Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169515 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Suci Febrianti
"Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2021 tentang sertipikat elektronik mengatur kembali sertipikat tanah yang semula seperti buku menjadi sebuah sertipikat elektronik. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang sertipikat elektronik bertujuan untuk mewujudkan modernisasi pendaftaran pertanahan guna meningkatkan indikator kemudahan berusaha dan pelayanan publik kepada masyarakat, mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dengan menerapkan pelayanan pertanahan berbasis elektronik. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana sertipikat tanah elektronik dapat mencegah kasus sengketa tanah dan perlindungan hukum terhadap pemegang sertipikat tanah elektronik. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian bahwa sertipikat tanah elektronik dapat mencegah kasus sengketa tanah salah satunya yaitu adanya single identity pada Nomor Identifikasi Bidang (NIB). NIB pada sertipikat elektronik terdapat kebijakan baru terkait pemberian hak pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah. Tujuannya adalah mengatasi masalah keterbatasan ketersediaan lahan dan efisiensi penggunaan lahan yang ada. Dengan adanya digital signature yang disandikan algoritma kriptograf, hash code dan QR Code pada sertipikat tanah elektronik, dan mitigasi keamanan berstandar Internasional dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) maka keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam kepemilikan dan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah diharapkan akan tercapai.

Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 1 of 2021 concerning electronic certificates reorganizes land certificates which were originally like books to become electronic certificates. The regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency concerning electronic certificates aims to realize the modernization of land registration in order to improve indicators of ease of doing business and public services to the community, optimize the use of information and communication technology, by implementing electronic-based land services. The problems raised in this study are how electronic land certificates can prevent land disputes and legal protection for electronic land certificate holders. To answer these problems, normative legal research methods are used with a statutory approach (statue approach), and a conceptual approach (conceptual approach). The results of the research that electronic land certificates can prevent land dispute cases, one of which is the existence of a single identity on the Field Identification Number (NIB). In the NIB electronic certificate there is a new policy regarding the granting of rights to the Upper Ground and Underground Space. The aim is to overcome the problem of limited land availability and efficiency of existing land use. With digital signatures encoded by cryptographic algorithms, hash codes and QR codes on electronic land certificates, and international standard security mitigation from the National Cyber ​​and Crypto Agency (BSSN), it is hoped that the security and comfort of the community in ownership and legal protection of land rights will be achieved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilia Savira
"Fokus dari penelitian ini adalah pada terbitnya sertipikat ganda yang dalam kenyataannya telah memicu terjadinya sengketa, seperti yang ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung No 1693 K/Pdt/2018. Hal tersebut menjadikan pemegang hak atas tanah yang sebenarnya tidak terlindungi, walaupun sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah sebagai alat pembuktian yang kuat yang telah dimilikinya. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah yang sebenarnya terkait terbitnya sertipikat ganda dan penyelesaian sengketa mengenai status tanah dan/atau pemegang hak atas tanah sebagai akibat dari adanya sertipikat ganda. Dalam penelitian ini, metode yang dipergunakan adalah yuridis normatif. Adapun pengumpulan datanya dilakukan melalui studi dokumen (kepustakaan). Data sekunder yang diperoleh, dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai dasar dari Hukum Tanah Nasional tidak secara jelas memberikan perlindungan tersebut. Namun peraturan pelaksananya yaitu PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya Pasal 32 ayat (2) memberikan perlindungan melalui lembaga rechtsverwerking. Majelis Hakim dalam Putusan a quo juga menguatkan perlindungan semacam itu. Dengan adanya putusan tersebut maka BPN cq Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya harus melakukan pembatalan terhadap sertipikat yang cacat hukum. Adapun penyelesaian sengketa terkait sertipikat ganda itu sendiri semestinya tidak perlu menggunakan mekanisme litigasi karena dapat diselesaikan langsung di Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 21 Tahun 2020 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan yaitu dengan melakukan pembatalan sertipikat.

The focus of this research is on the issuance of the dual certificates which in fact have triggered. Land disputes, as found in the Supreme Court Decision No. 1693 K/Pdt/2018 of the land that has been owned. Therefore, the problem raised in this research is about the protection of rights and legal certainty for land rights certificate holders which are actually related to the issuance of dual certificates. In addition, the settlement of disputes regarding the status of land and/or holders of land rights as a result of the existence of multiple certificates. In this study, the method used is normative juridical order. The data collection is done through the study of the documents (library). Furthermore, the secondary data obtained were analyzed qualitatively. This research found that Act Law no. 5/1960 concerning Basic Agrarian Regulations as the basis of the National Land Law does not clearly provide such protection. However, the implementing regulations, namely Government Regulations No. 24/1997 on Land Registration, in particular Article 32 paragraph (2) provides protection through the rechtsverwerking institution. The Panel of Judges in the a quo Decision also strengthens such protection. Furthermore, with this decision, the BPN cq the Regency/Municipal Land Office must cancel the legally flawed certificate. The land dispute resolution related to the dual certificates itself should not need to use a litigation mechanism because it can be resolved directly at the National Land Agency in accordance with the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency 21 of 2020 concerning Settlement of Land Cases, namely by canceling the certificate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Veratiwi
"ABSTRAK
Perkembangan zaman dan teknologi telah memasuki berbagai sektor lini kehidupan di masyarakat Indonesia saat ini, termasuk di dalam bidang pendaftaran tanah. Berbagai pengaturan mengenai pendaftaran tanah telah diundangkan dari waktu ke waktu yang dimana terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Namun demikian, permasalahan pendaftaran tanah masih kerap kita temukan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu kasus yang dijumpai adalah adanya perbedaan sistem pemetaan yang digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam rangka penerbitan sertipikat hak atas tanah khususnya tentang metode pemetaan manual dan digital, dimana pada akhirnya menyebabkan sengketa pertanahan. Sehubungan dengan hal tersebut, dampak yang ditimbulkan salah satunya adalah ketiadaan kepastian hukum bagi penanam modal yang akan berinvestasi di Indonesia yang tentu memiliki dampak domino terhadap perekonomian di Indonesia antara lain ketiadaan pembukaan lapangan kerja, mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak dan terhambatnya pemerataan pembangunan dan perekonomian di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian oleh penulis, permasalahan pendaftaran tersebut disebabkan oleh karena belum adanya sinkronisasi dan kesamaan sistem pemetaan yang digunakan antar kantor pertanahan di Indonesia. Selain itu, masih belum adanya landasan hukum yang memaksa para pemilik sertipikat hak atas tanah untuk menyesuaikan wilayah dalam sertipikatnya ke dalam sistem pemetaan digital. Dengan masih belum sempurnanya sistem pendaftaran tanah di Indonesia saat ini, maka kehati-hatian dan penelitian yang mendalam sebelum melakukan transaksi pembelian atau akuisisi tanah sangat perlu dilakukan khususnya bagi penanam modal yang akan melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melakukan legal due diligence dengan memeriksa secara menyeluruh dan komprehensif seluruh data-data terkait dengan tanah yang akan dibeli.

ABSTRACT
The development of the era and technology has entered various sectors of the Indonesian societies 39 life recently, including in the field of land registration. Various regulations on land registration have been enacted from time to time which was lastly stipulated in the Government Regulation Number 24 of 1997. However, the issues of land registration are still often found in various regions in Indonesia. One of the cases encountered was different of mapping systems used by the National Land Agency for the issuance of land rights certificates, particularly in the transition from manual mapping method to digital mapping methods, which ultimately led to land disputes. In relation to this, one of the impact is the lack of legal certainty for investors who are going to invest in Indonesia which may raise a domino effect on the economy in Indonesia, among others, the absence of job openings, the reduction of state revenues from the tax sector and stranded the equity of development and economy in Indonesia. After conducting research by the writer, the registration issues may be caused by the lack of synchronization and harmonization of mapping system used among land offices in Indonesia. Furthermore, there is still no legal basis which forces the owners of land titles certificates to adjust the territory in their certificates into the digital mapping system. With the incomplete of the land registration system in Indonesia nowadays, prudent and thorough research prior to entering into a transaction of land purchase or acquisition is necessary to be conducted, especially for investors who will carry out their business activities in Indonesia. One of the ways that can be done is to do legal due diligence by checking thoroughly and comprehensively all the data related to the land to be purchased."
2017
T49148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahaputeri Wisnuhardjo
"Jual beli hak atas tanah merupakan suatu perjanjian, dan salah satu syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kesepakatan dari para pihak. Undang-Undang Pokok Agraria juga memiliki asas yang terkandung di dalamnya mengenai jual beli, yaitu asas terang dan tunai. Syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan tersebut bersifat kumulatif, apabila terdapat salah satu syarat tidak terpenuhi maka konsekuensinya tetap berlaku pada perjanjian yang dimaksudkan. Notaris & Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah satu pejabat yang berwenang dalam pengurusan jual beli hak atas tanah selain harus tunduk pada peraturan-peraturan yang berlaku mengenai peralihan hak atas tanah, juga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris serta perubahannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang kemudian ditetapkan perubahannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai Akta Jual Beli yang dibuat tanpa kesepakatan dari pemegang hak dan juga pembeli hak atas tanah dapat melakukan jual beli sementara penandatanganan Akta Jual Beli pemegang hak sebelumnya dilakukan secara tidak sah. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah Akta Jual Beli yang dibuat tanpa kesepakatan dari salah satu pihak merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, dan transaksi jual beli dapat dilakukan karena itikad baik, walaupun Akta Jual Beli pemegang hak sebelumnya tidak sah. Saran dari penelitian ini adalah Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seharusnya masuk dalam pertimbangan majelis hakim, serta pengecekan lebih rinci mengenai prosesi Akta Jual Beli.

The sale and purchase of land rights is an agreement, and one of the legal terms of the agreement based on Article 1320 of the Civil Code is the agreement of the parties. The Basic Agrarian Law also has principles contained in it regarding buying and selling, namely the principle of light and cash. The conditions stipulated in these provisions are cumulative, if one of the conditions is not met, the consequences will still apply to the intended agreement. Notary & Land Deed Officer as one of the authorized officials in managing the sale and purchase of land rights in addition to having to comply with applicable regulations regarding the transfer of land rights, must also comply with Law Number 30 of 2004 concerning the Office of a Notary and its amendments Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning the Position of a Notary and also Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Regulations for the Position of Official Making Land Deeds, which was later amended, namely Government Regulation Number 24 of 2016 concerning Amendments to Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Position Regulations for Officials Making Land Deeds. The problem raised in this study is regarding the Sale and Purchase Deed which was made without the agreement of the rights holder and also the buyer of land rights can make a sale and purchase while the Sale and Purchase Deed of the previous right holder was carried out illegally. To answer these problems, a normative legal research method with an explanatory type of research is used. The result of the analysis is that the Sale and Purchase Deed made without the agreement of one of the parties is an unlawful act carried out by a Notary, and the sale and purchase transaction can be carried out in good faith, even though Sale and Purchase Deed the previous right holder is not valid. The suggestion from this research is that Article 1320 of the Civil Code should be taken into consideration, as well as a more detailed check on the Sale and Purchase Deed procession."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Vinka Rinjani
"Tesis ini membahas tentang pembatalan sertipikat hak atas tanah yang di studi melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2148 K/PDT/2019. Dalam putusan tersebut, sertipikat hak atas tanah dibatalkan karena pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat bukan pemilik yang sah atas obyek tanah yang bersangkutan. Dengan adanya pembatalan maka sertipikat hak atas tanah sudah tidak berlaku lagi. Hal ini menimbulkan masalah lainnya karena obyek tanah yang bersangkutan sudah dijual kepada pihak lain. Pembeli menjadi dirugikan karena ia menjadi kehilangan haknya atas tanah tersebut. Untuk itu permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan dalam pembatalan sertipikat hak atas tanah serta tanggung jawab PPAT, PPAT Sementara, dan Kantor Pertanahan akibat adanya pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen yang diperkuat dengan wawancara. Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini adalah pembeli sebagai pihak yang dirugikan dalam pembatalan sertipikat hak atas tanah dapat mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum kepada penjual. Kemudian terhadap adanya pembatalan sertipikat hak atas tanah, PPAT dan PPAT Sementara tidak dapat dikenakan sanksi administratif, perdata, maupun pidana apabila ia telah mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur peraturan jabatan PPAT dan kode etik PPAT dalam membuat akta jual beli. Adapun, tanggung jawab Kantor Pertanahan adalah untuk melaksanakan putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut. Selain itu, Kantor Pertanahan juga dapat dituntut ganti rugi oleh pembeli karena telah menyebabkan kerugian.

This thesis is discuses about the annulled of the certificate of land rights based on the Verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2148 K/PDT/2019, in accordance to the verdict, the certificate of land rights has been annulled because the party whose name is listed on it is not legally the owner of the land object. Therefor the certificate is no longer valid. This creates another problem because the land object in question has been sold to another party. The buyer is harmed because he loses his right to the land. For this reason, the problems analyzed in this study are legal protection for the aggrieved party in the cancellation of the certificate of land rights and the responsibilities of the PPAT, Temporary PPAT, and the Land Office due to the cancellation of the certificate of land rights. The normative juridical research conducted in this study used a document study that was strengthened by interviews. The results of the analysis obtained from this study are the buyer as the party who is disadvantaged in the cancellation of the certificate of land rights can file a claim for compensation based on unlawful acts to the seller. Then for the cancellation of land rights certificates, PPAT and Temporary PPAT cannot be subject to administrative, civil, or criminal sanctions if they have complied with the provisions of the laws and regulations governing the PPAT position regulations and the PPAT code of ethics in making the deed of sale and purchase. Meanwhile, the responsibility of the Land Office is to implement the court's decision regarding the cancellation of the certificate of land rights. In addition, the Land Office can also be sued for compensation by the buyer for causing a loss."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marindi Cintyana
"Girik adalah alat bukti tanda membayar pajak. Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah yang berlaku bersumber hanya hukum adat. Girik digunakan oleh pemilik tanah sebagai tanda bukti hak atas tanah, karena hanya pemilik tanah yang wajib membayar pajak. Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria terjadi perubahan secara fundamental di bidang hukum tanah dan hak- hak perorangan atas tanah yang berlaku di Indonesia. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di Indonesia terutama di Jakarta yang menganggap Girik adalah bukti kepemilikan hak atas tanah. Girik tidak kuat untuk menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah apabila terjadi sengketa di Pengadilan. Oleh karena itu perlunya sosialisasi dari pihak pemerintah untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah adalah berupa Sertipikat, bukanlah Girik. Banyak masyarakat yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan Girik, karena didalam literatur ataupun Perundangundangan mengenai pertanahan sangatlah jarang dibahas dan dikemukakan. Tanah Girik bukan merupakan bentuk kepemilikan hak sesuai dengan UUPA, melainkan hanya bukti pembayaran pajak tanah saja. Namun demikian , Petuk Pajak Bumi/ Landrentee, Girik, Pipil,Verponding Indonesia ini adalah salah satu bukti tertulis yang dapat didaftarkan sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Seperti permasalahan dalam penulisan tesis ini mengenai sengketa tanah girik yang telah mendapat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 166/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. pemilik dari Girik C nomor 1349 tidak dapat membuktikan kepemilikannya yag sah di pegadilan, karena kurangnya alat bukti yang lain. Girik dapat menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah dengan didukung alat bukti yang lain yang menguatkan. Oleh sebab itu, perlunya sosialisasi yang dilakukan pemerintah agar masyarakat melakukan pendaftaran pertama kali atas tanah yang masih berstatus hak milik adat.

Girik is proof of payment of tax. Before Act Number 5 of 1960 regarding Agrarian Law, the prevailing law on land was bassed on common law. Girik used by the land owner as a proof of the land, because only a landholder who is obliged to pay taxes. Since Act Number 5 Year 1960 regarding Agrarian Law promulgated, land law and personal rights on land in Indonesia fundamentally changed.. In fact, Some of Indonesian people especially in Jakarta still thought that Girik is an evidenceof land ownership. Because of that, need for socialization of the government to tell people that the proof of ownership land rights is a Sertipikat. Many people do not understand what is referred about Girik, because in literature or regulations of land is very rarely discussed and presented about that.Girik certificate is not propietary right as pointed out in Basic Agrarian Law (UUPA). It only indicates tax payment receipt. Nevertheless, there are other [less formal] land certificate of Petuk Pajak Bumi, Landrentee, Girik, Pipil, verponding Indonesia that can serve as written evidence for land registration as provided for in Government Regulation (PP) No.24 of 1997 concerning Land Regisration. Shown in land dispute case on Court of Central JakartaDecision Number 166/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST. This research uses a method of a descriptive analysis with yuridis normative approach."
2015
T43965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Yuvika Jasmin
"Konversi hak atas tanah dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemilik tanah dengan diperlukannya suatu pendaftaran tanah agar diterbitkannya suatu sertipikat untuk dapat melakukan perbuatan hukum seperti pemberian warisan. Cara mendapatkan suatu warisan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang atau berdasarkan dengan kehendak terakhir dari seseorang yang dituangkan ke dalam suatu wasiat (testament). Permasalahan dalam penelitian ini mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksana wasiat sebagai pemilik tanah bekas hak eigendom verponding yang belum dilakukan konversi terlebih dahulu namun disertipikatkan oleh ahli waris lainnya dan kedudukan harta peninggalan pewaris yang diberikan kepada pelaksana wasiat melalui hibah wasiat terhadap golongan kedua. Penelitian ini menggunakan penelitian doktrinal dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Hasil penelitian terhadap pelindungan hukum yang diperoleh oleh pelaksana wasiat adalah ketika menerima hibah wasiat berupa tanah dan bangunan, dapat mengajukan pendaftaran melalui permohonan dan pemberian hak tanah dengan status tanah negara, namun ternyata adanya surat keterangan waris yang dibuat oleh ahli waris lainnya yaitu saudara kandung pewaris yang masih hidup tanpa menjadikan pelaksana wasiat sebagai pihak, maka perlindungan hukumnya adalah berupa pembatalan surat keterangan waris dilanjutkan dengan penetapan kembali ahli waris sehingga pelaksana wasiat masuk sebagai pihak dan melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sporadik. Terhadap terbitnya Sertipikat atas nama ahli waris golongan kedua, dapat diajukan permohonan pencatatan blokir oleh pelaksana wasiat sebagai bentuk perlindungan hukum atas konflik terhadap tanah dan bangunan yang dimiliki pelaksana wasiat. Penetapan kembali terhadap surat keterangan waris memasukkan pelaksana wasiat sebagai ahli waris pengganti dan pelaksana wasiat berdasarkan akta hibah wasiat, sesuai dengan Pasal 917 KUHPerdata seluruh harta pewaris dapat diberikan kepada pelaksana wasiat. Dengan demikian, kedudukan harta yang ditinggalkan oleh pewaris adalah dalam kekuasaan pelaksana wasiat berdasarkan hibah wasiat yang diberikan kepadanya. Saran terhadap penelitian ini tanah negara yang diperoleh melalui hibah wasiat dilakukannya permohonan dan pemberian hak oleh pelaksana wasiat agar tidak bernilai nihil serta dalam menentukan kedudukan harta peninggalan pewaris tidak hanya melihat adanya sertipikat hak guna bangunan yang terbit atas nama ahli waris golongan kedua, tetapi juga melihat adanya akta hibah wasiat atas nama pewaris.

Conversion of land rights can provide legal protection for landowners who require land registration to issue a certificate to be able to carry out legal actions such as inheritance. An inheritance can be obtained by following the laws of the law or by following the testament of a person. The problem in this study was the legal protection of the testator as the owner of the former eigendom verponding land that had not been converted first but was certified by other heirs, as well as the status of the testator's inheritance granted to the testator through a bequest to the second group. This study used doctrinal research data collection procedures in the form of a literature review. The result of the research on the legal protection obtained by the testamentary executor was that when receiving a bequest in the form of land and buildings, it can apply for registration through an application and grant land rights with the status of state land, but if it turns out that there is a certificate of inheritance made by other heirs, namely the siblings of the living testator without making the testamentary executor a party, then the legal protection is in the form of canceling the certificate of inheritance followed by re-determination of the heirs so that the testamentary executor enters as a party and conducts land registration for the first time sporadically. To prevent the issuance of a certificate in the name of the second group of heirs, the testamentary executor can file an application for blocking registration as a form of legal protection against conflicts over land and buildings owned by the testamentary executor. The re-determination of the heirs includes the testamentary executor as a substitute heir and the testamentary executor based on the deed of testamentary grant, in line with Article 917 of the Civil Code, all of the testator's property can be given to the testamentary executor. Therefore, the position of the property left by the testator is in the power of the testamentary executor based on the testamentary grant given to him. The suggestion for this research is that state land obtained through testamentary grants should be applied for and given rights by the testamentary executor so that it is not worthless and in determining the position of the testator's estate, it looks not only at the existence of a building use right certificate issued in the name of the second group of heirs, but also at the existence of a testamentary grant deed in the name of the testator."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayyik Lana Lie Ulin Nuha
"Penelitian ini membahas mengenai peralihan hak atas tanah warisan tanpa persetujuan ahli waris dalam Kasus Putusan MA No. 2525 K/PDT/2018 yang diawali dengan dibuatnya AJB dihadapan PPAT, sehingga diproseslah peralihan Buku Tanah Hak Milik No.476 yang dinyatakan hilang dan diganti dengan Sertifikat Hak Milik No.2955 yang beralih atas nama pembeli. Segala perbuatan hukum terkait harta warisan tersebut haruslah dengan persetujuan ahli waris yang mana bukan hanya Tergugat 1 melainkan juga Penggugat sebagai golongan I ahli waris. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keabsahan peralihak hak atas tanah warisan, mengetahui pertanggungjawaban PPAT, perlindungan hukum bagi ahli waris serta membahas alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan cara pengumpulan data yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan dan dengan menganalisis data secara kualitatif serta wawancara informan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis dikarenakan penulis mencoba menggambarkan masalah apa adanya pelaksanaan dari suatu hal atau keadaan kemudian menganalisisnya terhadap peraturan perundang-undangan dan data-data yang telah terkumpul. Data dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan alat pengumpulan data sekunder melalui studi dokumen. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbuatan PPAT yang tidak menyertakan ahli waris dalam pembuatan akta jual beli dapat dimintakan pertanggungjawaban secara administratif dan perdata atas perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1366 KUHPerdata. PPAT dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 PP No. 24 tahun 1997 dan Pasal 6 Kode Etik IPPAT. Perbuatan Tergugat I yang menjual harta warisan tanpa sepengetahuan penggugat merupakan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata sehingga jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut ganti biaya, kerugian, dan bunga kepada Tergugat I. Dasar pertimbangan hakim dengan Pasal 32 ayat (2) PP No.24 tahun 1997 dianggap bertentangan dengan sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh Indonesia dan mengabaikan yurisprudensi khusus tentang hak ahli waris yang tidak mengenal daluwarsa.

This research discusses the transfer of land rights to inherited land without the consent of the heirs base on case study of supreme court decision No.2525/K/PDT/2018, which begins with the making of the sale and purchase deed (AJB) made before PPAT, that leads to processed transition of “Buku Tanah Hak Milik No. 476” which was declared missing and being replaced with “Sertipikat Hak Milik No. 2955” switch on behalf of the buyer. All legal actions related to the inheritance must be approved by the legatee, which is not only the Defendant I but also the Plaintiff as class I heirs. The purpose of this research is to identify the legality of inherited land rights, know the PPAT's responsibilities, legal protection for heirs and discuss proof of ownership of land rights. This research was conducted with a juridical normative library research, namely by collecting data from library materials and by analyzing the data qualitatively as well as interviewing informants to the Head of the Land Office. The typology of this research is descriptive analytical because the writer tries to describe the problem as to what is the implementation of a thing or situation then analyzes it against the laws and regulations and the data that has been collected. The data in this study are secondary data, with secondary data collection tools through document study. The results of the study can be concluded that PPAT actions that do not include the heirs in the making of the sale and purchase deed (AJB) can be accounted for administratively and civilian for illegal acts in Article 1366 of the Civil Code. PPAT can be subject to administrative sanctions in accordance with Article 62 PP No. 24 of 1997 and Article 6 of the IPPAT Code of Ethics. Defendant I's act of selling inheritance without the plaintiff's knowledge constitutes an illegal act regulated in Article 1365 of the Civil Code so that the sale and purchase of other people's goods is null and can provide a basis for the buyer to demand compensation for costs, losses and interest from the Defendant I. Basis for judge’s consideration with Article 32 paragraph (2) PP No.24 of 1997 are deemed contrary to the publication system of land registration adopted by Indonesia and ignore special jurisprudence regarding the rights of heirs who do not recognize expiration. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Defi Suyanti
"Berkaitan dalam hukum Agraria. pemberian kuasa mutlak dibatasi oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Pengunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Penelitian ini mengkaji mengenai kuasa untuk menjual dalam pengalihan hak atas tanah yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 229 /PDT .Gi20 I 0/PN.JKT.UT. Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif dengan alat pengumpulan data studi dokumen. Kuasa untuk menjual bukan termasuk dalam Kuasa Mutlak yang dilarang, dan pemberian kuasa untuk menjual merupakan kelanjutan dan perjanjian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pendahulunya yaitu perjanjian Jual Beli yang dilakukan pemberi kuasa dan penerima kuasa."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>