Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4918 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Balok Safarudin
"ABSTRAK
Wayang topeng Malangan mempunyai banyak lakon yang mengandung kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal tersebut terdapat dalam lakon Adege Kadiri yang dipertunjukkan dalam acara Gebyak Topeng Senin Legian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kearifan lokal dalam lakon Adege Kadiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kearifan lokal yang ada di dalam lakon Adege Kadiri. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Teori kearifan lokal digunakan untuk membedah kearifan lokal yang ada di dalam lakon Adege Kadiri. Simpulan penelitian ini mengungkapkan bahwa lakon Adege Kadiri mengandung kearifan lokal yang dapat dijadikan tuntunan atau ajaran."
Jayapura: Kibas Cenderawasih, 2018
400 JIKK 15:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Aspek gending dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa cukup menarik untuk diteliti, karena di dalamnya dikandunq unsur instrumen dan vokal, yang merupakan perpaduan antara irama, alunan qamelan dengan sindhenan. gerongan, narasi dan komoangan.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah: 1. baqaimanakah bentuk, penyajian, kedudukan dan funqsi gendhing dalam lakon/pertunjukan wayanq purwa.
Tujuan penelitian ini iaiah mengungkapkan makna gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa secara wholleness(utuh). tinjauan ini memfokuskan pada penelitian qendhinq iringan wayanq kulit purwa klasik dan mengesampingkan Gendhing iringan Penqembangan.
Sedangkan bahan sebagai data penelitian bersumber pada teks-teks karya sastra tertulis dan lisan. Teks-teks karya sastra tertulis yang dimaksud adalah bentuk lakon wayang berupa pakem tuntunan pedalangan semalam suntuk (utuh), lenqkap beserta unsur-unsur yanq mendukung. Sedangkan sumber taks lisan terdiri atas pengamatan peneliti dalam menyaksikan pergelaran langsung dan juqa mendengarkan pita kaset rekaman baik rekaman yang sifatnya live maupun rekaman studlo.
Metode penelitian yanq diterapkan ialah metode analisis deskriptif, yaitu suatu metode yang berusaha untuk menquraikan obyek (teks karya sastra - lisan tertulis) seje1as-jelasnya dan sedalam-dalamnya, sehingga didapatkan makna yang utuh. Kesimpulan yanq dapat dipetik dari penelitian ini yaitu, bahwa:
1. Gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa terdiri atas pelbagai bentuk komposisi, seperti: lancaran, ladrangan, ketawangan dan gendhing. Komposisi ini kemudian diramu sehingga menjadi padu dengan unsur-unsur yang lain, seperti: suluk, sindhenan, gerongan, dan komoangan.
2. Dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa, gendhing disajikan berdasarkan aturan (konveksi) yang telah disepakati bersama di antara seniman, sehingga adegan-adegan di dalam pertunjukan wayang kulit purwa mempergunakan gendhing-gendhing iringan yang telah ditentukan bersama.
3. Gendhing merupakan salah satu unsur di dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa yang sangat vital. Oleh karena itu unsur gendhing sangat diperlukan keberadaannya.
4. Fungsi gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa disamping sebagai musik iringan juga turut serta dalam memberikan suasana, nuansa pergelaran wayang, sehingga gendhing juga ikut menjalin keterkaitan dengan unsur-unsur yang lain.
Menqinqat kesimpulan yang telah dipaparkan diatas, maka aspek gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang purwa mempunyai pengaruh yang besar dan keberadaannya sangat diperlukan, karena dapat dibayangkan: sebuah pertunjukan wayang kulit purwa tanpa mempergunakan gendhing sebagai iringan, tentu di sana akan terasa hambar, "njomplang", dan tidak harmonis.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Rochkyatmo
"ABSTRAK
Wayang Klithik atau masyarakat Jawa Timur menyebutnya Wayang Krucil adalah salah satu jenis wayang yang dapat dikatakan tinggal sisa. Hidupnya telah diambang senja dan dalam kondisi merana.
Pengertian sisa atau hidup merana bukan bermakna tinggal satu-satunya atau tersia-sia, akan tetapi diakibatkan oleh berbagai sebab, kemajuan teknologi elektronik di bidang seni rekreasi banyak memberikan banyak pilihan dan ada yang menganggapnya lebih atraktif dan ongkosnya murah. Selain itu jenis wayang yang lain pun, seperti wayang purwa dirasakan lebih populer terhadap minat masyarakat peminat. Dampaknya kehidupan wayang klithik makin terdesak ke pinggir. Peminat jarang, panggilan tanggapan kian berkurang. Kelanjutannya seniman pendukung dan dalang hidup mengawang.
Penelitian ini bermaksud menguak perhatian peminat seni tradisional untuk menggugah minat, membangkitkan semangat dan memacu hasrat untuk meminati kembali kesenian ini. Beberapa grup wayang klithik masih ada meski jumlahnya tidak sampai puluhan, dalang dan panjaknya masih tersedia, wayang dan peralatannya juga masih ada, namun permintaan atau panggilan pentas makin menyusut. Untuk itu perlu ada penelusuran lebih lanjut sebab musabab makin surutnya perhatian.
Metode yang dipergunakan adalah metode pengumpulan data, khususnya data pustaka, dilengkapi dengan data yang dikumpulkan dari lapangan saat berlangsungnya pergelaran.
Hasil penelitian merupakan paparan atas kondisi kesenian bersangkutan yang dapat memberikan masukan guna ;
1. Mengenal kembali jenis kesenian tersebut.
2. Penanganan pembinaan dari instansi terkait secara berkelanjutan
Dengan masukan tersebut mudah-mudahan dapat diatur upaya pembinaan demi kelestarian kehidupan wayang klithik.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kuwati
"Karya akhir ini membahas pengelolaan seni pertunjukan yang
mementaskan Topeng Tolay di Rawa Bunga. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Pengelolaan seni pertunjukan yang sesuai dengan jenis seni pertunjukan dan masyarakatnya akan membantu perkembangan seni pertunjukan serta senimannya. Manajemen akan membantu organisasi seni pertunjukan untuk dapat mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan seni pertunjukan yang kami lakukan dengan menyajikan pertunjukan Topeng Tolay di Rawa Bunga merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan seni pertunjukan tradisi, memberikan hiburan serta apresiasi seni tradisi bagi masyarakat. Topeng Tolay merupakan salah satu jenis seni pertunjukan teater tradisi yang berkembang di Desa Sukabakti, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang. Di Kabupaten Tangerang terdapat 17 (tujuh belas) grup Topeng yang sejenis, tetapi yang masih diminati masyarakatnya hanya ada 3 (tiga) grup yaitu: Topeng Tolay (Grup Cipta Wargi) di Desa Sukabakti, Odah (Grup Sinar Muda) di Gintung, dan Saban (Grup Pusaka Sinar Baru) di Rajek. Pertunjukan Topeng Tolay terdiri dari: musik Dangdut, Kliningan, Jaipong, Tari Gawil, Lawak dan Drama.

The focus of this study is the management of performing art staging
Topeng Tolay, Tangerang at Rawa Bunga. This research is qualitative descriptive interpretive. The appropriate management of performing arts would support the development of the arts and artists. It will help organising performing arts to reach the goal effectively andefficiently. Staging and performing Topeng Tolay at Rawa Bunga was one of the efforts to develop traditional performing arts, entertaining people, and giving the traditional communities appreciation. Topeng tolay is one of the traditional theatrical performance from Sukabakti, Kecamatan Curug, Tangerang. There are 17 (seventeen) similar groups but only 3 (three) groups which are still preferred by the people : Topeng Tolay (Grup Cipta Wargi) at Sukabakti, Odah (Grup Sinar Muda) at Gintung, and Saban (Grup Pusaka Sinar Baru) at Rajek. Topeng Tolay performance consists of : Dangdut Music, Kliningan, Jaipong Dance, Gawil Dance, Comedy, and Drama."
2009
T26171
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Arps, Bernard
"The puppets are flat, the screens againts which they are placed and moved iswhite and devoid scenery. In what kinds of space do the stories of the clasical shadow-play of Java, Bali, Lombok, and the Malay World unfold despite this double flatness? How do performers use not only puppets and screen but also music and language to bring space into being?What must spectators know and do to make sense of these storytelling techniques? As a contribution to the narratological study of these storytelling techniques? As a contribution to the narratological study of the multimodal making of storyworlds, I demonstrate that wayang kulit caters for different understandings of the space that wayang potrays. An expert way of apprehendig space requires seeing beyond the screen, puppets, and silhouettes, or even looking away from them. At the same time the peculiar ways of narrating space in wayang point to a deeply felt spatiality in real-life contexts as well."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
909 UI-WACANA 17:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Debbi Candra Dianto
"Wayang Topeng Malangan merupakan sebuah seni pertunjukan khas Malang. Seni sendratari yang berlatar cerita Panji ini sempat menjamur di kalangan masyarakat Malang sebelum tahun 1960-an. Hingga saat ini, seni ini terus menurun dari segi kuantitas dan hanya menyisakan setidaknya kurang dari lima padepokan yang bertujuan mereservasi budaya ini, salah satunya Padepokan Asmorobangun. Dengan latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui bagaimana cara pewarisan dan pengelolaan Wayang Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun sehingga dapat bertahan dan tetap aktif di era modern ini. Pertama, penulis menemukan bahwa untuk pewarisan seni ini, Padepokan Asmorobangun yang dipimpin oleh generasi kelima maestro Wayang Topeng Malangan, Pak Handoyo, mengaitkan memori kolektif ke dalam usaha pewarisan yang bisa dikategorikan menjadi tiga: pewarisan melalui cerita, pewarisan melalui keterampilan, dan pewarisan melalui spiritual. Berbagai aktivitas yang melibatkan padepokan dan pihak eksternal dilakukan dengan tetap membawa konteks memori kolektif yang ada. Sehingga, Cerita Panji, pertunjukan seni, dan laku spiritual masih bisa ditemukan dalam aktivitas padepokan. Kedua, pengelolaan yang dilakukan Pak Handoyo di Padepokan Asmorobangun pada masa generasi kelima adalah dengan melihat seni menjadi dua aspek, yaitu pengelolaan wayang topeng malangan sebagai industri budaya dan pengelolaan wayang topeng malangan sebagai aset budaya. Dengan demikian, ada cara- cara yang sakral dan cara-cara yang bersifat inovatif dilakukan guna mempertahankan eksistensi Wayang Topeng Malangan dan bisa bergerak menjangkau kalangan masyarakat luas.

Wayang Topeng Malangan is a typical performing art of Malang. This art set in the story of Panji had spreaded away among the people of Malang before the 1960s. Until now, this art continues to decline in terms of quantity and only leaves at least less than five hermitages that aim to preserve this culture, one of which is the Padepokan Asmorobangun. With this background, the author wants to know how to preserve and manage Wayang Topeng Malangan at Padepokan Asmorobangun so that it can survive and remain active in this modern era. First, the writer finds that for the inheritance of this art, Padepokan Asmorobangun which is led by the fifth generation of Wayang Topeng Malangan maestro, Pak Handoyo, links collective memory to the inheritance effort which can be categorized into three: inheritance through stories, inheritance through skills, and inheritance through spiritual. Various activities involving hermitages and external parties are carried out while still carrying the existing cultural memory context. Thus, Panji Stories, art performances, and spiritual practices can still be found in hermitage activities. Second, the management carried out by Pak Handoyo at Padepokan Asmorobangun during the fifth generation was by looking at art into two aspects, namely the management of Wayang Topeng Malangan as a cultural industry and the management of Wayang Topeng Malangan as a cultural asset. Thus, there are sacred and innovative ways to maintain the existence of Wayang Topeng Malangan and to reach out to the wider community. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nengah Duija
"ABSTRAK
Kabupaten Banyuwangi adalah kabupaten yang kaya akan seni tradisi, seperti, gandrung, ludruk, ketoprak, kebo-keboan dan lain sebagainya, namun tidak semua tradisi kesenian itu dapat dengan mudah diketahui apabila kurang informasi dan publikasi. Di dusun Kranjan, kelurahan Benculuk, kecamatan Cluring Banyu­wangi ini ada salah satu tradisi kesenian yang belum banyak di ketahui orang. Kesenian yang tergolong unik tersebut bernama "janger". Untuk itulah pada kesempatan ini akan dicoba meng­informasikan lewat sebuah penelitian awal·yang diberi judul : "janger" Bentuk Teater Rakyat di Banyuwangi. Lewat penelitian ini akan dibahas; bentuk kesenian "janger", asal-usul tarian "janger", unsur-unsur yang mendukung pementasan "janger" dan aspek sosial yang terkandung dalam "janger".
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang bersifat studi lapangan yang telah berlangsung dari tanggal 9-11 Juni 1995. Mengingat keterbatasan waktu penelitian itu, maka kami menyajikan deskripsi selayang pandang sesuai dengan data-data yang diperoleh di lapangan. Penelitian terhadap "janger" ini berlangsung seat pementasan di Dusun Kranjan, Kelurahan Ben­culuk, kecamatan Cluring Dati II Banyuwangi tepatnya di rumah bapak H. Tasrifin, tanggal 10 Juni, malam minggu pada sebuah acara pernikahan putra H.Tasrifin. Pementasan berlangsung se­malam suntuk dari kelompok Janger Tumenggung Budoyo pimpinan bapak Isnaini Sanjaya yang berjudul "Sabdo Palen Dadi Ratu".
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi (pengamatan langsung),wawancara kepada pimpinan "janger" dan metode deskripsi. Untuk mengungkap unsur-unsur teater menggunakan teori-teater modern yang disesuaikan dengan data yang ada.
Dari penelitian yang dilakukan dapat sebuah gambaran tentang "janger"; bentuk kesenian ini adalah berbentuk teater rakyat tradisional sesuai dengan ciri-ciri yang umum pada sebuah bentuk teater rakyat, asal-usul teater ini belum jelas, kapan muncul di Banyuwangi dan mengapa disebut "janger". Hanya saja dalam bahasa Jawa ada kata "jenger" yang artinya terheran-heran, takjub, akan tetapi belum jelas konsteksnya. Unsur yang mendukung kesenian ini seperti; seni sastra (lakon), seni rupa (panggung dan dekorasinya), seni musik (gamelan (gong kebyar)), seni gerak (tari Bali-Jawa), seni suara (tembang, dialog), dan aspek sosialnya meliputi tingkat status sosial para pemain dan tingkat pendidikan yang rata-rata SLTP/SLTA, dengan pekerjaan jadi buruh, ibu rumah tangga, tukang becak. Seni ini merupakan perpaduan antara dua unsur budaya yang sama-sama kuat yaitu Jawa-Bali.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Munawar Holil
"ABSTRAK
Kepulauan Seribu adalah sa1ah satu kecamatan yang termasuk wilayah Jakarta Utara. Kecamatan yang terdiri dari gugusan 106 pulau ini 1etaknya berdekatan dengan Jakarta dan beberapa kota lain yang merupakan pendukung budaya Betawi. Hai ini memunculkan masa1ah yang menarik untuk diteliti. Salah satunya mengenai "Keberadaan Seni Pertunjukan Rakyat"-nya.
Seni pertunjukan rakyat yang dite1iti ada1ah 1enong. Kapan mu1ai muncu1nya; bagaimana perkembangan dan posisinya da1am konteks pertumbuhan dan perkembangan seni pertunjukan rakyat di sana; ada1ah masa1ah-masa1ah yang menjadi pokok perhatian pene1itian ini.
Pene1itian ini masih bersifat awa1. 01eh karena itu, tujuan pene1it1an pun dibatasi untuk menyajikan gambaran seiayang pandang mengenai pertumbuhan, perkembangan, dan posisi lenong yang hidup dan berkembang di Kepulauan Seribu sampai dengan waktu pene11tian lapangan d11aksanakan, April 1994.
Metode yang digunakan dalam pene1itian ini ada1ah metode deskriptif. Teknik pengambilan data di1akukan dengan teknik wawancara dan observasi 1apangan.
Dari pene1itian yang di1akukan, d1pero1eh gambaran bahwa seni teater rakyat di Kepu1auan Seribu mulai berkembang sejak 1940-an. Genre-nya berubah dari tunil, sandiwara, kemudian menjadi 1enong. Lenong mencapai "masa keemasannya" sekitar 1970-1975-an. Pada masa itu frekuensi perge1aran Ienong kerap sekali. Tetapi sejak 1980-an, Tenong semakin jarang ditampi1kan. Posisi 1enong semakin "terpuruk" dengan kehadiran grup-grup orkes dangdut dan pemutaran fi1m (1ayar tancap). Bila keadaan seperti sekarang ini dibiarkan terus, tidak mustahil pada masa-masa mendatang kita tidak akan dapat menyaksikan lagi kehadiran seni lenong di Kepu1auan Seribu."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Endo Suanda
Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2004
793.31 END t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>