Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172726 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abd. Karim
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T51675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumbekwan, Albert
"Tesis ini membahas tentang pelayaran orang Biak di Teluk Cenderawasih Abad XIX. Orang Biak menjalankan aktivitas perdagangan barter, ekspansi, dan merompak masyarakat suku-suku di sekitar Teluk Cenderawasih, dan mendominasi aspek perdagangan dan politik di wilayah tersebut. Orang Baik-Numfor membangun hubungan dagang dengan para pelaut Ternate, Tidore, Halmahera-Flores-Gebe, Sulawesi, Buton, pelaut Cina dan Eropa. Sistim dagang orang Biak terbentuk melalui kongsi dagang antar sahabat yang disebut; Manibobi, dengan berlayar dan berdagang keliling. Jenis-jenis komoditi dagang yang dibarter bersama para manibobi-nya di Kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Doreri-Manokwari, Amberbaken adalah; Sagu, kulit kayu massoi, burung cenderawasih, dan budak serta lainnya. Sedangkan jenis-jenis komoditi dagang baru yang diperoleh melalui kontak dagang dengan para pelaut dari Ternate-Tidore, Buton, makasar, Cina dan Eropa, antara lain; porselin cina, manik-manik, parang, tombak gelang dari besi atau logam, serta berbagai jenis kain. Pelayaran dan perdagangan orang Biak-Numfor didorong oleh motif persaingan atau korfandi, lingkungan georafis dan ekonomi, perang antar suku, dan adat budaya. Aktivitas pelayaran ini dipimpin oleh Manseren Mnu atau Suprimanggun, dan ?Mambri? sebagai pemimpin perang, dengan menggunakan perahu layar tradisional; Wairon, Waimansusu dan Waipapan/Karures, yang dipandu oleh ilmu perbintangan, yaitu bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romanggwandi). Kemampuan pelayaran dan perdagangan sampai ke Ternate-Tidore, menyebabkan orang Biak diberi gelar-gelar seperti; Mambri, Sangaji, Korano, dan Dimara. Dan melahirkan akulturasi budaya antara orang Biak-Numfor dengan suku-suku di daerah Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Manokwari melalui perkawinan dan perdagangan.

This thesis discusses the shipping of Biak in the Gulf of Paradise XIX century. Biak people barter trading activities, expansion, and community merompak tribes around the Gulf of Paradise, and dominate the trade and political aspects in the region. People Well-Noemfoor establish trade relations with the sailors of Ternate, Tidore, Halmahera-Gebe-Flores, Sulawesi, Buton, Chinese and European sailors. Biak trade system formed through trade partnership between friends is called; Manibobi, with sailing and trade circumference. The types of commodity trade with the manibobi bartered his Yapen Islands-Waropen, Wondama Bay, and Gulf Doreri-Manokwari, Amberbaken; Sago, massoi bark, bird of paradise, and slaves, and others. While other types of trading commodity obtained through trade contacts with the sailors of Ternate-Tidore, Buton, Makassar, China and Europe, among others; Chinese porcelain, beads, machetes, spears of iron or metal bracelet, as well as various types of fabrics. Shipping and trade of Biak-Noemfoor driven by competition motive or korfandi, geographic and economic environment, inter-tribal warfare, and cultural customs. Shipping activity is led by Manseren MNU or Suprimanggun, and "Mambri" as a war leader, using traditional sailing boat; Wairon, Waimansusu and Waipapan/Karures, which is guided by astrology, the stars of Orion (Sawakoi) and Scorpio (Romanggwandi). Shipping and trading capabilities to the Ternate-Tidore, causing the Biak given titles such as; Mambri, Sangaji, Korano, and Dimara. And gave birth to acculturation between the Biak-Noemfoor with tribes in the area Yapen-Waropen, Wondama Bay, and Manokwari through marriage and trade.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T43108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ageng Budhiman
"Benteng menara adalah salah satu jenis benteng yang dibangun oleh Belanda di Indonesia. Menurut Victor J. Enoch, ciri umum benteng menara adalah bentuk siluetnya yang menye_rupai tong kayu dan dinding-dindingnya berukuran tebal serta terbuat dari Bata. Di Indonesia, hanya terdapat empat buah benteng menara. Seluruhnya berada di Perairan Teluk Jakarta dan hanya tinggal tiga buah saja yang sisanya masih dapat dilihat saat ini. Benteng menara di Pulau Bidadari adalah salah satu dari ketiga benteng menara tersebut dan dijadikan obyek peneli_tian ini. Bentuknya sudah tidak utuh lagi. Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk utuhnya. Se_dangkan tujuan lainnya adalah mengetahui fungsi dan peranan benteng menara tersebut. Kedua tujuan penelitian di atas dicoba dicapai melalui pendekatan komparatif dan analogi sejarah. Dua benteng menara lainnya, yang juga terdapat di Perairan Teluk Jakarta, dan beberapa benteng menara di Belanda dijadikan data banding dalam melakukan pendekatan komparatif. Data sejarah yang semuanya berupa data-data tertulis digunakan dalam penelitian ini sebagai data sekunder untuk kepentingan analogi sejarah_ Hasil dari pendekatan komparatif dan analogi sejarah tersebut kemudian digabungkan untuk dijadikan bahan dalam penarikan kesimpulan.Kedua tujuan penelitian ini dapat dicapai dan kesim_pulan yang dapat ditarik adalah bentuknya sebagai berikut ; (1) bentuk denahnya lingkaran, (2) bentuk siluetnya menyerupai tong kayu, (3) dindingnya berukuran tebal dan terbuat dari bata merah, (4) terdiri dari dua lantai dan pintu masuknya berada di lantai kedua sebelah barat, (5) masing-masing lantai terbagi menjadi tujuh bagian, (6) pada lantai pertama terdapat sebuah gudang amunisi dan sebuah bak penampung air, (7) permukaan lantai pertama dilapisi rowlock bata hitam dan bentuk langit-langitnya datar, (8) lantai pada lantai kedua terbuat dari papan kayu dan bentuk langit-langitnya lengkung, (9) tidak memiliki parit keliling dan kakus. Adapun fungsi dan peranannya adalah sebagai bagian dari suatu sistem pertahanan yang melindungi daerah perairan di sekitar Pulau Bidadari, Kelor, Onrust, dan Cipir. Sistem pertahanan tersebut dibangun antara tahun 1851-1853"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S11534
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mardlijah
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
T39509
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jepriyadi A Lumbu
"Pulau Belitung merupakan sebuah pulau yang memiliki potensi tinggalan budaya meliputi makam lama, masjid lama serta permukiman. Pada makam lama kebanyakan terletak pada dataran tinggi, daratan dan pantai. Makam yang berada diketinggian salah satunya adalah makam Syekh Abubakar Abdullah atau yang dikenal dengan sebutan Datuk Gunung Tajam, terletak pada ketinggian 500 Meter dari permukaan air laut (Mdpl). Kemudian pada keletakan masjid di Pulau Belitung berada pada persimpangan tiga dan persimpangan empat, hal ini merupakan bentuk kebiasaan masyarakat Belitung dalam memilih wilayah untuk dijadikan tempat pendirian masjid sebab tempat seperti itu merupakan temapat yang mudah untuk dijangkau dan bagian pusat keramaian. Pada permukiman mengikuti pola jalan besar/raya sehingga terlihat membentuk linier dan lebih teratur. Kemudian permukiman lama dan makam lama mempunyai konsep yang saling berhubungan sehingga membuat suatu pola tertentu. Dalam penelitian ini terdapat dua buah pertanyaan yaitu pertama, bentuk lansekap seperti apa pada makam, masjid dan permukiman di Pulua Belitung pada abad XVIII-XIX Masehi, kedua, makna apa yang terdapat pada lansekap makam, masjid dan pemukiman dalam Konteks Ideologi lokal pada masyarakat Belitung. Pada penelitian ini untuk menjawab suatu permasalahan perlu adanya metode yang digunakan, adapun metode yang digunakan yaitu metode kualitaif dengan menggunakan pendekatan arkeologi lansekap. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lansekap makam dan permukiman mempunyai 4 pola dan maknanya yaitu ada keterkaitan dalam perlakukan yang di makam, selain dari itu lansekap masjid memperlihatkan sebuah pola lokal yaitu letak masjid terdapat pada persimpangan jalan yang dimaknai bahwa masjid merupakan sebuah bangunan yang penting selain tempat beribadah juga sebagai tempat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat di sekitar masjid.

Belitung Island is an island that has the potential of cultural relics including old tombs, old mosques, and settlements. In the old tombs mostly located in the highlands, land, and beaches. One of the tombs at the height of the tomb is Syekh Abubakar Abdullah, also known as Datuk Gunung Sharp, located at an altitude of 500 meters above sea level (masl). Then in the location of the mosque on the island of Belitung is at the intersection of three and crossing four, this is a form of Belitung peoples habits in choosing the area to be the place of construction of the mosque because such a place is an easy place to reach and the center of the crowd. In settlements following the pattern of major roads/highways so it looks to form linear and more orderly. Then the old settlements and old graves have interconnected concepts to make a certain pattern. In this study there are two questions: first, what kind of landscape in the tomb, mosque, and settlement in Pulau Belitung in the XVIII-XIX century AD, second, what is the meaning of the tomb, mosque, and settlement in the context of local ideology in the Belitung community. In this study to answer a problem, it is necessary to have a method used, while the method used is a qualitative method using a landscape archeological approach. The results of this research indicate that the grave landscape and settlement have 4 patterns and their meanings, namely there is a connection in the treatment of the tomb, besides that the mosque landscape shows a local pattern that is the location of the mosque at the crossroads which means that the mosque is an important building besides place of worship is also a place to convey information to the community around the mosque."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T52844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widodo
"Tujuan penelitian ini adalah menyajikan Serat Baron Sakendher (SBS) dalam kaitan dengan negosiasi wacana kolonial di Jawa pada abad XIX. Korpus penelitian ini berupa naskah SBS yang tersimpan di beberapa tempat penyimpanan naskah di dalam dan luar negeri. Kajian difokuskan pada penyajian suntingan teks SBS dan menjelaskan bentuk wacana kolonial di Jawa pada abad XIX yang ada di dalam teks. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut dilakukan tinjauan aspek naskah dan teks. Analisis teks ditekankan pada wacana kolonial dengan berpijak pada pemikiran Michel Foucault dengan mendalami ide, konsep, narasi budaya, dan genealogi kolonial yang dibangun dalam cerita Baron Sakendher. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan filologi, wacana, dan hegemoni. Aspek yang dikaji meliputi filologi dan teks SBS. Hasil penelitian yang didasarkan pada kelengkapan isi cerita, jumlah pupuh dan pada tembang macapat menunjukkan bahwa naskah SBS terdiri atas tiga kelompok naskah, yakni naskah kelompok I, naskah kelompok II, dan naskah kelompok III. Berkaitan dengan itu, digunakan metode landasan untuk menyajikan teks, yakni naskah C. Suntingan dan terjemahan teks disajikan dengan menerapkan metode kritik pada perbaikan bacaan dan penambahan kata. Temuan penelitian menunjukkan bahwa cerita SBS dihadirkan menjadi bagian Babad Tanah Jawi (BTJ). Di tengah narasi genealogi dan mistik penguasa Jawa, cerita Baron Sakendher digunakan untuk meredam konflik horizontal pasca-Perang Jawa 1830. Naskah SBS menjadi bagian babad sebagai bentuk respons penguasa Jawa untuk meredam permusuhan sekaligus menciptakan kontrol sosial baru atas rakyat. Keberadaan kolonial dilesapkan dalam cerita secara halus untuk dapat diterima oleh pembaca dan pendengar Jawa tanpa kekerasan. Kolonial Belanda difigurkan melalui tokoh Baron Sakendher yang hadir di Jawa sebagai pedagang dan mitra rakyat Jawa, bukan penjajah sebagaimana aslinya. Narasi abdi Raja Mataram menjadi kekuatan kultural yang berkorelasi dengan genealogi Baron Sakendher yang lebih rendah dari Raja Jawa, menjadi kunci penundukan rakyat dengan konsep mangku.

This study aims to serves Serat Baron Sakendher (SBS) in its relation to the legitimacy of colonial discourse in Java during the XIX century. Its corpus is SBS kept both in domestic and foreign manuscript repositories. The study is focused on presenting the SBS text edition and explaining the forms of colonial discourse in Java in the XIX century as the selected text depicts. Manuscript and textual reviews were done to answer research problems. Text analysis emphasized colonial discourse based on Michel Foucault’s thoughts, specifically by drawing on the ideas, concepts, cultural narratives, and colonial genealogy constructed in the story of Baron Sakendher. This study used some approaches, namely philology, discourse, and hegemony. The examined aspects of the manuscript include philology and SBS text itself. Based on the completeness of the story and the number of pupuh and macapat, it is revealed that the SBS manuscript consists of three categories, namely group I, group II, and group III. In this regard, the fundamental method is used to present the text edition, namely manuscript C. Text editing and translation are presented by applying critical methods on reading improvement and word addition. The findings point out that the story of SBS is presented as part of the Babad Tanah Jawi (BTJ). Amidst the genealogical and mystical narration of Javanese rulers, the story of Baron Sakendher is used to suppress horizontal conflicts following the Java War of 1830. The SBS manuscript becomes a part of the babad as a form of the Javanese rulers' response to suppress hostilities while creating new social control over the people. The presence of the colonial power is subtly embedded in the story to be accepted by Javanese readers and listeners without violence. The Dutch colonial power is figuratively depicted through the character of Baron Sakendher, who appeared in Java as a trader and a partner of the Javanese people, rather than as a conqueror as originally known. The narrative of the servants of the Mataram King becomes a cultural force correlated with the genealogy of Baron Sakendher, who was of lower rank than the Javanese King, becoming the key to subjugating the people with the concept of "mangku"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poelinggomang, Edward L.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002
331.8 EDW m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Poelinggomang, Edward L., foreword
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002
959.8 POE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Tuty Nur Mutia
"ABSTRAK
Dasar pemilihan topik skripsi ini adalah, karena Serikat Rahasia merupakan salah satu hal yang unik dari sejarah Cina. Serikat Rahasia sebagai organisasi yang - anggotanya sebagian besar adalah orang miskin dan kurang pendidikan, dapat melakukan gerakan yang berwawasan ke-bangsaan, walaupun dalam hal ini masih terbatas pada pengertian sebagai bangsa Hat, bukan bangsa Tiongkok.Dalam Bab I yang merupakan pendahuluan, dan Bab II, diuraikan dengan terinci asal usul dan seluk beluk Seri_kat Rahasia di Cina. Penguraian meliputi hal-hal ; sejarah kelahiran Serikat Rahasia, faktor-faktor pendorong timbulnya Serikat Rahasia, tujuan dan bentuk kegiatannya, keanggotaan dan sistem organisasinya, ritual, sumpah dan upacara pelantikan anggota, wanita dalam Serikat Rahasia, kartu anggota, bahasa_rahasia, serta sanksi atau sistem hukuman dalam Serikat Rahasia. Gerakan yang dilakukan Serikat Rahasia pada abad XIX diuraikan dalam Bab III. Dalam kaitan ini diuraikan pula latar belakang keadaan sosial, ekonomi, dan politik Cina pada masa itu, sehingga dapat memperjelas hu_bungan keadaan tersebut dengan perkembangan dan gerakan Serikat Rahasia di Cina. Beberapa gerakan yang dianggap cukup berhasil dalam sejarah Cina, diambil sebagai con_toh untuk menunju kan sejauh mana peranan Serikat Raha_sia dalam sejarah pergerakan rakyat Cina.Revolusi 1911 yang merupakan perbatasan antara sejarah Cina tradisional dan moderen, dijadikan puncak pengamatan peranan Serikat Rahasia dalam sejarah Cina. Serikat Rahasia sesudah periode ini tidak banyak berinisiatif dalam melakukan gerakan, karena perannya telah diambil alih oleh organisasi profesional maupun oleh or-ganisasi politik, yang berkembang sejalan dengan perkem_bangan sosial, ekonomi dan politik Cina. Serikat Rahasia sejak saat ini lebih menonjol dalam kegiatan kriminal, walaupun hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan awal terbentuknya Serikat Rahasia di Cina.

"
1986
S13069
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soemarsaid Moertono
"BUKU KLASIK ini mengupas kedudukan raja dan seni mengelola kekua saan di Jawa masa lampau, mulai dari segi magis-religius raja, struktur kekuasaan, hingga pembiayaan negara. Dapat dibaca, raja Jawa memiliki kekuasaan tak terbatas, namun ia dituntut berlaku adil, bijak sana, dermawan, dan mampu menjaga ketenteraman negara. Dapat dibaca pula, struktur kekuasaan di Jawa sangat rentan pemberontakan sehingga kedudukan raja senantiasa rapuh. Buku ini dapat menjadi latar belakang dalam memahami politik Indonesia sekarang."
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017
959.82 SOE n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>