Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164899 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raditya Imam Pratana
"ABSTRACT
Latar Belakang. Kavitas merupakan salah satu penampakan lesi paru yang paling umum ditemukan pada pasien TB. Namun demikian, tidak banyak penelitian yang memelajari mengenai prevalensi dan risiko pembentukan kavitas pada pasien TB terkait dengan kebiasaan merokoknya. Metode Penelitian. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dengan metode potong lintang. Populasi target adalah pasien yang terdiagnosis TB pada tahun 2016-2018 yang memeriksakan diri ke RSUP Persahabatan. Hasil. Didapatkan 148 subjek penelitian. Sebagian besar pasien adalah laki-laki dengan jumlah 96 orang dan perempuan sebanyak 52 orang. Dari segi usia, didapatkan mayoritas responden adalah berusaia 17 hingga 45 tahun. Sebanyak 65 pasien teramati memiliki kavitas pada paru dan 83 pasien tidak memiliki kavitas pada paru. Berdasarkan indeks brinkmannya, didapati bahwa 65 (43,9%) orang bukan perokok, 19(12,8%) orang perokok berat, 25 (16,9%) perokok sedang, dan 39(26,4%) orang perokok ringan. Dari hasil analisis, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik p<0,05 antara kebiasaan merokok dengan keberadaan lesi paru pada pasien TB. Pasien yang termasuk kedalam indeks brinkman sedang-berat memiliki PR=2,41 IK95% 1,578-3,683 sedangkan pasien dengan indeks brinkman ringan memiliki PR=1,316 IK95% 0,760-2,277 (tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan : ada hubungan antara kelas merokok brinkman sedang-berat dengan lesi kavitas pada paru pasien dengan TB.

ABSTRACT
Background. Cavity is one of pulmonary lesion that is most common in tuberculosis patients. But, studies about prevalence and cavity-forming risk in TB patients related to their smoking habit is not much known. Methods. Data are collected at Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan with cross-sectional method. Target population are patients at Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan that are diagnosed with TB in 2016-2018. Result. As much as 148 research subject are recorded. Most patient are men (96 persons), while 52 are women. Respondents age are between 17 and 45 years old. As much as 65 patients have lung cavity while the other 83 patients do not have lung cavity. Based on Brinkmans Index, 65 persons (43.9%) are not smoker, 19 persons (12.8%) are heavy smoker, 25 persons (16.9%) are moderate smoker, and 39 persons (26.4%) are light smoker. Data analysis showed that there is a statistically significant assosication ( p<0,005 ) between smoking habits and prevalence of cavitary lesion in patients with TB. Patients that are included into moderate-heavy smokers group have PR = 2,41 CI95% 1,578-3,683 while patients that are included into light smokers have PR=1,316 CI 95% 0,760-2,277 (statistically insignificant). Conclusion : There is an association between moderate-heavy smoking and the appearance of cavitary lesion in TB patients."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Fitria
"ABSTRAK
Latar belakang : Banyak penyakit yang dihubungkan dengan merokok seperti penyakit keganasan, kardiovaskuler, diabetes mellitus DM , penyakit paru obstruktif kronik PPOK , arthritis, impotensi, infertilitas, alzheimer, TB dan lain- lain. Paru merupakan organ yang banyak mengalami kerusakan berat akibat merokok. Merokok terbukti mengganggu bersihan mukosilier dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya TB paru. Konversi sputum merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan pengobatan TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan riwayat merokok dan keberhasilan pengobatan fase intensif tuberkulosis TB paru di RSUD.Metode : Desain penelitian menggunakan metode kohort prospektif yang dilakukan pada pasien TB paru basil tahan asam BTA positif perokok dan bukan perokok yang berkunjung ke Pelayanan Tuberkulosis Terpadu PTT yaitu poli rawat jalan dan ruang rawat inap infeksi paru RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dari 1 November 2015 hingga Februari 2016. Data yang diperoleh diuji dengan menggunakan statistical package for social sciences SPSS 20.Hasil : Total 38 subjek dibagi kedalam 2 kelompok 19 subjek perokok dan 19 subjek bukan perokok , semua subjek perokok adalah laki-laki sedangkan subjek bukan perokok terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dari hasil penelitian bulan pertama p=0,009 didapatkan subjek yang bukan perokok konversi sputum BTA berjumlah 14 orang 73,7 dan 5 orang tidak konversi, sedangkan pada subjek perokok 6 orang 31,6 yang konversi dan 13 orang 68,4 tidak konversi. Pada bulan kedua p=0,202 , lebih dari setengah jumlah subjek yang bukan perokok konversi sputum BTA berjumlah 17 orang 89,5 dan 2 orang 10,5 yang tidak konversi sedangkan pada subjek perokok yang konversi berjumlah 14 orang 73,7 dan 5 orang 26,3 yang tidak konversi.Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan merokok terhadap konversi sputum BTA bulan I.Kata kunci : TB paru, merokok, konversi sputum

ABSTRACT
Background Many diseases are associated with smoking such as malignant disease, cardiovascular, diabetes mellitus DM , chronic obstructive pulmonary disease COPD , arthritis, impotence, infertility, Alzheimer 39 s Disease, tuberculosis and others. Lung is an organ that suffered heavy damage from smoke. Smoking is proven to disrupt the ciliary mucosal clearance and it is associated with an increased risk of pulmonary tuberculosis. Sputum conversion is an important indicator to assess the success of TB treatment. This study aims to determine the relation between smoking history and the success intensive phase treatment of pulmonary tuberculosis TB at Dr Zainoel Abidin Hospital.Method This is a prospective cohort study in patients with pulmonary tuberculosis acid fast bacilli AFB positive smokers and non smokers who visited the Integrated Tuberculosis Care PTT , at outpatient and inpatient pulmonary infection RSU Dr. Zainoel Abidin hospital Banda Aceh from 28 November 2015 until 1 February 2016. The data were tested using statistical package for social sciences SPSS 20.Results A total of 38 subjects were divided into 2 groups 19 subjects with 19 subjects smokers and non smokers . All subjects smokers are male while non smoker subjects consisted of male and female. The results of the first month study p 0.009 , there are 14 non smoker subjects with AFB conversion 73,7 and 5 subjetcs without AFB conversion. Among smoking subjects there are 6 subjets 31.6 with AFB conversion and 13 subjects 68.4 without AFB conversion. In the second month p 0,202 , more than half subjects who are non smokers had AFB conversion, 17 subjects 89.5 and 2 subjects 10.5 had no AFB conversion. In smokers group there are 14 subjects 73.7 had AFB conversion and 5 subject 26.3 had no conversion.Conclusion There was a significant relation between smoking habit and the occurrence of first month AFB sputum"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Sovira
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kadar 1,25-dihydroxyvitamin D serum
dan hubungannya dengan interferon gamma, cathelicidin dan bacterial load pada
penderita TB paru BTA positif serta hubungan cathelicidin dengan bacterial load.
Rerata kadar IFN-γ adalah 10,8 ± 6,5 pg/mL, rerata kadar 1,25(OH)2D serum
adalah 121,5 ± 38,6 pmol/L dan rerata kada cathelicidin plasma adalan 90,4 ±
21,5 ng/mL. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan kadar 1,25(OH)2D
serum dengan IFN-γ serum begitu juga dengan cathelicidin plasma. Kadar
cathelicidin plasma tidak berhubungan bermakna dengan bacterial load. Rerata
kadar IFN-γ serum dan cathelicidin plasma pada lesi kavitas lebih rendah daripada
lesi tanpa kavitas (masing-masing p = 0,031 dan p = 0,025). Rerata kadar
cathelicidin plasma subjek dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya lebih
rendah daripada subjek kelompok kasus baru (p = 0,004). Pada penelitian ini
didapatkan juga hubungan bermakna kekuatan sedang antara kadar IFN-γ serum
dengan cathelicidin plasma (r = 0,540; p < 0,05).

ABSTRACT
The aim of study was to investigate levels of 1,25-dihydroxyvitamin D and its
relationshio with IFN-γ or cathelicidin in active pulmonary tuberculosis patients
and relation of cathelicidin with bacterial load. The mean of serum 1,25(OH)2D,
IFN-γ, and cathelicidin were 121,5 ± 38,6 pmol/L, 10,8 ± 6,5 pg/mL, 90,4 ± 21,5
ng/mL, respectively. The was no relation 1,25(OH)2D to IFN-γ and cathelicidin
either. The mean of serum IFN-γ and plasma cathelicidin in cavitary lession was
less than non cavitary lession. We also found that plasma cathelicidin level in
subject with prior treatment was less than new cases. There was relation of serum
IFN-γ to plasma cathelicidin (r = 0,540; p < 0,05)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fullarini Stopiati Kukuh Lakutami
"Pendahuluan : Kerusakan paru yang luas dan riwayat pemakaian antibakteri jangka panjang merupakan faktor risiko yang meningkatkan angka kejadian kolonisasi jamur. Kedua hal ini terjadi pada pasien TB paru MDR. Meningkatnya kasus TB MDR di Indonesia akan meningkatkan risiko terjadinya kolonisasi jamur di paru. Penelitian ini untuk mengetahui profil kolonisasi jamur pada pasien bekas TB paru MDR.
Metode : Penelitian potong lintang terhadap pasien yang telah dinyatakan sembuh dari TB paru MDR dari tahun 2009-2015, yang kontrol ke Poli TB MDR RSUP Persahabatan selama bulan November-Desember 2015. Dengan menggunakan teknik consecutive sampling maka ditentukan sebanyak 61 subjek yang kemudian dilakukan induksi sputum. Hasil sputum induksi kemudian dilakukan pemeriksaan sputum jamur langsung dan biakan jamur dalam media Saboraud Dextrose Agar.
Hasil : Subjek berusia antara 19-76 tahun. Dari 61 pasien , kelompok usia terbanyak antara usia 35-50 tahun sebnayak 28 orang (45,9%) diikuti usia kurang dari 35 tahun 23 orang (37,7%) dan usia lebih dari 50 tahun sebanyak 10 orang (16,01%). Sebanyak 28 orang (45,95) IMT normal, 17 orang IMT berlebih dan 16 orang (26%) IMT kurang. Sebanyak 28 subjek (45,9%) mempunyai riwayat merokok. Spektrum kolonisasi jamur pada pasien bekas TB paru MDR adalah 42 orang (68,9%) kolonisasi jamur positif dengan 29 orang (47,5) spesies C. albicans, 6 (9,8%) kombinasi C. albicans dan C. tropicalis, 2 orang (3,3%) masing-masing As flavus dan kombinasi C. albicans dan C. krusei serta masing-masing 1 orang (1,6%) spesies C. tropicalis, C. parapsilosis dan kombinasi C. albicans+C. parapsilosis.
Kesimpulan: Kolonisasi jamur pada pasien bekas TB paru MDR tinggi dan harus diawasi dan harus dievaluasi untuk membedakan antara kolonisasi atau penyakit serta diobati untuk meningkatkan kualitas hidup pasca pengobatan TB MDR.

Introduction : Extensive lung damage and long term history of using antibacterial drugs are a risk factor that increase the incidence of fungal colonization. Both of these occurred in patients with pulmonary MDR TB. The increasing cases of MDR TB in Indonesia will increase the risk of fungal colonization in the lung. This study is to determine the profile of fungal colonization in post MDR TB patients.
Methods: This cross sectional study included patients who had been cured by the doctor in 2009-2015 and came to MDR Clinic from November-Desember 2015 in Persahabatan Hospital to check up. Sixty one patients were decided by consecutive sampling. From each patient, sputum induction for sputum fungal smear and fungal culture using Sabaraud Dextrose Agar.
Results: The age range of patients are between 19 to 76 years old. Out of 61 patients, among those group 45,9% are between the age of 35-50 years , 37,7% below the age 35 years old and 16,4% above age 50 years old. Twenty eight patients have normal body mass index, 17 patients are overweight and 16 patients are underweight. Number of patients who have smoking history are 45,9%. The spectrum of positive fungal colonization in post pulmonary MDR TB patients were 42 subjects (68.9%) consist of 29 subjects (47.5%)were Candida albicans, 6 subjects (9.8%) were combination of C. albicans and C. tropicalis, 2 subjects (3.3%) respectively were Aspergillus flavus and combinations of C. albicans and C. krusei. The others were C. tropicalis, C. parapsilosis and C. albicans + C. parapsilosis combination were 1 subject (1.6%) respectively.
Conclusion: Fungal colonization in post pulmonary MDR TB patients is high and should be monitored and must be evaluated to distinguish between colonization and disease and treated to improve quality of life post-treatment of MDR TB.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Permatasari
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama penyakit dan kematian di dunia. Hubungan antara TB dan malnutrisi telah lama diketahui. Berkembangnya TB secara progresif menyebabkan wasting dan hilangnya massa otot, serta hipoalbuminemia yang juga terlihat pada infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Koinfeksi TB/HIV menyebabkan peningkatan metabolisme, gangguan fisik, dan masalah nutrisi. Selain itu, adanya penyakit infeksi kronik seperti halnya TB paru dan HIV/AIDS disertai dengan penurunan BB dapat menyebabkan kaheksia. Serial kasus ini bertujuan untuk mempelajari dan menerapkan terapi nutrisi sebagai bagian dari tatalaksana TB paru, infeksi HIV, dan kaheksia. Seluruh pasien dalam serial kasus ini adalah pasien TB paru dengan malnutrisi berat dan kaheksia. Dua dari empat pasien disertai infeksi HIV. Pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi, penyakit penyerta, dan kebutuhan yang bersifat individual. Kebutuhan energi basal dihitung dengan persamaan Harris-Benedict dengan kebutuhan energi total setara dengan 35?40 kkal/kg BB. Makronutrien diberikan dalam komposisi seimbang dengan protein 15?20% total kalori (1,5-2 g/kg BB). Suplementasi mikronutrien diberikan sesuai dengan angka kecukupan gizi. Nutrien spesifik berupa omega-3 dan asam amino rantai cabang (AARC) diberikan untuk memperbaiki kaheksia. Keluaran yang dinilai meliputi kondisi klinis, asupan, dan toleransi asupan. Dua dari empat pasien memberikan keluaran klinis lebih baik, namun peningkatan BB tidak signifikan.ABSTRACT Tuberculosis (TB) is a leading cause of illness and death of people globally. The association between TB and malnutrition has long been known. Progressive tuberculous disease results in wasting and loss of muscle mass and hypoalbuminaemia, which are also seen in HIV infection. Co-infection with HIV and TB poses an additional metabolic, physical, and nutritional burden. In addition, chronic infecton disease such as pulmonary TB and HIV/AIDS accompanied with weight loss leads to cachexia. The aim of this case series was to study and apply nutrition therapy as integral part of pulmonary TB, HIV infection and cachexia treatment. All patients in this reports with diagnosis of pulmonary TB with severe malnutrition and cachexia. Two of four patients diagnosed with HIV infection. Nutrition therapy was given individually according to the clinical condition and underlying disease. Harris-Benedict equation was used to calculate basal energy requirement with total energy requirement equivalent to 35?40 kcal/body weight. Balanced macronutrient composition was given with protein 15?20% of total requirement (1,5-2 g/body weight). Micronutrient recommendation was given to fulfill one fold recommended daily allowance. Omega-3 and branched-chain amino acid (BCAA) was given as specific nutrients to improved cachexia. Outcome measurements included clinical condition, intake analysis, and intake tolerance. Two of four patient had improved in clinical outcome but there was no significant difference in weight gain."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zarnuzi
"Keterlambatan diagnosis dapat memperparah penyakit, meningkatkan risiko kematian dan kemungkinan penularan tuberkulosis di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapakah proporsi dan lama waktu keterlambatan diagnosis dan faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan keterlambatan diagnosis TB paru di Kabupaten Tebo. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan pada penderita tuberkulosis yang berobat di rumah sakit dan puskesmas dalam Kabupaten Tebo tahun 2018. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 366 responden. Anaisis multivariat menggunakan cox regression. Hasil penelitian proporsi keterlambatan diagnosis (>28 hari) sebesar 63,93%. Faktor predisposisi (umur ≥ 45 tahun), faktor pendukung (jenis UPK Non-DOTS dikunjungi pertama kali, stigma tinggi dan jarak tempuh ke UPK ≥ 30 menit) dan faktor kebutuhan (persepsi penyakit tidak serius) merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan diagnosis. Perlu dilakukan peningkatan kualitas program pengendalian tuberkulosis, penyuluhan tuberkulosis agar masyarakat mempunyai persepsi yang benar terhadap tuberkulosis dan untuk mengurangi stigma negatif terhadap penyakit tuberkulosis, meningkatkan akses ke unit pelayanan kesehatan DOTS serta penemuan secara aktif untuk mengurangi keterlambtan diagnosis.

Delay in diagnosis can lead to increased severity of the disease, increased the risk of death and the possibility of transmission of tuberculosis in the community. The objective of this study was to determine proportion and the length of delay in diagnosis and factors associated with the delay in diagnosis among pulmonary tuberculosis patient in Tebo Distric. This study design using cross sectional conducted in patients with tuberculosis who was treated at hospitals and health centers at Tebo District in 2018. The sample in this study amounted to 366 respondents. Multivariat analysis using a multivariate cox regression. The results showed that the proportion of diagnosis delay (> 28 days) was 63.93 %. Predisposing factors (age ≥ 45 years), enabling factors (first consulting Non-DOTS health care unit, high stigma and distance to the health care unit DOTS ≥ 30 minutes) and need factors (perception of the disease is not serious) are risk factors associated with the diagnostic delay. Necessary improving the quality of tuberculosis control programs, counseling tuberculosis so that people have the correct perception against tuberculosis and to reduce the negative stigma against tuberculosis, improving access to health care units DOTS and active case finding are vital to reduce diagnostic delay."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenyorini
"Penyakit TB masih merupakan masalah kesehatan kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Upaya diagnostik TB paru masih terus ditingkatkan. Pemeriksaan penunjang diagnosis TB yang sekarang digunakan masih mempunyai sensitiviti dan spesitiviti yang rendah. Tujuan penelitian mengetahui tingkat akurasi uji tuberkulin dan PCR terhadap penegakkan diagnosis TB serta hubungan uji tuberkulin dan PCR dengan BTA mikroskopis dan biakan M. Tb dalam diagnosis TB paru.
Metode penelitian cross-sectional, uji diagnostik dan analisa data menggunakan Chi-Square. Kriteria inklusi penderita terdapat gejala klinik riwayat batuk 3 minggu disertai atau tanpa batuk darah, nyeri dada, sesak napas dan riwayat minum obat TB dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan serta bukan TB (kontrol). Seluruh sampel dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, lekosit, LEDI/II, foto toraks, uji tuberkulin, PCR, BTA mikroskopis 3X dan biakan M. Tb mctode kudoh. Baku emas yang digunakan biakan M. Tb metode kudoh. Data diolah menggunakan SPSS versi 11.00.
Berdasar 127 sampel masuk kriteria inklusi 121. Sampel berjumlah 121 terdiri dari 61 sampel tersangka TB dan 60 sampel kontrol Sensitiviti dan spesivisiti uji tuberkulin terhadap biakakn metode Kudah menggunakan cut-off point 15,8 mm 33% dan 93%. Sensitiviti PCR terhadap biakab metode Kudoh 100%, spesitiviti PCR 78%. Didapatkan perbedaan bermakna dan hubungan lemah uji tuberkulin dengan biakan M. Tb dan PCR serta didapatkan perbedaan dan hubungan bermakna PCR dengan BTA mikroskopis biakan M. Tb.
Kesimpulan basil keseluruhan penelitian mendapatkan basil 39 sampel biakan positif, 36 sampel BTA mikroskopis positif, 57 sampel PCR positif dan 18 sampel uji tuberkulin positif. Ditemukan sensitiviti basil uji tuberkulin lebih rendah daripada PCR, BTA mikroskopis dan biakan M. Tb mctode Kudoh. Meskipun terdapat perbedaan bermakna basil uji tuberkulin pada biakan positif clan negatif, BTA mikroskopis positif dan negatif, serta PCR positif dan negatif, akan tetapi uji tuberkulin (menggunakan cut-off point 15.8 mm) kurang dapat membantu penegakan diagnosis TB para. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa diantara keempat pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru PCR mempunyai nilai sensitivit dan spesitiviti tinggi ( 100% dan 78%). sehingga PCR dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru apabila didapatkan klinis dan radiology mendukung TB paru. Menggunkan pemeriksaan PCR akan didapatkan metode penegakan diagnosis TB paru yang cepat ( 1 hari ) dibandingkan dengan menunggu hasil biakan M. Tb hingga 8 minggu.

Objective. In an attempt diagnosis pulmonary tuberculosis still increased continuously. Now additional examination pulmonary tuberculosis have been lack sufficient sensitivity and sensitivities. The aim of this study was to determine the validity of tuberculin skin testing (TST) and PCR toward assessment diagnosis pulmonary of tuberculosis with correlation between tuberculin skin testing to PCR with AFB microscopic and solid media culture of M. tuberculosis for the diagnosis of pulmonary tuberculosis.
Method. A cross-sectional study, diagnostic test and analysis with Chi-Square test. Inclusion criteria patient with pulmonary symptom include chronic cough 3 weeks with or without hemoptysis, chest pain, breathlessness and past history of ATA less than 1 month with non-tuberculosis patient (control). The general samples was examination Ro thorax, tuberculin skin testing, PCR, AFB microscopic and conventional culture. The golden standard is conventional culture test using Kudoh method. Analyze of the data with SPSS version 11.0.
Result. The study material comprised 121 samples from 127 samples. These samples include 61 samples from patient with probably active pulmonary tuberculosis and 60 control comprising healthy individuals. The sensitivity and specificity of tuberculin skin testing with cut-off point 15.8 mm greater was 33% and 93% on conventional culture test using Kudoh method. PCR sensitivity was 100% and spesitivity was 78%. It was showed the positivity correlation between pulmonary tuberculosis and conventional culture as well as PCR and AFB microscopic, the conventional culture test.
Conclusion. The sensitivity of tuberculin skin testing less than PCR, AFB microscopic and conventional culture test. So that not enough to assessment diagnosis pulmonary tuberculosis. The sensitivity and specificity PCR was I00% and 78%. With the use of PCR test, we were able to detect diagnosis pulmonary tuberculosis more rapidly in less than I day, compared to average 8 week required for detection by conventional culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darayu Calvert Wilson
"Perbedaan antara tes untuk infeksi tuberkulosis (TB) yang resistan terhadap obat menjadi lebih umum karena alat diagnostik menjadi lebih bervariasi. Hal tersebut membingungkan dokter karena belum ada tes TB diagnostik cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Kasus suspek-TB di RSUPP, pusat primer dan tersier untuk kasus TB paru Indonesia, disaring dengan GeneXpert MTB / RIF dan dikonfirmasikan dengan uji kepekaan obat anti-tuberkulosis.
Discrepancies between tests for drug-resistant tuberculosis (TB) infections are becoming more common as diagnostic tools become more varied. These discrepancies confuse clinicians because there is not yet a rapid diagnostic TB test with good sensitivity and specificity. Suspected-TB cases at Rumah Sakit Umum Pusat Perhasabatan (RSUPP), a primary and tertiary center for Indonesia’s pulmonary TB cases, are screened with GeneXpert MTB/RIF and confirmed with conventional drug- susceptibility testing (DST)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haniul Karomah
"Stigma TB yang diberikan kepada penderita TB masih menjadi masalah utama dalam penanganan penyakit TB. Peneliti melakukan penelitian terhadap 90 mahasiswa profesi ners FIK UI menggunakan teknik quota sampling dengan desain cross-sectional. Penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan mahasiswa tentang TB terhadap stigma kepada pasien TB.
Hasil penelitian ini menunjukkan 26 responden (28,9%) memiliki pengetahuan baik dan stigma tinggi, sedangkan 33 responden (36,7%) memiliki pengetahuan baik dan stigma rendah dengan p value 0,268 dan α=0,05.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan stigma terhadap TB. Perlu dilakukan orientasi maupun pelatihan sebelum memasuki tahap profesi untuk meningkatkan pengetahuan dan memiliki stigma rendah terhadap TB.

The stigma of are given to TB patients is one of major problem in the TBtreatment. This study involved 90 clinical nursing student and used a quota sampling and cross-sectional design. This study used a questionnaire to determine the relationship of the level of student knowledge about TB and stigma to TB patients.
The results showed 26 respondents (28.9%) had a good knowledge and high stigma, while 33 respondents (36.7%) had a good knowledge and stigma lower with the p value 0.268 and α = 0.05.
The conclusion of this study Orientation and training needs to be done before entering the stage of the profession to improve their knowledge and have lower stigma against TB.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S63058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian akibat infeksi di dunia. Sejak tahun 2008 - 2017 terdapat penurunan angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia (< 90%). Rekomendasi pengobatan TB di Indonesia adalah paduan obat antituberkulosis (OAT) dosis berselang sebagian (2RHZE/4R3H3) atau harian (2RHZE/4RH). Menurut WHO, paduan OAT RHZE/R3H3 mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi. Namun, penelitian meta-analisis RCT menyatakan bahwa kedua paduan OAT mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang sama. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/2RH dengan 2RHZE/4R3H3.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain cross sectional yang membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/4RH dengan 2RHZE/4R3H3 pada pasien TB paru kategori I di RSUP Persahabatan periode Januari 2015 sampai Juni 2018. Data sekunder diambil dari rekam medik. Hasil pengobatan dinilai sesuai definisi dalam pedoman nasional penanggulangan TB di Indonesia dan WHO. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping terkait OAT yang tercatat dalam rekam medik.
Hasil: Terdapat 175 pasien pada masing-masing kelompok. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4RH terdapat 89.1% pasien berhasil, 13.1% sembuh,76.0% pengobatan lengkap, 10.6% putus berobat, 0.6% gagal, dan tidak ada yang meninggal. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 terdapat 91.4% pasien berhasil, 39.4% sembuh, 52.0% lengkap, 8% putus berobat, tidak ada yang gagal, dan 0.6% meninggal. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), putus berobat (p=0.659 ,OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), gagal (p=1.000), dan meninggal (p=1.000) di antara kedua kelompok. Namun, terdapat perbedaan bermakna untuk kesembuhan (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) dan pengobatan lengkap (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540). Sebagian besar pasien mengalami efek samping pengobatan (51.1%) terutama di tahap intensif (73.2%). Pada tahap lanjutan tidak ada perbedaan bermakna kejadian efek samping antara kedua kelompok (p= 0.324, OR=1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Kesimpulan: Kesembuhan kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 lebih baik daripada 2RHZE/4RH, sedangkan pengobatan lengkap sebaliknya. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan, putus berobat, kegagalan, meninggal, dan kejadian efek samping pada tahap lanjutan di antara kedua kelompok.

Introduction: Tuberculosis (TB) is the main cause of death for infectious disease in the world. Since 2008 - 2017, there was a decline of TB success rate (< 90%) in Indonesia. Treatment of TB in Indonesia are using antituberculosis drugs with part daily dose combination (2RHZE/4R3H3) or daily dose combination (2RHZE/4RH). WHO concluded that 2RHZE/4R3H3 combination had higher failure and recurrence rate. However, a meta-analysis study showed that both combinations had same failure and recurrence rate. Therefore, this study is conducted to compare treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination.
Method: This was an observational analytic study with cross sectional design which compared treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination in pulmonary tuberculosis patient at RSUP Persahabatan period January 2015 until June 2018. Secondary data was taken from medical record. Treatment outcomes were assessed using definition in Indonesia National Guideline of TB and WHO. Adverse effects were assessed from all adverse effects that written in medical record.
Result: There are 175 patients in each group. In 2RHZE/4RH combination group, there were 89.1% patients succeed, 13.1% cured, 76.0% completed treatment, 10.6% lost to follow up, 0.6% failed and no one died. In 2RHZE/4R3H3 combination group, there were 91.4% patients succeed, 39.4% cured, 52.0% completed treatment, 8% lost to follow up, no one failed, and 0.6% died. There was no significant difference for success (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), loss to follow up (p=0.659, OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), failure (p=1.000), and death rate (p=1.000) between two groups. However, there was a significant difference for cure (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) and complete treatment rate (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540) between two groups. Most patients had adverse effects (51,5%), especially in intensive phase (73,2%). In continuation phase, there was no significant difference of adverse effects event between two groups (p = 0.324, OR= 1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Conclusion: Cure rate was better in 2RHZE/4R3H3 group than 2RHZE/4RH group, for completed treatment on the contrary. There was no significant difference for success rate, loss to follow up rate, failure rate, death rate, and adverse effects event in continuation phase between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>