Health-related quality of life (HRQoL) memiliki peranan yang penting bagi pasien jantung. HRQoL pada pasien jantung bisa ditingkatkan dengan melihat faktor-faktor yang menjadi prediktornya, seperti spiritual well-being, illness perception, dan kecenderungan depresi. Penelitian ini melihat lebih jauh apakah spiritual well-being (SWB) dan illness perception (IP) memengaruhi HRQoL secara signifikan dan kecenderungan depresi memediasi hubungan antara SWB dengan HRQoL dan hubungan IP dengan HRQoL secara signifikan. Sebanyak 161 partisipan yang memiliki penyakit jantung terlibat dalam penelitian ini. Setiap partisipan mendapatkan tiga alat ukur yang berbeda, yaitu FACIT-Sp (spiritual well-being), Brief IPQ (illness perception), dan PHQ-2 (kecenderungan depresi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa spiritual well-being (B=14,415, p=0,000) dan illness perception (B=-7,8838, p=0,000) menjadi prediktor yang signifikan terhadap HRQoL. Sementara itu, kecenderungan depresi tidak memediasi hubungan spiritual well-being dengan HRQoL (effect= 1,0934), namun menjadi mediator yang signifikan dalam hubungan illness perception dengan HRQoL (effect= -2,0332). Hasil penelitian ini bermanfaat untuk penyusunan intervensi bagi pasien jantung agar dapat meningkatkan kualitas hidup dan keberfungsiannya.
Kata kunci:
spiritual well-being, illness perception, kecenderungan depresi, HRQoL
Health-Related Quality of Life (HRQoL) is the most important thing to be considered as a treatment for heart disease patients. There are some variables to be considered as significant predictors of HRQoL such as spiritual well-being, illness perception, and depressive symptoms. Based on previous research, spiritual well-being (SWB) and illness perception (IP) significantly predicted heart disease patients HRQoL. Depressive symptoms variable can be a mediator for explaining the relationship between SWB and HRQoL and IP and HRQoL`s relationship. The main aim of this research is to investigate whether SWB and IP are significant for predicting heart disease patients HRQoL and depressive symptoms is a significant mediator for explaining those relationships. This research involves n=161 heart disease patients with minimum of age 18. Every partient is measured using three measurements. The measurements include FACIT-Sp (spiritual well-being), Brief IPQ (illness perception), and PHQ-2 (depressive symptoms). The result shows that spiritual well-being (B=14,415, p=0,000) and illness perception (B=-7,8838, p=0,000) predict HRQoL`s patients. Depressive symptoms does not mediate significantly the relationship between SWB and HRQoL (effect= 1,0934), but it mediates the relationship between IP and HRQoL significantly (effect= -2,0332). This research can be used for medical worker in designing intervention for heart disease patients.
"
kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke, yakni sebesar 12,9% menurut hasil
Survei Sample Registration System (Kemenkes, 2014). Penyakit Jantung pada tahun 2017
juga menempati urutan teratas dengan pembiayaan sebesar Rp 9.5 triliun yang ditanggung
oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan (Setkab, 2018). Dana tersebut digunakan untuk membiayai pengobatan baik
operasi, rawat inap dan rawat jalan pasien jantung di seluruh Indonesia. Masalah
kekambuhan dan kematian pasien jantung berkaitan dengan tingkat kepatuhan
pengobatan. Persepsi terhadap penyakit dikenal sebagai salah satu faktor penting yang
dapat dimodifikasi yang memiliki hubungan positif dengan kepatuhan pengobatan
(Maharjan, 2016). Namun persepsi terhadap penyakit hanya mampu menjelaskan namun
tidak memprediksi kepatuhan (Brandes & Mullan, 2014). Peneliti mengasumsikan
terdapat jalur mediasi antara pengaruh persepsi terhadap penyakit pada kepatuhan
pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran kecemasan yang
berfokus pada jantung dan kecenderungan depresi sebagai mediator dalam hubungan
pengaruh persepsi terhadap penyakit pada kepatuhan pengobatan pasien penyakit jantung.
Partisipan penelitian sebanyak 155 orang diberikan pengukuran menggunakan B-IPQ
(persepsi terhadap penyakit), CAQ (kecemasan yang berfokus pada jantung), PHQ-4
(kecenderungan depresi), MMAS-8 (kepatuhan minum obat), dan LAM (kepatuhan
perubahan gaya hidup). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan yang berfokus
pada jantung berperan sebagai mediator dalam pengaruh persepsi terhadap penyakit pada
kepatuhan minum obat (p = 0.028) dan kepatuhan perubahan gaya hidup (p = 0.004.
Kecenderungan depresi berperan sebagai mediator dalam pengaruh persepsi terhadap
penyakit pada kepatuhan perubahan gaya hidup (p = 0.000). Sedangkan dalam pengaruh
persepsi terhadap penyakit pada kepatuhan minum obat, kecenderungan depresi tidak
berperan sebagai mediator (p = 0.184).<
at all ages after a stroke, which is 12.9% according to Sample Registration System survey
result (Kemenkes, 2014). Heart Disease in 2017 ranks the top with funding of Rp 9.25
trilion borne by Indonesian Government through Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan (Setkab, 2018). The fund are used to fund treatment for both surgery,
inpatient and outpatient cardiac patient throughout Indonesia. The problem of recurrence
and death of cardiac patient is related to the level of medication adherence. Illness
Perception is known as one of the important factor that can be modified which has a
positive relationship with medication adherence (Maharjan, 2016). Illness Perception
only able to explain but not to predict medication adherence (Brandes & Mullan, 2014).
The researcher assumes that there is a mediating pathway between the influence of illness
perception on medication adherence.This study aims to see how the role of heart focused
anxiety and depression tendency as a mediator in the relationship of illness perception
on medication adherence in heart disease patients. The study participants were 155 people
given measurement using B-IPQ (illness perception), CAQ (heart focused anxiety), PHQ-
4 (depression tendency), MMAS-8 (medication adherence), dan LAM (lifestyle
adherence). The result showed that heart-focused anxiety acted as a mediator in
relationship of illness perception on medication adherence (p = 0.028) and lifestyle
adherence (p = 0.004). Depression tendency acted as a mediator in relationship of illness
perception on lifestyle adherence (p = 0.000) but not in medication adherence (p = 0.184)."
Latar Belakang: Perbaikan fungsi fisik, emosional dan kualitas hidup penderita LES harus menjadi bagian penting penatalaksanaan paripurna. Fungsi otot, yang merupakan kombinasi dari kekuatan otot dan performans fisik (Asian Working Group on Sarcopenia 2019), merupakan salah satu determinan penting kualitas hidup subyek LES. Belum ada penelitian evaluasi pengaruh fungsi otot terhadap kualitas hidup penderita LES menggunakan kuesioner Sarcopenia Quality of Life (SarQoL).
Tujuan: Evaluasi hubungan fungsi otot dengan kualitas hidup menggunakan kuesioner SarQoL pada perempuan penderita LES.
Metode: Penelitian potong lintang ini merekrut 61 subyek LES perempuan di klinik Alergi Imunologi, RSCM, secara konsekutif, fungsi otot dinilai dengan dinamometer genggam tangan Jamar (kekuatan otot) dan uji kecepatan berjalan 6 meter (performans fisik), HRQoL dinilai dengan kuesioner Sarcopenia Quality of Life (SarQoL). Kriteria penerimaan perempuan dengan LES berusia ≥18 tahun, tanpa kondisi autoimun lain dan gangguan fungsional/anatomis yang mengganggu pemeriksaan. Analisis statistik menggunakan uji t untuk analisis beda dua rerata dan analisis multivariat regresi linier untuk penyesuaian terhadap perancu.
Hasil: Rerata skor total SarQoL subyek kekuatan otot baik dan rendah didapatkan berbeda signifikan, 74,86 (9,48) vs. 65,49 (15,51) (p=0,009), tetap signifikan setelah disesuaikan usia, asupan protein, tingkat aktivitas olahraga dan aktivitas penyakit [B -7,12; IK 95% -14,58 –(-1,20)]. Rerata skor total SarQoL subyek dengan kecepatan berjalan baik dan rendah tidak didapatkan berbeda signifikan 70,67 (11,08) vs. 70,72 (13,56) (p=0,993).
Simpulan: Terdapat hubungan signifikan antara kekuatan otot dan kualitas hidup terkait kesehatan menurut SarQoL pada perempuan penderita LES
Background: Improvement of physical, emotional function and quality of life of SLE patients, should be an important part of holistic clinical management. Muscle function, a combination of muscle strength and physical performance (Asian Working Group on Sarcopenia 2019), was an important determinant of quality of life in lupus patients. There was no study aimed at evaluating the impact of mucscle function on SLE patient’s quality of life using Sarcopenia Quality of Life (SarQoL) questionnaire.
Aim: This study was conducted to evaluate the relationship of muscle function and SarQoL score in women with SLE.
Methods: This cross-sectional study recruited 61 women with SLE in Allergy-Immunology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital consecutively, muscle function was measured with Jamar handheld-dynamometer and 6 meter walk test, HRQoL was measured with Sarcopenia Quality of Life (SarQoL) questionnaire. Acceptance criteria include women ≥18 years old with SLE, and not with other autoimmune disease nor functional/anatomical dysfunction that disturb measurements. Statistical analysis was conducted with t-test for mean difference and linier regression was used to adjust confounders.
Results: The difference of total SarQoL score in subjects with good and low muscle strength was found to be significant; 74.86 (9.48) vs. 65.49 (15.51) (p=0.009), statistically significant after adjusments with age, protein intake, physical acitvity level and disease activity [B -7.12; 95% CI -14.58 –(-1.20)]. The difference of total SarQoL score in subjects with good and low physical performance was found to be not significant 70.67 (11.08) vs. 70.72 (13.56) (p=0.993).
Conclusion: There was a significant association between muscle strength and HRQoL according to SarQoL in women with SLE
"