Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126983 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Saptarini
"

Akne vulgaris (AV) adalah penyakit inflamasi yang kronis pada bagian pilosebasea.  Pada umumnya akne terjadi pada masa pubertas, dewasa muda, dan banyak terjadi pada remaja. AV mempengaruhi 85% dewasa muda usia 12-25 tahun dan secara konsisten menduduki “the top three most prevalence skin condition“ dalam populasi umum Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya akne vulgaris dan yang masih menjadi perebatan adalah faktor nutrisi. Dengan menggunakan cut-off <20 ng/mL, prevalensi defisiensi vitamin D bervariasi antara 6-70% di Asia Tenggara, hasil penelitian di Malaysia lebih dari setengah (58%) jumlah remaja memiliki 25(OH)D <50 nmol/L. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang membandingkan nilai rerata kadar vitamin D serum antara dua kelompok derajat akne pada remaja siswa sekolah menengah atas usia 15-18 tahun di kota Depok. Jumlah subjek total 60 orang terbagi dalam 2 kelompok, 30 orang kelompok akne vulgaris ringan (AVR) dan 30 orang akne vulgaris sedang-berat (AVS). Rerata kadar vitamin D serum subjek adalah 17,29±6,77 ng/ml. Sebanyak 21 subjek (35%) berada pada kondisi sufisiensi vitamin D dan 39 subjek (65%) berada dalam kondisi insufisiensi-defisiensi (terdiri dari 43,3% insufisiensi, 21,7% defisiensi). Kadar rerata vitamin D serum pada kelompok AVR 15,45±6,7 ng/ml dan pada AVS 19,13±6,8 ng/ml dengan p=0,034.

Kesimpulan : hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kadar vitamin D serum dengan akne vulgaris. vitamin D serum.

 


Acne vulgaris is a chronic inflammatory disease as a part of pilosebaceus. In general acne occurs during puberty, but it can also occur in young adults, and many occur in adolescents. Acne vulgaris affects 85% of young adults aged 12-25 years and consistently occupies "the top three most prevalence skin conditions" in the general population. One of the factors that influence acne vulgaris and which is still a debate pro and contra are nutritional factors. This study aims to find a relationship between vitamin D serum level and the degree of acne in adolescents. Previous researches that linked vitamin D levels with acne was not conclusive, especially in adolescents. This is a cross-sectional study that compares the mean values of serum vitamin D levels between two groups of acne levels in adolescents of high school students aged 15-18 years in the city of Depok. The total number of subjects was 60 people divided into 2 groups, 30 people in the group of mild acne vulgaris and 30 people with moderate-severe acne vulgaris. The mean of vitamin D level of the subject serum was 17.29 ± 6.77 ng / ml. The mean of vitamin D serum level in the mild group was 15.45 ± 6.7 ng / ml and moderate group was 19.13 ± 6.8 ng / ml with p = 0.034. A significant association was found between serum vitamin D levels and the degrees of acne vulgaris.

Conclusion: there is a significant relationship between serum vitamin D levels and degree of acne vulgaris. The mean of vitamin D level are lower in mild acne group than in moderate group

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Gautama
"Latar belakang: Masyarakat kawasan urban kampung di Indonesia memiliki risiko lingkungan berupa gorong-gorong yang gelap dan ventilasi yang tidak adekuat. Hal ini menjadi risiko kadar vitamin D yang tidak optimal (serum 25OHD <20 ng/mL dan >100 ng/mL). Kadar vitamin D yang tidak optimal juga bisa menjadi risiko penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal pada masyarakat kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.
Metode: Studi potong lintang pada subjek dewasa kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang di tahun 2019-2020. Kemudian dilakukan penyesuaian dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Lalu, dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar vitamin D juga nilai penanda fungsi ginjal.
Hasil: Pada 161 subjek dewasa di urban kampung Jakarta dan Tangerang diperoleh nilai median kadar vitamin D 24,46 ng/mL (10,04 – 52,55 ng/mL), kadar kreatinin serum 0,7 mg/dL (0,5 – 6,7 mg/dL), kadar ureum 20,6 mg/dL (11,9 – 50,5 mg/dL), dan nilai eGFR (CKD-EPI) 97,854 ml/min/1,73m2 (5,52 – 121,92 ml/min/1,73 m2). Hasil analisis menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin dengan kadar ureum, kreatinin, dan nilai eGFR.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal baik dengan eGFR, kadar kreatinin serum, maupun kadar ureum pada masyarakat yang tinggal di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.

Background: Individuals who live in urban kampung have the environmental risk factors of dark alleyways and inadequate ventilations. These increase the risk of subjects in developing vitamin D deficiency and later may decrease the kidney function. Therefore, this study is performed to identify the correlation between vitamin D serum levels and kidney function markers in adults of urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
Methods: Cross-sectional study performed in adults of urban kampung areas around Jakarta and Tangerang in 2019-2020. We recruited participants using predetermined inclusion and exclusion criteria. Afterward, blood sample were drawn to quantify vitamin D serum level and kidney function markers of the subjects.
Results: From 161 adult subjects in urban kampung around Jakarta and Tangerang, the vitamin D serum level median is 24,46 (10,04 – 52,55) ng/mL, the serum creatinine median is 0,7 (0,5 – 6,7) mg/dL, the urea serum level median is 20,6 (11,9 – 50,5) mg/dL, and the median of eGFR score (CKD-EPI), is 97,854 (5,52 – 121,92) ml/min/1,73 m2. Analysis using Spearman shows that there is no correlation between vitamin D serum level with urea serum level, serum creatinine, and eGFR score.
Conclusion: There are no correlation between vitamin D serum level and kidney function markers in individuals who live in urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Anggawiyatna
"Pendahuluan: Berkurangnya kekuatan otot seiring usia sudah dianggap sebagai suatu penyakit degeneratif. Penyebab tersering adalah defisiensi vitamin D. Sebagian besar studi yang ada menunjukkan efek menguntungkan dari supplementasi vitamin D. Namun masih terdapat kontroversi. Tujuan studi ini adalah untuk meninjau secara sistematis tentang efek supplementasi vitamin D terhadap kekuatan otot, berdasarkan hasil dari studi terdahulu.Metode: Penelitian ini merupakan metaanalisis. Dilakukan penelusuran literatur melalui Pubmed, ScienceDirect, dan CENTRAL pada Desember 2017. Studi yang diambil adalah studi RCT, meneliti pengaruh pemberian suplementasi vitamin D dengan luaran klinis kekuatan otot, subjek usia di atas 65 tahun. Qualitas tiap studi dihitung dengan Jadad scale, risiko bias dihitung sesuai Cochrane guideline. Parameter HG, KE, CRT, TUG, dan SPPB diekstraksi dan dilakukan metaanalisis dengan menghitung beda rerata untuk menghitung besar efek.Hasil: 17 studi RCT diikutsertakan dalam penelitian. Qualitas tiap studi berkisar antara sedang-baik. Rentang usia 68,8-86,6 tahun. Lama follow up 3-12 bulan. Dosis vitamin D yang diberikan bervariasi 400-2000 IU/hari, atau 150.000 IU/3 bulan. Didapatkan hasil beda rerata 6.96 1.33, 12.60 untuk parameter KE p 0.02 , beda rerata -5.03 -25.04, 14.98 untuk parameter CRT p 0.62 , beda rerata -2.72 -6.90, 1.45 untuk parameter TUG 0.20 , beda rerata 0.11 -7.94, 8.17 untuk parameter SPPB p 0.98 , dan beda rerata 3.24 0.81, 5.66 untuk parameter HG p 0.009 .Pembahasan: Pemberian suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kekuatan otot yang diukur dengan parameter KE dan parameter HG. Namun tidak ditemukan perbedaan bermakna pada penghitungan parameter CRT, TUG, dan SPPB.

Introduction Decreased muscle strength with age is considered a degenerative disease. The most common causes is vitamin D deficiency. Most studies have shown beneficial effects of vitamin D supplementation. However, there are still controversies. This study was aimed to systematically review the effects of vitamin D on muscle strength, based on results from previous studies.Methods This is a metaanalysis study. Literature searches performed through Pubmed, ScienceDirect and CENTRAL in December 2017. Included in the studies were RCTs, which measured the effect of vitamin D supplementation with clinical outcomes of muscle strength, in subjects over 65 years of age. The quality of each study was calculated with Jadad scale, the risk of bias calculated according to Cochrane guideline. Parameters HG, KE, CRT, TUG, and SPPB were extracted and calculating the mean difference to analyse the effect.Result Seventeen RCTs were included. The quality ranged from moderate good. Age range 68.8 86.6 years. Length of follow up 3 12 months. The vitamin D dose varies from 400 2000 IU day, or 150,000 IU 3months. The mean difference was 6.96 1.33, 12.60 for KE p 0.02 5.03 25.04, 14.98 for CRT p 0.62 2.72 6.90, 1.45 for the TUG 0.20 0.11 7.94, 8.17 for the SPPB p 0.98 and 3.24 0.81, 5.66 for HG p 0.009 .Discussion Vitamin D supplementation can increase muscle strength measured by measuring KE and HG. However, there were no significant difference was found in CRT, TUG, and SPPB. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Kusumadewi
"Latar Belakang. Defisiensi vitamin-D dapat terjadi pada sklerosis multipel MS dan neuromielitis optik (NMO), dan dapat berpengaruh terhadap proses imunologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar serum vitamin-D-25 (OH) pada orang dengan penyakit demielinisasi sistem saraf pusat dibandingkan dengan kontrol sehat.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada November 2016 sampai Mei 2017. Pada sampel dikumpulkan data kebiasaan makan, suplementasi vitamin-D, paparan sinar matahari, terapi medikamentosa, jumlah relaps per tahun, dan expanded disability status scale (EDSS). Kadar serum vitamin-D-25(OH) diukur menggunakan metode direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil. Tiga puluh dua pasien (18 MS dan 14 NMO) dan 33 kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki pada kelompok studi dan kontol adalah 12,5% dan 15,2%. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D-25(OH) (<30ng/mL) didapatkan pada 90,6% pasien di kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan kadar vitamin-D-25(OH) yang bermakna antara kelompok studi dan kontrol dengan median rentang adalah 17(5.2-71.6)ng/ml dan 15.7(5.5-34.4)ng/ml. Hasil tersebut tidak diduga, karena 50 pasien mendapatkan suplementasi vitamin D lebih dari 400IU. Terapi kortikosteroid juga ditemukan berpengaruh terhadap kadar vitamin-D-25(OH). Kadar vitamin-D-25(OH) tidak berhubungan dengan EDSS.
Kesimpulan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D didapatkan pada orang dengan MS dan NMO di Jakarta, namun kadarnya tidak berhubungan dengan EDSS. Tenaga kesehatan juga perlu mewaspadai rendahnya kadar vitamin-D pada pasien yang menggunakan kortikosteroid. Kontrol normal juga memiliki kadar vitamin-D yang rendah walaupun tinggal di negara dengan paparan sinar matahari yang cukup. Temuan ini menunjukkan risiko kekurangan vitamin-D pada masyarakat yang tinggal di Jakarta.

Introduction. Vitamin-D-25(OH) deficiency is common in Multiple Sclerosis (MS) and Neuromyelitis Optic (NMO) patients and can affect the immunological process. We performed study to evaluate serum vitamin-D-25(OH) levels in MS and NMO patients compared to healthy control.
Methods. This is a cross sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from November 2016 May 2017. We reviewed dietary recall, vitamin-D supplementation, sun exposure, medication, annual relapse rate and expanded disability status scale (EDSS). Vitamin-D-25(OH) level was measured using direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Results. Thirty two patients (18 MS and 14 NMO) and 33 controls were enrolled. Male patients and controls were 12,5% and 15,2%, respectively. Vitamin-D insufficiency and deficiency (<30ng mL) among patients reached 90,6% and not associated with EDSS. It was not significantly different between patients and control, with median (range) 17(5.2-71.6)ng/ml and 15.7(5.5-34.4)ng/ml respectively. The result was unexpected because 50 patients received vitamin-D supplementation. Corticosteroid used also influenced the vitamin-D levels.
Conclusion. Vitamin-D insufficiency and deficiency was common in MS and NMO patients in Jakarta but not associated with EDSS. Practitioners need to be alert to vitamin-D low level particularly in patients using corticosteroid. Healthy control also had low vitamin-D concentrations though they lived in a sufficient sun exposure country. This finding suggests a risk of vitamin-D deficiency among community living in Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Naura Assyifa
"

Vitamin D dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar vitamin D dengan panjang badan bayi di Jakarta Pusat. Studi cross-sectional dilakukan terhadap 75 subjek yang memenuhi kriteria penelitian. Kadar vitamin D dalam serum diukur dengan metode CLIA (Chemiluminescence Immunoassay), dan panjang badan bayi diukur dengan teknik terstandarisasi dengan ketelitian 1mm oleh tenaga terlatih. Data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji korelasi Pearson (korelasi bermakna jika p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian (80%) tidak memiliki asupan vitamin D yang cukup. Nilai tengah kadar vitamin D bayi berusia 8-10 bulan di Jakarta Pusat sebesar 26,4 ng/dL, sedangkan nilai tengah panjang badan bayi 70,63 cm. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar vitamin D dengan panjang badan bayi 8-10 bulan di Jakarta Pusat (p=0,563).

 


 

Vitamin D can influence bone growth. This study aims to determine the correlation between vitamin D levels and body length on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta. Cross-sectional study was conducted on 75 infants which met the criteria. Serum vitamin D levels were measured with CLIA (Chemiluminescence Immunoassasy), while body length was measures by antropometric standardized technique by trained personnel. The data was analyzed with Kolmogorov-Smirnov test and Pearson test (significant correlation if p<0,05). The result shows that the majority of subjects (80%) do not have adequate vitamin D intake. The median value of vitamin D levels on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta is 26.4 ng/dL, while the median value of body length is 70.63 cm. The result shows that there are no significant correlation between vitamin D levels and body length on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta (p=0,563).

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Deviana Nawawi
"Usia lanjut berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D, sedangkan vitamin D memiliki efek protektif terhadap massa otot. Penurunan massa otot dan fungsinya disebut dengan sarkopenia. Prevalensi sarkopenia sangat tinggi pada usia lanjut yang tinggal di panti wreda, kondisi ini disebabkan gaya hidup sedentari pada penghuni panti wreda. Deteksi dini sarkopenia dapat dilakukan dengan mengukur fungsi otot, salah satunya adalah mengukur performa fisik dengan tes short physical performance battery (SPPB). Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk melihat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara proportional random sampling, didapatkan 100 usila yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan kadar vitamin D menggunakan kadar kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA). Pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectric impedance analysis Tanita SC-330. Analisis korelasi menggunakan uji nonparametrik. Didapatkan nilai tengah usia subjek adalah 74,89 tahun dan 72% subjek adalah perempuan. Terdapat  85% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang dan  94% subjek memiliki skor pajanan sinar matahari yang rendah, serta seluruh subjek masih memiliki massa otot yang normal. Nilai tengah kadar vitamin D serum  adalah 15,50(4-32) ng/mL, dengan 72% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Nilai tengah performa fisik adalah 9(3-12) dan sebanyak 47% subjek mengalami performa fisik yang buruk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di panti wreda (r=0,130; p=0,196).

Elderly individuals have a risk of vitamin D deficiency, whereas vitamin D has a protective effect on muscle mass. Decrease in muscle mass and function is called sarcopenia. The prevalence of sarcopenia is very high in the elderly who live in nursing homes, this condition is due to the sedentary lifestyle. Early detection of sarcopenia can be done by measuring physical performance with short physical performance battery (SPPB) test. This cross-sectional study aimed to explore the correlation between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in five nursing homes registered in South Tangerang. A hundred subjects who fulfilled study criteria gathered using proportional random sampling method. Examination of vitamin D levels using calcidiol serum with the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method. Muscle mass was measured using bioelectric impedance analysis Tanita type SC-330. Nonparametric correlation was used for correlation analysis. Median age of subjects was 74.89 years old and 72% were female. Eighty-five percent of subjects had low vitamin D intake, 94% of subjects had low sun exposure score, and all subjects had normal muscle mass. Mean level of vitamin D serum was 15.50 (4-32) ng/mL, with 72% of subjects had vitamin D deficiency. Mean score of physical performance was 9(3-12) and 47% of subjects had low physical performance. This study showed that there was no correlation found between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in nursing homes (r=0.130; p=0.196)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Haryanto
"Prevalensi penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat seiring dengan proses penuaan. Aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan diikuti peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Vitamin D merupakan vitamin yang memiliki efek antiinflamasi dan dapat menurunkan kadar hsCRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dengan kadar hsCRP pada usia lanjut (usila). Penelitian dilakukan di Pusat Santunan Keluarga (Pusaka) 12 di Tomang dan Pusaka 39 di Senen pada pertengahan bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara cluster random sampling, dan didapatkan 71 orang subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara meliputi data usia, asupan vitamin D dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif serta total skor pajanan sinar matahari mingguan. Pengukuran antropometri untuk menilai status gizi dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi kadar vitamin D dan hsCRP. Didapatkan median usia 69 (60-85) tahun dan 80,3% subyek adalah perempuan. Malnutrisi terdapat pada 71,8 % subyek. Asupan vitamin D menunjukkan 98,6% subyek memiliki asupan vitamin D kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Sebanyak 97,2% subyek memiliki skor pajanan sinar matahari rendah. Nilai rerata kadar vitamin D 38,02±12,94 nmol/L dan 78% subyek tergolong defisiensi vitamin D. Nilai median kadar hsCRP 1,5 (0,1-49,6) mg/L, dan 67,6% subyek tergolong risiko PKV sedang dan tinggi. Didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara kadar vitamin D serum dengan kadar hsCRP pada usila (r=0,168, p=0,162).

The prevalence of cardiovascular disease (CVD) increases in the elderly. Atherosclerosis is a major cause of CVD which stimulate inflammation and followed by increase production of C-reactive protein (CRP). Vitamin D is a vitamin which has anti-inflammatory effects and may reduce level of hsCRP. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between serum vitamin D level and hsCRP in elderly. Data collection was conducted during December 2012 to January 2013 on 2 selected Pusaka, Pusaka 12 (Tomang) and Pusaka 39 (Senen). Subjects were obtained using cluster random sampling method. A total of 71 elderly subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews including age, vitamin D intake and weekly score of sunlight exposure. Anthropometry measurements to assess the nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of vitamin D and hsCRP. Majority of the subjects were female (80,3%), median age was 69 (60-85) years. Malnutrition was occured in 71.8% of the subjects. Intake of vitamin D showed 98.6% of the subjects were less than recommended dietary allowances (RDA). Majority of the subjects had low score of sunlight exposure (97,2%). Mean of vitamin D levels 38,02±12,94 nmol/L, while 78% the of subjects were categorized as vitamin D deficiency. Median of hsCRP levels 1,5 (0,1-49,6) mg/L, while 67,6% subjects were at moderate and high risk of CVD. No significant correlation was found between serum vitamin D levels and hsCRP levels (r=0,168, p=0,162).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isa Rosalia Ruslim
"Hipovitaminosis D selama masa kehamilan dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan dan pada janin. Selain itu data mengenai status vitamin D pada ibu hamil terutama trimester 1 di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar kalsidiol serum pada ibu hamil trimester 1 dan korelasinya dengan asupan vitamin D dan skor paparan sinar matahari.
Penelitian ini menggunakan metode studi potong lintang pada ibu hamil sehat usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan <12 minggu. Hasil penelitian menunjukkan rerata usia subyek 27,36+3,91 tahun dengan median usia kehamilan 9 minggu. Sebagian besar subyek berpendidikan tinggi (68,1%), status bekerja (70,2%) dengan pendapatan >UMP (59,6%) dan rerata IMT 23,74+3,83 kg/m2. Asupan lemak, protein, dan kalsium subyek
Median skor paparan sinar matahari adalah 14 (0-42) dengan median lama paparan 17,41 (0-85,71) menit. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar kalsidiol serum dengan kelompok lama paparan sinar matahari 5-30 menit dan >30 menit (p=0,033). Rerata kadar kalsidiol serum 39,26+10,25 nmol/mL (insufisiensi) dengan 100% subyek memiliki kadar kalsidiol serum < 80 nmol/L yang menggambarkan keadaan hipovitaminosis D.
Tidak terdapat korelasi antara kadar kalsidiol serum dengan skor paparan sinar matahari (r=0,087; p=0,562), dan asupan vitamin D (r=-0,049; p=0,745). Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian adalah seluruh ibu hamil trimester 1 di Jakarta mengalami hipovitaminosis D sehingga perlu segera diatasi melalui konseling dan edukasi gizi.

Vitamin D deficiency could be related to several complications to pregnancy`s outcomes, both for mother and fetus. Besides, there is limited data regarding to vitamin D status among pregnant women in Indonesia especially during the first trimester. Therefore this study was performed to determine serum calcidiol on the first trimester of pregnancy and its correlation to vitamin D intake and sun exposure score.
The methode in this study was cross-sectional study among healthy pregnant women aged 20-35 years old on their first trimester of pregnancy. Average age of the subjects was 27.36±3.91 years old with median gestational age of 9 weeks. Most of the subjects was well educated (68.1%), working (70.2%) with monthly income equal and more than the province minimum salary (59.6%), and with BMI average of 23.74±3.83 kg/m2. Mostly the subjects had fat, protein, and calcium intake below its RDA with the average intake of 44.49±22.22 g/day; 45.07±19.35 g/day; 661.93±405.91 mg/day, respectively. Vitamin D intake was mostly below its RDA with a median of 2.9 mcg/day and ranged from 0.3 to 15.6 mcg/day.
The median score of sun exposure score was 14 that ranged from zerro to 42, with a median for its duration of 17.41 minutes that ranged from zerro to 85.71 minutes. In this study, there was significant differences between serum calcidiol and sun exposure duration in 5-30 minutes and more than 30 minutes groups (p=0,033). As the main finding, it reveals that the average of serum calcidiol was 39.26±10.25 nmoL/mL or classified as insufficient where all of the subjects (100%) had serum calcidiol less than 80 nmol/L (hypovitaminosis D).
However, there were no significant correlations between serum calcidiol with sun exposure score and vitamin D intake (r=0.087 and p=0.562; r=-0,049 and p=0.745, respectively). In conclusion, all of the pregnant women in Jakarta, especially in their first trimester had low vitamin D status. Therefore, intervention is needed, i.e. through prenatal counselling and nutrition education regarding to natural sources of vitamin D.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Farah Hilma
"Salah satu peran sistem imunitas terhadap infeksi M.leprae adalah respons makrofag melalui interaksinya dengan vitamin D dan reseptor vitamin D (RVD). Interaksi vitamin D dengan RVD pada berbagai sel imun akan menstimulasi ekspresi katelisidin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) dan kadar plasma RVD serta hubungannya dengan IB pada pasien kusta. Penelitian ini berupa observasional-analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 28 subjek penelitian (SP) menjalani pemeriksaan slit-skin smear kemudian diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Kadar serum 25(OH)D diperiksa dengan metode chemiluminescent immunoassay (CLIA) dan kadar plasma RVD dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median kadar serum 25(OH)D adalah 12,68 ng/ml (4,88 – 44,74). Median kadar plasma RVD adalah 1,36 ng/ml (0,26 – 8,04). Berdasarkan analisis regresi multivariat, tidak terdapat hubungan antara IB dengan kadar serum 25(OH)D dan kadar plasma RVD (R square = 0,055). Tedapat korelasi positif kuat antara kadar serum 25(OH)D dengan skor pajanan sinar matahari (r = 0,863; p < 0,001).

One of many immunity system’s roles against M. leprae infection is macrophage response through its interaction with vitamin D and vitamin D receptor (VDR). The interaction between vitamin D and VDR in various immune cells will stimulate the expression of cathelicidin. The objective is to analyze the serum level of 25-hydroxyvitamin D₃ (25(OH)D) and plasma level of VDR as well as their association with IB in leprosy patients. This observational analytic study was performed with cross-sectional design. A total of 28 subjects underwent a slit-skin smear examination and then the diagnosis of leprosy was made based on the cardinal signs. This study also assessed the patient’s sun exposure with weekly sun exposure questionnaire. Serum 25(OH)D level was assessed with chemiluminescent immunoassay (CLIA) method and RVD plasma level was measured by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median serum level of 25(OH)D was 12.68 ng/ml (4.88 – 44.74). Median plasma level of VDR was 1.36 ng/ml (0.26 – 8.04). Based on multivariate regression analysis, there was no significant association between BI and serum level of 25(OH)D and plasma level of VDR (R square = 0.055). There was strong positive correlation between serum level of 25(OH)D and sun exposure score (r = 0.863; p < 0.001)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saleh Harris
"Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang menyebabkan hendaya, salah satunya adalah ulkus kaki diabetikum (UKD). Kadar vitamin D diketahui berhubungan dengan penyembuhan luka dan resistensi insulin. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara kadar vitamin D serum dan derajat keparahan UKD. Tiga puluh pasien UKD dengan nilai ankle brachial index normal dikelompokkan sesuai derajat keparahannya sesuai klasifikasi Wagner diikutkan dalam studi ini. Kadar vitamin D serum diperiksa menggunakan metode immunoassay. Hubungan antara kedua variabel dianalisis. Pasien terdiri dari 18 orang laki-laki (60%) dan 12 orang perempuan (40%) dengan rerata usia 57 tahun. Rerata kadar vitamin D serum adalah 10,58 ng/mL. Korelasi kuat ditemukan antara kadar vitamin D serum dan derajat keparahan UKD (p<0,001, r=0,901). Pemeriksaan penyaring kadar vitamin D serum pada pasien UKD menunjukkan hasil yang rendah dan berkorelasi kuat dengan derajat keparahan UKD

Diabetes mellitus can cause various disabilitating complications including diabetic foot ulcer (DFU). Vitamin D levels are known to be correlated with wound healing and insulin resistance. This cross-sectional study aimed to determine the correlation between serum level of vitamin D and the severity degree of DFU. Thirty DFU patients with normal ankle brachial index, grouped into degrees according to the Wagner classification, were included in this study. Their serum level of vitamin D were examined using the chemiluminescent immunoassay method. Correlation between these two variables was analyzed. Patients were 18 males (60%) and 12 females (40%) with an average age of 57 years. The average serum level of vitamin D was 10.58 ng/mL. Strong correlation was found between serum level of vitamin D and the severity of DFU (p<0.001, r=0.901). Serum level of vitamin D screening in DFU patients were low and were strongly correlated with the degree of DFU."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>