Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43005 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anita Santoso
"Latar belakang: Angka kejadian mual-muntah pascabedah sekitar 20-30 % dari seluruh pembedahan umum dan lebih kurang 70-80% pada kelompok risiko tinggi. Ketersediaan obat-obatan untuk mencegah mual-muntah pascabedah (PONV) sering sulit didapat, tidak hanya di daerah terpencil, tetapi juga di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Terdapat bukti bahwa terapi nonfarmakologis seperti mengunyah permen karet efektif untuk menurunkan risiko PONV. Dalam penelitian ini, kami mengevaluasi efek mengunyah permen karet sebagai ajuvan metoklopramide dalam mengurangi PONV.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Sejumlah 116 subjek yang akan menjalani pembedahan mata dibagi menjadi 2 kelompok (metoklopramid 10 mg iv dan metoklopramid 10 mg iv ditambah aktivitas mengunyah). Metoklopramide IV diberikan pada akhir pembedahan, sebelum pasien diekstubasi. Kelompok kedua diminta mengunyah permen karet selama 15 menit di ruang pemulihan. Efektivitas mual-muntah pascabedah dinilai dari kejaidan mual-muntah dan derajatnya sampai 24 jam pascabedah (jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, jam ke-18, dan jam ke-24).
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara dua kelompok untuk kejadian PONV dengan nilai p= 0,016. Namun, penilaian derajat keparahan PONV tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Penambahan aktivitas mengunyah permen karet sebagai ajuvan metoklopramid efektif untuk pencegahan PONV.

Background: Incidence of PONV is around 20-30% in patients who underwent surgery with general anesthesia, and up to 70-80% in high risk patients. Availability of PONV drugs is often limited, not only in rural area, but also in Cipto Mangunkusumo Hospital. Evidence showed that non-pharmacological therapy such as chewing gum is effective in reducing PONV. In this study, we evaluated the effect of chewing gum as adjuvant to metoclopramide for reducing PONV.
Method: This is a single-blind randomized controlled trial. One hundred and sixteen adult subjects scheduled for elective ophthalmologic surgery with general anesthesia were allocated into two groups (IV metoclopramide 10 mg and IV metoclopramide 10 mg plus chewing gum). IV metoclopramide was given at the end of surgery, before the patient were extubated. The second group was instructed to chew gum for 15 minutes in recovery room. Effectiveness to prevent PONV was measured by incidence of PONV and its degree of severity up to 24 hours post operatively (2-hour, 6-hour, 12-hour, 18-hour, and 24-hour).
Results: The difference in PONV incidence is statistically significant between two groups (p=0.016). However, degree of PONV severity is not significant.
Conclusion: Chewing gum as an adjuvant to metoclopramide is effective for PONV prevention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vickers, M.D.
London: Butterworth, 1978
615.102 VIC d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
A.A. Gde Putra Semara Jaya
"Latar Belakang. Bedah jantung terbuka mengakibatkan nyeri dan respons stres pascabedah yang dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Blok transversus thoracis plane merupakan blok interfascial dalam di area parasternal untuk mengatasi nyeri sternotomi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka terhadap kontrol. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis terkontrol acak tersamar ganda. Tiga puluh empat subjek yang memenuhi syarat yang menjalani operasi jantung elektif antara September 2020 dan Agustus 2001 secara acak dimasukkan ke kelompok blok TTP atau kontrol. Penelitian membandingkan beda rerata konsumsi morfin 24 jam pascabedah, waktu pertama dosis morfin pascabedah, waktu ekstubasi, konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Penelitian juga ingin mengetahui konsumsi fentanil intraoperatif, waktu pertama opioid rescue intraoperatif, komplikasi, efek samping opioid, dan lama rawat inap. Hasil. Konsumsi morfin 24 jam pertama pascabedah lebih tinggi secara bermakna (p<0,001) pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok blok TTP. Waktu pertama pemberian morfin pascabedah lebih lama secara bermakna (p<0,001) pada kelompok blok TTP dibandingkan kelompok kontrol. Waktu ekstubasi tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol. Konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Kesimpulan. Penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral tidak terbukti lebih efektif dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka dibandingkan dengan kontrol.

Background. Open-heart surgery is a major surgery that causes postoperative pain and surgical stress response, contributing further to postoperative complications and morbidity. Transversus thoracis muscle plane block is a deep interfascial block in the parasternal area to treat sternotomy pain. This study aimed to compare the effectiveness of bilateral transversus thoracis muscle plane blocks in reducing pain and stress response after open-heart surgery versus control. Methods. This is a prospective, double-blind, randomized control trial. Thirty-four eligible subjects who underwent elective cardiac surgery between September 2020 and August 2001 were randomly assigned to the TTPB or control group. The primary outcomes were the different means of 24-hour postoperative morphine consumption, time of first postoperative morphine dose, extubation, postoperative plasma levels of IL-6 and cortisol at 24 hours and 48 hours after surgery. The secondary outcomes were intraoperative fentanil consumption, time of first intraoperative opioid rescue, complication, opioid side effects, and length of stay. Results. The 24-hour postoperative morphine consumption was significantly higher (p<0.001) in the control group than in the TTPB group. The time of first postoperative morphine dose was significantly longer (p<0.001) in the TTPB group than in the control group. Extubation time was not statistically different between the TTP block group and the control group. Plasma levels of IL-6 and cortisol were not statistically different between the TTP block group and the control group at 24 hours and 48 hours after surgery. Conclusion. The bilateral transversus thoracis muscle plane blocks were not shown to be more effective in reducing pain and stress response after open-heart surgery compared to controls."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cipta Suryadinata
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi meningkatkan morbiditas, komplikasi pulmonal dan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit. Teknik anestesia perioperatif dapat meningkatkan manajemen nyeri dan tingkat kepuasan pasien. Anestesia epidural dapat dikombinasikan dengan ajuvan untuk meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi analgesia, mengurangi kebutuhan opiod dan efek sampingnya. Morfin memberikan kualitas analgesia yang baik tapi berkaitan dengan sering munculnya efek samping. Deksametason merupakan glukokortikoid yang dapat digunakan sebagai ajuvan anestesia epidural. Penelitian ini mencoba mengetahui perbandingan efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 64 subyek dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok untuk mendapatkan regimen epidural bupivakain 0,125 12,5 mg deksametason 8 mg kelompok bupivakain-deksametason dan bupivakain 0,125 12,5 mg morfin 2 mg pascaoperasi kelompok bupivakain-morfin . Subyek kemudian mendapatkan anestesia umum tanpa pemberian regimen epidural intraoperatif. Sesaat sebelum operasi belum selesai subyek diberikan parasetamol 1 gr iv. PCA morfin pascaoperasi diberikan bila VAS >4. Pasien dilakukan penilaian kebutuhan opioid, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan, rerata derajat nyeri dan efek samping analgesia epidural pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama pascaoperasi.Hasil: Kebutuhan opioid 24 jam pascaoperasi, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan dan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok didapatkan hasil tidak berbeda bermakna dengan nilai p 0,701, 0,729, dan 0,817. Kejadian mual/muntah didapatkan pada kelompok bupivakain-morfin 1,6 .Simpulan: Penambahan ajuvan deksametason 8 mg memiliki efektivitas yang sama dengan penambahan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Dosis deksametason 8 mg tidak berkaitan dengan timbulnya efek samping.Kata Kunci: ekstremitas bawah, pascaoperasi, epidural, bupivakain, morfin, deksametason, nyeri

ABSTRACT
Background Post operative pain enhances morbidity, pulmonary complications and increases hospital length. The technique of perioperative anesthesia can improve pain management and patient satisfaction. Epidural anesthesia can be combined with adjuvants to improve the quality of analgesia, prolong the duration analgesia, reduce opioid requirements and side effects. Morphine provides good quality analgesia but it associated with adverse effects. Dexamethasone is a glucocorticoid that can be used as an adjuvant of epidural anesthesia. This study attempt to determine the effectiveness comparison of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg addition as adjuvants in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity.Methods In this double blinded randomized clinical trial, we evaluate the effectiveness of adjuvant addition of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity surgery. After obtaining permission from the ethic committee and informed consent, a total 64 subjects with consecutive sampling were randomly allocated to two groups to receive a total volume of 10 ml epidural plain bupivacaine 0,125 12,5 mg with either 8 mg dexamethasone in the bupicaine dexamethasone group or 2 mg morphine in bupivacaine morphine group. Subjects then receive general anesthesia without epidural regimen administration intraoperatively. Shortly before the end of operation subjects were given intravenous paracetamol 1 gr. Patient Controlled Analgesia PCA of morphine was given when Visual Analog Scale VAS 4. Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement, pain score and adverse effects in both group were recorded within the first 24 hours postoperatively.Result Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement and pain score between the two groups showed no significant difference with p value respectively 0.701, 0.729 and 0.817. The incidence of nausea vomiting was found in the bupivacaine morphine group 1,6 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg had the same effectiveness as morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12.5 mg epidural for post operative analgesia in the lower extremity surgery. Dosage of dexamethasone 8 mg was not associated with adverse events.Keywords lower extremity, post operative, epidural, bupivacaine, morphine, dexamethasone, pain "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Handayani Putri
"ABSTRAK
Latar Belakang: Quality of Recovery-40 (QoR-40) adalah salah satu instrumen yang telah digunakan luas di dunia untuk menilai kualitas pemulihan pascaanestesia umum. Saat ini belum ada instrumen spesifik yang menilai kualitas pemulihan pascaanestesia di Indonesia.
Metode: Hasil terjemahan akan diujikan pada minimal 102 pasien yang menjalani anestesia umum satu hari praoperasi dan satu hari pascaoperasi. Uji kesahihan isi menggunakan koefisien Aiken v, uji kesahihan konstruksi (analisis faktor dan uji korelasi pearson), Konsitensi Internal ( Chronbach α), ketanggapan (responsiveness) dengan Standart respon mean (SRM) .
Hasil: Uji kesahihan isi formula Aiken V didapatkan bahwa QoR-40 versi Indonesia sahih dengan nilai ≥ 0,5. Uji kesahihan konstruksi dengan analisis faktor menunjukan semua faktor memiliki korelasi yang tinggi (korelasi ≥ 0,5). Uji korelasi Pearson didapatkan 3 item pertanyaan dari dimensi dukungan tehadap pasien yang tidak sahih, (Mendapat dukungan dari dokter Rumah Sakit, ρ= 0,252), (Mampu memahami arahan dan nasehat ρ= 1,98), (Merasa bingung ρ= 0,202). Standart Respon Mean (SRM) pada Uji ketanggapan adalah 1,06. Terdapat hubungan negatif antara skor QoR-40 versi Indonesia dengan lama masa rawatan
Simpulan: QoR - 40 versi Indonesia menunjukkan kesahihan dan keandalan yang memuaskan. Dimensi dukungan terhadap pasien dengan koefisien kesahihan terendah dan tiga pertanyaan yang tidak memiliki kesahihan konstruksi. Ada hubungan negatif antara skor QoR - 40 versi Indonesia dengan panjang pengobatan . Penelitian ini menghasilkan instrumen QoR - 40 versi Indonesia yang memiliki ketanggapan atau sensitif untuk menilai perubahan klinis pascanestesia umum.

ABSTRACT
Background: Quality of Recovery-40 (Qor-40) is one of the instruments that have been used widely in the world to assess the quality of recovery after general anesthesia. Currently there is no specific instrument that assesses the quality of recovery after general anesthesia in Indonesia.
Methods: The translation will be tested on at least 102 patients undergoing general anesthesia preoperative one day and one day postoperative. Test the validity of the content using the coefficient Aiken V, Construction validity (factor analysis and Pearson correlation), Internal consistency (Chronbach α), responsiveness with Standard response mean (SRM).
Results: Test the content validity of Aiken V formula found that Qor-40 Indonesian version valid with a value of ≥ 0.5. Test construction validity by factor analysis showed all the factors have a high correlation (correlation ≥ 0.5). Pearson correlation test item obtained 3 question in patient support dimension not valid, ( Getting support from Hospital doctors, ρ = 0.252), (Able to understand the direction and advice of ρ = 1.98), (Feeling confused ρ = 0.202). SRM on test responsiveness 1,06. There is a negative correlation between the scores Qor-40 version Indonesia with long term care
Conclusion: QoR-40 Indonesian version showed satisfactory validity and reliability. Dimensions support to patients with the lowest validity coefficient and three questions that do not have construction validity. There is a negative relationship between the score Qor-40 version of Indonesia with the length of treatment. This research resulted in the instrument Qor-40 Indonesia version (responsivness) or sensitive to assess clinical changes after general anesthesia."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Riviq Said
"Tujuan: Membandingkan keefektifan klonidin dan meperidin dalam mencegah menggigil pasta anestesia umum.
Metode: Uji KIinik Acak Tersamar Ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Maret sampai Mei 2006, dengan jumlah sampel 61 ()rang dan dikeluarkan 5 sampel, sehingga tersisa 56 sampel yang menjalani operasi berencana dan anestesia umum. Pasien dibagi secara acak kedalam 2 kelompok; 28 pasien mendapatkan klonidin 1,54g/kgBB sebagai premedikasi dan 28 pasien Iainnya mendapatkan meperidin 0,35mg ketika isofluran dihentikan. Dilakukan pencatatan pasta operasi kejadian menggigil pada kedua perlakuan, dilakukan juga pencatatan terhadap efek samping pada kedua kelompok perlakuan. Analisa statistik untuk melihat perbedaan kekerapan antara kedua perlakuan dilakukan uji Chi Square.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok perlakuan dalam haI kekerapan kejadian menggigil.

Objective: To compare the effectiveness of Clonidin and Meperidin in preventing the post-anesthesia shivering.
Methods: Double-blinded, randomized clinical trial. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital Central Surgery Room from March until May 2006 to 61 adult patients who went to elective surgery and were planned to be under general anesthesia, 5 of them were excluded The rest were divided randomly into two groups; 28 patients were given 1,5 pg/kg BW Clonidin intravenously as premedication and the other 28 patients were given 0,35 mg/kg BW Meperidin intravenously when Isoflurane was stop. The incidence of post-anesthesia shivering and adverse-effect on both groups were recorded. Chi Square method was performed to identify the frequency difference between the two groups.
Result: There were no significant statistical differences' between the two groups in a matter of frequency of shivering.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
"Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Citra Resmi
"Tujuan : Mengetahui kondisi intubasi 60 delik setelah peinberian rokuronium 0,6 mg/kg berat badan dengan menggunakan teknik induksi kombinasi propofol-efedrin 10 mg intravena dan teknik induksi propolbl intravena.
Desain: Prospektif, data dikumpulkan pada salah pusat penelilian dengan uji acak tersamar ganda.
Metode: 42 pasien dengan status fisik ASA 1 atau 2 yang akan dilakukan pembedahan berencana dengan anestesia uimnl dan intubasi endotrakea disertakan dalaah penelitiaa ini. Pasien dibagi dalam dua kelompok, kelompok I diberikan kombinasi propofol 2,5 mg/kg berat badan-efedrin 10 mg intravena (kelompok efedrin) dan kelompok II diberikan propofol 2,5 mg/kg berat badan intravena (kelompok salin). Premedikasi dengan midazolam 0,05 mg/kg berat badan dan fentanyl 1 pg/kg berat badan diberikau 3 merit sebeluin induksi. Setelah pemberian obat induksi, diberikan rokuronium 0,6 mg/kg berat badan. Kondisi intubasi dinilai bcrdasarkan kritcria Krieg dan peman[auan neuromuskular dengan nicnggunakan Train-of-four pada otot adductor pollicir.
Hasil: Kelompok efedrin didapatkan kondisi intubasi yang sangat baik 85,7% dan baik 14,3%. Kelompok satin didapatkan kondisi intubasi yang sangat balk 75% dan baik 25%.
Kesimpulan . Kondisi intubasi 60 delik selclah pemberian rokuronium 0,6 mg/kg berat badan dengan inenggunakan teknik induksi kombinasi propofol-efedrin 10 ing intravena saina baiknya dengan teknik induksi propofol intravena.

Objective : The aim of this study was to evaluate intubating conditions 60 second after rocuronium 0,6 mg/kg body weight administration using induction technique propofol-ephedrine 10 mg intravenous in combination and induction technique propofol intravenous.
Design : Prospective, randomiked controlled trial study.
Methods : 42 patients with physical status ASA 1 or 2 who were scheduled for elective surgery requiring general anaesthesia and tracheal intubation. Patients were randomly assigned to receive either propofol 2,5 ing/kg body weight-ephedrine 10 mg intravenous in combination (ephedrine group) or propofol 2,5 mg/kg body weight intravenous (saline group). Premedication drugs were midazolam 0,05 mg/kg body weight and fenlanyl l }mg/kg body weight, 3 minute prior to induction. Alter induction drugs were administered. then rocuronium 0,6 inglkg body weight was given. Criteria of Krieg was used to evaluate when intubating conditions and neuromuscular function which was assessed by using Train-of dour monitoring at the adductor pollicis.
Results : In the ephedrine group the intubating conditions were excellent 85,7% and good 14,3%. In the saline group the intubating condition were excellent 75% and good 25%.
Conclusion : intubating conditions 60 second after rocuronium 0,6 mg/kg body weight administration using induction technique propofol-ephedrin 10 mg intravenous in combination as good as induction technique propofol intravenous.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosanti Khalid
"Latar Belakang : Tingkat kepuasan pasien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan anestesia, baik rawat inap maupun rawat jalan. Bedah rawat jalan menawarkan banyak kelebihan dibandingkan rawat inap, sehingga berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sebagian besar jenis anestesia pada bedah rawat jalan adalah anestesia umum. Perkembangan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan anestesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan pasien dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tingkat kepuasan pasien dapat memberikan feedback untuk meningkatkan kualitas pelayanan anestesia pada instalasi bedah rawat jalan.
Tujuan : Mengetahui tingkat kepuasan pasien yang menjalani anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang memengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang. Dilakukan penilaian tingkat kepuasan pada 76 pasien dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun yang menjalani pembiusan umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi dan menandatangani surat persetujuan penelitian, pulang dihari yang sama setelah pembedahan atau dirawat kurang dari 24 jam. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji univariat dan bivariat.
Hasil : Uji univariat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap anestesia umum rata-rata diatas 70 %. Sedangkan dari uji bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.
Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karakteristik pasien yang memengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.

Background : Patient satisfaction has been one of quality indicators in anesthesia services whether it is inpatient or outpatient. Ambulatory surgery offers more advantages compares to inpatient services, thus it developed nicely in Indonesia especially in RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta where most patients undergone general anesthesia. This development is yet to be offset by improvement in anesthesia quality services. Thus, it is needed to assess patient satisfaction and factors. Patient satisfaction can give feedback to improve quality of anesthesia services in ambulatory surgery.
Purpose : The purpose of this study was to know patient satisfaction toward general anesthesia and influencing factors in ambulatory surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Methods : This is a cross sectional study. Patient satisfaction was assessed in 76 patients using validated questionnaire. The inclusion criteria were age 18-65 undergoing general anesthesia in Ambulatory Surgery, Bahasa speaking, able to read and write, and agreed to participate in this study by signing research consent and discharged on the same day or hospitalized less than 24 hours after surgery. Result was processed using SPSS with univariate and bivariate test.
Results: Univariate test showed patient satisfaction toward general anesthesia was above 70%. While Bivariate test indicated factors influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
Conclusion : Patients were satisfied with general anesthesia services in Ambulatory Surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patient characteristics influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond
"Latar Belakang: Tindakan pembedahan dengan invasi minimal seperti laparoskopi abdomen seringkali menjadi modalitas terpilih dengan perkembangan teknologi. Selama pembedahan, digunakan teknik anestesi umum pada pasien. Teknik anestesi yang ideal adalah teknik yang dapat menjaga kestabilan kardiovaskular dan respirasi, mengurangi kejadial mual muntah pascabedah, serta dapat mengurangi derajat nyeri pascabedah. Namun, prosedur laparoskopi menyebabkan perubahan fisiologis akibat kondisi pneumoperitoneum yang disebabkan oleh insuflasi gas karbon dioksida selama pembedahan, yang merupakan sebuah tantangan tambahan dalam pemberian anestesi yang ideal. Maka, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penggunaan kombinasi anestesi umum dan spinal dengan anestesi umum saja dalam pembedahan laparoskopi abdomen.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak terkendali tanpa penyamaran pada pasien laparoskopi abdomen di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemberian anestesi umum menggunakan lidokain, fentanyl, propofol, dan rocuronium. Pemberian anestesi spinal menggunakan bupivakain 10 mg. Luaran yang dinilai berupa kebutuhan opioid intraoperatif, kestabilan MAP, nyeri pascabedah, dan kejadian post-operative nausea and vomiting (PONV).
Hasil: Kombinasi anestesi umum dan spinal menyebabkan penurunan kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif (p<0.001), kestabilan MAP yang lebih baik (p<0.009), dan penurunan nyeri pascabedah secara signifikan dibandingkan kelompok anestesi umum. Tidak terdapat perbedaan signifikan dari tingkat kejadian PONV. Simpulan: Kelompok anestesi umum dan spinal menunjukan penurunan kebutuhan opioid intraoperatif dan MAP yang lebih stabil pada tindakan laparaskopi dibandingkan dengan kelompok anestesi umum.

Background: Minimally invasive surgical procedures such as laparoscopic abdominal surgery have often become the preferred modality with technological advancements. During surgery, general anesthesia techniques are employed in patients. The ideal anesthesia technique is one that can maintain cardiovascular and respiratory stability, reduce postoperative nausea and vomiting, and alleviate postoperative pain. However, laparoscopic procedures induce physiological changes due to pneumoperitoneum conditions caused by the insufflation of carbon dioxide gas during surgery, posing an additional challenge in achieving ideal anesthesia. Therefore, this study aims to compare the effectiveness of using a combination of general and spinal anesthesia with general anesthesia alone in laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This research is a controlled randomized clinical trial without masking on patients undergoing laparoscopic abdominal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. General anesthesia is administered using lidocaine, fentanyl, propofol, and rocuronium, while spinal anesthesia is administered using bupivacaine. The assessed outcomes include intraoperative opioid requirements, MAP stability, postoperative pain, and the incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV).
Results: The combination of general and spinal anesthesia resulted in a significant reduction in intraoperative fentanyl opioid requirements (p<0.001), better MAP stability (p<0.009), and a significant decrease in postoperative pain compared to the general anesthesia group. There was no significant difference in the incidence of PONV .
Conclusion: The combination of general and spinal anesthesia group showed decreased intraoperative opioid requirements and more stable in mean arterial pressure (MAP) during laparoscopic procedures compared to general anesthesia group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>