Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29280 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tirza Z. Tamin
"Background: obesity and osteoarthritis have strong inter-relationship with multi-factorial mechanism that caused pain and leads to decreased quality of life. Exercise has been identified as prevention and management against obesity and joint pain. This systematic review aims to assess the effect between exercises compared to diet group for chronic pain management, physical and mental function in obese patients with chronic musculoskeletal problem.
Methods: we performed a systematic search of Randomized Control Trial studies from Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL); MEDLINE; EBSCO; SCIENCEDIRECT (Elsevier); SCOPUS, grey literature, trial registry,ongoing study for published studies, and from the ClinicalTrial.gov, thesis of rehabilitation medicine in RSCM, and proceeding books for unpublished studies that was last updated on November 2016. Risk of bias was assessed using Cochrane risk-of-bias tool and data were analyzed using Review Manager 2014.
Results: one study showed no difference in pain reduction (assessed using VAS) between two groups. Two studies showed improvement in physical function measured using 6MWT in exercise group at 6 and 18 months with mean difference 28.12 [11.20, 45.04] and 26.21 [9.01, 43.41]. There was no significant effects observed for Mental and Physical Function based on SF-36 after 6 months (1 study) and 18 months (2 studies) observation, with mean difference 1.10 [-0.79, 2.99] and 0.08 [-1.53, 1.70] respectively for Mental Function score and -0.30 [-2.54, 1.94] and -0.36 [-2.30, 1.57] respectively for Physical Function score. Conclusion: exercise can improve physical function objectively, but could not reduce pain in obese patients with chronic musculoskeletal problem subjectively.

Latar belakang: obesitas dan Osteoartritis memiliki hubungan yang kuat dengan mekanisme multifaktorial yang menyebabkan rasa sakit dan mengarah pada penurunan kualitas hidup. Latihan telah diidentifikasi sebagai pencegahan dan manajemen terhadap obesitas dan nyeri sendi. Tinjauan systematic review ini diusulkan untuk menilai efek antara latihan dibandingkan dengan kelompok diet untuk manajemen nyeri kronis, fungsi fisik dan mental pada pasien obesitas dengan masalah muskuloskeletal kronis. Metode: kami melakukan penelusuran sistematis dari Randomized Control Trial di Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL); MEDLINE; EBSCO; SCIENCEDIRECT (Elsevier); SCOPUS, laporan penelitian terdahulu, trial registry, studi yang sedang berlangsung untuk studi yang diterbitkan, dan dari ClinicalTrial.gov, tesis kedokteran rehabilitasi medik di RSCM, dan buku prosiding untuk studi yang tidak dipublikasikan yang terakhir kali diperbaharui pada bulan November 2016. Risiko bias dinilai dengan menggunakan tool risiko bias Cochrane dan data dianalisis menggunakan Review Manager 2014. Hasil: satu penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dalam perbaikan kualitas nyeri yang dinilai menggunakan VAS antara dua kelompok. Dua penelitian menunjukkan peningkatan fungsi fisik diukur menggunakan 6MWT dalam kelompok latihan pada 6 dan 18 bulan dengan perbedaan rata-rata 28,12 [11,20,45,04] dan 26,21 [9,01,43,41]. Tidak ada efek yang signifikan yang diamati untuk fungsi mental dan fisik berdasarkan SF-36 setelah 6 bulan (1 studi) dan 18 bulan (2 penelitian) pengamatan dengan perbedaan rata-rata 1,10 [-0,79, 2,99] dan 0,08 [-1,53, 1,70] nilai untuk tiap skor fungsi mental dan -0,30 [-2,54, 1,94] dan -0,36 [-2.30, 1,57] untuk skor fungsi fisik. Kesimpulan: efek latihan dapat meningkatkan fungsi fisik secara objektif, tetapi tidak dapat mengurangi rasa sakit pada pasien obesitas dengan masalah muskuloskeletal kronis secara subyektif."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Deviena Nabila
"Berdasarkan hasil RISKESDAS 2018, prevalensi obesitas masyarakat Indonesia diatas 18 tahun meningkat dari 14,8% pada 2013 menjadi 21,8% pada 2018. Salah satu model intervensi obesitas adalah dengan konsep kesiapan perubahan perilaku Transtheoretical Model. Dalam konsep ini, proses perubahan perilaku yang penting antara lain adalah emotional reevaluation (kesiapan emosi untuk berubah), weight consequence evaluation (tahu akibar kegemukan). Dengan mengetahui seberapa skor masing-masing proses khususnya pada remaja obesitas, diharapkan dapat membantu perencana program untuk merancang intervensi obesitas yang sesuai tahap kesiapan perubahan perilaku. Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang dengan menggunakan data sekunder untuk menilai skor emotional reevaluation (EMR) dan weight consequence evaluation (WCE) dengan menggunakan kuesioner berbahasa Indonesia yang sudah divalidasi. Data dianalisis menggunakan SPSS 20 menggunakan uji regresi liner. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada skor EMR dan WCE diantara murid SMA dan mahasiswa baru (p>0,05). Skor EMR murid SMA adalah 81(30-100) dan mahasiswa baru 78(25- 100). Skor WCE lebih tinggi pada mahasiswa baru, 78(20-96), sedangkan murid SMA adalah 63(30-100). BMI merupakan satu satunya variabel yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan skor EMR dan WCE. Respon emosional dan pemahaman konsekuensi remaja akhir terhadap obesitas mereka merupakan hal yang kompleks dikarenakan usia transisi dari kanak-kanak menjadi dewasa merupakan masa dimana seseorang mulai berfikir dapat mengambil keputusan secara independen namun rentan terhadap pengaruh dari interaksi sosial terutama dari orang tua dan teman sebaya. Skor WCE masih rendah terutama di kalangan murid SMA sehingga diperlukan intervensi berupa edukasi untuk meningkatkan kesadaran terhadap obesitas mereka dan konsekuensi yang dapat muncul dari obesitas, dan diperlukan penilaian proses perubahan perilaku agar dapat menentukan intervensi yang sesuai.

RISKESDAS 2018 show the prevalence of obesity in Indonesian population >18 years old increased from 14,8% in 2013 to 21,8% in 2018. Transtheoretical model (TTM) represents behavioral change readiness of a person which can be used for an intervention. There are two main processes of change based on TTM which are emotional reevaluation (emotional readiness to change) and weight consequence evaluation (aware of their obesity and the consequences). We hope by knowing someone score of each process, especially in obese adolescence could help designing a weight management program that matches their current state of readiness to change. This is a cross- sectional study using secondary data of emotional reevaluation (EMR) and weight consequence evaluation (WCE) score using validated Indonesian version questionnaire. The data was tested with linear regression using SPSS Version 20. No significant difference for EMR and WCE score found between high school and college freshmen student (p>0,05). EMR score for high school student is 81(30-100) and college freshmen is 78(25-100). WCE score is higher in college freshmen, 78(20-96), meanwhile high school student scored 63(30-100). BMI is the only variable that has significant relationship with both EMR and WCE score. Emotional response and understanding of the consequences of their obesity is complex due to the transition from childhood to adulthood where they began to think to make their own decision but still vulnerable toward influences from social interaction, especially from parents and peers. Low WCE score, especially among high school students indicate the need of intervention through education to raise awareness of their obesity and the consequences from obesity, and the need of assessing their current process of change to make sure the right intervention was done."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karima Yudhistina
"Obesitas adalah faktor risiko terjadinya penyakit seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit jantung dan pembuluh darah. Akumulasi lemak stimulasi proses peroksidasi lipid yang menghasilkan malondialdehida (MDA) dan mengurangi antioksidan endogen seperti katalase dalam tubuh. Puasa intermiten merupakan cara alternatif untuk menurunkan radikal bebas dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten terhadap status stres oksidatif pada karyawan dengan obesitas di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak dengan kontrol. Subjek penelitian ini adalah pria berusia 19-59 tahun dengan indeks massa tubuh (IMT) ≥25 kg/m2 yang terbagi menjadi kelompok puasa dan kontrol melalui randomisasi sederhana. Puasa intermiten 5:2 dilakukan selama 8 minggu setiap hari Senin dan Kamis, tidak diperkenankan untuk makan dan minum selama 14 jam. Sebelum intervensi, kedua kelompok diberikan edukasi diet seimbang. Kadar MDA dan katalase dianalisis dengan spectofotometer. Asupan makan dinilai dengan 2x24 hr food recall dan food record. Hasil penelitian menunjukan kadar MDA setelah intervensi pada kelompok puasa berbeda signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,02). Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar katalase pada kelompok puasa dan kontrol (p>0,05). Puasa intermiten 5:2 selama 8 minggu dapat menurunkan kadar MDA pada karyawan dengan obesitas di Jakarta

Obesity is a major risk factor for many non-communicable diseases. Fat accumulation stimulates the lipid peroxidation process, which produces malondialdehyde (MDA) and reduces endogenous antioxidants such as catalase. Intermittent fasting is an alternative way to reduce free radicals in the body. This study aimed to determine the effect of intermittent fasting 5:2 on MDA and catalase levels in obese employees in Jakarta. This study's subject was men aged 19-59 years with body mass index ≥25 kg/m2, who were divided into fasting and control groups through simple randomization. Intermittent fasting 5:2 was performed for eight weeks, done every Monday and Thursday, and not allowed to eat and drink during 14 hours of fasting. Before the intervention, both groups were given nutrition education on a balanced diet. Food intake was assessed by the 2x24 h food recall and food recall method. MDA and catalase levels were measured using a spectrophotometer. There was a significant difference (p<0,001) in pre-post intervention MDA and catalase levels within the fasting and control groups. MDA post-intervention levels in the fasting group were significantly different compared to the control group (p=0,02). Intermittent fasting 5:2 for eight weeks can reduce MDA levels in obese employees in Jakarta."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Yasmin Syauki
"Obesitas merupakan masalah kesehatan yang sudah mendunia, termasuk di Indonesia. Situasi ini erat kaitannya dengan terjadinya perubahan asupan gizi ditandai dengan penambahan pola makan dimana hal ini dapat menyebabkan penyakit degenerasi. Lingkar pinggang mempakan salah satu faktor prediksi yang kuat pada resistensi insulin, yang merupakan fase dini perkembangan penyakit diabetes melitus. Asupan asam lemak jenuh yang tinggi dapat mcnyebabkan terjadinya resistensi insulin. Data mengenai hubungan antara asam lemak dan resistensi insulin di Indonesia sangat terbatas. Untuk melihat hubungan antara berbagai asupan lemak dengan insulin pada laki-laki dewasa dengan obesitas sentral di Jakarta, maka diadakanlah penelitian dengan metode potongan lintang. Kuesioner semi kuantitaf-frekuensi makanan yang telah divalidasi digunakan untuk memperoleh data asupan lemak pada 126 laki-laki usia 30-50 tahun dengan obesitas sentral di Jakarta yang sebelumnya telah mengikuti prosedur skrining melalui pemeriksaan klinis dan pengambilan darah. Pengukuran antropometrik dilakukan untuk mendapatkan data berat badan, tinggi badan dan lingkar pinggang. Data plasma insulin puasa, plasma glukosa puasa, plasma asam lemak bebas dan profil lemak darah diperoleh melalui pemeriksaan biokimia. Kucsioner global aktivitas tisik dan surveilens penyakit kronik digunakan untuk memperoleh data aktivitas fisik, kcbizmaan merokok, konsumsi alkohol, sayuran dan buah. Asupan lemak total, lemak jenuh, lemak tidak jenuh tunggal maupun ganda (% dari total kalori) diperolch Icbih tinggi dibandingkan rekomendasi PERKENI/NCEP/AHA/ADA (4l.23%, 21.51% and 9.32%), kecuali asupan lemak tidak jenuh ganda berdasarkan PERKENI (6.8?7%). Asupan omega-3 dan omega-6 tidak memenuhi rekomendasi berdasarkan IOM. Hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia ditemukan pada penelitian ini. Sementara itu, insulin puasa berada dalam nilai nonnal (7.63 u/L). Tidak ditemukan hubungan antara asupan berbagai jenis lemak dengan insulin pada laki-laki dcwasa dengan obesitas sentral, tetapi plasma asam lemak bebas memiliki hubungan positif dengan asupan temak tidak jenuh ganda (% dari total kalori) (rp=0.l90, p<0.05), dan plasma glukosa puasa (r=0.l93, p<0.05). Penelitian kasus-kontrol perlu dilakukan untuk dapat melihat secara jelas hubungan antara asupan berbagai jenis lemak dengan insulin pada seseorang dengan dan tanpa obesitas sentral atau pada seseorang dengan dan tanpa resistensi insulin.

Obesity is known as the major global health problems, including in Indonesia. This situation is associated with nutritional transitional characterized by changing in dietary patterns, leading to the prevailing degenerative diseases. Waist circumference is strong predictor of insulin resistance, an initial phase for development of type 2 diabetes melitus. High intake of SFA is contributed to insulin resistance. Data on the relations between intake of fatty acids and insulin resistance in Indonesia are very limited. A cross-sectional study was undertaken to examine the association between intake of different fatty acids and insulin level in abdominal obese adult men in Jakarta. Dietary fatty acids was obtained through validated fat SQ-F FQ to |26 men with abdominal obesity aged 30-SO, who pass the screening procedure through clinical and blood assessment. Anthropomethric assessments were done to obtain body weight, height and waist circumference. Biochemichal assessments were undertaken to obtain fasting plasma insulin, glucose, FFA and profile lipid. Global Physical Activity Questionnaire and STEPS questionnaire were used to obtain data on physical activity, smoking habit, alcohol use, fruit and vegetable consumption. Intake of total fat, SFA, MUFA and PUFA (% of total calories) were found higher than that of the PERKENI/NCEP/AI-IA/ADA recommendations (4l.23% , 21.51% and 9.32%), except PUFA intake based on PERKENI (6.87%). Intake of omega-3 and omega-6 PUFA did not meet the requirement suggested by IOM. Hypercholesterolemia and hypertrigliseridemia were found among subjects. Mean fasting plasma insulin was found within desirable range (7.63 ufL). There is no correlation between intakes of different fatty acids and insulin levels in abdominal obese adult men, but FFA plasma were positively correlated with PUFA intake (% of total calories) (rp=0-l90, p<0.05) and fasting plasma glucose (rp=0.l93, p<0.05)- Further study need to be conducted to have clearly understanding of the relationship between intake of different fatty acids and insulin level between abdominal obese and non-abdominal obese or insulin resistance and non insulin resistance using case-control study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32320
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anni Rahmawati
"Latar belakang: Prevalensi penduduk dewasa di Indonesia yang obesitas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, demikian juga dengan angka obesitas pada karyawan. Puasa intermiten dapat menjadi alternatif solusi dalam tatalaksana obesitas, terutama terhadap ukuran lingkar pinggang dan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten 5:2 terhadap lingkar pinggang dan resistensi insulin pada karyawan obesitas di Jakarta.
Metode: Penelitian uji klinis acak terkontrol ini dilakukan pada 50 karyawan obesitas berusia 19-59 tahun, dan memiliki lingkar pinggang ≥ 90 cm. Sampel dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diminta untuk berpuasa pada hari senin dan kamis selama 8 minggu, sementara kelompok kontrol melanjutkan pola makan seperti biasa. Tidak terdapat pembatasan kalori pada kedua kelompok. Data dikumpulkan melalui kuesioner, food recall 2x24 jam, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR. Analisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney, dan uji t berpasangan atau Wilcoxon.
Hasil: Setelah 8 minggu intervensi, perubahan lingkar pinggang pada kelompok intervensi ialah 0,00 (-5,0-8,0) cm dan pada kelompok kontrol 1 (-4,0 – 4) cm. Sementara perubahan kadar HOMA-IR pada kelompok intervensi ialah 0,29 (-17,78 – 6,84) dan kelompok kontrol -0,46 (-18,94 – 10,55).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna perubahan lingkar pinggang dan resistensi insulin pada kelompok yang berpuasa dibandingkan kelompok yang tidak melakukan puasa (p>0,05).

Introduction: The prevalence of the obese adult population in Indonesia has increased from year to year. So is the obesity rate in employees. Intermittent fasting could be an alternative solution in managing of obesity, especially for waist circumference and insulin resistance levels.
Objective: This study aims to determine the effects of intermittent fasting 5:2 on waist circumference and insulin resistance in obese employees in Jakarta.
Method: This randomized controlled clinical trial was conducted on 50 obese employees aged 19-59 years, and had a waist circumference ≥ 90 cm. The subjects were divided into intervention groups and control groups. The intervention group was asked to fast on Mondays and Thursdays for eight weeks, while the control group continued their usual diet. There were no calorie restrictions in either group. Data is collected through the interview, food recall 2x24 hours, anthropometry asssessment and measurement of insulin resistance by HOMA-IR index. The data were analyzed using t-test or a Mann-Whitney test, and a paired t-test or Wilcoxon.
Results: After 8 weeks of intervention, the change in waist circumference in the intervention group was 0.00 (-5.0-8.0) cm and in the control group 1 (-4.0 - 4) cm. While the change in HOMA-IR levels in the intervention group was 0.29 (-17.78 - 6.84) and the control group was -0.46 (-18.94 - 10.55).
Conclusion: There was no significant difference in waist circumference and insulin resistance in the fasting group compared to the control group (p>0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Fajarina Safety
"Pekerja duduk termasuk ke dalam kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan karena gaya hidup sedenter yang dimiliki merupakan faktor risiko obesitas. Indikator untuk menentukan obesitas adalah indeks massa tubuh (IMT), persentase lemak, dan ukuran lingkar pinggang. Program latihan fisik berbasis tempat kerja dirancang bagi pekerja duduk untuk mengurangi risiko obesitas pada pekerja duduk. Penelitian ini dilakukan dengan secara potong lintang menggunakan data sekunder penelitian intervensi terhadap pekerja duduk, untuk lebih jauh mengetahui pengaruh kepatuhan melakukan program latihan fisik berbasis tempat kerja selama 12 minggu terhadap perubahan komposisi tubuh (IMT, persentase lemak, dan ukuran lingkar pinggang). Terdapat 41 subjek uji dan 41 subjek kontrol. Hasil yang didapatkan yaitu persentase kepatuhan subjek uji sebesar 39,73%, sebanyak 19 subjek tergolong patuh, dan 22 lainnya tidak patuh. Pada analisis data didapatkan perbedaan tidak bermakna secara statistik antara tingkat kepatuhan dan perubahan komposisi tubuh. Secara klinis, kepatuhan paling berpengaruh terhadap perubahan ukuran lingkar pinggang pada kelompok uji. Analisis data membandingkan perubahan komposisi tubuh antara kelompok uji dan kontrol menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik dan klinis. Hasil pada penelitian ini berbeda jika dibandingkan dengan penelitian lain. Perbedaan diduga karena tidak ada intervensi faktor lain yang memengaruhi komposisi tubuh dan durasi program yang belum optimal.

Sitting workers are vulnerable to various health problems because of their sedentary lifestyle which is one of obesity’s factors. Body mass index (BMI), body-fat percentage, and waist circumference can be used as the indicators of obesity. A workplace-based physical exercise is conducted to reduce the risk of obesity among sitting workers. This is a cross-sectional study using secondary data from an interventional study, for furthermore to evaluate the effect of compliance to 12-weeks workplace-based physical exercise program on body composition (BMI, body-fat percentage, and waist circumference) in sitting workers. There were 41 interventional and 41 control subjects. The subjects’ attendance to exercise program was 39,73%, there were 19 complied, and 22 not complied subjects. Based on analysis data, statistically, there were no significant difference of body composition changes between complied and not complied subjects. However, clinically, the effect of compliance was greater on waist circumference changes. There were no significant difference statistically and clinically of body composition changes between interventional and control subjects. The results in this study are different when compared with other studies. The difference was suspected because there are no interventions on other factors that affect body composition and the duration of the program was not optimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Nadya R V
"Latar Belakang. Obesitas merupakan faktor risiko luaran buruk pada pasien COVID-19. Sampai saat ini studi penilaian hubungan parameter obesitas berupa nilai lemak viseral, lingkar pinggang (LP), indeks massa tubuh (IMT), dan persentase lemak tubuh secara bersamaan dengan luaran COVID-19 menggunakan metode sederhana berupa bioimpedance analyzer (BIA) masih terbatas. Keempat variabel tersebut akan dinilai kemampuannya untuk memprediksi luaran buruk selama perawatan pasien COVID-19.
Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif dari 261 pasien COVID-19 ringan-sedang di RSUPN Cipto Mangunkusumo rawat inap sejak Desember 2020 hingga Maret 2021. Pasien dilakukan pemeriksaan BIA, LP, dan IMT saat admisi. Dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk menilai kemampuan nilai lemak viseral, persentase massa tubuh, IMT dan LP untuk memprediksi luaran buruk komposit yang mencakup ARDS dan mortalitas.
Hasil. Didapatkan median nilai lemak viseral 10 (setara 100 cm2 ), lingkar pinggang 93 cm, IMT 26,1 kg/m2 , dan persentase lemak tubuh 31,5%. Berdasarkan multivariat regresi logistik, lingkar pinggang secara statistik bermakna sebagai faktor yang berpengaruh terhadap luaran buruk pada pasien COVID-19 [RR 1,04 (IK 95% 1,01-1,08)] bersama dengan derajat COVID-19 [RR 4,3 (IK 95% 1,9- 9,9)], skor NEWS [RR 5,8 (IK 95% 1,1-31)] saat admisi, dan komorbiditas [RR 2,7 (IK 95% 1,1-6,3)].
Kesimpulan. Luaran buruk COVID-19 selama perawatan pasien COVID-19 terkonfirmasi dapat dipengaruhi oleh lingkar pinggang.

Background. Obesity is a risk factor for adverse outcomes in COVID-19 patients. Until now, studies on assessing the relationship between obesity parameters in the form of visceral fat, waist circumference (WC), body mass index (BMI), and body fat percentage simultaneously with COVID-19 outcomes using a simple method such as bioimpedance analyzer (BIA) are still limited. The four variables will be assessed for their ability to predict adverse outcomes during the treatment of COVID-19 patients.
Method. This study is a prospective cohort of 261 mild-moderate COVID-19 subjects at Cipto Mangunkusumo General Hospital who were hospitalized from December 2020 to March 2021. Patients underwent BIA, WC, and BMI examinations upon admission. Multivariate logistic regression analysis was performed to assess the ability of visceral fat, body mass percentage, BMI, and WC to predict poor composite outcomes, including ARDS and mortality.
Results. The median value of visceral fat was 10 (equivalent to 100 cm2 ), WC was 93 cm, BMI was 26.1 kg/m2 , and body fat percentage was 31.5%. Based on multivariate logistic regression, WC was statistically significant as a factor influencing poor outcomes in COVID-19 patients [RR 1.04 (95% CI 1.01-1.08)] along with COVID-19 degree of severity [RR 4.3 (95% CI 1.9-9.9)], NEWS score [RR 5.8 (95% CI 1.1-31)] at admission, and comorbidities [RR 2.7 (95% CI 1.1) - 6.3)].
Conclusion. During the hospitalization of confirmed COVID-19 patients, poor outcomes can be affected by waist circumference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Mayasari
"Latar belakang: Prevalens obesitas pada anak dan remaja di seluruh dunia meningkat secara dramatis. Obesitas pada anak menjadi masalah karena merupakan predisposisi terjadinya obesitas saat dewasa yang berhubungan dengan timbulnya penyakit komorbiditas metabolik. Obesitas ditandai dengan penimbunan jaringan adiposa tubuh secara berlebihan, dan jaringan adiposa tersebut menghasilkan sitokin dan mediator inflamasi yang berperan dalam terjadinya inflamasi subklinis.
Tujuan: Untuk mengetahui profil penanda inflamasi subklinis pada anak obes usia 9-12 tahun melalui pemeriksaan sitokin inflamasi (IL-6) dan protein fase akut (CRP dan AGP).
Metode: Penelitian deskriptif potong lintang yang dilakukan pada siswa SD yang obes dan non-obes usia 9-12 tahun di Jakarta Selatan yang diizinkan oleh orangtua untuk mengikuti penelitian ini dan bersedia diukur antropometri serta diperiksa laboratorium Interleukin-6 (IL-6), C-reactive protein (CRP), dan alpha-1-acid glycoprotein (AGP).
Hasil: Dari 30 anak obes dan 30 anak non-obes didapatkan kadar median IL-6 anak obes lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak non-obes dengan nilai 3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86), kadar median CRP pada kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes dengan nilai 2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2- 2,6) dan kadar rerata AGP kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes dengan nilai rerata 93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89.
Simpulan: Inflamasi subklinis telah terjadi pada anak obes berusia 9-12 tahun. Kadar sitokin inflamasi IL-6 lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non- obes, kadar protein fase akut CRP lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non-obes, dan kadar penanda AGP lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non-obes.

Background: Prevalence of obesity in children and adolescence is dramatically increasing. Obesity in children is an important predisposing factor of adult obesity and correlates with metabolic comorbidities. Obesity is basically an overt body adipose tissue which resulting cytokine and inflammatory mediators. The cytokine and inflammatory mediators play important role in subclinical inflammation.
Objective: To describe subclinical inflammatory marker of obese children age 9- 12 years old by examining inflammatory cytokine (Interleukine 6) and acute phase protein (C-reactive protein and Alpha-1-acid glycoprotein).
Methods: Cross sectional descriptive study was conducted in elementary school students of obese and non-obese age 9-12 years old in South Jakarta. Antropometric measurements and examination of IL-6, CRP, and AGP were taken from all subjects.
Results: Thirty obese and thirty non-obese children were recruited in this study. Obese children showed higher median IL-6 compared to non-obese (3,09 (1,16- 6,49) vs 1,27 (0,51-3,86)), higher median CRP in obese children compared to non-obese (2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6)). Obese children also showed higher mean AGP compared to non-obese (93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89).
Conclusions: Obese children age 9-12 years old have evidence of subclinical inflammation. The subclinical inflammation was based on higher IL-6, CRP, and AGP in obese children compared to non-obese children."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"To identify whether hyperinsulinemia/insulin resistance effects the hematologic parameter of routine blood,expecially the erythrocytes...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>