Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165006 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naufal Anasy
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri yang efektif pascabedah merupakan bagian
yang penting pada perawatan pasien yang menjalani pembedahan. Penanganan
nyeri pascabedah laparoskopi nefrektomi donor ginjal sangat penting untuk
pemulihan dini. Epidural kontinyu merupakan teknik anestesi regional yang
digunakan pada operasi donor ginjal di RSCM, namun hasilnya belum
memuaskan karena masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus
Lumborum (QL) bilateral dengan bantuan USG dan blok epidural kontinyu
terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 52 pasien sehat yang
mendonorkan ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo. Dilakukan proses randomisasi pada subjek penelitian,
didapatkan pada kelompok blok QL bilateral sebanyak 26 pasien dan epidural
kontinyu sebanyak 26 pasien. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, subjek dalam
kelompok blok QL mendapatkan bupivacaine 0,25% sebanyak 20 mL secara
bilateral dan subjek pada kelompok epidural mendapatkan infus bupivakain
0,125% 6 mL/jam secara kontinyu. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Mann Whitney.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
terhadap derajat nyeri NRS saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12 dan jam
ke-24 (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). Kebutuhan PCA morfin pada
24 jam pascabedah pada setiap waktu pengukuran tidak ditemukan perbedaan
bermakna (p = 0,823; 0,985; 0,693; dan 0,854). Skor Bromage, serta waktu
pertama kali pasien memencet PCA morfin ditemukan sama pada kedua
kelompok. Pada kelompok blok QL Sebanyak 6 orang (23,10%) yang merasakan
mual dan 4 orang (15,4%) yang mengalami muntah. Pada kelompok blok epidural
kontinyu sebanyak 1 orang (3,8%) yang merasakan mual dan 1 orang (3,8%) yang
mengalami muntah. Efek samping parestesia tidak ditemukan pada kedua
kelompok.
Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik dibanding blok epidural kontinyu.

ABSTRACT
Background: Post operative pain management is substantial. Regional anesthesia for renal transplant donor is advantageous for early recovery. Continous epidural regiment often used in renal donor patients. However, the benefits are not fully met due to high incidence of severe post operative pain. This study compares the effectivity of USG guided bilateral Quadratus Lumborum (QL) block with continous epidural block for post operative pain management. We evaluate the degree of pain and morphine consumption.
Methods: This is a random clinical trial in Cipto Mangunkusumo hospital. The subjects were random clinical trial. Fifty two subjects were renal donors who underwent surgery in RSCM. Subjects were randomized and divided into two groups, continous epidural (26 subjects) and QL block (26 subjects). Prior extubation, the QL block groups received bilateral QL block with 20 ml of Bupivacain 0.25% and the epidural group were given 6 ml/hr of Bupivacain 0.125% continously via epidural. The subjects pain were rated with NRS pain score. Morphine consumption and adverse events (nausea, vomiting, and paresthesias) were noted. Data were analyzed with Mann-Whitney test.
Results:This study showed no difference between both group regarding NRS pain score in RR, the first 2, 6, 12 and 24 hour (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). There are no difference in morphine consumption in both group (first 2 hour p=0,823; first 6 hour p=0,985; first 12 hour p=0,693; and first 24 hour p=0,854). Bromage score and the first time subjects pressed the PCA device are similar. There are 6 subjects (23.1%) who experienced nausea and 4 subjects (15.4%) who experienced vomitus from the QL block group. One subject (3.8%) experienced nausea and 1 (3.8%) subject vomitted from the epidural group.
Conclusion: The efficacy of QL block for 24 hour post-operative pain management is comparable with continous epidural analgesia following laparoscopic nephrectomy."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahendra
"Teknik anestesia yang adekuat menghasilkan analgesia pascabedah yang cukup dan menurunkan respon stres pasien. Hal ini dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan gangguan imunologis, seperti infeksi, penyembuhan luka berkepanjangan, dan sepsis. Studi ini bertujuan untuk membandingkan derajat nyeri pascabedah, kadar interleukin-6 (IL-6) dan C-reactive protein (CRP) sebagai marker respon stress, dan durasi pemakaian kateter urin antara epidural kontinu dan blok Quadratus Lumborum (QL) sebagai teknik analgesia pascabedah pada donor ginjal. Enam puluh dua pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok sama rata: epidural kontinu dan blok QL. Grup blok QL mendapatkan bupivakain 0,25% sebanyak 20 ml dan grup epidural mendapatkan bupivakain 0,25% 6 ml/jam kontinu melalui kateter. Menjelang ekstubasi, grup blok QL mendapatkan blok QL bilateral dengan dosis yang sama sedangkan grup epidural mendapatkan bupivakain 0,125% 6 ml/jam kontinu melalui kateter. Sampel darah diambil untuk membandingkan kadar IL-6 dan CRP setelah intubasi (preoperatif), segera setelah operasi, 24 jam serta 48 jam setelah operasi. Nyeri pascabedah diukur menggunakan numerical rating scale (NRS) di ruang pulih dan 24 jam pascabedah. Kebutuhan morfin dan durasi pemakaian kateter juga dicatat pascabedah. Efek samping yang muncul selama 24 jam dicatat. Data dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney. Tidak ada perbedaan yang ditemukan antarkelompok pada derajat nyeri pasca bedah, kadar plasma IL-6 setelah operasi atau 24 jam setelah operasi (p= 0,785 dan p=0,361, secara berurutan) meskipun rerata kadar IL-6 24 jam setelah operasi lebih rendah pada grup blok QL dibandingkan kelompok epidural kontinu. Durasi pemakaian kateter urin pada blok QL lebih singkat daripada epidural. Kadar CRP tidak berbeda signifikan antara kedua kelompok baik setelah operasi maupun 48 jam setelah operasi (p=0,805 dan p=0,636, secara berurutan). Durasi pemakaian kateter urin pada blok QL lebih singkat daripada epidural. Kedua teknik epidural kontinu dan blok QL menunjukkan analgesia pascabedah yang sebanding pada pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi.

An adequate anesthesia technique generates appropriate postoperative analgesic properties and decreases the patient’s stress response. This will lead to decreased morbidity and mortality associated with immunology disturbances, such as infection, prolonged wound healing, and sepsis. The aim of this study was to compare postoperative pain level, interleukin-6 (IL-6) and C-reactive protein (CRP) concentrations, as the markers of the stress response, and duration of catheter usage between continuous epidural and quadratus lumborum (QL) block as postoperative analgesia techniques among living kidney donors. Sixty-two patients were randomly divided into two equal groups: continuous epidural and QL block. A group received bilateral QL block with 20 mL of bupivacaine 0.25% and the other received 6 mL/hour of bupivacaine 0.25% continuously via an epidural catheter. Prior to extubation, the QL block group received bilateral QL block with the same dose and the continuous epidural group was administered with 6 mL/hour of bupivacaine 0.125%. Blood samples were drawn to compare IL-6 and CRP concentrations after intubation (preoperatively), directly after surgery, 24 hours postoperatively, and 48 hours postoperatively. Postoperative pain was measured with the numerical rating scale (NRS). Morphine requirement and duration of catheter usage were also measured porsoperatively. Side effects within 24 hours postoperatively were noted. Data were analyzed with independent t-test or Mann-Whitney test. No difference was observed between the groups in the postoperative pain level, plasma concentration of IL-6 either after surgery or 24 hours postoperatively (p= 0.785 and p=0.361, respectively) although the mean IL-6 concentration 24 hours postoperatively was lower in the QL block group than in the continuous epidural group. CRP concentration was not significantly different between the groups either after surgery or 48 hours postoperatively (p=0.805 and p=0.636, respectively). The duration of catheter usage is significantly shorter in QL Block. Both continuous epidural and QL block techniques showed comparable postoperative analgesic properties among living kidney donors undergoing laparoscopic nephrectomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Arum Sari
"Latar Belakang: Laparoskopi nefrektomi merupakan teknik pembedahan pilihan untuk pasien donor ginjal di RSCM karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan laparotomi. Pembedahan akan mengaktivasi respon stress yang mempengaruhi perubahan hemodinamik intraoperatif. Kombinasi anestesi regional epidural dengan anestesi umum dapat mengurangi respon stress intraoperatif. Teknik yang digunakan adalah epidural. Blok Quadratus Lumborum (QL) merupakan blok interfasia efektif sebagai analgesia pasca bedah abdomen. Penelitian ini bertujuan untuk menilai respon stress hemodinamik intraoperatif antara blok QL dan epidural pada pasien laparoskopi nefrektomi. Parameter yang dinilai adalah tekanan arteri rata-rata (MAP), laju nadi, indeks kardiak (CI), dan gula darah. Kebutuhan fentanyl intraoperatif juga turut dinilai.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar terhadap pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi di RSCM selama bulan Juni hingga September 2018. Dilakukan randomisasi sebanyak 36 subjek menjadi 2 kelompok. Setelah induksi, kelompok epidural diberikan epidural kontinyu bupivacain 0.25% sebanyak 6 ml/jam dan pada kelompok QL diberikan 20 ml bupivacain 0.25% secara bilateral. Variabel MAP, laju nadi, CI, gula darah dan kebutuhan fentanyl intraoperatif dicatat. Analisis data dilakukan melalui uji bivariat t-test tidak berpasangan, Mann-Whitney serta uji multivariat general linear model.
Hasil: Perubahan MAP pada kelompok QL lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan epidural. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada variabel laju nadi, CI, gula darah dan kebutuhan fentanyl intraoperatif.
Kesimpulan: Blok QL tidak lebih baik dari epidural dalam menurunkan respon stress intraoperatif pada laparoskopi nefrektomi. Akan tetapi perubahan MAP pada blok QL lebih stabil.

Background: Laparoscopic nephrectomy is a surgical technique preferred for renal donor in RSCM because of its advantages over laparotomy. Surgery activated stress responses thus affected intraoperative hemodynamics. Regional epidural anesthesia often combined with general anesthesia to reduce stress responses. Quadratus Lumborum (QL) block is an interfacial block and effective as abdominal surgery analgesia. This study was aimed to assess intraoperative hemodynamic stress response between QL and epidural block in laparoscopic nephrectomy patients. Mean arterial pressure (MAP), pulse rate, cardiac index (CI), and blood sugar was collected. Intraoperative fentanyl consumption also noted.
Methods: This was a randomized clinical trial of renal donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy at RSCM during June to September 2018. A total of 36 subjects were randomized into 2 groups. After induction of general anesthesia, the epidural group received continuous epidural infusion of 0.25% 6 ml / hour of bupivacaine and QL group received 20 ml of 0.25% bupivacaine. MAP variables, pulse rate, CI, blood sugar and intraoperative fentanyl consumption were recorded in both groups. Data was analyzed with bivariate paired t-test, Mann-Whitney and multivariate general linear model test.
Results: MAP changes in QL group is significantly better than epidural group. There was no difference in heart rate, CI, blood glucose and fentanyl consumption intraoperative between two groups.
Conclusion : QL block compared to epidural did not have better result in reducing intraoperative stress response. However, MAP changes in QL group have better stability than epidural group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febrian Putra
"Pendahuluan: Nefrektomi donor hidup perlaparoskopi adalah pendekatan standar emas untuk bedah ginjal donor hidup dikaitkan dengan nyeri pascabedah yang lebih ringan. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan pusat transplantasi ginjal terbesar di Indonesia. Saat ini pembedahan donor ginjal hidup dilakukan dengan menggunakan pendekatan transperitoneum menjadi retroperitoneum untuk mengurangi komplikasi berupa cidera organ viseral. Perubahan ini menyebabkan teknik blok tranverse abdominis plane (TAP) dan blok quadratus lumborum (QL) pendekatan anterior dianggap tidak memadai sebagai suplementasi analgesia intraoperatif, teknik anestesi regional yang dianggap tepat untuk pendekatan retroperitoneal adalah teknik blok erector spinae plane (ESP) dan blok QL pendekatan anterior subcostal yang terletak lebih posterior. Brief Pain Inventory (BPI) merupakan salah satu instrumen yang dapat menilai derajat nyeri dan gangguan nyeri kronik terhadap kegiatan sehari-hari yang digunakan dalam penelitian ini.
Metode: Penelitian dilakukan dengan desain kohort retrospektif untuk analisis insiden dan derajat nyeri kronik terhadap teknik blok ESP dan blok QL pada pasien laparoskopik donor ginjal hidup dengan teknik retroperitoneum di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Sampel yang akan diambil di penelitian ini adalah semua pasien laparaskopi donor ginjal hidup teknik retroperitoneal minimal tiga bulan pascabedah sampai bulan Oktober 2022 dengan jumlah sampel 138 orang. Dilakukan juga analisa hubungan antara teknik blok dengan derajat akut, hubungan derajat nyeri akut, konsumsi opioid intraoperatif dan jenis analgesia pascabedah terhadap nyeri kronik dan hubungan karakteristik pasien terhadap nyeri kronik.
Hasil: Teknik blok ESP dan blok QL tidak berbeda bermakna terhadap insiden (p=0,317) dan derajat nyeri kronik (p=1,000) pascabedah. Insiden nyeri kronik pascabedah laparaskopi donor hidup teknik retroperitoneal adalah 41 orang (27,7%) dengan karakteristik nyeri kronik derajat ringan 39 orang (95,2%). Teknik blok ESP dan blok QL berbeda bermakna terhadap derajat nyeri akut H-0 (p=0,045) dan derajat nyeri akut pascabedah bermakna terhadap insiden nyeri kronik pascabedah (p=0,04). Terdapat hubungan bermakna antara karakteristik pasien pada status pekerjaan (p=0,032) dan jangka waktu pascabedah (p=0,05) terhadap insiden nyeri kronik pada pasien laparoskopik donor ginjal hidup teknik retroperitoneum.
Kesimpulan: Teknik blok ESP dan blok QL tidak berbeda bermakna terhadap insiden dan derajat nyeri kronik pascabedah.

Introduction: Laparoscopic living donor nephrectomy is the gold standard approach for living donor kidney surgery associated with less postoperative pain. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo is the largest kidney transplant center in Indonesia. Currently living kidney donor surgery is performed using a transperitoneal approach to retroperitoneum in order to reduce complications of visceral organ injury. This change causes the transverse abdominis plane (TAP) block technique and the anterior approach of quadratus lumborum (QL) block technique to be considered inadequate as a supplement for intraoperative analgesia, regional anesthetic techniques that are considered appropriate for the retroperitoneal approach are the erector spinae plane (ESP) block technique and the QL block approach more posteriorly. The Brief Pain Inventory (BPI) is an instrument that can assess the pain severity and pain interferences in daily activities used in this study.
Methods: This study was conducted with a retrospective cohort design to analyze the incidence and severity of chronic pain using the ESP block and QL block in living kidney donor laparoscopic patients using retroperitoneum technique at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Samples taken in this study were all living kidney donor laparoscopic patients with retroperitoneal technique for at least three months postoperatively until October 2022 with a total sample of 138 people. Assessment of the correlation between block technique and acute pain severity was also carried out, the correlation between acute pain severity, intraoperative opioid consumption and types of postoperative analgesia to chronic pain and the correlation between patient characteristics and chronic pain.
Results: ESP block technique and QL block technique were not significantly different on the incidence (p=0,317) and the severity of chronic pain after surgery (p=1,000). The incidence of chronic pain after laparoscopic living donor retroperitoneal surgery was 41 people (27,7%) with mild chronic pain of 39 people (95,2%). The ESP block technique and QL block technique differed significantly on the degree of acute pain H-0 (p=0,045). The degree of acute postoperative pain was significant to the incidence of postoperative chronic pain (p=0,04) and there was a significant correlation between patient characteristics in occupational status (p=0,032) and the postoperative period to chronic pain (p=0,05).
Conclusion: The technique of ESP block and QL block did not differ significantly on the incidence and severity of postoperative chronic pain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Ronald Christian Agustinus
"

Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi pada laparotomi transplantasi ginjal dikategorikan pada nyeri sedang sampai berat. Tatalaksana nyeri yang efektif dapat membantu pemulihan yang lebih baik. Epidural kontinyu merupakan pilihan analgesia yang digunakan pada operasi laparotomi transplantasi ginjal di RSCM  namun ditemukan masih adanya pasien yang merasakan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus Lumborum (QL) bilateral dengan blok epidural kontinyu terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascaoperasi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 38 pasien yang menjalani operasi laparotomi resipien transplantasi ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, 20 subjek dalam kelompok blok QL bilateral mendapatkan ropivacaine 0,375% sebanyak 20 mL bilateral dan 18 subjek pada kelompok epidural kontinyu mendapatkan infus epidural ropivakain 0,2% 6 mL/jam. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney. 

Hasil: Penelitian ini tidak menemukan perbedaan bermakna derajat nyeri VAS istirahat antara kelompok blok epidural dan kelompok blok QL pada saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). Tidak terdapat perbedaan VAS bergerak antara kedua kelompok saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Kebutuhan morfin pada 24 jam pascaoperasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada semua jam pengukuran (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Waktu saat pertama kali menekan PCA morfin juga tidak bermakna dengan p 0,814. Ketinggian blok pada 1 jam pascaoperasi pada kedua kelompok sama, yaitu blokade 100% pada T10-L1. Tidak terdapat perbedaan dosis minimal dan maksimal dobutamin dan norepinefrin antara kelompok QL dan epidural kontinyu. Jumlah produksi urin 24 jam, skor Bromage, dan skor Ramsay tidak berbeda pada kedua kelompok.

Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada blok epidural kontinyu.


Background: Postoperative pain in laparatomy for kidney transplant is moderate to severe. Effective postoperative pain promotes better recovery. Continuous epidural is the current analgesia of choice in laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital; however, undermanaged pain was still reported. This study aims to compare the effectivity between bilateral Quadratus Lumborum block and continuous epidural in managing pain and reducing morphine requirement.

Methods: This is a randomized controlled study on 38 patients undergoing laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital. Before extubation, 20 subjects in QL group received 20 ml 0.375% ropivacaine while 18 subjects in continuous epidural group received epidural infusion of 0.2% ropivacaine at 6 ml/hour. The result was analysed using Mann Whitney test.

Results: This study found no difference between resting VAS score of QL and epidural group in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). There was no difference between moving VAS of both groups in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Morphine requirement on 24th hour post surgery showed no difference in all observed hours (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Time to first PCA press was also insignificant (p 0,814). Block height at 1st hour post surgery was the same in both groups, with 100% blockade at T10-L1. There were no difference at minimal and maximal dobutamine and norepinephrine dose in between the two groups. Total 24 hour urine production, Bromage score, and Ramsay score was not different in both groups.

 

Conclusion: QL block did not provide better analgesia compared to continuous epidural.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Afriany
"Latar Belakang: Laparoskopi merupakan prosedur yang menguntungkan pada operasi transplantasi ginjal . Namun teknik ini dapat menyebabkan perubahan pada sistem pernafasan. Pengaturan volume tidal merupakan salah satu strategi proteksi untuk mencegah komplikasi paru pascaoperatif. Penelitian ini berusaha membandingkan efek volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb terhadap distribusi ventilasi pada pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani nefrektomi per laparoskopi menggunakan EIT.
Metoda: Uji klinis ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo dan ruang operasi RSCM Kencana Jakarta terhadap 30 pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi. Subjek dirandomisasi ke dalam 2 kelompok intervensi: ventilasi mekanik intraoperatif dengan volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb. Hipotesis penelitian adalah distribusi ventilasi volume tidal 6 mL/kg lebih baik dibandingkan 10 mL/kg. Parameter yang dinilai adalah ?TIV, ?EELI global dan regional dan ?CR diambil dari monitor EIT PulmoVista 500.
Hasil: Nilai ∆TIV paru dependen dan nondependen antara kedua kelompok berbeda bermakna secara statistik pada posisi supine pascadesuflasi (p =0,008), dimana volume tidal 6 mL/kgbb menunjukkan distribusi ventilasi tidak homogen. Nilai ∆EELI global dan regional volume tidal 10 mL/kg lebih tinggi dan bermakna secara statistik pada posisi lateral dekubitus sebelum insuflasi (p <0,005). Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai ∆CR (paru dependen dan nondependen).
Simpulan. Pemberian volume tidal 6 mL/kgbb tidak memberikan gambaran distribusi ventilasi yang lebih baik dibandingkan dengan volume tidal 10 mL/kgbb pada pasien donor ginjal yang menjalani operasi laparoskopi nefrektomi berdasarkan parameter EIT.

Background: Laparoscopy is a procedure that is profitable on a kidney transplant operation. However, this technique may cause changes in the respiratory system. Tidal volume setting is one of protection strategies for preventing pulmonary complications postoperative. This study attempted to compare the effects of tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbb kgbw against distribution of ventilation in kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy using EIT.
Method: This randomized clinical trial conducted in the Surgical Center Installation RSUPN Cipto Mangunkusumo and operating room RSCM Kencana Jakarta against 30 kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy. Subjects were randomized into two intervention groups mechanical ventilation with intraoperative tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbw. The hypothesis is distribution of ventilation tidal volume 6 mL kgbw is better than 10 mL kgbw. Parameter TIV, EELI global and regional and CR were taken from a monitor EIT PulmoVista 500.
Result: The value of TIV between dependent and nondependent parts of lung statistically significant difference on postdesuflation supine position p 0,008 , where the tidal volume of6 mL kgbw indicates distribution of ventilation is not homogenous. The value of EELI global and regional tidal volume 10 mL kg is higher and meaningful statistically on lateral decubitus before insuflation p 0,005 . There is no meaningful difference in CR value the dependent and nondependent parts of lung.
Conclusion: Tidal volume 6 mL kgbw does not give a better distribution of ventilation compared with 10 mL kgbw in kidney donor patient undergoing laparoscopic nephrectomy based on the parameters of the EIT.Keywords Distribution of ventilation, EIT, kidney donor, laparoscopic nephrectomy, intraoperative volume tidal.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Wahyudi Soamole
"Latar Belakang: Tatalaksana nyeri pascabedah pada pasien pascalaparoskopi nefrektomi merupakan salah satu kunci pemulihan dini pasien. Di RSUPN Cipto Mangunkusomo, hampir semua pasien donor ginjal pascabedah laparoskopi nefrektomi mendapatkan analgesia epidural kontinyu. Masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat, serta terdapatnya efek samping retensi urin pascaanalgesia epidural kontinyu, membuka kemungkinan untuk digunakannya teknik analgesia berbasis anestesia regional lain yang lebih baik. Blok tranversus abdominis plane dapat digunakan sebagai analgesia pascabedah abdomen, aman digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi koagulasi dan tidak menyebabkan terjadinya retensi urin dibandingkan dengan teknik blok neuraksial. Metode: Penelitian ini bersifat uji klinis terkendali tidak tersamar tunggal, dengan populasi semua pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi pada bulan Mei-Oktober 2017 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 25 subyek pada dua kelompok diambil dengan metode consecutive sampling. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui efek analgesia penambahan deksametason 8 mg pada blok TAP tiga titik, rata-rata derajat nyeri gerak dan kebutuhan morfin pascabedah pada kedua kelompok dengan menggunakan uji Mann-Whitney dan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon.Hasil: Uji Mann-Whitney rata-rata nyeri diam tidak berbeda signifikan p 0,066-0,716 . Uji Mann-Whitney Kebutuhan PCA morfin pada 24 jam pascabedah tidak berbeda signifikan p 0,072-0,200 . Perubahan derajat nyeri pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,002 dan 0,020 . Kebutuhan morfin pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,023 . Saat pertama menggunakan tambahan morfin dan awal mobilisasi pascabedah tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu 58.01 .Simpulan: Penambahan deksametason 8 mg tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik pada blok TAP tiga titik dibanding epidural kontinyu. Jumlah penggunaan morfin, saat pertama membutuhkan tambahan morfin, rata-rata derajat nyeri gerak dan awal mobilisasi pascabedah tidak berbeda signifikan pada blok TAP tiga titik dengan epidural kontinyu. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu.

Abstract Background Postoperative pain management in laparoscopic nephrectomy is one key to early recovery. At RSUPN Cipto Mangunkusomo, almost all postoperative laparoscopic donor nephrectomy patients acquire continuous epidural analgesia. High percentage of patients with severe degree of pain and presence of postoperative urinary retention related to continuous epidural opens the possibility of better use of other regional anesthesia analgesia techniques. Tranversus abdominis plane block can be used as postoperative analgesia in abdominal surgery, safe in patients with impaired coagulation function and does not cause urinary retention compared with neuraxial block technique. Methods Randomized control trial in all kidney donor patients undergoing laparoscopic donor nephrectomy in RSUPN Cipto Mangunkusomo during May October 2017. Consecutive sampling and random allocation was done to put 25 patients in each TAP block and Continuous Epidural group. Statistical analysis was performed to determine the effect of adding 8 mg of dexamethasone in three point TAP block on degree of pain at rest and with movement and postoperative morphine requirements using Mann Whitney, Friedman and post hoc Wilcoxon test. Results Mann Whitney test showed no significant difference in pain at rest p 0,066 0,716 and 24 hours postoperative morphine requirements p 0,072 0,200 between two groups. Friedman and post hoc Wilcoxon test showed a significant difference in degree of pain p 0,002 and 0,020 and morphine requirement p 0,023 in TAP block group. There is no difference in time to first dose of morphine rescue and early postoperative mobilization. There is higher incidence of postoperative urinary retention in continuous epidural group 58.01 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg on three point TAP block did not provide better analgesia than continuous epidural. The amount of morphine requirement, time to first dose of morphine rescue, degree of pain at rest and with movement and early postoperative mobilization did not differ significantly between two groups. The frequency of postoperative urinary retention is higher with continuous epidural."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama.
Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik.
Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.

ABSTRACT
Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour.
Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant.
Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elita Wibisono
"ABSTRAK
Laparoskopi donor nefrektomi hidup (LDNH) merupakan prosedur unik karena memengaruhi individu sehat. Dengan laparoskopi, nyeri masih dirasakan oleh pasien meskipun telah banyak berkurang. Studi ini bertujuan mengevaluasi nyeri pascaoperasi LDNH, serta pemulihan, dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini adalah studi retrospektif noneksperimental dengan analisis deskriptif. Sampel diambil secara konsekutif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Kriteria eksklusi mencakup data tidak lengkap, riwayat nyeri kronik, dan konsumsi analgesik jangka panjang. Parameter yang dinilai meliputi data demografik dan data pascaoperasi. Dari bulan November 2011 hingga November 2015, terkumpul 277 pasien dengan median usia 30 (18-62) tahun dan rasio laki-laki:perempuan 9:4. Nyeri dinilai dengan Visual Analogue Scale (VAS) dan dikelompokkan menjadi nyeri ringan (0-2), sedang (3-4), dan berat (5-10). Didapatkan skor VAS pasca-LDNH hari-1 2(1-6), hari ke-2 2(0-4), dan hari ke-3 1(0-3). Perbaikan skor dari hari ke-1 hingga hari ke-3 signifikan (p<0,001). Nyeri berat hanya ditemukan pada hari ke-1 (2,2%). Metode anestesi yang digunakan, yaitu analgesik epidural (82,3%) dan kombinasi epidural-intravena (17,7%). Durasi analgesik epidural 2(1-7) hari, durasi kateterisasi 7(3-30) hari, durasi rawat inap 3(2-9) hari, kembali ke aktivitas normal 7(3-30) hari, dan kembali bekerja 14(6-90) hari. Terdapat hubungan yang signifikan antara VAS hari 1 dan 3 dengan relasi donor-resipien (p<0,001 dan p=0,029). VAS lebih tinggi ditemukan pada donor yang memiliki relasi dengan resipien. Kesimpulan penelitian ini adalah penanganan nyeri dan pemulihan pasien pasca-LDNH di RSCM sudah baik, dibuktikan dengan rendahnya skor VAS pascaoperasi dan baiknya parameter pascaoperasi. Nilai VAS berkorelasi dengan donor yang memiliki relasi, tetapi hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

ABSTRACT
Laparoscopic living donor nephrectomy (LLDN) is a unique procedure as it can give impact to a healthy individual. Although postoperative pain in donor nephrectomy has been far reduced by laparoscopic technique, patients still can experience considerable pain. The aim of this study was to evaluate the LLDN postoperative pain and patients recovery as well as related factors. This study was non-experimental using descriptive analytic method with retrospective study design. Data of patients who underwent consecutive LLDN in Cipto Mangunkusumo Hospital were collected. Exclusion criteria were patients with incomplete data, history of chronic pain and long-term analgesic consumption. The parameters evaluated were demographic data (age, sex, body mass index, donor site, related or unrelated donor) and postoperative data (postoperative pain, types of analgesia, duration of catheterization, hospital length of stay, return to normal activities and return to work). Statistical analysis was carried out using SPSS version 20.0 with p-value less than 0.05 was considered statistically significant. From November 2011 to November 2015, there were 277 patients included with median age of 30 (18-62) years old and male-to-female ratio 9:4. LLDN postoperative pain was evaluated using Visual Analogue Scale (VAS) and classified to mild (0-2), moderate (3-4) and severe (5-10) pain. The VAS scores on day 1 were 2 (1-6), 2 (0-4) on the day 2, and 1 (0-3) on day 3 post LLDN. This value improved statistically significant from day 1 to day 3 (p<0.001). Severe pain was only found on the first day (2.2%). The most common analgesia technique used was epidural analgesia (82.3%), followed by combination of epidural and intravenous analgesia (17.7%). The postoperative data evaluated were duration of epidural analgesia (2 (1-7) days), duration of urethral catheterization (2 (1-5) days), length of hospital stay (3 (2-9) days), return to normal activities (7 (3-30) days), and return to work (14 (6-90) days). There were no significant relations between VAS scores in the day 1 and 3 with demographic and postoperative data (p>0.05), except in VAS for day 1 and 3 with donor-recipient relation (p<0.001 and p = 0.029); higher VAS was found in kidney donors who were related rather than the unrelated ones. The postoperative pain of LLDN patients in Cipto Mangunkusumo Hospital is adequately managed by analgesia provided as shown by the low postoperative VAS scores. The recovery parameters for LLDN patients also show promising result based on short length of hospital stay, return to normal activities and return to work. Higher VAS score correlated with kidney donors who are related but further studies are still needed to support this finding."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>