV di Indonesia. Penyebab utama kriptokokosis adalah Cryptococcus neoformans. Laporan terkait karakteristik klinis, mikologis dan laboratorium klinis pada pasien AIDS dengan kriptokokosis meningeal belum ada di Indonesia. Tujuan: Mengetahui karakteristik klinis, mikologis dan laboratoris pasien AIDS dengan kriptokokosis meningeal di Jakarta. Metode: Penelitian deskripsi retrospektif dengan desain potong lintang ini dilakukan di RSCM dan RSKO untuk data klinisnya dan pemeriksaan laboratoriumnya dilakukan di laboratorium departemen Parasitologi FKUI dan Westerdijk Fungal Biodiversity Institute, Utrecht, the Netherlands. Hasil: Gejala klinis utama adalah sakit kepala. Pasien yang hidup lebih banyak dari yang meninggal di RS. Isolat Cryptococcus sp. seluruhnya memproduksi melanin, membentuk empat fenotipe koloni, memiliki dua jenis mating-type dan empat genotipe (AFLP1, AFLP1 A, AFLP2 dan AFLP3). Terdapat infeksi campur mating-type dan genotipe pada satu pasien. Hitung CD4 mayoritas rendah.
Diskusi: Mating-type terbanyak adalah α- α karena lebih virulens. Genotipe yang ditemukan sesuai laporan di dunia. Infeksi campur mating-type dan genotipe diduga karena jamur yang menginfeksi memiliki mating-type dan genotipe yang berbeda.
Kesimpulan: Sakit kepala merupakan gejala klinis terbanyak. Genotipe terbanyak adalah AFLP1. Terdapat infeksi campur mating-type dan genotipe pada satu pasien.

Background: Meningeal cryptococcosis is an opportunistic infection in HIV-infected patients. The main cause of cryptococcosis is Cryptococcus neoformans. Reports related to clinical, Mycological and laboratory characteristics in AIDS patients with meningeal cryptococcosis do not yet exist in Indonesia. Objective: To determine the clinical, Mycological and laboratory characteristics of AIDS patients with meningeal cryptococcosis in Jakarta. Methods: This retrospective description study with cross-sectional design was conducted at RSCM and RSKO for clinical data and laboratory tests were carried out in the laboratory of the department of Parasitology FKUI and Westerdijk Fungal Biodiversity Institute, Utrecht, the Netherlands. Results: The main symptom is headache. Patients live more than those who died in the hospital. All isolates of Cryptococcus sp. produce melanin, forming four colony phenotypes, having two types of mating-type and four genotypes (AFLP1, AFLP1 A, AFLP2 and AFLP3). There were a mixed mating-type and genotype infection in one patient.
Discussion: Most mating-types are α- α because they are more virulent. Genotype found is the same with reported in the world. The mixed mating-type and the genotype because suspected infecting fungi have different mating-types and genotypes.
Conclusion: Headache is the most symptom. Most genotypes are AFLP1. There was a mixed mating-type and genotype infection in one patient.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singh, Gurmeet
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kejadian penyakit jamur invasif saat ini sedang meningkat di seluruh dunia dalam 2 hingga 3 dekade terakhir. Kelompok pasien sakit kritis lebih rentan terhadap kejadian penyakit jamur invasif, dimana penyakit ini merupakan kejadian yang mengkhawatirkan pada pasien perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Diagnosis dan terapi dini sangat penting untuk mendapatkan hasil akhir lebih baik, yang disertai dengan penurunan morbiditas dan mortalitas.
Tujuan: Mengetahui faktor ? faktor yang memengaruhi kejadian penyakit jamur invasif dini pada pasien sakit kritis di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien sakit kritis yang dirawat di RSCM (Maret 2015 ? September 2015). Jumlah subjek pada penelitian ini diambil berdasarkan jumlah subjek terbanyak dari salah satu faktor yaitu 74 subjek. Pada hari perawatan ke-5-7, dilakukan pengambilan spesimen sesuai dengan standar operasional Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (PPIRS). Analisis multivariat dengan metode regresi logistik dilakukan pada variabel faktor yang pada analisis bivariat memberikan hasil nilai ?p?<0.25.
Hasil: Dua ratus enam pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Pada 74 subjek dengan penyakit jamur invasif, mayorits subjek laki-laki (52,7%), usia rerata 58 tahun (rentang 18 ? 79), rerata Skor Leon 3 (rentang skor 2 ? 5), populasi terbanyak pada kelompok non bedah atau non trauma (72,9%) dan rerata isolasi jamur positif pada hari ke- 5. Spesies jamur yang paling banyak menyebabkan infeksi adalah Kandida sp ( 92,2%). Kultur urin merupakan spesimen dengan isolat jamur terbanyak (70,1%). Angka mortalitas sebesar 50%. Pada analisis multivariat, diabetes mellitus (?p? 0,018, OR 2,078, IK 95% 1,135 ? 3,803) merupakan faktor independen terhadap kejadian penyakit jamur invasif dini pada pasien sakit kritis.

ABSTRACT
Background: The incidence of Invasive Fungal Disease (IFD) is increasing worldwide in the past 2 to 3 decades. Critically ill patients in Intensive Care Units (ICU) are more vulnerable to fungal infection. Early detection and treatment are important to decrease morbidity and mortality in critically ill patients.
Objective: Our study aimed to asses factors associated with early IFD in critically ill patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: Prospective cohort study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital in criticallyl ill patients, within March 2015 - September 2015. Total number of subject (74) in this study was drawn based on one of the risk factor (HIV). Specimen were collected on day 5 to 7 of hospitalization. Multivariate analysis with logistic regression were performed for factors with 'p' <0:25 in bivariate analysis.
Results: Two hundred and six patients were enrolled in this study. Seventy four subjects with IFD, majority were males (52.7%), mean age 58 years (range 18-79), mean Leon?s Scores 3 (score range 2-5), majority group non-surgical /non- trauma (72.9%) and mean fungal isolation positive on day 5th. Candida sp (92.2%) as the most isolated fungal. Urine culture yields the highest fungal isolates (70.1%). Mortality rate in this study was 50%. In multivariate analysis, diabetes mellitus ( ?p? 0,018, OR 2.078, 95% CI 1.135 to 3.803) was found as an independent factor associated with early IFD critically ill patients.
Conclusion: Diabetes mellitus is a significant factor for the incidence of early IFD in critically ill patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajib Diptyanusa
"Status imunodefisiensi pada individu yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat mengakibatkan adanya peningkatan risiko infeksi, salah satunya adalah diare kronis yang disebabkan oleh Cryptosporidium spp. dan Giardia duodenalis. Pada populasi anak, infeksi tersebut dapat berdampak pada gangguan fungsi kognitif dan tumbuh kembang. Gambaran beban kedua penyakit tersebut masih belum jelas, sehingga diagnosis dan tata laksana menjadi terhambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi prevalensi, mendeskripsikan karakteristik klinis, dan mengidentifikasi faktor risiko infeksi Cryptosporidium dan Giardia pada anak yang terdiagnosis HIV. Penelitian bersifat potong lintang pada anak terdiagnosis HIV berusia 6 bulan hingga <18 tahun di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta selama tahun 2021. Penegakan diagnosis infeksi Cryptosporidium dan Giardia adalah berdasarkan hasil pemeriksaan PCR feses setelah diskrining secara mikroskopis dan pemeriksaan coproantigen. Karakteristik klinis dan identifikasi faktor risiko didapatkan dari data rekam medis dan pengisian kuesioner oleh pasien/walinya. Dari total 52 subjek, prevalensi kriptosporidiosis adalah 42,3%, sedangkan prevalensi giardiasis adalah 3,8%. Tidak ditemukan infeksi ganda Cryptosporidium spp. dan G. duodenalis. Gejala yang paling banyak dilaporkan adalah penurunan berat badan (19/52; 36,5%) dan diare (11/52; 21,2%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa adanya gejala diare (AOR 6,5; 95%CI 1,16–36,67), sumber air minum air sumur (AOR 6,7; 95%CI 1,83–24,93), dan air minum yang tidak direbus (AOR 5,8; 95%CI 1,04–32,64) merupakan faktor risiko independen kejadian kriptosporidiosis pada studi ini. Penelitian ini menunjukkan tingginya prevalensi kriptosporidiosis asimtomatik dengan faktor prediktor adanya diare, sumber air minum berupa air sumur, dan air minum yang tidak direbus, sedangkan prevalensi giardiasis rendah dengan gejala yang tidak spesifik.

Immunodeficiency in individuals infected with Human Immunodeficiency Virus (HIV) may lead to increased risk of infection, particularly chronic diarrhea caused by Cryptosporidium spp. and Giardia duodenalis. These parasitic infections may cause long-term impact in children, including impaired growth and cognitive function. Actual disease burden is not well studied, hence delay in diagnosis and patient management. Current study aimed to estimate prevalence of cryptosporidiosis and giardiasis, to describe their clinical characteristics, and to identify risk factors of disease transmission in pediatric HIV patients. The cross-sectional study involved participants of children aged 6 months through 18 years with confirmed HIV infection in Sardjito General Hospital, Yogyakarta. Diagnosis of cryptosporidiosis and giardiasis was made using PCR after being screened with microscopic and coproantigen examinations. Clinical characteristics and risk factors were obtained from medical records and structured questionnaires. A total of 52 participants were included in the final analysis. The prevalence of cryptosporidiosis was 42.3%, while prevalence of giardiasis was 3.8%. There was no mixed infection observed. Most frequently reported symptoms include weight loss (19/52; 36.5%) and diarrhea (11/52; 21.2%). Multivariate analysis identified the following variables as independent risk factors of cryptosporidiosis: presence of diarrhea (AOR 6.5; 95%CI 1.16–36.67), well water as drinking water source (AOR 6.7; 95%CI 1.83–24.93), drinking untreated water (AOR 5.8; 95%CI 1.04–32.64). Current study showed the prevalent asymptomatic cryptosporidiosis with risk factors including diarrhea, well water for drinking, and drinking untreated water, whereas prevalence of giardiasis was found to be low with nonspecific symptoms."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Finny Nandipinto
"Tuberkulosis (TBC) tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian dari berbagai macam infeksi kuman yang ada di dunia meskipun banyak kemajuan pada diagnosis dan pengobatannya. Patogenesis tuberkulosis pada pasien - pasien dengan infeksi HIV (Human Immunodefficiency Virus) berbeda dengan pasien tuberkulosis biasa. Gambaran radiologi pasien yang menderita tuberkulosis dan HIV dapat memberikan gambaran seperti tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer. Pada pasien dengan penyakit HIV lanjut, penyakit tuberkulosis post primer secara radiografi dapat terlihat seperti tuberkulosis primer.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik gambaran radiografi toraks dan lokasi lesi pasien HIV dengan tuberkulosis paru berdasarkan nilai CD4 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ini dilakukan dengan pemeriksaan radiografi toraks pada pasien HIV dengan tuberkulosis positif baik secara pemeriksaan BTA sputum atau PCR (Polymerase Chain Reaction) atau kultur atau genexpert pada 80 orang pasien HIV yang telah terbukti menderita tuberkulosis berdasarkan pemeriksaan diatas yang dihubungkan dengan nilai CD4 nya. Pasien yang masuk dalam penelitian yang didiagnosis HIV yang berusia diatas 18 tahun, dan tidak sedang dalam terapi obat anti tuberkulosis, telah diperiksa nilai CD4 nya berdasarkan metode ELISA (Enzyme-Link Immunesorbent Assay), telah di periksa radiografi toraksnya dan terdaftar di PACS Departemen Radiologi RS Cipto Mangunkusumo. Kemudian dilakukan penilaian karakteristik gambaran radiografi toraks dan lokasi lesi pada pasien tersebut dan dilihat hubungannya dengan nilai CD4.
Statistik deskriptif disajikan berupa karakteristik gambaran radiografi toraks pasien HIV dengan tuberkulosis serta lokasi lesi berdasarkan nilai CD4. Didapatkan gambaran radiografi toraks terbanyak pada pasien HIV dengan tuberkulosis adalah infiltrat pada 23 orang (62.2%) dari 37 subyek HIV dengan tuberkulosis dengan nilai CD4+ ≤ 50 sel/μL, infiltrat pada 7 orang (38.9%) dari 18 subyek HIV dengan tuberkulosis dengan nilai CD4+ 51 - 100 sel/μL, infiltrat pada 5 orang (50.0%) dari 10 subyek HIV - tuberkulosis dengan nilai CD4+ 101 - 200 sel/ μL dan pasien HIV dengan tuberkulosis dengan nilai CD4+ > 200 sel/μL juga terbanyak terdapat infiltrat pada 12 orang (80.0%) dari 15 subyek. Tidak terdapat gambaran radiografi toraks yang khas untuk nilai CD4+ tertentu.

Optic nerve as the second cranial nerve which inervates the eye balls, consists of nerve sheath and optic nerve fibers within. Optic nerve diameter varies, and is influienced by various factors namely age, ethnicity, gender or other conditions such as inflammation, tumor, trauma or mass pressing the optic nerve. Nerve sheath and optic nerve ratio can be measured and is influenced by increase of intracranial pressure.
The aim o+f this research is to see characteristic of chest radiographic findings in HIV - tuberculosis patients and location of the lesion based on CD4+ at Cipto Mangunkusumo hospital. Radiograph findings from chest radiographics done to the patients in whom BTA smear positive or culture positive or PCR ( Polymerase Chain Reaction) positive or Genexpert positive to patients which is proven tuberculosis from one of the examination . determine the mean optic nerve diameter and sheath-optic nerve ratio by MRI on subjects older than 18 years, of 64 optic nerves and 32 patients (16 male and 16 female) to determine the difference of male and female. Patient is interviewed to ensure no history of orbital trauma nor orbital disease which decrease the visual field, and improvement of visus on pinhole test. Only patient with no orbital nor intracranial mass on MRI examination is included in this research. Further additional MR sequence is acquired on coronal optic nerve plane on T2 fat suppression sequence, parasagital plane on T1 fat suppression to measure intraorbital and intracanalicular optic nerve diameter, and T2 axial to measure intracranial segment.
Descriptive statistic is provided as mean with standard deviation of optic nerve diameter as well as sheath to optic nerve ratio. Intraorbital segmen of optic nerve sheath diameter of normal adult on proximal side is 4,54 mm (SD 0,28 mm), middle part 3,49 mm (SD 0,19 mm), distal part 3,26 mm (SD 0,17 mm), intracanalicular segment optic nerve 3,03 mm (SD 0,17 mm), intracranial segment of optic nerve 4,22 mm (SD 0,32 mm), proximal optic nerve diameter 2,54 mm (SD 0,28 mm). Mean of normal nerve to sheath ratio is 1,81:1 (SD 0,11). Analytic statistic which utilize unpaired t test demonstrate no difference of male and female optic nerve and nerve sheath diameter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58702
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaira Naftassa
"Cryptococcus merupakan khamir bersimpai yang menyebabkan kriptokokosis dan pada era HIV/A1DS jumfah kasus meningkat tajam. Manifestasi klinik kriptokokosis berbeda sesuai dengan spesies dan serotipe, sehingga identifikasi menjadi sangat penting. Selain itu penerapan spesies pe;nting untuk studi epidemiologis kriptokokosis. Penelitian ini merupakan penelltian deskriptif untuk mengidentifikasi spesies dan serotipe serta virulensi jarnur. Seiai itu ingin diketahui penyebaran penyakit di Jabodetabek. Bahan yang diperiksa adalah 40 lsolat koleksi Departemen P.arasitologi FKUI dan 25 isolat dari cairan otak kulit dan darah. Metode pemeriksaan terdiri ata:s uji asimilasi (kit API 20C AUX), uji pembentukan germ tube, biakan pada medium CGB dan CDBT dan NSA. Penyebaran kasus kriptokokosis diadapatkan berdasarkan domisili pasien. Hasil uji asimilasi didapatkan Cr. neoformans (64 isolat), Cr. lat:rentii var. laurentfi (l isolat). Hasil uji pembentukan germ tube didapatkan bahwa jamur yang diteliti bukan golongan Candida. Penetapan spesies dengan medium CGB didapatkan seluruh isolat adaiah Cr. neoformans. Hasil penetapan serotipe dengan median CDBT didapatkan seluruh isoiat adalah Cr. neoformans serotipe A. Uji virulensi dengan medium NSA memperlihatkan pembentukan pigmen melanin pada semua isofat. Data demografis menunjukkan distribusi penderita kriptokokosis di Jim a wilayah DKI,.Bogor dan Bandung.

Cryptococcus is encapsulated yeast that caused Cryptococcosis in human. In the era of HIV/AIDS there is an increased number of cryptococcosis. Its clinical manifestation varied according to the species, so species idcntif1calion is quite important. Furthermore species identification is also important in epidemiology study. This descriptive study aimed to identify species and stereotype of Cryptococcus and also its virulence. The study also aimed to know the distribution of Cryptococcosis in Jabodetabek. There wex 40 isolates from the collection of Department of Parasitology FKUl. and other 25 isolates were isolated from spinal fluid, blood and skin. The study Vas done using API 20C AUX, germ tube fonnation test, CGB for the differentiation of Cryptococcus. gattii and Cryptococcus neoformans. and, CDBT for serotyping and melanine production by plating the isolates on niger seed agar. The study on the distribution of the disease was based on patients residence. The results were, 64 isolates of Cr. neoformans and 1 Cr. laurentii. Germ tube formation test is negative. Identification of species with CGB agar showed all isolates were Cr. neoformans. Stereotype identification with CDBT were all stereotype A. All isolate were capable of forming melanin when growth on NSA. Demographic data of the patients shows a wide distribution including 5 areas of DKI, Bogor and Bandung."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32385
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Natalia
"Cryptococcus adalah jamur penyebab tersering pada pasien imunokompromi. Pada penelitian ini, 200 isolat yang berasal dari cairan otak 20 pasien terinfeksi HIV ditetapkan spesies dan serotipenya, serta kepekaannya terhadap obat antifungal (amfoterisin B, flukonazol, vorikonazol, ketokonazol, flusitosin). Spesies dan serotipe Cryptococcus ditetapkan menggunakan medium canavanine glycine bromthymol blue (CGB) dan medium creatinine dextrose bromthymol thymine (CDBT), sementara kepekaan terhadap antifungal diuji dengan metode difusi cakram, NCCLS M-44A, approved guidelines. Spesies C. neoformans ditemukan pada 170 isolat (85%), dengan seluruhnya adalah serotipe A dan 30 isolat adalah C. gattii. Infeksi tunggal C. neoformans ditemukan pada 10 pasien, infeksi tunggal C. gattii pada satu pasien, dan infeksi campuran pada 9 pasien. Cryptococcus spp sensitif terhadap amfoterisin B (93,5%), flukonazol (88,5%), vorikonazol (100%) dan ketokonazol (98%). Resistensi primer terhadap flusitosin ditemukan pada semua isolat C. neoformans dan C. gattii (100%) sebelum dan sesudah terapi. Secara keseluruhan, C. gattii kurang peka dibandingkan C. neoformans terhadap seluruh obat antifungal.

Cryptococcus are common causes of mycoses in imunocompromised patient. In this study, 200 clinical cerebrospinal fluid from 20 HIV patient?s isolates of Cryptococcus were determine their species and serotypes, and their susceptibilities to antifungal (amphotericin B, fluconazole, voriconazole, ketoconazole, flucytosine) were analyzed. Cryptococcus species and serotypes were determined by canavanine glycine bromthymol blue (CGB) medium and creatinine dextrose bromthymol thymine (CDBT) medium, meanwhile antifungal susceptibilities were determined by disk diffusion method, NCCLS M-44A, approved guidelines. Species C. neoformans was found in 170 (85%) isolate with all of them was serotipe A dan 30 isolates (15%) were C. gattii. Single infection of C. neoformans was found in 10 patients, single infection of C. gattii in one patient and mixed infection in nine patients. Cryptococcus spp susceptible to amphotericin B (93,5%), fluconazole (88,5%), voriconazole (100%) and ketoconazole (98%). Primary resistance to flucytosine was found in all isolates C. neoformans and C. gattii (100%) before and after therapy. In general, C.gattii was less susceptible than C. neoformans to all drug tested. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sucipto
"Latar belakang: Infeksi intrakranial merupakan masalah yang menjadi tantangan berat bagi setiap dokter yang merawat. Tingkat kematian saat rawat inap pasien infeksi intrakranial sangat tinggi. Walaupun pasien infeksi intrakranial dapat keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup, namun berbagai komplikasi dan masalah paska rawat inap yang kompleks dapat menyebabkan kematian pasien saat rawat jalan.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif untuk mengetahui kesintasan 180 hari pada pasien infeksi otak yang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo. Populasi penelitian ini adalah subjek dari penelitian Optimization of Diagnosis and Treatment of Tuberculous Meningitis ODT-TBM selama periode Januari-Desember 2015. Keluaran 180 hari subjek diketahui dengan penelusuran data kunjungan rawat jalan melalui rekam medis, telepon, pesan singkat atau kunjungan rumah. Analisis kesintasan Total survival rate dilakukan dengan menggunakan analisis cox regression baik univariat maupun multivariat. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva kaplan meier.
Hasil: Didapatkan 218 pasien dengan diagnosis akhir infeksi intrakranial. Berdasarkan status HIV, didapatkan 47,7 subjek HIV positif dan 52,3 HIV negatif. Tingkat kesintasan 180 hari pasien infeksi intrakranial di RSCM secara umum adalah 43,5. Kesintasan pada kelompok HIV positif 32,7 secara bermakna p 0,005; Rasio Hazard 1,695 1,177-2,442 lebih buruk daripada HIV negatif 53,5. Faktor lain yang mempengaruhi kesintasan adalah usia, papiledema, suhu aksila awal, SKG awal, anemia, hiponatremia, gambaran herniasi serebri pada pencitraan otak, rasio glukosa CSS/serum, dan kadar protein CSS.
Kesimpulan : Tingkat kesintasan 180 hari pasien infeksi intrakranial pada penelitian ini rendah. Infeksi HIV secara bermakna mempengaruhi kesintasan pasien infeksi intrakranial.

Background: Managing brain infection patients is a challenge for every physician. Beside a very high in hospital mortality, many complexes problems and complications can cause patient die after discharge.
Methods: This is a retrospective cohort research to find 180 days outcomes of brain infection patients that admitted in Cipto Mangunkusumo Hospital. The study population is Optimization of Diagnosis and Treatment of Tuberculous Meningitis ODT TBM research subject that admitted in 2015. Health records, phone calls, short message or home visit is done to find patient rsquo s outcome. Total survival rate analysis is done with univariate and multivariate cox regression analysis. The comparison of survival rates between 2 groups is presented by Kaplan Meier curve.
Results: A total of 218 subjects were included in this study. There were 47,7 subjects with HIV positive and 52,3 HIV negative. Overall 180 days survival rates is 43,5. HIV status is strongly influenced the survival rate of brain infection patients in this study p value 0,005 Hazard Ratio 1,695 1,177 2,442. The survival rate of HIV negative subjects was 53,5 that significantly higher than HIV positive subjects 32,7. Other factors that influenced the survival rate in this research are age, papil edema, early axial temperature, Glasgow coma scale, anemia, hyponatremia, imaging of brain herniation, blood CSF glucose ratio and CSF protein.
Conclusion: The survival rate of brain infection patients in this research is low. HIV infection significantly influenced patients rsquo survival rates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiroy Junita
"Pembukaan status merupakan faktor penting yang diketahui mempengaruhi kepatuhan minum obat antiretroviral dan telah banyak diteliti di negara-negara dengan beban infeksi HIV tinggi. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan pembukaan status dengan kepatuhan minum obat pada pasien anak terinfeksi HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan sampel sebanyak 94 pengasuh dari 101 pasien anak terinfeksi HIV. Pengumpulan data pembukaan status dilakukan melalui kuesioner yang dibuat oleh peneliti, sedangkan data kepatuhan minum obat diambil menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari instrumen multimetode yang dikembangkan oleh Gavin Steel, dkk. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar pengasuh berjenis kelamin perempuan 89,4 , memiliki pendidikan terakhir SMP-SMA 64,9 , memiliki pendapatan di bawah upah minimum provinsi UMP Jakarta 75,5 , tergabung ke dalam kelompok dukungan sebaya 55,3 , dan bukan orangtua kandung dari pasien anak terinfeksi HIV 51,1 . Sebagian besar pasien anak terinfeksi HIV berusia 7 hingga di bawah 12 tahun 69,3 , berjenis kelamin perempuan 50,5 , menjalani terapi ARV lini 1 66,3 , belum mengalami pembukaan status HIV 71,3 , dan memiliki kepatuhan minum obat sedang 50,5 . Dari uji Chi-square diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kepatuhan minum obat antara pasien anak terinfeksi HIV yang telah mengalami pembukaan status dengan yang belum mengalami pembukaan status p 0,367.

Disclosure is an important factor known affecting adherence to antiretroviral therapy that has been extensively studied in high burden countries. This research aims to determine relationship between disclosure and adherence among HIV infeceted children in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. This research is a cross sectional study with samples of 94 caregivers from 101 HIV infected children. Disclosure data was collected using questionnaire reproduced by researcher, while adherence data was collected using questionnaire adapted from a multi method instrument developed by Gavin Steel, et.al. in West Africa. Demographic data shows that most caregivers are women 89.4 , have middle school education 64.9 , have income less than minimum regional wage of Jakarta 75.5 , join peer group 55.3 , and are not the biological parents of infected children 51.1 . Most children are girls 50.5 , currently in 1st line antiretroviral therapy 66.3 , have not been disclosed 71.3 , dan have moderate level of adherence 50.5 . Statistical analysis using Chi Square shows no relationship between disclosure and adherence among HIV infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital p 0.367."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70345
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>