Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202156 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fadlika Harinda
"Pasien rawat inap ICU sering ditemui dengan keadaan balans cairan akumuatif positif. Hal ini dapat menjadi penanda biologis sekaligus faktor risiko perburukan gagal fungsi organ dan kematian. Untuk itu, koreksi balans cairan utamanya pada pasien dengan urin output berkurang diperlukan. Furosemid merupakan agen diuretik pilihan. Akan tetapi, furosemid dapat menyebabkan abnormalitas elektrolit. Atas dasar itu, dilakukan studi analisis komparatif antara perubahan kadar elektrolit dan pH serum terhadap penggunaan furosemid pada pasien balans cairan akumulatif positif di ICU. Dengan desain penelitian kohort retrospektif, diperoleh 222 sampel rekam medik RSCM melalui metode consecutive sampling. Data penggunaan furosemid dan perubahan kadar elektrolit dan pH serum dimasukkan dalam tabel kemudian dianalisis menggunakan uji T tidak berpasangan.
Hasil menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan kadar elektrolit dan pH serum dengan penggunaan furosemid pada pasien balans positif di ICU (p>0,05). Furosemid dapat menyebabkan penurunan kadar elektrolit dan fluktuasi pH pada pengukuran 0, 24, 48, dan 72 jam pasca pemberian. Hal ini dapat terjadi akibat adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap retensi Na+-K+-Cl- pada urin yang terjadi sebagai efek kerja dari furosemid. Hal ini kemudian dikompensasi dengan retensi H+ yang menyebabkan fluktuasi pada pH. Meskipun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi secara statistik tidak berbeda bermakna.

hospitalized patients are often found with positive accumulative fluid balances. This can be a biological marker as well as a risk factor for worsening organ function failure and death so that correction of fluid balance is necessary. However, as one of preferred diuretic agent, furosemide can cause electrolyte abnormalities. This retrospective cohort study was carried out to analyze difference between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage in patients with positive accumulative fluid balance in intensive care. Data collected from 222 medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital obtained by consecutive sampling. The use of furosemide and changes in serum electrolyte levels and pH data were analyzed using independent T-test.
The results show that there are no significance differences between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage (p> 0.05). A decrease in electrolyte levels on 0, 24, 48, and 72 hours after furosemide use measurements can occur due to body's compensation mechanism for urinary Na+-K+-Cl- retention as main effect of furosemide. This plasma electrolyte repletion is compensated by plasma H+ retention and the fluctuation of pH occurred. Even so, changes that occur statistically have no significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Ayu Agustin
"Hampir 100% anak yang dirawat di rumah sakit terpasang infus untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Cairan dan elektrolit merupakan bagian konservasi energi yang dibutuhkan anak untuk mempertahankan fungsi tubuh secara utuh. Model Konservasi Levine berfokus pada peningkatan adaptasi melalui prinsip konservasi untuk mencapai keutuhan diri. Karya ilmiah ini membahas proses keperawatan terhadap lima orang anak yang terpasang infus. Salah satu tindakan konservasi energi untuk optimalisasi pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit anak adalah deteksi dini plebitis menggunakan skala Infusion Nurse Society dengan pendekatan model konservasi Levine. Hasil evaluasi kelima kasus yang mengalami masalah cairan dan elektrolit menunjukkan 4 kasus masalah teratasi dan satu kasus belum teratasi karena klien mengalami perburukan saat hendak pulang. Deteksi dini plebitis turut berperan penting mempertahankan kelancaran akses intravena untuk terapi cairan dan elektrolit.

Almost 100% of children admitted who inserted infusion to overcome the problem of fluid and electrolyte imbalance. Fluid and electrolyte are part of children energy conservation need to adapt to maintain the body functions as a whole. Levine?s conservation model focuses on improving adaptation through conservation principles to achieve wholeness. One of energy conservation intervention to optimize of Children?s Fluid and Electrolyte Fulfillment through Early Detection using Infusion Nurse Society Phlebitis Scale with Levine?s Conservation Model Approach. This paper discusses the nursing process to the five children who inserted infusion. The results of the evaluation of the five cases that have problems of fluid and electrolyte showed 4 cases the problem is resolved and the case is not resolved because the client experience worsening when going home. Early detection of phlebitis has an important role in maintaining intravenous access for fluid and electrolyte therapy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Varian Marcevianto
"Latar Belakang: Sebanyak 86% pasien dengan administrasi cairan mengalami akumulasi cairan positif hingga menyebabkan 35% dari seluruh pasien ICU tahun 2009-2012 mengalami volume cairan berlebih. Efek terburuk akibat hal ini adalah kegagalan multi sistem organ tubuh. Sehingga, salah satu penanganan volume cairan berlebih adalah intervensi diuresis untuk menyelesaikan masalah fisiologis. Masih belum dibuktikan melalui penelitian mengenai manfaat penyelesaian disfungsi sistem organ dari diuresis furosemid untuk menurunkan balans cairan di saat pasien justru mengalami hipoperfusi organ serta berbagai efek samping dari furosemid tersebut.
Tujuan: Atas dasar itu, dilakukan penelitian berupa analisis hubungan antara perubahan status disfungsi sistem organ berdasarkan skor MSOFA dengan penggunaan furosemid, beserta analisis data demografik dan klinik pasien volume cairan berlebih di perawatan intensif.
Metode: Desain penelitian merupakan kohort retrospektif dengan pengambilan data dari 194 sampel rekam medik yang didapatkan secara consecutive sampling. Data penggunaan furosemid dan perubahan skor MSOFA pada pasien fluid overload dimasukkan dalam tabel 2x2, kemudian dianalisis menggunakan metode chi square.
Hasil: Hasil membuktikan bahwa terdapat hubungan signifikan antara perubahan status disfungsi sistem organ dengan penggunaan furosemid pada pasien perawatan intensif (p<0,05). Nilai risiko relatif menunjukkan bahwa penggunaan furosemide justru menghasilkan nilai MSOFA yang lebih tinggi sebanyak 1,271 kali daripada pasien yang tidak menggunakan furosemide (95% IK 1,108 - 1,458).
Diskusi: Penggunaan furosemid memperburuk disfungsi organ berdasarkan skor MSOFA. Hal ini dapat terjadi akibat efek iatrogenik kekurangan balans cairan dan efek samping. Data klinis yang berkorelasi signifikan dan perlu dianalisa lebih lanjut, mencakup: balans cairan sebelum dan sesudah terapi, faktor risiko, dan komponen disfungsi sistem organ.

Background: Eighty-six percent of patients were administrated with IV Fluid resuscitation had positive fluid accumulation that results in fluid overload in 35% of all ICU patients in 2009-2012. The worst consequence of this situation is multi organs failures. Thus, one of the fluid overload treatment is pharmacological diuresis to solve the physiological problems. Despite of its adverse effects and fluid balance decrement on the hypoperfusion organ, the organ failure resolution of furosemide usage has not been proven through any research. Hence, a research which analyzed the correlation of organ system failure status based on modified sequential organ failure assessment score with furosemide usage on intensive care patient and their demographics data has been conducted.
Method: The research design was a retrospective cohort which analyzed 194 subjects from Cipto Mangunkusumo Hospital ICU medical records selected by consecutive sampling method. Data of furosemide usage and MSOFA Score changes were recorded to the 2x2 table, then they were analyzed by chi square method.
Results: The result proves that there is significant association between worsening organ system failure with furosemide usage on critically ill patients (p<0,05), especially in cardiovascular and central venous system. The relative risk result shows that furosemide usage resulted in higher MSOFA score 1,271 times more than those patients with no furosemide diuresis usage (95% CI 1,108 - 1,458).
Conclusions: The furosemide usage worsens the organ failure based on MSOFA score. These can be resulted by iatrogenic effect of too negative fluid balance and furosemide's adverse effects in the patients. There are clinical data which have significant correlation and can be analysed further, including: fluid balance before and after therapy, risk factors, and organ failure components.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Iman Nugraha
"Latar Belakang: Coronavirus Disease (COVID-19) adalah penyakit yang menjadi pandemi diseluruh dunia sejak awal tahun 2020 dengan memiliki angka kematian yang tinggi. Derajat klinis COVID-19 beragam dari mulai ringan hingga kritis. Pasien COVID-19 derajat kritis dengan kondisi sindrom gawat napas akut (ARDS) yang menggunakan ventilasi mekanis memiliki angka kematian yang tinggi. Penelitian yang berfokus kepada lama kesintasan pasien COVID-19 derajat kritis dengan ventilasi mekanis terutama di Indonesia masih belum banyak dilakukan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan analisis kesintasan pada pasien COVID-19 derajat kritis yang menggunakan ventilasi mekanis dalam rentang Maret 2020 sampai September 2020. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan data subjek yang memenuhui kriteria inklusi diambil dari rekam medis.
Hasil Penelitian: Terdapat 70 subjek, 51 subjek memiliki kelengkapan rekam medis dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Mayoritas subjek merupakan laki-laki (58,8%), rerata usia subjek 55,98 tahun (+ 11,96) dengan median IMT 23,9 kg/m2(17-54). Median durasi penggunaan ventilasi mekanis 4 hari (1-20) dengan angka kesintasan 7,8% dan kematian 92,2%. Nilai median kadar PaO2/FiO2 72 mmHg (31-606) dengan mayoritas sindom gawat napas akut derajat berat (84,3%). Median kesintasan pasien COVID-19 derajat kritis dengan ventilasi mekanis adalah 4 hari (IK95% ; 3,139-4,861) dan rerata kesintasan 5,5 hari (IK95% ; 4,213-6,922). Median kesintasan subjek dengan sindrom gawat napas akut berat adalah 4 hari (IK95% ; 3,223-4,777). Median kesintasan subjek tanpa sindrom gawat napas akut berat adalah 6 hari (IK95% ; 2,799-9,201) HR 0,802 (IK95% ; 0,337-1,911) p = 0,619. Median kesintasan subjek dengan hiperkapnia adalah 2 hari (IK95% ; 0,00-4,006) HR 0,613 (IK95% ; 0,3030-1,242) dan p = 0,174. Median kesintasan subjek dengan hiponatremia adalah 3 hari (IK95% ; 2,157-3,843) HR 0,897 (IK95% ; 0,5-1,610) p = 0,716. Median kesintasan subjek dengan hiperkalemia adalah 2 hari (IK95% 2,0-2,0) HR 0,293 (IK95% ; 0,061-1,419) p = 0,127.
Kesimpulan: Angka kesintasan pasien COVID-19 derajat kritis dengan ventilasi mekanis pada awal pandemi memiliki angka yang rendah dengan lama kesintasan selama 4 hari. Derajat sindrom gawat napas akut sebelum intubasi, hiperkapnia, hiperkalemia dan hiponatremia memengaruhi lama kesintasan.

Background: The severity of Coronavirus Disease year 2019 (COVID-19) varies from mild to critical. Critically ill COVID-19 patients with acute respiratory distress syndrome (ARDS) receiving mechanical ventilation have a high mortality rate. Research that focuses on the survival time of critically ill COVID-19 patients receiving mechanical ventilationhas not been carried out especially in Indonesia.
Methods: This retrospective survival cohort analysis observed critically ill COVID-19 patients receiving mechanical ventilation treated at a national respiratory center in Jakarta, Indonesia, between March and September 2020. Sampling was carried out by consecutive sampling and data of subjects who met the study criteria were obtained from medical records.
Results: Among 70 subjects, 51 subjects had complete medical records and met the study criteria. Subjects were predominately male (58.8%), mean age 55.98+11.96 years and median BMI 23.9 (IQR17-54) kg/m2. The median duration of mechanical ventilation was 4 (IQR 1-20) days with a survival rate of 7.8%. The median PaO2/FiO2 ratio was 72 (IQR 31-606)as the most of the subjects suffered from severe ARDS (84.3%). The median survival of critically ill COVID-19 patients with mechanical ventilation was 4 days (95%CI;3.139-4.861) and the mean survival was 5.5 days (95%CI;4.213-6.922). The median survival of subjects with severe ARDS was 4 days (95% CI;3.223-4.777). Median survival of subjects without severe ARDS was 6 days (95%CI; 2.799-9.201) with HR=0.802 (95%CI;0.337-1.911, p=0.619). The median survival of subjects with hypercapnia was 2 days (95%CI;0.00-4.006) with HR=0.613 (95%CI;0.3030-1.242, p=0.174). Median survival of subjects with hyponatremia was 3 days (95%CI;2.157-3.843) with HR=0.897 (95%CI; 0.5-1.610, p=0.716). Median survival of subjects with hyperkalemia was 2 days (95%CI;2.0-2.0) with HR=0.293 (95% CI; 0.061-1.419, p=0.127).
Conclusion: The survival rate for critically ill COVID-19 patients with mechanical ventilation at the start of the pandemic was low with a survival period of 4 days. The severity of ARDS before intubation, hypercapnia, hyperkalemia and hyponatremia influence the survival rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meita Dwi Utami
"Latar Belakang: Anak sakit kritis berisiko mengalami kelebihan cairan akibat terapi cairan inadekuat. Venous excess ultrasound (VExUS), suatu point of care ultrasound (POCUS), dapat digunakan pada kongesti sistemik akibat kelebihan cairan. Terdapat 5 kelas skor VExUS yaitu VExUS A, B, C, D, dan E. Kelebihan cairan pada organ paru dievaluasi dengan lung ultrasound (LUS). Kelebihan cairan sering dihubungkan dengan balans cairan positif. Tujuan: Mengetahui korelasi antara balans cairan positif dengan skor VExUS dan LUS. Metode: Penelitian potong lintang melibatkan anak sakit kritis berusia 1 bulan hingga 18 tahun, mengalami balans cairan positif pada perawatan 24 jam pertama di PICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama November hingga Desember 2024. Analisis korelasi dilakukan terhadap skor VExUS dan LUS dengan balans cairan positif serta tanda klinis. Hasil: Pada 40 anak sakit kritis, tidak terbukti ada korelasi antara skor VExUS dan LUS dengan balans cairan positif. Hasil tambahan penelitian menunjukkan korelasi antara VExUS A dengan ronki (r=0,367, p=0,020), VExUS B dengan ronki (r=0,367, p=0,020), dan VExUS D dengan edema (r = 0,328, p = 0,039). Simpulan: Skor VExUS dan LUS tidak terbukti berkorelasi dengan balans cairan positif. VExUS A, B, dan D berkorelasi dengan ronki dan edema pada anak sakit kritis dengan kelebihan cairan.

Background: Critically ill children were at risk of fluid overload due to inadequate fluid therapy. Venous excess ultrasound (VExUS), a point of care ultrasound (POCUS), was used in systemic congestion due to fluid overload. There were 5 classes of VExUS scoring system (VExUS A, B, C, D, and E). Fluid overload in lung can be evaluated by lung ultrasound (LUS). Fluid overload was also referred to positive fluid balance. Objective: To obtain correlation between positive fluid balance with VExUS and LUS score. Methods: Cross section study on critically ill children aged 1 month to 18 years old, with positive fluid balance during first 24 hour admission to PICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, in November to December 2024. Correlation analysis were done between VExUS and LUS score, as well as the clinical signs. Results: Among 40 critically ill children, there were no correlation between VExUS and LUS score with positive fluid balance. Positive correlations were obtained between VExUS A with ronchi (r=0.367, p=0.020), VExUS B with ronchi (r=0.367, p=0.020), VExUS D with edema (r = 0.347, p = 0.028). Conclusion: VExUS and LUS score was not correlated with positive fluid balance. VExUS A, B, dan D scoring system were correlated with ronchi and edema in critically ill children with fluid overload. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anne Suwan Djaja
"Latar Belakang : Akumulasi cairan yang telah terjadi pasien sepsis dan diperberat oleh resusitasi cairan memiliki dampak buruk terhadap organ ginjal (sepsis related kidney injury). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini ingin menilai efektivitas deresusitasi dini menggunakan furosemide terhadap kejadian AKI pada pasien sepsis dengan menggunakan pNGAL sebagai parameter AKI. Metode : Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak tersamar ganda, yang dilakukan pada pasien sepsis di ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada periode Juli – Desember 2023. Kadar pNGAL diperiksa pada jam ke-0 dan ke-48 jam perawatan ICU. Sebanyak 40 subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 20 pasien pada kelompok perlakuan diberikan injeksi furosemide kontinyu 2 mg/jam, dan 20 pasien pada kelompok kontrol diberikan injeksi placebo 2 mL/jam. Hasil : Ditemukan kadar pNGAL telah meningkat sejak awal perawatan di ICU pada semua subjek. Tidak terdapat perbedaan bermakna selisih kadar pNGAL jam ke-0 dan ke-48 (p=0,146). Ditemukan penurunan kadar pNGAL yang cukup besar pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kadar laktat, TVS, lama perawatan ICU, lama penggunaan ventilator pada kedua kelompok tidak ditemukan berbeda bermakna. Rerata balans cairan pada jam ke-24 ditemukan lebih rendah pada kelompok intervensi (-391,01 ± 871,59 mL vs. 586,90 ± 1382 mL, p=0,016). Proporsi subjek yang menerima terapi pengganti ginjal dan mengalami kematian dalam 28 hari juga tidak berbeda signifikan. Simpulan : Penggunaan furosemide bermanfaat untuk mengurangi akumulasi cairan dalam 24 jam pertama perawatan sehingga menghambat progresifitas kerusakan tubulus ginjal pada pasien SAKI.

Background: Fluid accumulation occurs in septic patients and is increased by fluid resuscitation, causing kidney damage. This study aimed to determine the effectiveness of early deresuscitation with furosemide on the incidence of AKI in sepsis patients using pNGAL as an AKI parameter. Methods: This study used a double-blind, randomized clinical trial design conducted on sepsis patients in the ICU at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) in July – December 2023. pNGAL levels were measured at the first and 48th hours of ICU care. A total of 40 participants were divided into two groups: 20 patients in the treatment group were given continuous furosemide injections at a rate of 2 mg/hour, while 20 patients in the control group were given placebo injections of 2 mL/hour. Results: pNGAL levels had increased since all subjects started treatment in the ICU. There was no difference in changes of pNGAL levels at 0 and 48 hours (p=0.146). A trend of reduction in pNGAL levels was found in the intervention group compared to the control group. Lactate levels, TVS, length of ICU stay, and length of ventilator use in the two groups were not found to be significantly different. Fluid at 24 hours was lower in the intervention group (-391.01 ± 871.59 mL vs. 586.90 ± 1382 mL, p=0.016). The proportion of participants who underwent renal replacement therapy and died within 28 days showed no significant difference. Conclusion: Furosemide effectively lowers fluid accumulation in the first 24 hours of therapy, slowing the course of renal tubular injury in SAKI patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prieta Adriane
"Latar Belakang: Disfungsi ginjal prabedah meningkatkan risiko gagal ginjal dan kematian pada pasien bedah jantung. Studi yang meneliti efek proteksifurosemid pada bedah jantung sebagian besar dilakukan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek furosemid dosis rendah profilaksis pada pasien bedah jantung dengan disfungsi ginjal ringan-sedang.
Metode: Delapan puluh tujuh pasien bedah jantung elektif dengan disfungsi ginjal ringan -sedang (LFGe30-89 mL/min/1,73 m2), terdaftar dalam kelompok furosemid (n = 43) atau kontrol (n = 44). Furosemid (2 mg/jam) atau NaCl 0,9% 2 cc/jam diberikan setelah induksi dan dilanjutkan selama total 12 jam. Kami memeriksa sampel darah pada 12, 24, 48, dan 120 jam setelah infus mulai mengukur perubahan LFGe. Penurunan LFGe>20% dianggap sebagai perburukan fungsi ginjal, sedangkan peningkatan LFGe>20% dianggap sebagai pemulihan fungsi ginjal. Kami membandingkan kebutuhan infus furosemid terapeutik dan terapi penggantian ginjal pada kedua kelompok.
Hasil: Dari 90 subjek yang direkrut, 3 subjek drop out(1 subjek data tidak lengkap dan 2 subjek dipasangintra-aortic balloon pump/IABPsaat pembedahan), hanya 87 subjek yang diikutsertakan dalam analisis. Insiden penurunan LFGepada jam ke-12, ke-24 dan ke-48 lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol, berbedasignifikan pada sampel jam ke-48 (p value0,047). Proporsi peningkatan LFGe>20% pada sampel 120 jam hampir sama pada kedua kelompok. Subyek dalam kelompok furosemid membutuhkan lebih sedikit pemberian infus furosemid dosis terapeutik (p<0,05). Namun, penggunaan terapi pengganti ginjal lebih banyak ditunjukkan pada kelompok furosemid daripada kelompok kontrol meskipun tidak signifikan. Lama rawat di ICU dan rumah sakit lebih lama pada kelompok furosemid dibandingkan dengan kontrol, sedangkan angka kematian ditunjukkan sama antara kedua kelompok.
Simpulan: Furosemid dosis rendah dapat mengurangi kejadian perburukan fungsi ginjal, dan kebutuhan infus terapeutik furosemid, tetapi tidak mencegah kebutuhanuntuk terapi pengganti ginjal. Penggunaan infus furosemid dosis rendah perioperatif dapat dipertimbangkan karena menunjukkan efek yang menguntungkan.

Background: Preoperative renal dysfunction increases the risk of postoperative renal failure and mortality in cardiac surgery patients. Studies investigated the protective effect of furosemide in cardiac surgery mostly conducted in patients with normal renal function. This study aim to evaluate the effect of prophylactic low-dose furosemide in cardiac surgery patients with mild to moderate renal dysfunction.
Methods: Eighty-seven patients of elective cardiac surgery with mild to moderate renal dysfunction (eGFR 30-89 mL/min/1.73 m2), were enrolled in either furosemide (n = 43) or control (n = 44) groups. Furosemide (2 mg/h) or 0.9% NaCl is administered after induction and continued for a total of 12 hours. We examined blood samples on 12, 24, 48, and 120 hours after infusion started to measure the change in eGFR. A >20% decrease in eGFR was considered as worsening of renal function, while >20% increase in eGFR as recovering of renal function. We compared the requirement for therapeutic furosemide infusion and renal replacement therapy in both groups. 
Results: 90 subjects recruited, 3 were dropped out (1 subject's data incomplete and 2 subjects underwent intraoperativeintraaortic balloon pump/IABP installation), only 87 subjects were included in the analysis. The incidence of decreasing of GFR at the 12th, 24th and 48th hour was shown more likely in control group, more significantin 48 hours (p value 0.047). The proportion of >20% GFR increase in the 120-hour sample was almost the same in both groups. Subjects in furosemide group required less administration of therapeutic dose furosemide infusion (p<0.05). However, use of renal replacement therapy was shown more in the furosemide group than the control group although is not significant. The length of stay in ICU and hospital were longer in the furosemide group compared to  control, while the mortality rate were shown to be equal between two groups.
Conclusions: Low-dose furosemide can reduce the incidence of  worsening renal function, and the need for a therapeutic furosemide infusion, but does not prevent the usage for renal replacement therapy. Continuous low-dose furosemide perioperative can be considereddue to beneficial effects proven.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara
yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna. Pada penelitian ini telah dibuat mikrogranul mukoadhesif dengan furosemida sebagai model zat aktif dan Carbopol 934P® sebagai polimer mukoadhesif. Mikrogranul yang dihasilkan mempunyai rentang ukuran 425-850μm, dan dievaluasi dengan uji disolusi dan uji ?wash off?. Uji disolusi dilakukan
dengan alat tipe 1, kecepatan 100 rpm, pada medium dapar fosfat pH 5,8. Furosemida dibuat dalam bentuk dispersi padat dengan polivinilpirolidon (PVP K30®) dengan perbandingan berat 1:7, menggunakan metode kelarutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan laju disolusi furosemid dalam dispersi padat
dibandingkan dengan furosemid murni. Peningkatan konsentrasi Carbopol 934P® dalam mikrogranul menyebabkan penghambatan pelepasan obat dan peningkatkan jumlah mikrogranul yang melekat pada mukosa lambung dan usus.

Abstract
Drug bioavailability is one of the parameter which is used to evaluate the effectiveness of pharmaceutical dosage form. Rate of dissolution and drug residence time in gas-trointestinal tract is a factor which can influence the bioavailability. Solid dispersion
and mucoadhesive drug delivery system is one of the method which can be used to solve the problem concerning the rate of dissolution and residence time in gastrointestinal tract. In this research mucoadhesive microgranule had been made with furo-semide as a drug model and Carbopol 934P® as a mucoadhesive polimer. The mucoadhesive microgranules resulted from this investigation has a particle size range of 425-850μ m, and was evaluated by type 1, 100 rpm speed and phosphate buffer pH 5.8 dissolution test and by wash off test. Furosemide was made in solid dispersion with polyvinylpyrrolidone (PVP K30®) with weight ratio of 1:7 using solubility method. The results showed increasing the dissolution rate of furosemide in solid
dispersion compared to pure furosemide. Increasing the concentration of Carbopol 934P® in microgranule will cause inhibition of drug release and increasing the amount of microgranule sticked to gastric and intestinal mucous."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Farrel Shaquille Handimulya
"Latar Belakang Covid-19, yang disebabkan SARS-CoV-2, diumumkan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, dengan kasus mencapai 527,971,809 dan kematian 6,284,871 hingga 2022. Penyakit ini utamanya memengaruhi sistem respirasi yang menyebabkan gejala seperti demam, batuk, dan sesak napas. Selain itu, Covid-19 juga mempengaruhi sistem organ lainnya, yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit pada natrium, kalium, dan klorida, yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan angka kematian. Studi menunjukkan bahwa gangguan elektrolit ini dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk pada pasien Covid-19. Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan lebih lanjut tentang prevalensi gangguan elektrolit pada pasien Covid-19 dan hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit. Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross-sectional. Penelitian ini akan menggunakan data sekunder rekam medis dan kemudian akan diolah dengan uji chi-square untuk menilai hubungan antara tingkat keparahan Covid-19 dengan gangguan keseimbangan elektrolit. Hasil Dari hasil analisis 162 rekam medis, didapatkan tingkat keparahan Covid-19 dengan gangguan keseimbangan elektrolit darah p = 0.164, hiponatremia p = 0.480, hipernatremia p = 0.490, hipokalemia p = 0.480, hiperkalemia p = 0.323, hipokloremia p = 0.410, hiperkloremia p = 0.322, banyaknya gangguan pada satu pasien p = 0.026. Kesimpulan Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan Covid-19 dengan gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida), namun ditemukan hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan Covid-19 dengan banyak gangguan keseimbangan elektrolit pada satu pasien.

Introduction Covid-19, caused by SARS-CoV-2, was declared a pandemic by the WHO on March 11, 2020, with cases reaching 527,971,809 and deaths 6,284,871 until 2022. The disease primarily affects the respiratory system causing symptoms such as fever, cough, and shortness of breath. In addition, Covid-19 also affects other organ systems, which can cause electrolyte balance disturbances in sodium, potassium, and chloride, which are associated with disease severity and mortality. Studies show that these electrolyte disturbances are associated with poor clinical outcomes in Covid-19 patients. This study is expected to provide further insight into the prevalence of electrolyte disturbances in Covid-19 patients and their association with disease severity. Method This study is an analytic descriptive study with a cross-sectional design. This study will use secondary data from medical records and will then be processed with the chi-square test to assess the relationship between the severity of Covid-19 and electrolyte balance disorders. Result From the analysis of 162 medical records, it was found that the severity of Covid-19 with serum electrolyte balance disorders p = 0.164, hyponatremia p = 0.480, hypernatremia p = 0.490, hypokalemia p = 0.480, hyperkalemia p = 0.323, hypochloremia p = 0.410, hyperchloremia p = 0.322, the number of disorders in one patient p = 0.026. Conclusion No significant relationship was found between the severity of Covid-19 and electrolyte balance disorders (sodium, potassium, chloride), however, a significant association was found between the severity of Covid-19 and multiple electrolyte balance disorders in one patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria
"Latihan panjang akan menguras glikogen otot dan merusak jaringan otot. Peningkatan kadar ureum dan kreatin kinase darah dapat menyebabkan penurunan performa pada latihan atau pertandingan berikutnya. Tesis ini membahas pengaruh pemberian minuman elektrolit berkarbohidrat terhadap kadar ureum darah, kreatin kinase darah, dan performa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni, bersifat single blind dengan rancangan silang pada 10 atlet dayung rowing nasional laki-laki di Pelatnas Dayung Pengalengan tahun 2015. Minuman yang diberikan adalah minuman elektrolit dengan jumlah karbohidrat sebanyak 1 gr/kgBB pada kelompok perlakuan dan 0,35 gr/kgBB pada kelompok kontrol. Minuman tersebut diberikan segera setelah latihan dan dua jam berikutnya. Pengambilan sampel darah vena dilakukan untuk mengukur penurunan kadar ureum dan kreatin kinase darah sebelum dan setelah pemberian minuman masing-masing dengan alat COBAS C111 dan Advia 1650/1800. Hasil analisis membuktikan bahwa penurunan kadar ureum dan kreatin kinase darah lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa minuman elektrolit berkarbohidrat sebanyak 1 gr/kgBB efektif untuk memulihkan kembali simpanan glikogen otot dan menurunkan kerusakan jaringan otot.

Long lasting exercise will deplete muscle glycogen and muscle tissue damage. Increased levels of blood urea and creatine kinase can cause a decrease in performance at the next exercise or competition. This thesis discusses the effect of carbohydrate electrolyte drinks on blood urea levels, blood creatine kinase levels, and performance. This is true experimental study, single blind cross over design in 10 rowing men athletes in the National Training Centre Pengalengan 2015. Beverages provided are electrolyte drinks with the amount of carbohydrates as much as 1 g/kg body weight in the treatment group and 0,35 g/kg body weight in the control group. Beverages given immediately after the workout and the next two hours. Venous blood sample was collected to measure the reduction of blood urea and creatine kinase level before and after drinking beverages using COBAS C111 and Advia 1650/1800 respectively. The result show that the reduction of blood urea and creatine kinase levels is greater in the treatment group. It suggests that beverages contain 1 gr/kg body weight carbohydrate is effective to restore muscle glycogen stores and decrease muscle tissue damage.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T43731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>