Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67717 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mirna Albertina Wijaja
"Latar belakang: Keganasan pankreas merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas signifikan di dunia dengan 90% kasus adalah adenokarsinoma yang umumnya terdiagnosis stadium lanjut karena tidak memiliki gejala klinis spesifik dan keterbatasan dalam menegakkan diagnosis. Adenokarsinoma pankreas disebabkan oleh perubahan histologik dari neoplasma intraepitelial pankreas (PanIN) dan mutasi genetik antara lain aktivasi onkogen KRAS serta inaktivasi gen supresor tumor seperti CDKN2A/p16, p53, BRCA2 dan Small Mothers Against Decapentaplegic 4 (SMAD4) atau disebut juga Deleted in Pancreatic Cancer, locus 4 (DPC4). Mutasi DPC4 ditemukan pada 55% kasus dan relatif spesifik pada adenokarsinoma pankreas. Penelitian ini dilakukan untuk menilai ekspresi DPC4 pada adenokarsinoma pankreas dengan sampel fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dengan tujuan meningkatkan akurasi diagnosis.
Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel diambil dari data arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM terdiri atas kelompok data berpasangan dengan 9 kasus adenokarsinoma dan 5 kasus nonadenokarsinoma dari Januari 2012-Agustus 2018 serta kelompok data tidak berpasangan dengan 10 kasus adenokarsinoma dari Januari 2017-Agustus 2018. Dilakukan pulasan DPC4 pada sampel sitologi dan histopatologik. Penilaian mengunakan persentase cut off positif >50% sel tumor.
Hasil: Ekspresi DPC4 negatif didapatkan pada 5 kasus adenokarsinoma dan 0 kasus nonadenokarsinoma data berpasangan, serta 5 kasus adenokarsinoma data tidak berpasangan. Uji Fisher s exact yang dilakukan mendapatkan hasil ekspresi DPC4 pada adenokarsinoma dan nonadenokarsinoma data berpasangan tidak berbeda bermakna dengan nilai p>0.05.
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara ekspresi DPC4 pada adenokarsinoma dan nonadenokarsinoma.

Background: Pancreatic malignancy is one of the causes of significant morbidity and mortality in the world with 90% of cases were adenocarcinomas which are generally diagnosed in advanced stages because there is no specific clinical symptom and limitation in making a diagnosis. Pancreatic adenocarcinoma is caused by histological changes of intraepithelial pancreatic neoplasms (PanIN) and genetic mutations including activation of KRAS oncogenes and inactivation of tumor suppressor genes such as CDKN2A/p16, p53, BRCA2 and Small Mothers Against Decapentaplegic 4 (SMAD4) or also called Deleted in Pancreatic Cancer, locus 4 (DPC4). DPC4 mutations is found in 55% of cases and relatively specific in pancreatic adenocarcinoma. This study was conducted to assess the expression of DPC4 in pancreatic adenocarcinoma using a fine-needle aspiration biopsy (FNAB) sample to increase diagnosis accuracy.
Materials and methods: This was a cross-sectional study. Samples were taken from archival data of the Anatomical Pathology Department of FKUI/RSCM consisting of paired data group with 9 cases of adenocarcinoma and 5 cases of nonadenocarcinoma from January 2012 to August 2018 and unpaired data group with 10 cases of adenocarcinoma from January 2017 to August 2018. All cytology and histopathologic samples were stained with DPC4 antibody and evaluated using a positive cut-off> 50% of tumor cells.
Results: Negative DPC4 expression was found in 5 cases of adenocarcinoma and 0 cases of nonadenocarcinoma in paired data group, and 5 cases of unpaired data group adenocarcinoma. The Fisher s exact showed no significant difference of DPC4 expression between adenocarcinoma and nonadenocarcinoma paired data group with p value> 0.05.
Conclusion: There was no significant difference in the expression of DPC4 between adenocarcinoma and nonadenocarcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muliyadi
"ABSTRAK
Latar belakang Akurasi triple diagnostic USG guided FNAB untuk menentukan keganasan pada kasus nodul tirodi masih belum diketahui. Hal tersebut penting untuk diketahui sehingga tindakan definitif dan jenis operasi dapat ditentukan tanpa harus dilakukan pemeriksaan potong beku.Metode Penelitian dilakukan pada 131 pasien dengan pembesaran kelenjar tiroid pada periode Januari 2014 ndash; Desember 2014 dengan menggunakan desain potong lintang. Penelitian ini menghitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, akurasi triple diagnostic dengan USG guided FNAB dibandingkan dengan histopatologi.Hasil Hasil penelitian ini menunjukan triple diagnostic yang concordant ganas memiliki sensitivitas 81,17 , spesifisitas 96,55 , nilai prediksi positif 98,57 , nilai prediksi negatif 36,36 , dan akurasi 85,08 .Kesimpulan Tingginya nilai prediksi positif yang didapatkan dalam penelitian ini, sehingga triple diagnostic dapat digunakan untuk terapi definitif tanpa dilakukan pemeriksaan potong beku intra operatif.

ABSTRACT
Background The triple diagnostic accuracy with Ultrasound guided FNAB to determine the risk of malignancy in cases of thyroid nodules remains unknown. It is important to know so that definitive measures and types of operations can be determined without the need for a frozen section. Methods The study was conducted using cross sectional design on 131 patients with thyroid nodule in the period of January 2014 December 2014. This study calculated the values of sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, triple diagnostic accuracy with ultrasound guided FNAB compared with histopathological result.Results This study show triple diagnostic with malignant concordant has sensitivity of 81.17 , specificity of 96.55 , positive predictive value of 98.57 , negative predictive value of36.36 , and 85.08 accuracy.Conclusions The high positive predictive values obtained in this study, show that triple diagnostic can be used for definitive therapy without intraoperative frozen section"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST adalah sarkoma jaringan lunak yang sulit dibedakan dengan beberapa sarkoma sel spindel karena morfologinya yang serupa. MPNST bersifat agresif dengan angka rekurensi yang tinggi dan cenderung bermetastasis terutama ke paru.Tipe histologik dan lokasi termasuk faktor yang menentukan prognosis MPNST. Terapi kombinasi pada MPNST dengan reseksi komplit, kemoterapi, dan radiasi belum meningkatkan kesintasan pasien MPNST. Anti terhadap Epidermal growth factor receptor EGFR telah dipakai dalam terapi untuk tumor epitelial ganas, sedangkan penggunaannya pada sarkoma masih dalam penelitian. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan histologik dan variabel prognostik klinis lainnya.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pemilihan sampel secara konsekutif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM tahun 2007-2015. Diagnosis MPNST ditegakkan secara histopatologik dan imunohistokimia. Dilakukan pulasan imunohistokimia EGFR pada MPNST derajat tinggi dan MPNST derajat rendah dengan penilaian semikuantitatif, serta menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan dan variabel klinis seperti usia, jenis kelamin, ukuran, lokasi tumor dan batas sayatan.
Hasil: Ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan MPNST derajat rendah 80 vs 20 , p=0,000 .Terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan MPNST. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan usia, jenis kelamin, lokasi tumor, ukuran tumor dan batas sayatan.
Kesimpulan: Peningkatan ekspresi EGFR sejalan dengan peningkatan derajat histologik, sehingga dapat digunakan untuk membantu menentukan progressifitas MPNST.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015. MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size , location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000 . There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fetisari Kurniawan
"Latar belakang: Pemfigoid bulosa merupakan kelompok penyakit bula subepidermal autoimun terbanyak. Patogenesis yang mendasari timbulnya penyakit ini adalah adanya ikatan antibodi terhadap antigen BP180 NC16A yang merupakan komponen dari hemidesmosom. Ikatan antibodi-antigen ini selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Deposit imun yang terbentuk kemudian dapat diperiksa menggunakan direct immunofluorescence (DIF). Salah satu molekul yang juga dihasilkan pada proses aktivasi komplemen adalah C4d. Molekul ini dianggap cukup stabil dan dapat digunakan sebagai penanda adanya kerusakan jaringan yang dimediasi oleh antibodi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ekspresi imunohistokimia (IHK) C4d menggunakan formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE) pada kasus pemfigoid bulosa.
Bahan dan cara kerja: Sampel penelitian terdiri atas 28 kasus pemfigoid bulosa yang terbukti mengandung deposit imun pada pemeriksaan DIF. Seluruh kasus dipulas menggunakan Complement C4d Rabbit Polyclonal Antibody. Penilaian ekspresi IHK C4d dilakukan secara tersamar dan dinyatakan sebagai positif atau negatif.
Hasil: Sebanyak 25 dari total 28 kasus pemfigoid bulosa (89,3%) menunjukkan C4d terekspresi positif pada pemeriksaan IHK.
Kesimpulan: Pulasan IHK C4d menggunakan FFPE dapat digunakan untuk mendeteksi deposit imun pada kasus pemfigoid bulosa.

Background: Bullous pemphigoid is the most frequent autoimmune subepidermal blistering disease. It is caused by the production of autoantibodies against BP180 NC16A, a component of hemidesmosome. Binding of autoantibodies to their target antigen lead to complement activation. Subsequently, immune deposits formation can be identified by direct immunofluorescence (DIF). One split product that also produced during complement activation is C4d. It is known as an inactive molecule that can be used as marker of antibody mediated tissue injury. The aim of this study was to investigate the expression of C4d immunohistochemically using formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE) in bullous pemphigoid cases.
Material and methods: Immunohistochemical (IHC) stain was performed on 28 bullous pemphigoid cases proven to have immune deposits by DIF. All of these cases were labeled immunohistochemically using Complement C4d Rabbit Polyclonal Antibody. The results were blindly reviewed and defined as positive or negative.
Results: Immunoreactivity with C4d were identified in 25 out of 28 bullous pemphigoid cases (89.3%).
Conclusion: C4d IHC stain using FFPE can be used to detect immunoreactant deposition in case of bullous pemphigoid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfikli Malik
"Beberapa kesulitan yang berperan dalam proses pemeriksaan pada sediaan biopsi isap rektum untuk diagnosis penyakit Hirschsprung, telah ditemukan pada pemakaian pewarnaan H&E dan Asetilkolin esterase. Oleh karena itu perlu dicari suatu prosedur diagnostik lain yang mungkin dapat memecahkan masalah ini, yaitu dengan pemakaian pewarnaan imunohistokimia neuronspesifik enolase (NSE) dan protein S-100.
Tujuan penelitian ini untuk melihat kemampuan tehnik pewarnaan imunohistokimia NSE dan protein S-100 mempertajam diagnosis morfologik penyakit Hirschsprung, terhadap sediaan-sediaan yang telah diwarnai dengan H&E yang hasilnya inkonklusif atau meragukan.
Penelitian dilakukan terhadap 37 buah sediaan histopatologi biopsi isap rektum dari arsip Bagian Patologi Anatomik FKUI/RSCM, dengan diagnosis klinik penyakit Hirschsprung atau dugaan penyakit Hirschsprung. Terdiri atas 7 sediaan yang dengan H&E diagnosisnya Hirschsprung dan 30 diagnosisnya inkonklusif. Juga disertakan beberapa-sediaan reseksi yang ada diagnosisnya dari kasus yang diteliti sebagai kontrol ketepatan diagnosisnya. Pewarnaan ulang dengan tehnik imunohistokimia menurut metoda StreptAvidinbiotin, dilakukan setelah pewarnaan H&E nya dilunturkan terlebih dahulu.
Hasil penelitian menunjukkkan bahwa kemampuan pewarnaan protein S-100 pada sediaan H&E yang representatif dengan diagnosis penyakit Hirschsprung, nilainya sama untuk menampilkan serabut saraf hipertrofik dan sedangkan untuk menampilkan ganglion lebih baik bila dibandingkan dengan H&E. Terhadap sediaan H&E inkonklusif yang representatif atau tidak representatif sangat baik sekali dibandingkan H&E. Bahkan ketepatannya sama dengan diagnosis sediaan reseksinya (100%).
NSE rendah positivitasnya pada sediaan H&E konklusif dan inkonklusif dalam penampilan serabut saraf hipertrofik, walaupun penampilan sel ganglionnya sama dengan protein S-100. Juga ketepatan diagnosisnya rendah dibandingkan diagnosis reseksinya (22,22%).
Kesimpulan yaitu telah ditemukan cara pengelolaan sediaan histopatologik, yang dapat digunakan untuk mempertajam akurasi morfologik penyakit Hirschsprung, pada sediaan biopsi isap rektum yang sebelumnya telah diwarnai dengan H&E tetapi hasilnya inkonklusif; Yaitu dengan tehnik imunohistokimia NSE dan Protein S-100 pada sediaan tersebut, dengan melunturkan pewarnaan H&E nya terlebih dahulu dan dengan diharapkan preparasi sampel jaringan yang lebih baik sebelumnya."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Background: In many developing countries, like Indonesia, most patients with oral mass lesion, i.e. infection, inflammation, even cancer came to the hospital at late stage of the diseases. Some of them afraid of endure suffering a killer disease, either after a biopsy or even should undergo an operation. Fine needle aspiration (FNA) biopsy is a technique rarely used to diagnose oral and oropharyngeal lesion. This technique seems promise a convenience, painless, accurate, safe, and easy to use to help patients and surgeons, and have been demonstrated repeatedly. Objectives: This case report emphasized many advantages of FNA biopsy to examine oral mass lesions and its metastasis to lymph node. Materials and methods: Under a local anesthesia, incisional biopsy and FNA biopsy were done on four cases of oral mass lesions. All samples were prepared for microscopic examination with Hematoxylin-Eosin (HE) staning and with Diff-Quick or Papaniculaou staining. Results: Incisional biopsy showed features of malignancy asthe same as FNA biopsy. There were bigger cells with high ratio between cells and nucleus, hyperchromatic nucleoli, and mitotic cells that refers to Squamous cell carcinoma. FNA biopsy from the nearest lymph node showed clumps atypia cells, prominent nucleoli, nuclear hyperchromatic and pleomorphism. Conclusion: FNA biopsy could well diagnose on oral mass lesions and the adjacent lymph node. FNA biopsy has many advantages particularly its convenience, painless, ease to use, cost effectiveness, and accuracy."
Jakarta: Journal of Dentistry Indonesia, 2009
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders, 2014
616.075 83 DIA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar Hamzah
"Latar Belakang : Tingkat akurasi EUS FNA dalam diagnosis lesi pankreas diduga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi keberhasilan EUS FNA belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan EUS FNA untuk diagnosis lesi pankreas pada populasi Indonesia.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari data rekam medis pada januari 2012-Juli 2022 atau total seluruh subjek yang dilakukan EUS FNA karena lesi pankreas di PESC RSCM. Pasien dengan data tidak lengkap dan lesi peripankreas tidak diikutkan. Karakteristik dasar subjek penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel. Analisis bivariat menggunakan uji chi square dilakukan dengan masing-masing variabel bebas terhadap keberhasilan diagnostik EUS FNA untuk menghitung nilai odds ratio (OR). Variabel dengan nilai p< 0,25 pada analisa bivariat dimasukkan ke analisa multivariat dengan regresi logistik.
Hasil : Sebanyak 201 pasien dengan lesi pankreas yang menjalani pemeriksaan EUS FNA diikutkan dalam penelitian. Angka keberhasilan diagnostik EUS FNA pada lesi pankreas adalah sebesar 77,11%. Ukuran lesi ³3 cm diasoasikan dengan peningkatan keberhasilan diagnosis EUS FNA berdasarkan analisis bivariat (OR 2,46; IK95 1,25-4,86; p= 0,008). Analisis multivariat menunjukan bahwa ukuran lesi ³3 cm (OR 18,95; IK95 4,77-75,29; p = 0,000),  lokasi lesi di korpus (OR 2.82; IK95 1.03-7.77; p= 0,04) dan ukuran jarum 22G (OR 7.49; IK95 1.87-29.97; p= 0.004) diasoasikan dengan peningkatan keberhasilan diagnosis. 
Kesimpulan : Ukuran lesi, lokasi lesi dan ukuran jarum, merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan diagnostik EUS FNA pada lesi pankreas.

Background: Diagnostic accuracy of EUS FNA in diagnosing pancreatic lesion are affected by several factors. Clinical study regarding these factors had not been done in Indonesia. This study aims to study factors affecting the diagnostic yield of EUS FNA in diagnosing pancreatic lesion in Indonesian population. 
Method: This study is a cross-sectional study of medical record data in January 2012-July 2022 or a total of all subjects who underwent EUS FNA due to pancreatic lesions at PESC RSCM. Patient with incomplete data and peripacreatic lesion was excluded. Clinical characteristics of sample is presented in a table. Bivariat analysis was conducted with chi square test between independent factors and diagnostic success of EUS FNA to obtained the odds ratio (OR). Factors with p-value above 0,25 are included for multivariat analysis using logistic regression.  
Result: A total of 201 patients underwent EUS FNA was included in this study. Success rate of diagnosing pancreatic lesion using EUS FNA was 77,11%. Lesion size ³3 cm increased the odds for diagnostic success based on bivariat analysis (OR 2,46; 95% CI 1,25-4,86; p = 0,008). Multivariate analysis showed that the lesion size ³ 3 cm (OR 18.95; CI95 4.77-75.29; p = 0.000), the location of the lesion in the corpus (OR 2.82; CI95 1.03-7.77; p = 0.04) and needle size 22G (OR 7.49; CI95 1.87-29.97; p= 0.004) was associated with an increase in diagnostic yield.
Conclusion: The size of the lesion, the location of the lesion and the size of the needle, are factors that influence the diagnostic yield of EUS FNA in pancreatic lesions
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker tiroid merupakan keganasan endokrin yang paling sering ditemukan dan insidennya semakin meningkat. Meskipun metode biopsi aspirasi jarum halus memiliki sensitivitas yang baik dalam mendiagnosis nodul tiroid, sebanyak 10-40 masih memberikan hasil inkonklusif dalam penentuan keganasan. Hal ini sering merugikan pasien karena harus mengalami re-operasi apabila terdapat keganasan pada hasil histopatologi.Tujuan Penelitian: Mengetahui proporsi dan mendapatkan nilai diagnostik dari pemeriksaan mutasi BRAF, NRAS, dan promoter TERT pada spesimen BAJAH untuk meningkatkan akurasi diagnosis kanker tiroid.Metode Penelitian: Studi retrospektif dengan mengikutsertakan 50 pasien nodul tiroid yang memerlukan pembedahan. Spesimen diambil pada saat proses BAJAH atau pasca operasi. Deteksi mutasi BRAF, NRAS, dan promoter TERT menggunakan metode DNA sekuensing Sanger . Hasil mutasi akan dibandingkan dengan pemeriksaan baku emas histopatologi.Hasil: Dari 50 kasus yang ikut dalam analisis, terdapat 39 kasus 78 merupakan keganasan tiroid. Nilai proporsi mutasi BRAF, NRAS, dan pTERT berturut-turut sebesar 31 , 18 , dan 13 . Uji diagnostik mutasi BRAF menghasilkan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif berturut-turut 31 , 100 , 100 , 29 terhadap kanker tiroid. Untuk mutasi NRAS sebesar 18 , 100 . 100 , 26 . Sedangkan untuk mutasi pTERT sebesar 13 , 100 , 100 , 24 . Jika ketiga mutasi tersebut dikombinasikan, maka nilainya akan meningkat menjadi 49 , 100 , 100 , 35 . Kesimpulan: Pemeriksaan mutasi BRAF, NRAS dan promoter TERT pada kanker tiroid masing-masing memiliki spesifisitas yang tinggi. Jika ketiganya dikombinasikan maka akan meningkatkan sensitivitas untuk membantu dalam meningkatkan akurasi diagnosis keganasan tiroid.

ABSTRACT
Background Thyroid cancer is the most common endocrine malignancy and it rsquo s incidence is on the rise. Although the fine needle aspiration biopsy FNAB has a good sensitivity in the diagnosis of thyroid nodules, as much as 10 40 still gives inconclusive results in malignant determination. This is often detrimental to patients having to undergo re surgery if there is a malignancy in the histopathologic outcome.Aim To establish the proportion and diagnostic value of BRAF, NRAS, and TERT promoter mutation detection on FNAB specimens to improve the accuracy of thyroid cancer diagnosis.Methods The retrospective study by involving 50 patients with thyroid nodules surgery. Specimens were taken during the FNAB or postoperative process. Detection of BRAF, NRAS, and TERT promoter mutation using DNA sequencing method Sanger . The mutation results will be compared with the histopathologic gold standard examination.Resuts Of the 50 cases involved in the analysis, there were 39 cases 78 of thyroid malignancies. The proportion of BRAF, NRAS, and pTERT mutations was 31 , 18 , and 13 , respectively. BRAF mutation diagnostic test results in sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value were 31 , 100 , 100 , 29 respectively. For NRAS mutation were 18 , 100 . 100 , 26 . As for pTERT mutation were 13 , 100 , 100 , 24 . If the three mutations are combined, then the value will increase to 45 , 100 , 100 , 35 .Conclusion Detection mutations of BRAF, NRAS and TERT promoters in thyroid cancer have a high specificity. If all three are combined it will increase the sensitivity to improve the accuracy of the diagnosis in thyroid malignancy."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Aplikasi metabolomik dalam analisis subtipe kanker payudara dinilai cukup menjanjikan, salah satunya melalui penilaian profil asam amino. Informasi profil asam amino pada pasien kanker payudara berperan penting dalam tatalaksana pengobatan dan prognosis kanker payudara. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan suatu pola perubahan asam amino pada pasien kanker payudara dibandingkan kontrol orang sehat, yang mengindikasikan kaitan asam amino dengan kanker payudara. Beberapa asam amino dapat menjadi biomarker yang menunjukkan adanya asosiasi dengan progresivitas kanker maupun subtipe IHK kanker payudara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan profil asam amino berdasarkan subtipe imunohistokimia kanker payudara. Penelitian menggunakan studi desain potong lintang yang melibatkan 51 pasien kanker payudara di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sampel darah pasien yang terdiagnosis kanker payudara diukur kadar asam aminonya menggunakan metode HPLC dan nilai yang diperoleh dibandingkan dengan nilai rujukan normal untuk mengetahui adanya pola kenaikan dan penurunan. Pola asam amino akan dianalisis dan diuji asosiasinya berdasarkan pengelompokan subtipe imunohistokimia, yang dibagi menjadi Luminal A, Luminal B+HER2 dan Triple Negative Breast Cancer (TNBC) Sebanyak 51 pasien kanker payudara didominasi oleh kelompok Luminal B+HER2 diikuti oleh Luminal A dan TNBC. Sebagian besar pola asam amino berdasarkan subtype IHK menunjukkan kadar normal, kecuali asam amino arginin dan histidin yang mengalami peningkatan pada kelompok Luminal A dan Luminal B+HER, serta penurunan kadar asam amino ornitin pada kelompok TNBC. Analisis bivariat meunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0.05) antara asam amino arginin dan ornitin dengan subtipe IHK. Luminal B+HER2 menjadi kelompok subtipe imunohistokimia kanker payudara yang mendominasi. Berdasarkan 19 asam amino yang diuji, asam amino dari ketiga kelompok subtipe imunohistokimia cenderung normal, dimana hanya tiga asam amino yang menunjukkan pola perubahan, yaitu histidin, ornitin dan arginin. Asam amino arginin dan ornitin menunjukkan hubungan yang signifikan dengan subtipe imunohistokimia. 

Metabolomic approach to analyze the immunohistochemistry subtype in breast cancer is a promising tool, especially measuring amino acid levels. The amino acid profile on breast cancer patients has a significant role as guidance and prognosis. Previous studies showed alteration of amino acid levels in breast cancer patients compared to healthy women, indicating an association between amino acid and breast cancer. Some amino acids can be used as a biomarker for determining a relationship between breast cancer with cancer progression or immunohistochemistry. This study aims to investigate the association of amino with immunohistochemistry in breast cancer. This is a cross-sectional study that involved 51 breast cancer patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo. A blood sample was collected from patients and analyze using High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) methods to calculate the level of amino acid. The measurement of amino acid was compared to standard to determine amino acid alteration whether amino acid is increased or decrease. The data are analyzed and tested statistically to investigate the association of amino acid alteration based on three categories of immunohistochemistry (Luminal A, Luminal B+HER2 dan Triple-Negative Breast Cancer (TNBC)). A total of 51 breast cancer patients showed Luminal B+HER2 group has the highest frequency of immunohistochemistry subtype, followed by Luminal A and TNBC, respectively. There were mostly no changes in amino acid levels among the three subtypes, except arginine and histidine, which showed increased amino acid levels in Luminal A and Luminal B+HER2, whereas a decrease of ornithine level showed in TNBC group. Bivariate analysis showed significantly association between amino acid arginine and ornithine with immunohistochemistry subtype in breast cancer (p<0.05).  The majority of immunohistochemistry subtypes in breast cancer were Luminal B+HER2. Out of 19 amino acids, most of the amino acid are stable in three groups, excluding arginine, histidine and ornithine. Arginine dan ornithine showed a significantly association with immunohistochemistry subtype of breast cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>