Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufik Salamun
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kata-kata kognat berdasarkan kriteria penentuan kata kerabat dan menentukan tingkat persentase kekerabatan bahasa Hitu, Wakal, Morela, Mamala, dan Hila. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui metode pupuan lapangan dengan teknik wawancara dan catat. Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasi dan selanjutnya dideskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan rumus perhitungan leksikostatistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan kata kerabat pada bahasa Hitu, Wakal, Morela, Mamala, dan Hila dapat ditinjau berdasarkan pasangan kata identik, korespondensi fonemis, kemiripan secara fonetis, satu fonem beda, dan pelesapan fonem. Berdasarkan perhitungan leksikostatistik, persentase kekerabatan bahasa Hitu-Hila menduduki tingkat kekerabatan tertinggi, yaitu 90% dan dikategorikan sebagai satu bahasa dialek. Sedangkan persentase kekerabatan terendah, yaitu bahasa Wakal-Morela dengan persentase kekerabatan sebesar 77% dan dikategorikan sebagai subkeluarga bahasa."
ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018
400 JIKKT 6:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Sontani Halim
"Interaksi yang terjadi antara individu yang paling kenal maupun yang tidak biasanya mengikuti pola tertentu. Pola perilaku antar individu ini ditentukan oleh peraturan sosial yang dimiliki masyarakat tersebut.
Bila seorang individu berinteraksi dengan individu lain, ia harus dapat menyesuaikan perilakunya (termasuk perilaku bahasanya) terhadap keadaan sekitarnya. Perilaku berbahasa ditentukan oleh tingkat keakraban antara dua individu, tempat (setting), jenis kelamin, status, dan lain sebagainya. Seorang individu harus memperhatikan hal-hal ini bila ia ingin berpartisipasi dalam suatu kehidupan sosial dan juga supaya ia dapat diterima oleh anggota masyarakat yang lain (Bailey, 1971).
Pousaaint (1967), orang dewasa dan bergelar doktor, merasa tersinggung ketika ia disapa dengan sapaan boy oleh seorang polisi lalu lintas pada salah satu jalan di Amerika. Hal ini terjadi karena polisi tersebut telah melanggar peraturan sapaan yang berlaku di masyarakat Amerika. Hal ini juga yang menyebabkan Dr. Poussaint merasa terhina. Penggunaan istilah sapaan yang salah dapat menyinggung perasaan kawan bicara dan juga menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini dapat disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya dari kedua interlokutor dalam berinteraksi.
Di Indonesia banyak bahasa dan kelompok masyarakat yang memberikan makna penting untuk etika sapaan. Menurut sensus penduduk 1980 distribusi bahasa yang dipakai sehari-hari di Indonesia adalah sebagai berikut:
Bahasa Minangkabau merupakan bahasa keenam terbanyak penuturnya di Indonesia. Pada tesis ini akan dibahas istilah sapaan dan istilah kekerabatan bahasa Minangkabau ini. Pemilihan jatuh pada bahasa ini karena diasumsikan bahasa Minangkabau akan menarik untuk diteliti mengingat masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat matrilineal, berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain di Indonesia yang kebanyakan paterilineal atau bilateral.
1.2. Masalah Penelitian
Tulisan ini memusatkan perhatian pada sebagian aspek kebudayaan masyarakat Minangkabau. Aspek kebudayaan yang akan dibahas di sini terbatas pada peraturan dan pemakaian bentuk istilah sapaan bahasa Minangkabau saja.
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu golongan etnik yang utama di Indonesia. Terdapat lebih kurang 3.698.767 atau sekitar 2.52 persen dari penduduk Indonesia tahun 1980 yang menggunakan bahasa Minangkabau sebagai bahasa yang dipergunakan sehari-hari.
Daerah Minangkabau kira-kira seluas propinsi Sumatera Barat dan terdiri dari daerah darek (darat), pasisie (pesisir) atau rantau (Yunus, 1979). Secara tradisional daerah darek terbagi dalam tiga luhak (kurang lebih sama dengan kabupaten), yaitu, Tanah Datar, Agam, dan Limo Pulueh Kato; kadang-kadang .ditambah dengan Solok?"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, M.H.
"Terdapat beberapa dasar pemikiran yang melatar belakangi mengapa orang Batak meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Pulau Jawa dan sebagian memilih lapangan kerja di bidang angkutan umum di kota Metropolitan Jakarta, cukup penting dan menarik dipelajari secara sistematik dan mendalam.
Dari beberapa sudut tinjauan, ternyata kedudukan dan peranan orang Batak dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan umum di kota Metropolitan Jakarta, baik sebagai pengusaha, pemilik, pengelola, sopir,kondektur, dan sebagainya, cukup menonjol dan dianggap penting. Apalagi mengingat bahwa sektor transportasi sangat vital dan strategic dalam menunjang Pembangunan Nasional.
Ditinjau dari kedudukan kota Metropolitan Jakarta sebagai ibukota Negara R.I., pusat perekonomian dan pemerintahan mempunyai daya tarik yang kuat bagi pendatang baru. Jumlah penduduk Jakarta setiap tahunnya bertambah rata-rata 300.000 jiwa, umumnya berasal dari daerah-daerah dengan perlbagai suku bangsa. Mereka pindah ke Jakarta meninggalkan kampung asal dan menjadi urban dikota Metropolitan Jakarta. Ditinjau dari latar belakang perpindahan penduduk dari daerah asal ke Jakarta ternyata ada perbedaan antara suku Batak dengan suku bangsa lain.
Perpindahan etnis Batak dari tanah leluhurnya ke berbagai daerah di Indonesia khususnya ke kota Jakarta didorong oleh dua faktor utama yaitu: (1) keinginan melanjutkan pendidikan dan emansipasi bagi angkatan pertama (1915-1950) dan kedua (1950-1965), (2) keinginan untuk memperbaiki kondisi ekonomi bagi angkatan ketiga (1965-1980) dan keempat (1980-1995). Masing-masing mempunyai sikap, perilaku, dan strategi adaptif yang berbeda-beda dalam kehidupan kota Jakarta.
Mereka melihat dan memanfaatkan peluang pekerjaan didasarkan pada sikap, perilaku, dan pengetahuan budaya yang dimilikinya. Angkatan pertama faktor pendorongnya adalah pengaruh misi agama Kristen dan emansipasi, angkatan kedua faktor pendorongnya adalah kebutuhan melanjutkan sekolah dan mencari lapangan pekerjaan, dan tahap ketiga dan keempat faktor pendorongnya adalah tekanan ekonomi dan memanfaatkan peluang atas keberhasilan pembangunan secara materiil di Jakarta.
Etnis Batak di Jakarta dari angkatan pertama dan kedua membentuk asosiasi Klan dengan tujuan untuk melestarikan tradisi Batak ("Agama Adat"), memelihara identitas, membentuk sarana interaksi ekonomi dan social, dan bertujuan sebagai sarana pendidikan. Tetapi dari angkatan ketiga dan keempat pembentukan Klan bertujuan sebagai sarana interaksi ekonomi khususnya memperoleh kesempatan kerja. Klan-klan dari angkatan pertama berciri religi (rohaniawan) dan pendidikan (keilmuan); klan-klan angkatan kedua berciri kewiraswastaan, birokrasi, dan pendidikan (keilmuwan); klan-klan angkatan ketiga dan keempat berciri untuk mencari nafkah atau perbaikan kondisi ekonomi, misalnya klan sopir, kenek, pedagang kecil, dll.
Bagi angkatan ketiga dan keempat ada kecocokan antara watak, sikap, kemauan, dan perilaku keras suku Batak dari hasil penempaan lingkungann asal mereka (Tanah Batak) dengan kondisi obyektif kota Jakarta khususnya dalam peluang kerja bidang angkutan umum. Di samping itu bidang pekerjaan angkutan umum merupakan bidang kerja yang cepat mengahasilkan uang atau alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi angkatan pertama dan kedua lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan kondisi Jakarta khususnya dan daerah-daerah lainnya, karena mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih luas.
Klan suku Batak di Jakarta secara evolusi berubah dan berkembang menjadi "Simbol" saja, karena pengaruh gerak masyarakat Jakarta yang semakin individualistis dan ekonomistik. Hubungan kesukuan yang awal mulanya merupakan hubungan adat yang penuh religius dan hubungan kekerabatan, berubah menjadi hubungan yang bersifat ekonomis, terutama pada angkatan ketiga dan keempat.
Ada warisan budaya yang tidak dapat hilang dalam proses evolusi budaya Batak di Jakarta, yaitu "Dalihan Natolu", merupakan tiga pilar utama adat Batak sebagai kesatuan religi, kesatuan sosial, dan kesatuan kekerabatan. Dalihan Natolu sebagai "Ideologi" suku Batak tidak akan bisa dihancurkan oleh mekanisme masyarakat modern Jakarta, karena Dalihan Natolu merupakan inti atau hakekat dari interaksi orang Batak dengan lingkungan hidupnya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Tetapi dari sudut perilaku upacara-upacara adat, sebagian dari Dalihan Notolu ada yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan masyarakat Jakarta, misalnya upacara-upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Dilihat dari sisi ekonomi, peranan Dalihan Natolu sangat besar bagi suku Batak di Jakarta, yaitu dalam hal penciptaan lapangan kerja dan pembinaan tenaga kerja, misalnya seperti yang dilakukan oleh M. Hutagalung pemilik perusahaan bus kota "Arian". Etnis Batak pendatang Baru yang belum memiliki pekerjaan ditampung, dibina, dan diberi pekerjaan sebagai sopir, kenek, montir, dan pekerjaan-pekerjaan lain sesuai dengan kemampuannya.
Dari segi angkutan penumpanng umum yang menjadi pilihan pekerjaan sebagian suku Batak di Jakarta dari angkatan ketiga dan keempat, sampai saat ini belum sempurna. Hal itu bukan disebabkan oleh kelemahan suku Batak yang bekerja dalam bidang tersebut, tetapi disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: (a) lemahnya disiplin masyarakat baik sebagai pemakai jasa angkutan umum, petugas lalu lintas, pengusaha, maupun para pekerja (sopir, kernet, dll.), (b) jumlah kendaraan penumpang umum yang tidak seimbang (lebih kecil) di-banding kebutuhan pemakai jasa, (c) kebijakan pemerintah dalam hal pemilikan kendaraan pribadi belum dibatasi, sehingga kendaraan pribadi lebih banyak daripada kendaraan penumpang umum, (d) sikap dan perilaku para petugas yang terkait dengan kepentingan angkutan umum yang kurang mendukung kepentingan umum.
Kekerabatan etnis Batak di Jakarta dari angkatan pertama dan kedua sangat akrab dan merasa berkepentingan pada pembangunan tanah leluhur di Tapanuli Berta masih setia mempertahankan adat, karena mereka pada umumnya memiliki status sosial-ekonomi yang mapan. Tetapi sebaliknya kekerabatan etnis Batak di Jakarta dari angkatan ketiga dan keempat kurang berkepentingan terhadap tanah leluhur dan sebagian tata cara adat telah disederhanakan khususnya dalam praktek upacara-upacara adat perkawinan dan kematian, karena mereka masih bergulat untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.
Kehidupan di Jakarta mempunyai pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku etnis Batak Jakarta. Hubungan kekerabatan dalam konsep "Dalihan Natolu" secara utuh sudah tidak dapat dipertahankan karena perubahan sikap , perilaku, dan pengetahuan mereka. Kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi, politik, dan budaya kota Jakarta sangat mempengaruhi bahkan menentukan pola pikir, sikap dan perlaku etnis Batak Jakarta khususnya dan etnis-etnis lainnya yang hidup di Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Puspita
"

Penelitian etimologi ini dilatarbelakangi oleh tidak adanya kamus etimologi bahasa Indonesia dengan entri kosakata asal bahasa ini, yaitu bahasa Melayu Nusantara. Kamus etimologi bahasa Indonesia yang ada hingga saat ini lemanya merupakan kosakata serapan asing dan hanya berupa daftar asal usul kata. Sesungguhnya, etimologi juga berurusan dengan perubahan bentuk dan makna. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan informasi mengenai perubahan makna yang terjadi dalam kosakata Melayu ranah kekerabatan, memperkirakan waktu terjadinya perubahan makna kosakata tersebut, memberi penjelasan tentang faktor sosial, budaya, dan kognisi yang melatarbelakangi perubahan makna kosakata tersebut, dan merumuskan pola atau keteraturan dalam perubahan makna kosakata Melayu. Ranah kekerabatan dipilih karena kosakata Melayu Nusantara dalam ranah ini masih lebih banyak daripada kosakata serapan. Kosakata dari ranah ini diseleksi berdasarkan metode populasi dan sampel. Lima kosakata yang terpilih adalah bini, laki, ibu, bapak, dan nenek. Kelima kata itu dianalisis berdasarkan fungsinya sebagai nama acuan atau terms of reference dan sebagai sapaan atau terms of address. Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis. Metode pertama adalah analisis kamus untuk membandingkan makna yang tertera pada setiap kamus yang terbit mulai dari tahun 1800-an hingga tahun 2017. Metode kedua adalah analisis konkordansi dan kolokasi dari empat korpus yang disusun secara diakronis. Analisis korpus dilakukan untuk mengetahui penggunaan kata dalam konteks dan untuk melihat kapan kata itu mulai berubah. Analisis terakhir adalah analisis kognitif untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perubahan makna. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis perubahan makna yang terjadi pada kosakata Melayu Nusantara ranah kekerabatan adalah peyorasi, metafora, perluasan makna, dan penyempitan makna. Sebagian besar perubahan makna itu terjadi pada abad ke-19 dan abad ke-20, yaitu pada masa bahasa Melayu Baru. Faktor penyebab perubahan makna dari kosakata kekerabatan adalah faktor kedudukan bahasa Melayu terhadap bahasa asing, faktor sejarah, dan faktor situasional. Berdasarkan proses perubahan makna yang terjadi pada kelima sampel, diperoleh tiga pola. Pola ini berbeda dengan pola perubahan makna yang sudah ada sebelumnya. Ketiga pola itu diberi nama pola pengambilalihan asing, pola perluasan acuan dan sapaan, dan pola penjantinaan. Dalam data, pola pengambilalihan asing terjadi pada kata bini dan laki; pola perluasan acuan dan sapaan terjadi pada kata ibu, bapak, dan nenek; dan pola penjantinaan terjadi pada kata nenek.

 


This etymological research is motivated by the absence of an Indonesian etymology dictionary with entries of the native words of this language, namely Malay. The Indonesian etymology dictionary entries that exist to date are all loanwords and only in the form of a list of word origins. Etymology deals not only with the origin of words, but also with changes in form and meaning. This study aims to present information on changes in meaning that occur in Malay kinship words, to estimate the time of change in meaning, to explaine the social, cultural, and cognitive factors underlying the changing meaning of those words, and to formulate patterns or regularities in change the meaning of the Malay words. Kinship vocabulary was chosen because there are more Malay words in this domain than loan-words. Based on population and sample selection methods, five kinship vocabulary are selected. They are bini, laki, ibu, bapak, and nenek. The five words are analyzed based on their function as terms of reference and terms of address. Three analytical methods are used. The first is a dictionary analysis to compare the meanings of each dictionary published from the 1800s to 2017. The second method is the concordance and collocation analysis of four corpora arranged diachronically. A corpus analysis is carried out to determine the use of words in context and to see when they begin to change. The final analysis is cognitive analysis to find out what lies behind the change in meaning. The results of the analysis show that the types of changes in meaning that occur in the Malay vocabulary of kinship are pejoration, metaphor, expansion of meaning, and narrowing of meaning. Most of the changes in meaning occurred in the 19th and 20th centuries, namely in the era of New Malay language. Factors causing changes in the meaning are Malay language position towards foreign languages, historical factors, and situational factors. Three patterns of the meaning change process experienced by the five samples were obtained. This pattern is different from the pattern of changes in meaning that already existed. The three patterns are named foreign-takeover patterns, patterns of reference and address expansion, and patterns of genderization. In the data, foreign-takeover patterns are experienced by the words bini and laki; patterns of reference and address expansion experienced by the word ibu, bapak, and nenek; and the pattern of genderization experienced by the word nenek.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Nurhayati Anwar
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sipin Putra
"ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai Orang Rimba Rombong Tumenggung Nggrip di Taman Nasional Bukit Duabelas. Politik kepemimpinan seorang tumenggung Nggrip dapat dianalisa dari silsilah kekerabatan di komunitasnya. Aturan adat “Jenton Turun Jenton” menjadi sebuah pembenaran bahwa pimpinan politik di Komunitas Orang Rimba berdasarkan garis keturunan seorang pemimpin sebelumnya. Secara politis Tumenggung Nggrip diuntungkan karena mempunyai seorang ayah yang merupakan mantan tumenggung. Seorang tumenggung diharuskan mempunyai beberapa keahlian menonjol dibandingkan lainnya. Kemampuan memimpin dan pemahaman tentang hukum adat yang telah diwariskan oleh orang tua Tumenggung Nggrip menjadi keunggulan dibandingkan dengan individu lainnya. Jabatan kepenghuluan di bawahnya kemudian dipegang oleh kerabat dekat dari tumenggung. Silsilah kekerabatan dalam politik kepemimpinan ini mampu mengukuhkan posisi tumenggung sebagai seorang yang terhormat dan mempunyai power dalam akses sumber daya ekonomi, sosial dan hubungan dengan pihak luar. Politik tingkat komunitas ini dapat dianalisa sebagai bentuk kehidupan demokrasi namun pada prakteknya cenderung dipengaruhi oleh sikap seorang pemimpinnya dalam menegakkan hukum adat. Organisasi sosial dan politik Orang Rimba dibangun atas dasar konsep keluarga, hubungan perkawinan dan kekerabatan.

ABSTRACT
This paper is the result of research about Tumenggung Nggrip on Community Orang Rimba in Bukit Duabelas National Park. Political leadership can be analyzed from the Tumenggung Nggrip kinship system in this community. Custom rules "Jenton Turun Jenton" justify the political leadership in community based lineage previous leader. Politically Tumenggung Nggrip is the benefit of having a father who was a former Tumenggung. Tumenggung required to have some expertise prominent than the other. Ability to lead and understanding of custom that has been passed on by parents. Tumenggung Nggrip be superior compared with other individuals. Leadership understanding then held by close relatives of the Tumenggung. Kinship system in the political leadership in politics is able to confirm the position of Tumenggung as a respected and has the power of access to economic resources, social and relationship with outsiders. Political level as community can be analyzed as a form of democracy, but in practice it tends to be influenced by the attitude of a leader in custom enforce. Social system and political organization Orang Rimba is built on the concept of family, marriage and kinship system."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djaka Soehendera
"Karya tulis ini menguraikan pengaruh program pembangunan terhadap aspek kehidupan penduduk desa Tabbeyan, khususnya akses mereka terhadap sumber daya, terutama sagu. Sebagai responnya, media 'sistem' kekerabatan yang ada kemudian diaktifkan oleh banyak penduduk dalam rangka mempermudah perolehan sumber daya (ekonomi). Perolehan sumber daya itu dianggap bertambah sulit (atau bertambah dibutuhkan), antara lain, karena adanya proses pembangunan yang dilaksanakan di desa Tabbeyan.
Tesis ini seolah-olah berfokus pada kaitan antara tiga aspek yang nampaknya otomatis berhubungan sebab-akibat; yaitu aspek program pembangunan, aspek 'sistem' kekerabatan dan aspek perolehan sumber daya (ekonomi, terutama sagu). Padahal bila diamati dengan seksama, uraian tesis ini berusaha menghindari anggapan terjadinya hubungan sebab akibat secara otomatis di antara ketiga aspek tersebut.
Fokus perhatian untuk analisa dan uraian tesis ini berlingkup pada aspek kekerabatan. Gejala proses kekerabatan itu sendiri pada sisi tertentu berkaitan dengan beberapa hal yang patut diberi perhatian, antara lain, apakah 'sistem' penggunaan nama fam (suku bosena) di belakang nama seseorang memang baru digunakan atau sudah dari sejak dulu. Hal lain misalnya, terjadi pula berbagai 'aturan' kekerabatan yang bila dilihat dari sudut disiplin hukum adat harusnya ditaati dan dilaksanakan, namun seringkali dilanggar.
Namun demikian, metode kajian terhadap 'sistem' kekerabatan ini bukan semata-mata dilaksanakan demi 'sistem' itu sendiri, tetapi akan disusuri kaitannya-langsung maupun tidak-dengan proses sosial lainnya. Jadi, kajian pada aspek kekerabatan itu dikaitkan dengan kegiatan ekonomi, upaya pelaksanaan pengamanan di desa, maupun dengan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemilik lang bina (hak milik atas tanah) serta hubungan-hubungan lainnya. Contohnya, ketika penduduk Tabbeyan mulai merasakan kelangkaan sagu (akhir 1988), maka sebagian dari mereka kemudian sengaja 'mengaktifkan' ikatan kekerabatan yang sudah ada, dan sebagian lagi mulai mengikutinya. Dengan memiliki hubungan kerabat pada pemilik lang bina (hak milik atas tanah), maka orang yang bersangkutan merasa ikut berwewenang untuk memperoleh sagu dari para kerabatnya. Dan, pada beberapa kesempatan upaya 'pengaktifan' ikatan kekerabatan ini juga dilakukan berkenaan dengan perolehan sumber daya (ekonomi) lain, seperti pinang, sirih, bahkan juga rokok, supermie dan sardines.
Namun demikian, pengaktifan ikatan kekerabatan yang ada pun, pada kenyataannya, tidak selalu menjadi media yang ampuh dalam mendapatkan berbagai sumber daya tersebut. Kadangkala, ikatan kekerabatan nampak tidak diperdulikan oleh beberapa orang pemilik lang bina (hak milik atas tanah).
Pengertian sistem dalam konteks 'sistem kekerabatan' pada tesis ini, lebih dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, kadangkala (mungkin) 'bulat' namun seringkali bisa pula 'lonjong' maupun tidak selalu membentuk keteraturan. Karena pada kenyataannya, paling tidak seperti yang terurai pada karya tulis ini, terdapat berbagai variasi pada 'sistem' kekerabatan yang ada.
Analisa yang diterapkan pada karya tulis ini adalah lebih berlandaskan pada hasil-hasil kerja lapangan (field work) yang kemudian dapat disebut sebagai analisa terhadap data primer, dan tidak terlalu bertumpu pada analisa terhadap data tersier (yakni berupa teori general tertentu). Namun demikian, pada bagian-bagian tertentu, kajian ini dilengkapi pula dengan analisa terhadap data sekunder, misalnya mengenai asumsi-asumsi tertentu yang dimunculkan dari suatu kajian etnografis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Mina Elfira
"Sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau bersifat matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang didasarkan pada garis ibu. Salah satu cermin dari sistem kekerabatan matrilineal itu adalah kuatnya pengaruh mamak. Kuatnya pengaruh mamak itu memberikan identitas pada kebudayaan Minangkabau. Apa mamak itu? Bagaimana mamak berperang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Tulisan ini akan memberikan selintas gambaran mengenai makna, peranan dan kedudukan mamak."
2000
TMBU-2-3-2000-13
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>