Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146489 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Insil Pendri Hariyani
"ABSTRAK
Infark miokard akut adalah bentuk penyakit jantung iskemik akut dengan angka mortalitas yang tinggi, menyebabkan kematian dan disabilitas di seluruh dunia. Pada pasien hidup, penegakan diagnosis infark miokard akut salah satunya menggunakan modalitas pemeriksaan troponin T di dalam darah. Akan tetapi, pemeriksaan troponin T postmortem pada jenazah masih belum lazim dilakukan. Pada pemeriksaan postmortem jenazah yang dilakukan otopsi dengan kemungkinan kematian jantung mendadak, diagnosis infark miokard biasanya dibuat dengan temuan aterosklerosis berat yang menyumbat arteri koronaria dan menggunakan berbagai modalitas pemeriksaan penunjang.2 Pemeriksaan penunjang yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan histopatologi anatomi. Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan desain potong lintang (cross sectional) yang membandingkan hasil pemeriksaan troponin T dengan pemeriksaan histopatologi. Pada penelitian ini didapatkan nilai titik potong (cut off point) untuk menentukan diagnosis infark miokard akut adalah ≥ 265,5 ng/l dengan sensitivitas 40%, spesifisitas 100%, nilai duga positif (NDP) 100%, nilai duga negatif (NDN) 18%, rasio kemungkinan positif (RKP) tak terhingga, rasio kemungkinan negatif (RKN) 60% dan akurasi 47%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan terdapat perbedaan bermakna antara kadar troponin T post mortem jenazah infark miokard akut dengan jenazah bukan infark miokard akut.

ABSTRACT
Acute myocardial infarction is an acute ischemic heart disease with high mortality rate, causing death and disability worldwide. In living patient, one of modality to diagnose acute myocardial infarction is the measurement of troponin T in blood. However, postmortem measurement of troponin T in a dead body is highly uncommon. On autopsy of a dead body who suspected of having acute myocardial infarction, the diagnosis was made based on finding of severe atherosclerosis plaque in coronary artery with several other diagnostic tests. The gold standard is anatomical histopathology examination. This diagnostic study is using cross sectional design to compare the troponin T result with the anatomical histopathology finding. The cut off point to diagnose acute myocardial infarction using post mortem troponin T was ≥ 265,5 ng/l which gave sensitivity of 40%, specificity 100%, positive predictive value 100%, negative predictive value 18%, positive likelihood ratio uncountable, negative likelihood ratio 60%, and accuray of 47%. In conclusion, the postmortem troponin T in dead body with acute myocardial infarction and no acute myocardial infarction was statisticaly significant."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Katrina Ruth Ulima
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan pilihan utama terapi repefusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan obstruksi mikrovaskular (OMV) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada IKPP. Osteoprotegerin (OPG) merupakan tumor necrosis factor receptor yang konsentrasinya meningkat pada pasien IMA-EST. Studi yang menganalisis hubungan konsentrasi serum OPG dengan luasnya infark masih sangat terbatas.
Metode. Tiga puluh enam pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada bulan September hingga November 2013, direkrut secara konsekutif pada studi potong lintang ini. Dilakukan analisis hubungan antara konsentrasi serum OPG sebelum IKPP dengan hs-trop T 24 jam pasca IKPP.
Hasil. Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum OPG dengan hs-trop T (r = 0.41, p =0.015). Analisis multivariat konsentrasi serum OPG dan onset nyeri mempengaruhi luas infark (indeks kepercayaan 5.15 – 49.19, p =0.017 dan indeks kepercayaan 2.56 - 15.28, p = 0.005).
Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum osteoprotegerin saat masuk dengan luas infark miokard yang diukur dengan hs-trop T pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Primary percutaneous coronary intervention (PPCI ) is the preferred option for reperfusion therapy in acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) patients and microvascular obstruction (MVO) is one of the complication that might occurred during PPCI. Osteoprotegerin (OPG) is a tumor necrosis factor receptors that may increased in STEMI patients. Studies that analyze the relationship between serum concentrations of OPG with the extent of infarction are still very limited.
Method. Thirty six patients underwent PPCI were enrolled in this cross sectional study during September to November 2013. We analyzed the relationship between serum concentrations of OPG before PPCI with the level of hs-trop T measured 24 hours after PPCI.
Results. Bivariate analysis showed a significant correlation between serum osteoprotegerin concentration and hs-trop T (r=0.41, p=0.015). Multivariate analysis showed significant correlation between the extent of infarction with both onset of pain (confidence interval 2.56-15.28, p=0.005) and serum osteoprotegerin concentrations (confidence interval 5.15-49.19, p= 0.017).
Conclusion. This study showed that serum osteoprotegerin concentration have a significant relationship to the extent of infarction measured with hs-trop T in acute STEMI patients underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melinda Harini
"LATAR BELAKANG. Disfungsi seksual dan kecemasan sering dialami oleh pasien pasca infark miokard akut (acute myocardial infarct, AMI) dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan fungsi seksual dengan kecemasan pasien pasca AMI.
METODE. Desain studi deskriptif analitik dengan disain potong lintang (crosssectional). Responden merupakan pasien rawat jalan Poliklinik Jantung Terpadu RS. Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, bersedia mengikuti program penelitian dan menandatangani surat persetujuan untuk mengikuti penelitian setelah diberikan penjelasan mengenai tujuan dan manfaat program penelitian. Kemudian responden mengisi formulir International Index of Erectyle Function (IIEF) untuk menilai fungsi seksual dan dilakukan wawancara untuk menilai kecemasan dengan Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A).
HASIL. Pasien pasca AMI mengalami disfungsi ereksi (82,5%), disfungsi orgasme (72,5%), disfungsi libido (93,8%). Hampir seluruh responden menyatakan ketidakpuasan dalam hubungan seksual(97,5%) dan ketidakpuasan menyeluruh (90%). Proporsi kecemasan pasca AMI adalah 52,5%. Tidak terdapat hubungan antara fungsi seksual dengan kecemasan pasca AMI.
KESIMPULAN. Kecemasan dan disfungsi seksual merupakan masalah yang perlu diperhatikan pada pasien pasca AMI. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dan disfungsi seksual pasca AMI perlu dieksplorasi lebih lanjut sehingga dapat disusun panduan tatalaksana yang terintegrasi.

BACKGROUND. Sexual dysfunction and anxiety frequently happens by patients after acute myocardial infarction (AMI) and can affect patients quality of life.
METHODS. It was analytic descriptive study, cross-sectional design. Respondents are outpatients in Integrated Cardiac Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital that meet the inclusion and exclusion criteria, who were willing to follow the research program and sign an agreement to participate in the study after being given an explanation of the purpose and benefits of the research program. Respondents then completed the International Index of Erectyle Function (IIEF) form to assess sexual function and were interviewed to assess anxiety using the Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A).
RESULTS. Post-AMI patients had erectile dysfunction (82.5%), orgasm dysfunction (72.5%), libido dysfunction (93.8%). Almost all respondents expressed sexual intercourse dissatisfaction (97.5%) and overall dissatisfaction (90%). The proportion of post-AMI anxiety was 52.5%. There was no relationship between sexual function after AMI with anxiety.
CONCLUSIONS. Anxiety and sexual dysfunction post-AMI is a considerable problem. Factors that affect anxiety and sexual dysfunction after AMI needs to be explored further so that an integrated management guidelines could be proposed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vellia Justian
"Introduction: The major cause of mortality and morbidity post-MI is the complications following the infarction. One of the most common MACE is malignant arrhythmia, this includes VF, VT and non-sustained VT. Malignant arrhythmia is caused due to the culmination of biochemical, electrophysiological, autonomic and genetic changes after an event of ischemia which results in myocardial damage and scarring, as well as left ventricular systolic dysfunction. Early risk stratification is important in AMI and cTnI and LVEF has been two accessible markers that has been studied in various aspects of AMI as prognostic markers, however there has been little studies of its role and correlation in post-AMI malignant arrhythmia. This research will therefore explore the correlation between myocardial damage (cTnI) and left ventricular systolic function (LVEF) with malignant arrhythmia in AMI patients. Methods: A retrospective cohort study was conducted on AMI patients who are admitted to the ICCU of Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta from November 2018 to May 2019. Patients who experienced severe infection and who has malignant arrhythmia when admitted were excluded. The association between cTnI and malignant arrhythmia was tested using Mann-Whitney test, while the association between LVEF and malignant arrhythmia was tested using Independent T-Test. Pearson’s Chi-Square test was done to test the relationship between systolic function status with malignant arrhythmia, All data analysis was performed on IBM SPSS Statistics. Results: Total of 110 patients were included in this study. 13.6% of total subjects experience malignant arrhythmia during hospitalisation. There is no significant correlation between cTnI and post-AMI malignant arrhythmia (p = 0.053, RR 1.2, 95%CI 1.1-1.2) but significant correlation between LVEF and post-AMI malignant arrhythmia was found, on both metric (t(108)=3.450, p = 0.001) and categorical (c2(1) = 6.132, p = 0.013, RR 4.8, 95%CI 1.15-20.4) assessment. There were major differences in the mean value of cTnI and LVEF between the two groups. Conclusion: This study has found statistically significant correlation between left ventricular systolic function (LVEF) with malignant arrhythmia in AMI patients, but no significant correlation between cTnI and malignant arrhythmia in AMI patients. Higher cTnI levels are more frequent in malignant arrhythmia group. Malignant arrhythmia is more common in AMI patients with lower LVEF.

Pendahuluan: Penyebab utama mortalitas dan morbiditas infark miokard akut (IMA) adalah komplikasi pasca infark. Salah satu MACE paling umum ditemukan adalah aritmia maligna, yang meliputi VF, VT dan VT sesaat. Aritmia maligna disebabkan oleh kombinasi perubahan biokimia, elektrofisiologi, otonomi, serta genetik setelah kejadian iskemik yang kemudian menyebabkan kerusakan dan fibrosis pada miokard. Stratifikasi risiko awal sangat penting dalam kasus IMA. cTnI serta LVEF merupakan dua marka yang mudah diakses dan telah dipelajari dalam berbagai aspek IMA. Akan tetapi, studi mengenai peran dua marka tersebut dalam aritmia maligna pasca-IMA masih sedikit. Studi ini akan mempelajari korelasi antara kerusakan pada miokard (cTnI) dan fungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF) dengan aritmia maligna pada pasien IMA. Metode: Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien IMA yang dirawat di ICCU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam periode November 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang mengalami infeksi parah dan pasien yang mengalami aritmia maligna saat admisi tidak diikutsertakan dalam penelitiaan ini. Hubungan cTnI dengan aritmia maligna dianalisis melalui uji Mann-Whitney dan hubungan LVEF dengan aritmia maligna dianalisis oleh uji Independent T-Test dan pada hubungan status fungsi sistolik dengan aritmia maligna dianalisis menggunakan uji Pearson Chi-Square. Analisis data dilakukan dengan software IBM SPSS Statistics. Hasil: Total 110 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. 13.6% dari total pasien mengalami aritmia maligna selama masa hospitalisasi. Tidak ditemukan adanya hubungan signifikan antara cTnI dengan aritmia maligna pada pasien IMA (p = 0.053, RR 1.2, 95%CI 1.1-1.2), namun ditemukan adanya hubungan signifikan antara LVEF dengan aritmia maligna pada pasien IMA, baik pada data metrik (t(108)=3.450, p = 0.001) maupun data kategorik (c2(1) = 6.132, p = 0.013, RR 4.8, 95%CI 1.15-20.4). Terdapat perbedaan besar antara nilai rata-rata cTnI and LVEF pada kedua kelompok pasien. Kesimpulan: Studi ini menemukan korelasi yang signifikan secara statistikal antara fungsi sistolik ventrikel kiri dengan aritmia maligna pada pasien IMA, namun tidak ditemukan adanya korelasi signifikan antara cTnI dengan aritmia maligna pada pasien IMA. Nilai cTnI yang tinggi lebih umum ditemukan pada kelompok pasien dengan aritmia maligna. Kejadian aritmia maligna lebih umum pada pasien yang memiliki LVEF yang lebih rendah."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Afriyani
"Latar Belakang: Pasien infark miokard akut (IMA) dengan hipertensi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya major adverse cardiac events (MACE). Pengukuran left ventricular mass index (LVMI) dengan ekokardiografi dapat membantu mengidentifikasi pasien IMA dengan hipertensi yang memiliki risiko untuk terjadinya MACE. Namun, penelitian mengenai hubungan antara LVMI dengan kejadian MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan belum ada di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara LVMI dan MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan data rekam medis pada periode tahun 2018–2022. Nilai LVMI didapatkan berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi. Kejadian MACE dinilai pada saat perawatan Intensive Cardiology Care Unit (ICCU). Analisis menggunakan uji univariat, bivariat (chi-square), dan multivariat (regresi logistik) untuk melihat hubungan antara LVMI dan MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan.
Hasil: Dari 160 pasien dengan IMA dan hipertensi yang menjalani revaskularisasi perkutan, terdapat 38 subjek (23,8%) yang mengalami MACE selama perawatan di ICCU. Dari 51,9% subjek dengan nilai LVMI meningkat, terdapat 34,9% yang mengalami MACE. Terdapat hubungan yang bermakna antara LVMI dan MACE dengan RR 2,99 (IK 95% 1,51-5,90) p 0,002). Pada analisis multivariat regresi logisitk, setelah memperhitungkan variabel perancu (usia dan penyakit ginjak kronik), LVMI secara independen terkait dengan peningkatan risiko kejadian MACE, dengan adjusted RR yang disesuaikan sebesar 2,869 (IK 95% 1,443–5,703) p 0,003.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara LVMI dan MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan.

Background: Patients with acute myocardial infarction (AMI) and hypertension have a higher risk of major adverse cardiac events (MACE) complications. Measuring the left ventricular mass index (LVMI) with echocardiography can help to identify AMI patients with hypertension who are at risk for MACE. However, study regarding the association between LVMI and MACE occurrence in patient with AMI and hypertension post-percutaneous coronary intervention (PCI) has not been conducted in Indonesia.
Objective: To determine the association between LVMI and MACE in patients with AMI and hypertension after PCI.
Methods: This is a retrospective cohort study at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital utilizing medical record data from the period of 2018 to 2022. The LVMI values were obtained based on echocardiographic examinations. MACE events were assessed during ICCU (Intensive Cardiology Care Unit) admission. The analysis utilized univariate, bivariate (chi-square), and multivariate (logistic regression) tests to examine the association between LVMI and MACE in patients with AMI and hypertension post-PCI.
Results: A total of 160 patients with AMI and hypertension undergoing PCI, 38 subjects (23.8%) experienced MACE during follow up in ICCU. Among 51,9% subjects with increased LVMI, 34.9% experienced MACE. There was a significant association between LVMI and MACE with a relative risk (RR) of 2,99 (95% CI 1,51–5,90, p 0,002). After adjustment for the confounders (age and chronic kidney disease) in a multivariate analysis logistic regression, LVMI was independently associated with risk for MACE with adjusted RR 2,869 (95% CI 1,443–5,703, p 0,003)
Conclusion: There was a significant association between LVMI and MACE in patients with AMI and hypertension who have undergone percutaneous revascularization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Aditya Agita
"Latar Belakang : Pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST IMAEST yang mengalami revaskularisasi dengan intervensi koroner perkutan primer IKPP dapat terjadi cedera reperfusi yang mempengaruhi prognosis. Penelitianpada model hewan menunjukkan ticagrelor melindungi jantung dari cederareperfusi, namun demikian belum ada penelitian pada manusia yang menguji halini.
Tujuan : Membandingkan pengaruh antara ticagrelor dengan clopidogrelterhadap cedera reperfusi yang diukur melalui kadar puncak high sensitivetroponin T hs-cTnT pada pasien IMA-EST yang mengalami revaskularisasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental acak tersamar gandayang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita padabulan Agustus 2016 sampai November 2016. Pasien IMA-EST yang akanmenjalani IKPP dirandomisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yangmendapatkan loading ticagrelor 180 mg dilanjutkan dosis rumatan 2x90 mg danyang mendapatkan loading clopidogrel 600 mg dilanjutkan dosis rumatan 1x75mg sebelum IKPP. Dilakukan pemeriksaan hs-cTnT 8 jam pasca dilatasi balonkateter pertama.
Hasil Penelitian : Terdapat total 60 subyek, 30 subyek kelompok ticagrelor dan30 subyek kelompok clopidogrel. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antaraticagrelor dengan clopidogrel terhadap kadar puncak hs-cTnT 9026 5026 ng/Lvs 9329 4664 ng/L, nilai p 0,809.
Kesimpulan : Ticagrelor tidak menyebabkan kadar puncak high sensitivetroponin T yang lebih rendah bila dibandingkan dengan clopidogrel pada pasienIMA-EST yang mengalami revaskularisasi.

Background : Reperfusion injury influence prognosis in ST elevation myocardialinfarction STEMI patients after primary percutaneous coronary intervention PPCI . Previous study on animal models showed that ticagrelor may haveprotective effect on the heart by reducing reperfusion injury. However, no studyon humans has ever been done to confirm this.
Aim : To compare the effect of ticagrelor with clopidogrel on reperfusion injurycalculated by peak high sensitive troponin T hs cTnT in STEMI patients whounderwent revascularization.
Methods : This was a randomized controlled trial done in NationalCardiovascular Center Harapan Kita from August 2016 to November 2016.STEMI patients who underwent PPCI was randomized to either ticagrelor loadingdose 180 mg with maintenance of 2x90 mg or clopidogrel loading dose 600 mgwith maintenance of 1x75mg group. Peak hs Troponin T was measured 8 hoursafter first balloon dilatation.
Results : Sixty subjects was included in the study, 30 subjects in the ticagrelorgroup and 30 subjects in the clopidogrel group. There were no difference betweenticagrelor vs clopidogrel on peak hs cTnT levels 9026 5026 ng L vs 9329 4664 ng L, p value 0,809.
Conclusion : Ticagrelor does not cause a lower peak high sensitive troponin Tlevel compared to clopidogrel in STEMI patients who underwentrevascularization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55633
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Bhukkar A. S.
"Latar Belakang: Risiko aritmia pasta infark miokard akut 5-11%. Perlu adanya stratifikasi risiko tedadinya aritmia pasca infark miokard akin. Aritmia yang terjadi pasta infark miokard akut dapat disebabkan karena perubahan elektrofisiologi, milieu (transient factors) dan aritmia spontan. Penelitian menggunakan late potential sebagai salah satu modalitas untuk mendapat gambaran perubahan elektrofisiologi yang terjadi pasta infark miokard akin dan sebagai prediktor risiko terjadinya aritmia. Late potential didapatkan dengan pemeriksaan SA-ECG.
Subyek: Dikurnpulkan 38 kasus infark miokard akut barn, sejak bulan Juni 2004 sampai dengan Februari 2005. Usia berkisar antara 35 - 65 tahun. Kriteria inklusi diagnosis infark miokard akut dengan menggunakan kriteria WHO. Kriteria eksklusi: infark sebeluinnya, blok cabang berkas, angina pektoris tak stabil, atrial fibrilasi dan fluter, infark miokard dengan strok iskemia, bedah pintas koroner dan riwayat angioplasti (sten atau balon).
Metodologi: Penelitian ini menggunakan disain kohor, dilakukan pemeriksaan Signal Averaged ECG untuk mendapatkan late potential, kontrol internal late potential negatif Dilakukan uji hipotesis yang sesuai untuk mendapatkan nilai kemaknaan pada penelitian ink Pemeriksaan SA-ECG dilakukan pada hari 6-16 perawatan di RS Harapan Kita, late potential sesuai dua dari 3 kriteria WHO.
Hasil : Laki-laki 30 (78,9%), wanita 8 (21,1%) dan usia rerata 52,34 tahun. Jens infark Q wave 18 (47,4%) dan non Q wave 20 (52,6%). Aritmia terutarna PVC 7 (18,4%), ventrikular takikardia (VT) 2 (5,3%) dan 29 (76,3%) normal. Lokasi infark terutama inferior 17 (44,7%) , non inferior 21 (55,3%).Rerata seat dilakukan pemeriksaan SA-ECG yaitu 9,6 hail dengan SB ± 2,6 hari. Parameter pemeriksaan SA-ECG yaitu 1. QRSD rerata 114,8 ins, SB ±15,8 ms, 2_ HFLA rerata 36,2 ms, SB ± 12,8 ms, 3, RMS rerata 30,2 u.V, SB ± 15,9 µV. Didapatkan late potential positif 13 (34,2%). Kadar kalium bulan pertarna dan bulan kedua dalann Batas normal. Aritmia terjadi pada bulan pertama 2 (5,3%) dan 9 (23.5%). Pada bulan pertama aritmia terjadi pada pasien dengan satu late potential positif dan satu dengan late potential negatif.Sedangkan pada bulan ke 2 didapatkan terjadi aritmia 7 (53,8%) dengan late potential positif dan 2 (8%) dengan late potential negatif, p < 0.003, IK 95% dan relatif risk (RR) 6.73.Tidak didapatkan hubungan bermakna lokasi infark, slat pemeriksaan SA-ECG dengan terbentuknya late potential. Tidak didapat hubungan bermakna antara kaliurn dan kejadian aritmia.
Kesimpulan : Late potential dapat digunakan sebagai salah satu modalitas untuk stratifikasi risiko teijadinya aritmia, didapatkan aritmia dengan late potential positif pada bulan 2,.p < 0,003 dan risiko relatif sebesar 6,73. Perlu dilakukan penelitian dengan populasi yang lebih banyak, melibatkan beberapa seater, dilakukan menggunakan halter monitor untuk mengawasi terjadinya aritmia dan dalam waktu 1 tahun pasca infark miokard akut.

Background: Risk of arrhythmias in post acute myocardial infarction in first 2 years was within range 5-i 1%. The stratification of arrhythmia event in post acute myocardial infarction was needed. There are several factors in arrhythmias mechanism, such as electrophysiology alteration, milieu (transient factors) and spontaneous arrhythmias. In this study, late potential as cardio electrophysiology state post infarction is used to be arrhythmias predictor. Late potential description was obtained used by Signal-Averaged ECG.
Subjects: Thirty eight consecutive patients admitted to coronary care unit in Dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan hospitals with documented acute myocardial infarction, since Juny 2004 to February 2005. Their ages were ranging from 35 to 65 years: Patients were included according to WHO acute myocardial infarction criteria.
Methods: This is a cohort study. SA-ECG was performed to obtained late potential, negative late potential patients as internal control. Signal-Averaged ECG was done in 6 - 16 days post acute myocardial infarction in Harapan Kita hospital. An abnormal (positive) SA-ECG is considered if two or more of the following three criteria from WHO.
Results: Subjects consisted of 30 (78,9%) male patients and female of 8 (21,1%). The mean age was 52,34 years.The incidence Q wave and non Q wave of acute myocardial infarction were 18 (47,4%) and 20 (52,6%). Type of arrhytrnias were premature ventricle contraction (PVC) 7 (18,4%), ventricular tachycardia (VT) 2 (5,3%) and normal 29 (76,3%). The inferior and non inferior wall site of infarction were 17 (44,7%) and 21 (55,3%). The mean time (days) recording of SA-ECG was 9,6 days, SD 1 2,6 days. There were three parameters of SA ECG included L QRSD mean 114,8 ms, SD 115,8 ms, 2. HFLA mean 36,2 ms, SD ± 12,8 ms, 3, RMS mean 30,2 p.V, SD ± 15,9 IN. The incidence abnormal SA-ECG was 13 (34,2%), Kalium level in first and second month of following was within normal range. The arrhytmias event in first and second month were 2 (5,3%) and 9 (23,7%). in first month, arrhytmia event in one positive and one negative late potential. In second month, seven of 9 patients had positive late potential. There was significant relation between abnormal SA-ECG and arrhytmia event in second month, p < 0.003 (CI 95%: 1,63-27,89), relative risk (RR) 6,73. There was no significant relation in site of infarction, time recording of SA-ECG, and kalium level with arrhytmia event.
Conclusion: The late potential could be used as one of arrhytmia predictors of post acute myocardial infarction. There was significant relation between late potential and arrhytmia in second month, p < 0,003, relative risk (RR) 6,73. Furthere study is needed with greater samples size and appropriate instruments (eg. Holter monitor).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elok Ekawati
"STEMI adalah IMA dengan risiko mortalitas tinggi. Risiko dikurangi dengan revaskularisasi berupa IKPP Gangguan kardiovaskular dikaitkan dengan penurunan konsentrasi vitamin D. Penurunan bisa disebabkan SNP gen CYP27B1 yang mengkode enzim 1α hidroksilase dan belum ada penelitian yang menghubungkan konsentrasi vitamin D pada pasien STEMI yang menjalani IKPP. Hasil IKPP berupa area sumbatan dan kemampuan darah mengalir ke pembuluh darah koroner, dikenal dengan TIMI grade 0-3. Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan konsentrasi kalsidiol dan gen CYP27B1 (-rs10877012) perubahan G ke T pada pasien STEMI yang menjalani IKPP dengan aliran TIMI akhir. Seratus subjek STEMI dan kontrol diambil 3 mL darah. Plasmanya diukur konsentrasi kalsidiol dengan teknik ELISA. PBMC dianalisis gen CYP27B1 (- rs10877012) dengan qRT PCR teknik Taqman Probe. Data dianalisis statistik kemaknaan 0,05. Konsentrasi kalsidiol median kasus 35,94 ng/ml dan kontrol 20,89 ng/ml berbeda bermakna (p=0,0001). Variasi gen CYP27B1 pada kedua kelompok berbeda bermakna (p=0,0001), dengan polimorfisme TT kasus 28% dan kontrol 19%. Hubungan konsentrasi kalsidiol dengan polimorfisme gen CYP27B1 berbeda bermakna (p=0,0001), tidak terdapat hubungan konsentrasi kalsidiol dengan aliran TIMI dan polimorfisme gen CYP27B1 dengan p=0,232. Konsentrasi kalsidiol tinggi pada kasus dimungkinkan sebagai respon tubuh terhadap inflamasi yang mengalami serangan jantung. Polimorfisme TT kasus 28% tidak memiliki hubungan terhadap patofisiologi aliran TIMI akhir.

STEMI is an AMI with a high risk of mortality. The risk is reduced by revascularization called by IKPP Cardiovascular disorders are associated with decreased vitamin D concentrations. The decrease could be due to the SNP gene CYP27B1 which encodes the enzyme 1α hydroxylase and no studies have linked vitamin D concentrations in STEMI patients undergoing IKPP. IKPP results in the form of block area and the ability of blood to flow to the coronary blood vessels, known as TIMI grade 0-3. The aim of this study was to analyze the relationship between calcidiol concentrations and the CYP27B1 gene (-rs10877012) G to T changes in STEMI undergoing IKPP with TIMI flow. One hundred STEMI and control subjects collected 3 mL of blood. Plasma concentration of calcidiol was measured using the ELISA technique. PBMCs were analyzed CYP27B1 gene (- rs10877012) by taqman probe qRT PCR. Data were analyzed by statistical significance of 0.05. Median calcidiol concentration of 35.94 ng / ml cases and 20.89 ng / ml controls was significantly different (p = 0.0001). CYP27B1 gene variation in the two groups was significantly different (p = 0.0001), with TT polymorphism of 28% and 19% of controls. The correlation between calcidiol concentration and CYP27B1 gene polymorphism was significantly different (p = 0.0001), there was no correlation between calcidiol concentration and TIMI flow and CYP27B1 gene polymorphism with p = 0.232. The high calcidiol concentration in this case may be the body's response to inflammation following a heart attack. The TT polymorphism of 28% cases had no relationship to the pathophysiology of late TIMI flow."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadlia Fardhana
"Clinical pathway merupakan sebuah alat untuk menjaga kualitas pelayanan dan efisiensi biaya dengan cara menstandarkan pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari implementasi clinical pathway terhadap peningkatan kualitas pelayanan dan pengeluaran biaya yang lebih efisien. Analisis dampak dari implementasi clinical pathway dilakukan dengan cara membandingkan lama hari rawat, pelayanan, dan tagihan antara kelompok sebelum dan setelah implementasi clinical pathway dengan standar pelayanan. Tidak ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara sebelum dan setelah clinical pathway pada lama hari rawat yaitu sebesar 5,9 hari, namun pada setelah clinical pathway terjadi penurunan variasi dan lebih mengikuti standar dalam clinical pathway. Variasi laboratorium dan radiologi mengalami penurunan pada kelompok setelah clinical pathway namun pada obat terjadi peningkatan jumlah variasi. Tagihan pasien mengalami kenaikan yang signifikan yaitu sebesar 19,66%. Peningkatan tagihan disebabkan oleh lama hari rawat yang cenderung lebih panjang pada kelompok setelah clinical pathway sehingga meningkatkan biaya akomodasi dan tindakan. Rumah sakit perlu melibatkan seluruh tenaga kesehatan terkait mulai dari proses pembuatan clinical pathway hingga implementasinya agar proses implementasi menjadi lebih maksimal. Selain itu, diperlukan peninjauan dan sosialisasi perihal peraturan terkait Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan, Panduan Praktik Klinis, dan clinical pathway oleh Kementerian Kesehatan, serta diperlukan kerja sama antara rumah sakit, Kementerian Kesehatan, dan BPJS dalam penyusunan hospital base rate untuk perbaikan tarif INACBG.

Clinical pathway is a tool to maintain service quality and cost efficiency by standardizing services. This study aims to determine the variations of medical services and costs by comparing before and after clinical pathway implementation. Medical services that were compared with service standard were length of stay and medical services including laboratory, radiology, and drugs. In this study, costs were the calculation of patients bills. There was no significant difference between the average length of stay before and after the clinical pathway, which was 5.9 days, but after clinical pathway group followed standard more precise with a decrease in variation. Laboratory and radiological variations decreased in the group after clinical pathway but for the drugs, there was an increase in the number of variations. Patient bills experienced a significant increase of 19.66%. The increase of patient bills was caused by length of stay which tend to be longer in groups after clinical pathway, thereby increasing accommodation and medical service costs. Hospitals need to involve all related medical practitioner starting from clinical pathway planning process to the implementation, so then the implementation become better. In addition, it is necessary to review and socialize regulation regarding National Health Service Guidelines, Clinical Practice Guidelines, and clinical pathway by the Ministry of Health, and cooperation between hospitals, Ministry of Health, and Social Insurance Administration Organization is required in preparation of base rate hospitals to improve INA-CBG tariffs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Sutanto
"Infark Miokard Akut, satu subkelas dari Sindrom Koroner Akut, terjadi bila ada obstruksi total arteri koroner. Terapi reperfusi yang tepat waktu seperti primary angioplasty bersama dengan stratifikasi risiko diperlukan untuk mencapai prognosis yang lebih baik, yaitu ditunjukkan oleh trombolisis akhir pada aliran infark miokard (TIMI). Leukosit sangat berkorelasi dengan proses inflamasi dan dengan demikian memberikan peluang untuk menjadi prediktor yang berbiaya rendah dan efektif untuk final TIMI flow. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah tingkat leukosit saat admisi dapat dihubungkan dengan final TIMI flow agar bisa dilakukan penatalaksanaan yang lebih spesifik dan agresif agar mengarah pada prognosis yang lebih baik. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang menganalisa data pasien yang mencakup final TIMI flow, tingkat leukosit saat admisi dan variable lain seperti gula darah saat admisi dan kadar kreatinin. Terdapat 3,704 sampel yang dianalisis dari registri Jakarta Acute Coronary syndrome (JAC) menggunakan program SPSS. Tingkat leukosit saat admisi berhubungan dengan final TIMI flow pada pasien dengan infark miokard yang sudah melakukan tindakan primary angioplasty. Terdapat hubungan statistik antara tingkat leukosit saat admisi dan final TIMI flow pada pasien (p=0.002) Terdapat hubungan bermakna antara tingkat leukosit saat admisi dengan final TIMI flow setelah dilakukan primary angioplasty pada pasien STEMI, di mana tingkat leukosit <13020/μl dikaitkan dengan aliran TIMI yang lebih baik. Hasil ini menunjukan bahwa tingkat leukosit dapat digunakan sebagai alat bedside yang murah untuk menilai prognosis pasien.

Acute Myocardial Infarction, a subclass of Acute Coronary Syndrome, happens when there is total coronary artery obstruction. A timely reperfusion therapy by primary angioplasty along with risk stratification is needed to achieve a better prognosis denoted by the final thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow. Leukocytes are strongly correlated with the inflammation process and thus present an opportunity to be a low cost and effective predictor of final TIMI flow. This research aims to see whether leukocyte level on admission can be associated with final TIMI flow in order to make a more specific and aggressive management that leads to better prognosis. The research is an analytical cross-sectional study that analyzes patient's data including final TIMI flow, leukocyte level on admission and other variables such as admission blood glucose and creatinine level. There are 3,704 samples analyzed from the Jakarta Acute Coronary syndrome (JAC) registry using the SPSS program.Admission leukocyte levels are associated with final TIMI flow of STEMI patients that has been treated with primary angioplasty. There is a statistical significance between admission leukocyte level and final TIMI flow of patients (p=0.002). There is a significant association between leukocyte level of patients on admission and final TIMI flow after primary angioplasty in STEMI patients, in which a leukocyte level of <13020/μl is associated with a better TIMI flow. This shows leukocyte level can be used as an inexpensive bedside tool to assess a patient's prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>