Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84080 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Surya Hendrawan
"Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan yang terjalln dengan orang lain tersebut dapat berbentuk hubungan pertemanan, persahabatan, pacaran dan hubungan perkawinan sebagai suami dan istri. Berbeda dengan hubungan lainnya, hubungan perkawinan diawali dengan perjanjian antara suami dan istri yang disaksikan oleh orang tua, penghulu, saudara dan kerabat serta diketahui oleh masyarakat. Dalam hubungan perkawinan biasanya pasangan suami-istri berharap agar dapat menjalani kehidupan perkawinan dengan bahagia dan dapat membentuk keluarga yang damal, penuh ketulusan cinta dan kasih sayang {sakinah, mawaddah wa rahmah).
Kebahagiaan perkawinan merupakan dambaan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan (Roberts, 1968). Akan tetapl, untuk mendapatkan kebahagiaan perkawinan tidaklah mudah. Harus ada usaha dari pasangan suami-istri dalam menyelesaikan segala permasalahan yang muncul selama masa kehidupan perkawinan mereka. Selain adanya masalah-masalah baru yang harus mereka hadapi selama kehidupan perkawinan, pasangan suami-istri juga harus menghadapi masalah yang disebabkan adanya kebiasaan-kebiasaan dasar dan kepribadian yang dibawa oleh masing-masing individu. yang telah berkembang selama bertahun-tahun dalam dirinya (Hurlock, 1980). Atwater & Duffy (1999) menyatakan bahwa kebahagiaan perkawinan tergantung pada apa yang terjadi saat pasangan memasuki kehidupan perkawinan yaitu seberapa baik mereka mengalami kesesuaian atau kecocokan. Hal yang paling penting dalam meraih kebahagiaan perkawinan menurut Atwater & Duffy (1999) yaitu fleksibilitas dan keinginan untuk berubah dari setiap pasangan atau yang biasa disebut dengan istilah penyesuaian perkawinan {marital adjustment).
Kesiapan seseorang untuk memasuki kehidupan perkawinan merupakan aspek yang menentukan keberhasilan seseorang daiam melakukan penyesuaian perkawinan (Hurlock, 1980; Spanier dalam Miranda, 1995). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Blood (1969) menyatakan bahwa kematangan sosial merupakan salah satu bagian dari kesiapan seseorang dalam memasuki kehidupan perkawinan. Salah satu faktor dari kematangan sosial seseorang yaitu enough dating. Dating merupakan kesempatan bagi pasangan untuk saling mengenal dan untuk mengembangkan keterampiian-keterampilan interpersonal yang sangat berguna bagi kehidupan perkawinan. Ditinjau dari gambarannya, di Indonesia dating dapat disamakan dengan pacaran karena dating dan pacaran mempunyai kesamaan dalam beberapa hal. Biasanya pacaran merupakan proses awai menuju perkawinan atau dengan kata lain pacaran merupakan sarana dalam memilih pasangan yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup (Benokraitis, 1996).
Perkawinan dalam pandangan agama Islam merupakan suatu peristiwa yang fitrah karena perkawinan merupakan salah satu sarana mengekspresikan sifat-sifat dasar (fitrah) manusia. Dalam proses menuju perkawinan, pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat di Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan. Namun, ada juga masyarakat muslim di Indonesia yang tidak melalul pacaran dalam memilih dan mengenal calon pasangannya karena mereka menganggap bahwa pacaran adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Akan tetapi, agama Islam memperbolehkan calon pasangan untuk saling mengenal satu sama lain dengan tujuan yang jelas yaitu untuk melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada sebagian masyarakat muslim di Indonesia yang peneliti anggap unik dalam proses mendapatkan pasangan hidup, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pacaran terlebih dahulu. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.
Peneliti menggunakan teori-teori tentang perkawinan dan menggunakan teori penyesuaian perkawinan pada pasangan yang dikemukakan oleh Spanier (1976) yang terdiri dari beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu dyadic consensus (kesepakatan dalam hubungan), dyadic cohesion (kedekatan dalam hubungan), dyadic satisfaction (kepuasan dalam hubungan) dan affectlonal expression (ekspresi kasih sayang dalam hubungan).
Gambaran penyesuaian perkawinan yang di dapat dari hasil penelitian ini yaitu pada dimensi dyadic consensus: secara umum semua pasangan melakukan kesepakatan dalam kehidupan perkawinan mereka. Pada dimensi dyadic cohesion: secara umum semua pasangan merasa dekat dengan pasangannya, terutama kedekatan secara emosi. Pada dimensi dyadic satisfaction: secara umum semua pasangan merasa puas dan bahagia dengan perkawinan yang mereka lakukan. Pada dimensi affectlonal expression: secara umum semua pasangan mengungkapkan rasa sayang terhadap pasangannya dengan lisan, tulisan dan perbuatan. Masalah-masalah yang dihadapi oleh masing-masing pasangan. Pasangan 1, masalah yang sama-sama mereka rasakan yaitu peran yang sedang Indah sandang yaitu sebagai mahasiswa pasca sarjana. Pasangan 2 masalah yang sama-sama mereka rasakan yaitu masalah ekonomi. Pasangan 3 masalah yang sama-sama mereka rasakan yaitu masalah ekonomi dan penerimaan orang tua Anisa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S2824
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Adiningtyas
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3323
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Indah Wijayanti
"ABSTRAK
Salah satu periode yang dilalui manusia dalam tahap perkembangannya adalah
dewasa awal atau dewasa muda. Pada masa dewasa awal individu mulai membuat
perencanaan untuk masa depannya. Masa ini juga merupakan periode penyesuaian diri
terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru (Hurlock, 1980).
Pada masa ini pula seseorang memutuskan untuk menikah (Duvall & Miller, 1985).
Tujuan pernikahan antara lain membentuk sebuah keluarga yang damai, penuh
ketulusan cinta, dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmat)). Pernikahan adalah
sebuah tahapan yang dilalui oleh setiap manusia dan dianggap suci oleh negara, adat,
dan agama manapun.
Pernikahan memiliki arti yang penting dalam kehidupan seseorang. Keputusan
untuk menikah merupakan keputusan yang berlaku seumur hidup. Karenanya, sebelum
menikah ada banyak hal yang dipertimbangkan agar pernikahan bahagia yang
didambakan dapat tercapai. Pertimbangan- pertimbangan ini umumnya dipengaruhi oleh
harapan maupun impian seseorang mengenai kehidupan pernikahan yang akan dijalani
kelak termasuk harapan mengenai calon pasangan hidupnya.
Tak jarang pertimbangan-pertimbangan tadi menimbulkan konflik. Konflik dapat
terjadi jika seseorang menghadapi situasi atau kondisi yang tidak sesuai dimana ada
daya-daya yang saling bertentangan arah tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira
sama (Lewin, dalam Atkinson, 1964; Hall & Lindsey, 1985). Konflik itu sendiri terjadi
ketika seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon daya-daya tersebut secara
simultan (Atwater, 1983).
Seseorang yang akan memutuskan untuk menikah, juga dapat mengalami
konflik dikarenakan pertimbangan-pertimbangan tadi. Gejala yang terlihat akibat konflik
ini menurut Janis & Mann (1979) adalah keragu-raguan, kebimbangan, dan
ketidakyakinan. Untuk menyelesaikan konflik dapat dilakukan berbagai tindakan atau
aksi sebagai proses atau bagian dari pemecahan masalah {problem solving). Tindakan
pada proses pemecahan masalah dilakukan dengan berupaya memunculkan beberapa
alternatif solusi. Kemudian dari beberapa alternatif ini, seseorang melakukan
pengambilan keputusan (decision making). Jadi, pengambilan keputusan adalah proses
pemecahan masalah (problem solving) dimana Individu dihadapkan pada beberapa alternatif
pilihan yang harus dipilih (Morgan, 1986).
Sebelum memutuskan untuk menikah, biasanya individu melakukan tahap
penjajakan terhadap pasangannya. Tahap penjajakan ini umumnya dilakukan dengan
proses pacaran (Abdullah, 2003). Namun, tidak semua orang melakukan pacaran
untuk memilih pasangan hidupnya. Ada sebagian masyarakat muslim yang memilih
calon pasangan hidupnya tanpa melalui pacaran karena mereka menganggap pacaran
adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Akan tetapi, agama Islam
memperbolehkan calon pasangan untuk mengenal satu sama lain dengan tujuan yang
jelas yaitu untuk melangsungkan pernikahan.
Selain konflik yang terjadi saat seseorang harus membuat keputusan penting
seperti keputusan untuk menikah (Janis & Mann, 1979), bagaimanakah dinamika
konflik yang terjadi pada pasangan yang menikah tanpa pacaran? Karena itu, tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dinamika konflik yang
terjadi dalam mengambil keputusan dan strategi-strategi yang dilakukan dalam
mengambil keputusan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
tersebut. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang
berguna baik bagi pembaca maupun konselor atau psikolog yang menangani masalahmasalah
terkait dengan pernikahan terutama dalam hal konflik dan pengambilan
keputusan. Dasar teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah teori konflik
dari Lewin dan Myers, tahapan pengambilan keputusan dari Janis dan Mann, strategi
pengambilan keputusan dari Atwater dan faktor-faktor yang berperan dalam
pengambilan keputusan oleh Ranyard.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Pengambilan
data dilakukan melalui wawancara dengan pedoman standar yang bersifat terbuka
terhadap tiga pasangan (enam orang).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi berupa
kebimbangan, keragu-raguan, dan ketidakyakinan sebelum memutuskan untuk
menikah dan ini dialami oleh keenam subyek penelitian. Namun, ada perbedaan kadar
kekuatan konflik antara subyek laki-laki dan perempuan. Sedangkan proses
pengambilan keputusan pada subyek penelitian banyak diwarnai oleh faktor beliefc,
dan strategi pengambilan keputusan yang digunakan oleh keenam subyek adalah
combination strategy."
2004
S3442
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Fitri Zainab
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Sorba Oktrina
"Perkawinan antar-etnik merupakan suatu fenomena yang semakin menggejala. Kemajuan yang terjadi di berbagai bidang, seperti kemajuan di bidang perdagangan, media-massa, pelayanan penjalanan, peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia serta kemajuan di bidang-bidang lain, akan meningkatkan frekuensi bertemunya individu dari berbagai latar-belakang, termasuk latar-belakang etnik. Salah satu dampak dari bertemunya inidividu-individu dengan berbagai latar-belakang etnik adalah terjadinya perkawinan antar-etnik. Kondisi bangsa Indonesia yang multi-etnik dengan derajat keberagaman yang tinggi, tentunya juga sangat memungkinkan terjadinya perkawinan antar-etnik.
Setiap perkawinan memiliki keunikan keunikan tersendiri, demikian pula dengan perkawinan antar-etnik ini. Pasangan perkawinan dituntut untuk melakukan serangkaian penyesuaian demi tercapainya kepuasan perkawinan, tidak saja antar-pasangan tetapi juga dengan pihak keluarga masing-masing pasangan. Pada dasarnya, semakin hesar perbedaan antara pasangan perkawinan, seperti yang dijumpai pada perkawinan antar-etnik, maka penyesuaian perkawinan yang perlu dilakukan oleh pasangan tersebut juga semakin sulit. Perbedaan budaya yang di antara pasangan dapat menimbulkan pemasalahan tersendiri dalam perkawinan antar-etnik.
Masyarakat Batak merupakan salah-satu kelompok etnik di Indonesia, yang masih memegang kuat adat budayanya. Hal ini terlihat dari masih dipeliharanya adat budaya tersebut oleh masyarakat Batak yang hidup di kota-kota besar. Sistem masyarakat Batak yang patrilineal, dimana prialah yang membentuk hubungan kekerabatan serta pentingnya marga sebagai penentu identitas seorang individu Batak, menyebabkan perkawinan antar-etnik menjadi suatu hal yang dihindari dalam masyarakat Batak, terutama wanita Batak. Namun walaupun demikian, perkawinan antar-etnik, dalam hal ini antara wanita Batak dengan pria suku lain masih dapat ditemui dalam masyarakat.
Mengingat hal inilah, peneliti tertarik untuk mengetahui proses penyesuaian perkawinan yang terjadi pada wanita Batak yang menikah dengan pria suku lain, artinya sejauhmana subyek menyesuaikan diri dengan kebutuhan, keinginan dan harapan pasangan, keluarga pasangan dan keluarga subyek sendiri. Peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang masalah-masalah yang dihadapi subyek dalam penyesuaian perkawinannya sehubungan dengan adanya perbedaan budaya antara subyek dengan pasangannya, strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, serta gambaran proses penyesuaian perkawinan pada subyek.
Untuk dapat memahami penghayatan subyektif individu, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan lima orang subyek wanita Batak yang menikah dengan pria suku lain. Metode wawancara dan observasi digunakan sebagai tehnik pengumpuian data untuk dapat memperoleh hasil yang cukup mendalam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, wanita Batak yang menikah dengan pria suku lain masih tetap berusaha untuk mengikuti adat budayanya, namun demikian subyek tidak terlalu memfokuskan diri pada perbedaan budaya dengan pasangannya. Masalah-masalah yang muncul dalam proses penyesuaian lebih banyak berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan pribadi, pembagian peran dalam perkawinan dan penetapan pola asuh anak. Masalah-masalah sehubungan dengan perbedaan budaya tidak terlalu tertampil walaupun masih tetap ada, terutama tampak pada subyek yang suaminya berasal dari kelompok etnik dimana adat budayanya masih kental. Strategi yang dikembangkan oleh subyek untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam proses penyesuaian perkawinannya adalah dengan mengembangkan sikap toleransi, mau menerima perbedaan yang ada dan tidak mempermasalahkannya perbedaan tersebut, berusaha untuk mengikuti budaya pasangan tanpa harus meninggalkan budayanya sendiri.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar mewawancarai pasangan subyek juga. Dapat juga dilakukan peneltian kuantitatif, untuk melihat aspek-aspek dari budaya dalam penyesuaian perkawinan secara khusus. Selain itu perlu dilibatkan subyek penelitian dengan latar-belakang yang lebih beragam."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2948
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megawaty Affriany
"Perkawinan kembali merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan
setelah seorang wanita bercerai. Hasil survey di Amerika Serikat yang dilakukan kepada wanita bercerai menyebutkan bahwa 90% mempertimbangkan akan melakukan perkawinan kembali jika menemukan pasangan yang tepat (Thabes,dalam Papalia dkk 2001). Setelah perceraian, anak-anak umumnya tinggal bersama ibunya. Karenanya wanita seringkali membawa anaknya pada perkawinan berikutnya. Perkawinan kembali pascacerai yang melibatkan anak dan perkawinan sebelumnya cenderung memiliki masalah. Masalah akan semakin bertambah ketika wanita bercerai melakukan perkawinan kembali dengan pria lajang, Penyesuaian dalam perkawinan cenderung semakin sulit bila orang tua tirinya belum pernah menjadi orang tua sebelumnya (Hurlock, 1986). Untuk mewujudkan perkawinan kembali yang berhasil dan bahagia pasangan perlu melakukanpenyesuaian perkawinan pada berbagai area dalam perkawinan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
jumlah responden 2 pasangan suami istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang biasa dihadapi pada perkawinan kembali pascacerai adalah masalah persetujuan keluarga, masalah hubungan ayah tiri dan anak tiri yang berusia remaja, masaiah hubungan dengan mantan suami, masalah antara suami dan istri akibat hubungan ayah tiri dan anak tiri yang kurang baik, masalah keuangan keluarga, kesulitan ijin dari suami jika mantan suami ingin berternu, dan masalah penggantian nama mantan suami dalam akte kelahjran anak. Strategi penyesuaian yang dilakukan setiap pasangan berbeda pada setiap masalah. Strategi yang paling dominan adalah aktif kompromi di mana penyelesaian masalah hanya memuaskan satu pihak. Gambaran penyesuaian perkawinan yang cukup berhasil tampak pada sedikit masalah pada area penyesuaian perkawinan. Gambaran penyesuaian yang kurang berhasil ditandai dengan masalah pada berbagai area penyesuaian yang belum terselesaikan. "
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hilda Eveline
"Perkawinan pada masa kemahasiswaan bukanlah hal yang umum pada masyarakat Indonesia karena norma sosial dan budaya menekankan faktor kesiapan finansial dan selesainya pendidikan sebagai syarat untuk menikah. Namun pada kenyataannya, kita dapat menjumpai beberapa mahasiswa yang menikah, walaupun tidak banyak. Perkawinan di masa kuliah mempunyai beberapa permasalahan yang agak berbeda dengan perkawinan-perkawinan pada umumnya, terutama dalam finansial, kelanjutan kuliah, pembagian waktu untuk tugas-tugas rumah tangga dan tugas akademis serta kesiapan psikologis untuk menikah. Dengan melihat perbedaan-perbedaan ini maka timbul pertanyaan : bagaimana gambaran penyesuaian perkawinan mahasiswa yang menikah.
Pengalaman mahasiswa dalam perkawinannya akan membentuk belief-nya tentang perkawinan, karena menurut teori tentang pembentukan belief dari Fishbein dan Ajzen (1975), pengalaman-pengalaman seseorang dengan suatu obyek tertentu akan membentuk belief tentang obyek. Dengan demikian timbul pertanyaan : bagaimana gambaran belief mahasiswa yang menikah tentang perkawinan.
Hasil penelitian Laurer dan Laurer (1985, dalam Wiggins, Wiggins dan Zanden) menunjukan bahwa sikap yang positif terhadap pasangan merupakan faktor yang menentukan kesuksesan perkawinan seseorang. Karena belief merupakan salah satu komponen sikap maka yang menjadi masalah utama dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara belief tentang perkawinan dengan penyesuaian perkawinan pada kelompok mahasiswa yang menikah.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan dan menggali sebanyak- banyaknya informasi tentang penyesuaian perkawinan dan belief tentang perkawinan pada mahasiswa yang menikah. Untuk mengukur aspek penyesuaian perkawinan di gunakan Dyadic Adjustment Scale dari Spanier yang dibuat untuk mengukur penyesuaian perkawinan. Sedangkan belief tentang perkawinan digali dengan kuesioner Belief tentang Perkawinan. Untuk menjawzb permasalahan utama dalam skripsi ini peneliti melakukan pengujian hubungan antara variabel penyesuaian perkawinan dengan belief tentang perkawinan.
Dari hasil penelitian, didapat gambaran teniang penyesuaian perkawinan dan belief tentang perkawinan baik secara umum maupun berdasarkan pengelompokan variabel-variahel non psikologis seperti seperti perbedaan penyesuaian perkawinan berdasarkan besarnya bantuan dana, berdasarkan agama. Variabel-variahel yang membedakan penyesuain perkawinan dan belief tentang perkawinan adalah variabel agama, bantuan dana dari orang tua, usia perkawinan, jumiah anak, tempat tinggal dan besarnya pemasukan keluarga per bulan. Selain itu didapat hasil bahwa belief tentang perkawinan secara keseleluruhan tidak berhubungan secara signifikan dengan penyesuaian perkawinan secara keseluruhan. Namun beberapa aspek dari penyesuaian perkawinan berhubungan dengan beberapa aspek dari belief tentang perkawinan.
Berdasarkan pengalaman selama melakukan penelitian dan melihat hasil penelitian, maka ada beherapa hal yang dapat disarankan baik untuk penelitian lebih Ianjut maupun untuk pengaplikasian hasil penelitian. Beberapa saran untuk penelitian Iebih lanjut yang diberikan antara lain, melakukan perbandingan penyesuaian perkawinan antara kelompok subyek yang menikah ketika masih kuliah dengan kelompok subyek yang menikah setelah tamat kuliah. Selain itu untuk mendapatkan gambaran yang Iebih mendalam tentang penyesuaian perkawinan dan belief tentang perkawinan dapat dilakukan studi kualitatif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2620
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>