Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170354 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Silphia Novelyn
"Latar belakang: Penelitian ini dirancang untuk menilai pengaruh latihan terhadap pola berjalan, kekuatan otot triceps surae dan VO2maks pada DM tipe 2 dengan neuropati perifer.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penderita diabetes tipe 2 dengan neuropati perifer (n=29), usia 40-65 tahun dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama (n=10) adalah untuk kontrol dan tidak diberikan program latihan; kelompok kedua (n=10) dan ketiga (n=9) diberi program latihan spesifik yang berbeda. Latihan dilakukan 3 kali seminggu selama 6 minggu. Kecepatan dan frekuensi langkah, lebar BOS, kekuatan otot triceps surae dan VO2maks peserta diukur dua kali, yaitu sebelum dan sesudah program latihan. Hasil pengukuran sebelum dan sesudah program latihan kemudian dibandingkan.
Hasil penelitian: Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) pada setiap parameter pada kelompok kedua dan ketiga sesudah program latihan, perbedaan yang lebih besar terlihat pada kelompok ketiga.
Kesimpulan: Pemberian latihan kekuatan otot triceps surae, latihan berjalan dan senam aerobik memperbaiki pola berjalan, kekuatan otot triceps surae dan lebar BOS penderita diabetes tipe 2 dengan neuropati perifer. Latihan kekuatan otot triceps surae disertai latihan berjalan dan senam aerobik menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan latihan kekuatan otot triceps surae dan latihan berjalan saja.

Background: This study was designed to assess the effects of exercise on walking patterns, muscle strength of triceps surae and VO2max in type 2 diabetes with peripheral neuropathy.
Method: This study is an experimental study. People with type 2 diabetes with peripheral neuropathy (n=29), age 40-65 years are grouped into 3 groups. The first group (n=10) is for control and no exercise program is given; the second group (n=10) and the third (n=9) were given different specific training programs. The exercise is done 3 times a week for 6 weeks. Speed and frequency of steps, BOS width, triceps surae muscle strength and VO2max of participants were measured twice, before and after the exercise programs. The results of the measurements before and after the exercise programs were then compared.
Result: There was a significant difference (p<0.05) in each parameter in the second and third groups after the exercise program, a greater difference was seen in the third group.
Conclusion: Triceps surae muscle strengthening training, walking exercise and aerobic exercise improve triceps surae muscle strength and BOS width of diabetic peripheral neuropathy. Triceps surae muscle strengthening training that given with walking and aerobic exercise shows better results than triceps surae muscle strengthening training and walking exercise alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummul Hairat
"Terdapat sekitar 1.400 ton merkuri dilepas ke lingkungan global dari penggunaan merkuri di sektor Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK). Pemakaian merkuri dalam pengolahan emas yang kurang memperhatikan lingkungan memungkinkan media lingkungan tercemar dan menyebabkan masyarakat di sekitar pertambangan ikut terpajan merkuri dan berdampak pada kesehatan. Neuropati perifer merupakan salah satu gangguan kesehatan yang terjadi karena terganggu atau rusaknya sistem saraf sensorik dan atau motorik akibat akumulasi merkuri di dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan menentukan hubungan antara kadar merkuri dalam rambut terhadap gangguan neuropati pada masyarakat di wilayah PESK Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Banten. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan teknik total sampling. Terdapat hubungan yang signifikan dan substansi antara kadar merkuri dalam rambut dengan gangguan neuropati perifer setelah di kontrol oleh variabel umur dan status merokok yaitu dengan p value 0,001 dimana responden dengan kadar merkuri dalam rambut yang tinggi 2/g) mempunyai risiko 29,98 kali lebih besar untuk mengalami gangguan neuropati perifer dibandingkan dengan responden dengan kadar merkuri dalam rambut 2/g setelah dikontrol variabel umur variabel status merokok. Diperlukan adanya upaya yang kompherensif untuk meminimalisir penggunaan merkuri sehingga dapat mengendalikan kejadian dampak kesehatan yang disebabkan oleh pajanan merkuri."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Bintang Prakoso
"Tuberkulosis masih menjadi masalah di dunia terutama di Indonesia sebagai negara ke-3 terbesar penyumbang penderita tuberkulosis baru. Etambutol merupakan salah satu jenis obat yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis di Indonesia. Etambutol memiliki efek samping gangguan fungsi mata yaitu neuropati etambutol. Diagnosis neuropati etambutol sulit ditegakkan karena sebagian besar anatomi fundus yang normal dan sering terdiagnosis terlambat sehingga kerusakan permanen dapat terjadi. Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan toksisitas etambutol, diperlukan upaya mendeteksi kelainan ini sedini mungkin. Pemeriksaan pERG dan mfERG dilaporkan pada beberapa studi bermanfaat dalam mengkonfirmasi kasus toksisitas etambutol okular setelah terdapat gangguan secara klinis. Belum diketahui diantara pemeriksaan pERG dan mfERG yang dapat menunjukkan perubahan terlebih dahulu untuk mendeteksi toksisitas etambutol sebelum terjadi gangguan klinis.
Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif pada 40 sampel mata dianalisis dengan uji T berpasangan dan Wilxocon. Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan Snellen chart, HRR Richmond Plates, Pelli Robson, pattern ERG dan multifokal ERG pada pasien yang terdiagnosis tuberkulosis kategori 1 selama 2 bulan pertama. Visus, sensitifitas warna dan kontras tidak berubah pada seluruh pasien selama follow-up 2 bulan. Terdapat penurunan waktu implisit P50 sebesar -1,27± 4,71 mS (p=0,049) dan amplitudo gelombang N95 sebesar -0,93± 4,49 μV (p=0,038) yang bermakna secara statistik pada pemeriksaan pERG. Tidak terdapat perubahan bermakna pada gelombang N1 dan P1 pada pemeriksaan mfERG. Pemeriksaan gelombang pERG lebih dahulu mengalami perubahan dibandingkan mfERG.

Tuberculosis (TB) are world health problem, especially in Indonesia as 3rd biggest leading for the new emerge patient TB. Ethambutol is included one of the standard therapy that still used to treat TB patient in Indonesia. Ethambutol have side effect that related with eye disease called neuropathy ethambutol. Neuropathy ethambutol is hardly to diagnose due to most cases have normal fundus anatomy and therefore frequently delayed to detect, permanent damage could happen in this situation. As we know that damage could happen from ethambutol toxicity, it necessary to detect this disease as soon as possible. Examination pattern electroretinography (pERG) and multifocal electroretinography (mfERG) is reported has an advantage to detect and to confirm ocular toxicity by ethambutol after the clinical problem had emerge. It is not yet known neither pERG nor mfERG could detect any changes to detect ethambutol ocular toxicity before the clinical problem emerge.
This study use prospective clinical trial to 40 eye sample and analyzed with paired t and wilcoxon test. The examination use Snellen chart, HRR Richmond Plates, Pelli Robson, pERG and mfERG in tuberculosis category 1 patient with 2 months follow-up. Visual acuity, sensitivity in color and contrast are normal to whole patient for 2 months follow-up. In pERG examination we found mean implicit time wave P50 are shorten by -1,27± 4,71 mS (p=0,049) and mean of amplitude wave N95 are reduced by -0,93± 4,49 μV (p=0,038) and both are statistically significant. In mfERG examination we did not find any statistically significant changes in both wave N1 and P1. Pattern ERG had earlier changes compare to mfERG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa Putri Pratama
"Pendahuluan: Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Komplikasi DM dapat menyerang banyak organ. Komplikasi yang mengenai pembuluh darah dan saraf menyebabkan morbiditas dan disabilitas yang tinggi. Neuropati perifer ditemukan pada setengah penderita DM. Neuropati menyebabkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan autonomik. Hal tersebut dapat mengganggu sensasi protektif pada kaki, menurunkan kekuatan otot, keseimbangan, dan gangguan pola jalan. Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor, aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial, serta kecepatan berjalan antara kelompok DM dengan neuropati dan tanpa neuropati.
 
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan melibatkan 58 subjek, yang terdiri atas 29 subjek neuropati diabetik dan 29 subjek DM tanpa neuropati. Skrining untuk neuropati menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10 gram. Luaran yang diukur dalam penelitian ini adalah kekuatan otot, aktivasi otot, dan kecepatan berjalan. Pengukuran kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor menggunakan hand-held dynamometer. Pengukuran aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial menggunakan surface EMG. Pengukuran kecepatan berjalan dilakukan dengan uji jalan 4 meter. Seluruh luaran dibandingkan antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati.
 
Hasil: Kekuatan otot dorsifleksor secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.019). Aktivasi otot tibialis anterior secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.029). Kekuatan otot plantarfleksor, aktivasi otot gastroknemius medial, dan kecepatan berjalan tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok.
 
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan otot dorsifleksor dan aktivasi otot tibialis anterior antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati.

Background: Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease characterized by increased blood sugar that caused by abnormality of insulin secretion, insulin action, or both. DM complications may affect many organs. Complications that affect blood vessels and nerves cause high morbidity and disability. Peripheral neuropathy is found in almost half of total DM patients. Neuropathy causes impairment in sensory, motor, and autonomic function. It can impair protective sensation of foot, decrease muscle strength, balance and gait disturbance. This study aims to see the differences of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength, activation of tibialis anterior and medial gastrocnemius, and gait speed between neuropathy diabetic patient and DM without neuropathy.
 
Methods: The research method is rcross-sectional on 58 DM subjects, that consist of 29 subjects neuropathy and 29 subjects without neuropathy. Neuropathy screening method use Semmes-Weinstein monofilament 10 gram. 3 outcomes measured in this study, muscle strength, muscle activation, and gait speed. Measurement of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength used hand-held dynamometer. Muscle activation measurement used surface EMG on tibialis anterior and medial gastrocnemius. Gait speed was measured on 4 meter distance. All outcomes was compared between neuropathy diabetic and DM without neuropathy group.
 
Results: Dorsiflexor muscle strength significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.019). Plantarflexor muscle strength and medial gastrocnemius muscle activation do not different significantly. Tibialis anterior muscle activation significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.029). There is no significant different in gait speed between groups.
 
Conclusion: There are significant different in dorsiflexor muscle strength and tibialis muscle activation between neuropathy diabetic and DM without neuropathy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hindun Saadah
"ABSTRAK
Latar belakang : Aktifitas dengan posisi berdiri lama merupakan salah satu penyebab terjadinya kelainan pada tungkai bawah dan kaki. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penyangga lengkung longitudinal medial terhadap distribusi tekanan plantar saat berdiri dan berjalan, kekuatan otot triceps surae dan tinggi lengkung longitudinal medial setelah berdiri lama.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan desain penelitian sebelum dan setelah dalam satu kelompok, yang masing-masing unit eksperimennya berfungsi sebagai kontrol bagi dirinya sendiri . Subjek penelitian sebanyak 16 orang satuan pengaman yang sebelumnya diseleksi sesuai dengan kriteria inklusi . Pada penelitian ini dilakukan pengukuran tekanan plantar dengan variabel yang diukur adalah kontak area dan puncak tekanan dengan menggunakan alat Mat-scan, pengukuran dilakukan pada saat berdiri dan berjalan. Kedua dilakukan pengukuran kekuatan otot triceps surae dengan menggunakan hand held dynamometer, sebelum dan setelah menggunakan penyangga lengkung longitudinal medial, serta pengukuran tinggi lengkung longitudinal medial dengan menggunakan mistar. Pengukuran dilakukan sebelum dan setelah bekerja dengan posisi berdiri lama dengan waktu berdiri sekitar 7 jam menggunakan penyangga lengkung longitudinal medial yang disisipkan pada sepatu.
Hasil :Hasil penelitian pada puncak tekanan saat berdiri dan berjalan menunjukan adanya perbedaan bermakna dengan p value <0.05 yang ditunjukan dengan penurunan nilai puncak tekanan. Sementara pada kontak area menunjukan adanya perbedaan bermakna saat berdiri dengan p value < 0.05 yang ditunjukan dengan penurunan luas kontak area. Pada tinggi lengkung longitudinal medial menunjukan perbedaan bermakna dengan p value <0.05 ditunjukan dengan peningkatan tinggi lengkung longitudinal medial. Sementara pada kekuatan otot triceps surae tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Kesimpulan :Terdapat pengaruh penyangga lengkung longitudinal medial terhadap distribusi tekanan plantar dengan adanya penurunan puncak tekanan saat berdiri dan berjalan dan penurunan luas kontak area pada saat berdiri serta meningkatkan tinggi lengkung longitudinal medial setelah berdiri lama.

ABSTRACT
Background :Activity of prolonged standing position is one of the cause abnormalities in the lower leg and foot. This study to indicate the influence of the medial longitudinal arch support to the plantar pressure distribution, triceps surae muscle strenght, and height arch when standing and walking activity after prolonged standing.
Methode :The research methode use was a quasi experimental with research design pre and post in one group, participant as many as 16 poeple were selected in inclusion criteria. The first step is to measure plantar pressure distribution in peak pressure and contact area . Measurement were taken while standing and walking. The second step is to measure the strenght of triceps surae muscle using hand held dynamometer before and after using arch support, and the last measure height of medial longitudinal arch. Measurement techniques performed when the participant going to work with prolonged standing and after work as well as using the medial longitudinal arch support in their shoes.
Result :The result of the research showed that can decrease of peak pressure when standing and walking with statistically significant difference with p value<0.05, and decrease of area contact o when s with p value <0.05. Meanwhile height of medial longitudinal medial showed increase and statistically significant difference with p value <0.05. Meanwhile on triceps surae muscle strenght no statistically difference.
Conclusion :Influence of the medial longitudinal arch support to decrease the peak pressure during standing and walking and decrease contact area when standing in distribution of plantar pressure and significant in increase the height medial longitudinal arch."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Hayati
"Latar Belakang : Otot Kuadrisep pada penderita Osteoarthritis lutut disekitar sendi lutut sering mengalami atrofi, penurunan kekuatan serta fungsi sebagai stabilitas sendi terutama sendi penumpu berat badan. Terapi latihan merupakan salah satu bentuk rehabilitasi untuk peningkatan kekuatan otot sekitar sendi, yang mengalami kelemahan karena nyeri dan tidak digunakan. Volume latihan yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan struktural otot skeletal. Secara struktural latihan yang menyebabkan kelemahan sarkomer akibat dari robeknya membran dan rendahnya kadar protein intraseluler (Kreatin Kinase) karena masuk ke dalam aliran darah. Semakin tinggi intensitas latihan penguatan otot semakin tinggi pula terjadinya risiko kerusakan otot, akan tetapi semakin rendah intensitas penguatan otot semakin kurang efektivitas pencapaian penguatan otot.
Tujuan : Untuk mengetahui efektivitas latihan penguatan otot intensitas rendah dan sedang untuk mencapai kekuatan otot Kuadrisep dan fungsi yang optimal pada penderita OA lutut serta tidak menyebabkan kerusakan otot yang bermakna.
Populasi dan Sampel : Semua pasien OA lutut usia 50-65 tahun di poliklinik Muskuloskeletal Departemen Rehabilitasi Medik RSCM dengan nyeri lutut VAS < 4 dan klinis (kriteria ACR) serta memenuhi kriteria penerimaan.
Metode : Dilakukan pengukuran kekuatan otot Kuadrisep dengan dinamometer jinjing, kecepatan jalan 15 meter (detik), dan kadar serum enzim Kreatin Kinase sebelum dan setelah latihan. Responden dibagi menjadi 2 kelompok intensitas ringan (40% dari 10 RM) dan sedang (60% dari 10 RM) dilakukan latihan penguatan otot Kuadrisep isotonik dengan menggunakan NK table 3 set 10 repetisi, frekuensi 3 x/minggu selama 8 minggu dengan kenaikan beban bertahap setiap minggu.
Hasil : Terdapat perbedaaan bermakna peningkatan sebesar 27,2 % kekuatan otot Kuadrisep setelah diberikan latihan intensitas ringan (p=0,001) dan sebesar 27,94 % (p <0,001) latihan intensitas sedang. Didapatkan penurunan waktu jalan 15 meter sebesar 39,9 % pada intensitas ringan (p=0,03) dan penurunan sebesar 47,37% pada intensitas sedang (p=0,007). Kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada kekuatan otot, kecepatan jalan, dan kadar enzim Kreatin Kinase.
Kesimpulan : Latihan kekuatan otot Kuadrisep intensitas ringan dan sedang efektif mencapai kekuatan otot dan fungsi yang optimal tanpa menyebabkan kerusakan otot yang bermakna.

Background : Osteoarthritits is rheumatoid disease mostly occurs in knee joint. Quadricep muscle around joint frequently athrophy, reduce strengthening, and functioning as stability joint especially as a role weight bearing joint so that occur deformity and worsen disease. Therapeutic exercise is one of rehabilitation treatment to enhance muscle strengthening around joint that become weakness due to pain and inactivity. Therefore it is important to make exersie prescription to achieve optimal result. High intensity exercise may cause structural damage skeletal muscle. This damage may lead muscle soarness, edema, and weakness. In structural, exercise can lead fraility of sarcomer consequence disruption of membrane and reduction level of protein intraceluller (Creatine Kinase) into bloodstream. Higher intensity of exercise will cause high risk of injury, however lower of intensity of muscle strengthening increasing less effective achievement of muscle strength. Ideally training given to the patient is an effective muscle-strengthening exercises to achieve optimal muscle strength and functional improvement achieved in the absence of muscle damage.
Objective : to find effetctivity of strengthening exercises low and moderate intensity to achieve Quadriceps muscle strength and optimal functional in patient with knee OA without causes significantly muscle damage.
Subject : All of knee OA patient at Inpatient of Musculoskeletal Rehabilitation Departement-Medical Faculty of Indonesia - Cipto Mangunkusumo Hospital, age 50-65 years with knee pain VAS < 4, clinical according American College of Rheumatology, and require inclusion criteria.
Method : Pre and Post Experimental, measurement of Quadriceps muscle strengthening with Hand held Dynamometer before and after exercise, time of walking speed on 15 metre (second), and creatine Kinase enzyme in blood serum. Subject divide to be 2 group, low intensuty (40% of 10 RM) and moderate (60% of 10 RM). Isotonic Quadricep strengthening exercise with NK table, 3 set 10 repetion 3 times in week during 8 week that intensity gradually increase each week.
Result : The study found that significantly increase of 27,2 % muscular strength Quadricep that having given a low intensity exercise ( p = 0,001 ) and significantly increase of muscular strength 27,94 % ( p < 0,001 ) in moderate intensity exercise . Decline significantly time of walking speed on 15 meters of 39,9 % in group low intensity (p = 0.03) and 47,37 % in moderate intensity (p = 0,007). Both of groups did not show the difference activity of Creatine Kinase.This study indicated no difference significantly exercise of muscular strengthen in both groups low and moderate intensity (p = 0,410 ).There was not significantly difference time walking speed both of group (p = 0,514). There were no significantly differences levels of enzyme Creatine kinase in both groups.
Conclusion: Quadriceps muscle exercise low and moderate intensity effective achieve muscle’s strength and functional optimal without causes significantly muscle damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Islamadina
"Latar Belakang: Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit pernapasan akut yang ditandai dengan penurunan fungsi paru disertai gejala sesak, batuk dan produksi sputum. Otot inspirasi seringkali terlibat dan mengalami kelemahan serta kelelahan akibat adanya hiperinflasi. Kelemahan otot inspirasi sangat berperan pada kejadian sesak sehingga mengurangi kapasitas latihan pada pasien PPOK. Selain itu, Latihan penguatan otot inspirasi menggunakan Inspiratory Muscle Trainer (IMT) diketahui dapat meningkatkan kekuatan otot inspirasi, namun belum terdapat penelitian yang menilai efektifitasnya dalam meningkatkan kecepatan berjalan dengan uji jalan 4 meter pada pasien PPOK.
Tujuan: Untuk mengetahui efek latihan penguatan otot inspirasi dengan menggunakan IMT terhadap kecepatan berjalan menggunakan uji jalan 4 meter pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensional prospektif untuk menilai kecepatan berjalan pasien PPOK setelah pemberian program latihan dengan IMT selama 8 minggu. Subjek penelitian adalah pasien PPOK kelompok GOLD A hingga D yang berobat jalan ke Poliklinik Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan Departemen Rehabilitasi Medik. Latihan IMT dilakukan di rumah selama 8 minggu, dengan dosis awal 30% PImax yang ditingkatkan 10% setiap 2 minggu hingga mencapai 60% PImax. Nilai PImax, kecepatan berjalan dan sesak dengan skala BORG dinilai setiap 2 minggu.
Hasil: Dari total 13 subjek, hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan proporsi 92,3%. Nilai rerata usia subjek pada penelitian ini adalah 64,92 (SB 8,713) tahun. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan dari 1,59 (SB 0,32) meter/detik hingga 1,74 (SB 0,49) meter/detik dan nilai PImax dari 58,50 (SB 19,70) cmH2O hingga 67,02 (SB 19,88) cmH2O setelah menjalani 8 minggu latihan IMT. Simpulan: Terdapat peningkatan yang secara klinis bermakna pada kekuatan otot inspirasi dan kecepatan berjalan pasien PPOK dengan uji jalan 4 meter setelah menjalani latihan penguatan otot inspirasi dengan Inspiratory Muscle Trainer selama 8 minggu. Latihan IMT dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada program rehabilitasi paru pasien PPOK.

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a respiratory illness characterized by reduced pulmonary function that is accompanied by dyspneu, chronic cough and sputum production. The inspiratory muscles are frequently involved in the disease process due to hyperinflation., resulting in weakness and increased fatigability. Inspiratory muscle weakness has an important role in the manifestation of dyspneu, therefore reducing exercise tolerance in COPD patient. Strength training to inspiratory muscle has been shown to improve inspiratory muscle strength, however there has not been any literature measuring its effectiveness on gait speed using four meter lane in COPD patient.
Aim: To find the effect of inspiratory muscle strengthening using Inspiratory Muscle Trainer (IMT) on four meter gait speed in COPD patient.
Methods: This is a prospective interventional study to evaluate gait speed in COPD patient after undergoing IMT training for 8 weeks. The subjects in this study are patient with COPD GOLD A to D visiting the pulmonary clinics in the department of internal medicine and medical rehabilitation. IMT training was performed as a home program exercise for 8 weeks, with initial dose of 30% PImax and improved by 10% every 2 weeks, reaching to maximal dose of 60% PImax at the end of 8 weeks training. PImax, gait speed and dyspneu using BORG scale was measured every 2 weeks during follow up.
Result: From a total of 13 subjects, almost all subjects are male (92,3%) and mean age was 64,92 (SD±8,713) years. There was an increase of gait speed from 1,59 (SD±0,32) to 1,74 (SD±0,49) meter/second and PImax from 58,50 (SD±19,70) to 67,02 (SD±19,88) cmH2O after 8 weeks IMT training. However, there was no improvement in dyspneu symptoms from BORG scale assessment.
Conclusion: IMT training for 8 weeks resulted in clinical improvement of inspiratory muscle strength and 4 meter gait speed in moderate to very severe COPD patient. IMT training can be considered as an addition to pulmonary rehabilitation program in COPD patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listyani Herman
"Cedera medula spinalis (CMS) adalah kondisi cedera pada medula spinalis yang ditandai dengan gangguan pada komponen motorik, sensorik, serta otonom. Severitas gangguan yang terjadi sesuai dengan klasifikasi ASIA Impairment Scale (AIS) dan level neurologis. Salah satu gangguan yang biasa ditemui adalah kelemahan otot pernapasan. Kekuatan otot inspirasi digambarkan dengan nilai Maximal Inspiratory Pressure (MIP), diukur dengan manometer otot pernapasan (MicroRPM®), dan  ditingkatkan dengan latihan kekuatan otot inspirasi. Tesis ini disusun untuk mengetahui rerata MIP sebelum dan setelah latihan otot inspirasi menggunakan Threshold Inspiratory Muscle Trainer (threshold IMT®) pada pasien CMS fase kronis. Desain menggunakan studi intervensi one group pre and post-test. Sebelas orang penderita CMS AIS A-D dan level neurologis C5-T6 diberikan latihan otot inspirasi dengan beban sebesar 30% MIP yang disesuaikan berdasarkan pengukuran MIP setiap minggu. Latihan dengan durasi 30 menit/hari dan frekuensi 5 hari/minggu selama 6 minggu. Uji Wilcoxon digunakan untuk membandingkan data MIP sebelum dan setelah latihan selama 6 minggu. Nilai tengah MIP sebelum dan setelah latihan didapatkan sebesar 38 (30-85) cmH2O dan 85 (56-126) cmH2O dengan nilai p<0,05. Simpulan: terjadi peningkatan kekuatan otot inspirasi setelah latihan menggunakan threshold IMT pada pasien CMS fase kronis.

 


Spinal cord injury (SCI) is injury of the spinal cord characterized by disorders of the motor, sensory, and autonomic components. The severity depends on the ASIA Impairment Scale (AIS) classification and neurological level. The common problems is respiratory muscle weakness so sufferers tend to experience respiratory complications. Inspiratory muscle strength is illustrated by Maximal Inspiratory Pressure (MIP) value, measured using respiratory muscle manometer (MicroRPM®), and enhanced by inspiratory muscle strength training. This thesis is structured to determine the average MIP before and after inspiratory muscle training using Threshold Inspiratory Muscle Trainer (threshold IMT®) in chronic phase SCI patients. The study design used one group pre and post-test intervention study. Eleven people with SCI AIS A-D and neurological level C5-T6 were given inspiratory muscle training with load 30% MIP adjusted according to weekly MIP measurements. The duration is 30 minutes / day and  frequency is 5 days / week for 6 weeks. The Wilcoxon test was used to compare MIP data before and after exercise for 6 weeks. The median MIP before and after exercise was 38 (30-85) cmH2O and 85 (56-126) cmH2O with p <0.05. Conclusion: increase in inspiratory muscle strength after exercise using threshold IMT in chronic phase SCI.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emmelia Ratnawati
"Stroke pada lansia mengakibatkan keterbatasan kemandirian. Salam Trendi merupakan latihan fisik untuk mengurangi keterbatasan yang dilakukan di rumah dan bersifat individual. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh latihan terhadap kekuatan otot, kecepatan berjalan, dan kemampuan fungsional lansia paska stroke di Kota Depok. Penelitian menggunakan desain Quasi Eksperimen pre dan post test design. Besar sampel 44 responden, dipilih dengan tehnik consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot lengan (p=0.042) dan kaki (p=0.005); kecepatan berjalan (p=0.002) berubah secara signifikan setelah diberikan latihan. Latihan ini direkomendasikan sebagai salah satu intervensi keperawatan pada lansia paska stroke di komunitas.

Stroke in older person resulted in dependency. A combined of deep breathing, stretching and Range of Motion is one of physical exercise to increase independence. This study aimed to measure effects of this exercise to muscle strength, walking speed, and functional ability of older person with post-stroke. A quasi-experimental with pre and post-test design was applied. Sample of 44 respondents were selected by consecutive sampling technique. Results showed that strength of arm and legs muscle and walking speed increased significantly after intervention given (p = 0.042; 0.005; 0.002). It is recommended to provide this exercise as nursing intervention at community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T43579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fina Mahardini
"Latar Belakang. Pasien diabetes melitus (DM) berisiko mengalami komplikasi pada sistem vaskular dan persyarafan, khususnya pada bagian perifer, yang jika tidak tertangani dengan baik dapat berimbas pada terjadinya luka kaki diabetes. Buerger Allen Exercise (BAE) merupakan salah satu pilihan terapi konservatif yang terbukti efektif dalam menangani Peripheral Artery Disease (PAD). Sayangnya beberpa penelitian sebelumnya belum membuktikan efektivitasnya. Pada penelitian ini akan BAE akan dikombinasikan dengan latihan Range of Motion (ROM) kaki untuk melihat efektivitasnya pada vaskularisasi dan neuropati perifer. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas latihan kombinasi BAE dan ROM kaki terhadap perbaikan vaskularisasi dan neuropati perifer pada pasien DM tipe 2. Metode. Desain penelitian yang digunakan adalah quassi experiment with pre test-post test two goups dengan total 72 orang pasien DM tipe 2 sebagai responden. Responden dibagi rata secara acak ke dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi mendapatkan latihan kombinasi BAE dan ROM kaki, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan latihan tunggal BAE. Setiap kelompok melaksanakan latihan kaki selama dua minggu dengan 2 siklus latihan perhari dan total durasi 30 menit. Sebelum dan setelah latihan, responden dikaji nilai Ankle Brachial Index (ABI) untuk menilai vaskularisasi dan nilai Michigan Neuropathy Screening Instruments (MNSI) untuk menilai neuropati. Hasil. Latihan kombinasi BAE dan ROM kaki lebih efektif dalam meningkatkan nilai ABI daripada latihan tunggal BAE (pvalue 0,00). Latihan kombinasi BAE dan ROM kaki juga lebih efektif dalam menurunkan nilai MNSI daripada latihan tinggal BAE (pvalue 0,00). Kesimpulan Latihan kombinasi BAE dan ROM kaki efektif dalam memperbaiki vaskularisasi dan neuropati perifer melalui perbaikan nilai ABI dan MNSI.

Background. Patients with diabetes mellitus (DM) are at risk of experiencing complications in the vascular and nervous system, especially in the peripheral areas. These complications can lead to even worse complication without proper intervention such as diabetic foot wounds. Buerger Allen Exercise (BAE) is a conservative therapy option that has been proven effective in treating Peripheral Artery Disease (PAD). Unfortunately, the effect of BAE on neuropathy has not been clearly proven. In this study, BAE will be combined with foot Range of Motion (ROM) exercises to see its effectiveness on vascularization and peripheral neuropathy. Objective. This study aims to identify the effectiveness of combined BAE and foot ROM exercises to improve vascularization and peripheral neuropathy in type 2 DM patients. Methods. Quasi experiment with pre test-post test two groups design was conducted on total of 72 type 2 DM patients. Respondents were divided randomly into intervention and control group. The intervention group received a combination of BAE and foot ROM exercises, while the control group received single BAE exercises. Each group carried out leg training for two weeks with 2 training cycles per day and a total duration of 30 minutes. Before and after exercise Ankle Brachial Index (ABI) score and the Michigan Neuropathy Screening Instruments (MNSI) score were assessed. Results. Combination BAE and foot ROM exercise was more effective in increasing ABI score than BAE-only exercise (pvalue 0.00). The combination of BAE and foot ROM combination was also more effective in reducing the MNSI score than BAE-only exercise (pvalue 0.00). Conclusion: Combination exercise of BAE and foot ROM is effective in improving vascularization and peripheral neuropathy as shown by improved ABI and MNSI score."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>