Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161418 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosyada
"Kopi merupakan salah satu minuman yang telah dikenal secara mendunia termasuk di Korea Selatan. Rutinitas minum kopi masyarakat Korea Selatan sudah membentuk sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi sebuah budaya minum kopi di Korea Selatan. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kebiasaan yang berbeda apabila mengaitkan budaya minum kopi dengan diferensiasi gender. Perbedaan kebiasaan tersebut akankah tetap berbeda, apabila individu Korea berada di luar Korea Selatan, seperti mahasiswa Korea di Universitas Indonesia.  Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas diferensiasi gender pada budaya minum kopi ditinjau dari studi habitus dan lingkungan. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan meggunakan tinjauan pustaka dari buku, jurnal, situs internet, pengambilan data berupa kuesioner , dan melakukan wawancara kepada  mahasiswa Korea di Universitas Indonesia sebagai sample dari individu Korea yang berada di luar Korea Selatan. Hasil penilitan ini menunjukkan gender dapat mempengaruhi kebiasaan seseorang dalam menjalani budaya minum kopi, khususnya saat berada di Korea Selatan. Akan tetapi, saat individu tersebut berada di luar Korea, kebiasaan yang dilakukan akan menyesuaikan dengan lingkungan baru yang ada.
Coffee is one of the famous drinks that have been known worldwide, incluiding South Korea. Coffee drinking routine by South Korean people become a habit and later formed a coffee culture in South Korea. Both men and women have different habits when connecting coffee culture with gender differentiation. The difference in coffee drinking habits will remain the same or not, if  South Korean people live outside South Korea, such as Korean Scholars in University of Indoneisa. Therefore, the author is interested in how gender differentiation in coffee culture by point of view from habitus and field theory concept by Pierre Boudieu. The author uses qualitative methods by using books, journals, internet sites, giving a questioner, and interview a Korean Scholar in University of Indonesia for data collection. Korean Scholar in University of Indonesia will become author sample, as Korean people who live outside South Korea. The result of this paper shows that gender differentiation can affect a person when doing a coffee culture, especially in South Korea. However, when a South Korean people lives outside their country like in Indonesia, their habit will adapt to the new environment."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Awalia Rahma
"Selain sebagai nama sebuah pulau, ?Jawa? juga dikenal sebagai nama generik kopi yang dikenal dunia sejak abad ke-18 hingga saat ini karena kualitas premiumnya. Termasuk ke dalam budaya minum kopi adalah hal-hal terkait kopi seperti aktivitas, penyiapan, tempat dan konteks, suasana yang dibangun dan teknologi di dalamnya. Studi ini berusaha menjawab tiga pertanyaan terkait pelacakan budaya minum kopi di Jawa; bagaimana budaya minum kopi membentuk gaya hidup dan identitas masyarakat, serta makna budaya minum pada tiga tempat: domestik, lingkup kerja, dan hiburan, menggunakan pendekatan sejarah praktek keseharian. Praktek keseharian dalam studi ini merupakan praktek individu dan masyarakat yang melibatkan kopi dalam aspek sosial-budaya, politik, ekonomi dan agama. Studi menemukan bahwa kopi sudah dikenal dan dikonsumsi masyarakat di Jawa jauh sebelum diperkenalkan oleh Belanda pada akhir abad ke- 17. Budaya minum kopi di Jawa sangat kaya dan terbentuk dari praktek keseharian keluarga di rumah, di tempat kerja dan melebar ke tempat-tempat hiburan. Selain itu konsumsi kopi juga ditemukan di tempat lain seperti tempat ibadah, tempat belajar, perjalanan, pengasingan, dan sebagainya. Pada tempattempat tersebut kopi memperlihatkan makna beragam bagi individu dan masyarakat, yang membedakan gaya hidup dan identitas bangsa dan kelas sekaligus meleburnya pada saat yang sama melalui tempat yang berbeda, jenis minuman kopi yang dikonsumsi, kualitas kopi, peralatan minum, dan sebagainya.

Java, "the Garden of the East", is a name for an island where different people lived together coast to coast. It is also recognized for the generic name of world premium quality coffee. Coffee culture includes everything relate to coffee in terms of its activity, preparation, places and contexts, ambiance, technology, etc. This theme is still largely overlooked in the previous studies. The existing studies paid more attention to the history of plantation and economic aspects of coffee otherwise. A three-fold research questions are mostly directed on: a) the historical traces of coffee in Java; b) how coffee culture in Java shaped its people?s identity and lifestyle; and c) the meaning of coffee culture in three main loci: at home, at work, and at play. Using the everyday practice approach which can be explained as a patchwork of individuals and social practices by exploring social, cultural, political, economic and religious aspects of coffee in people?s everyday lives, this study eventually found: a) coffee has long been consumed in Java before it was introduced by the Dutch; b) coffee culture in Java were rich, started by individuals? everyday practices in their homes at any times, followed by practices in the workplace during the day, and at play usually during their nights or leisure times; c) coffee signifies individuals and social lives, distinguished the identity as well as everyday lifestyle of nations and class yet disguise their boundaries at the same time through its spatial-geographic place, kind of coffee drink, coffee quality, glassware, etc."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2267
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Irma F.
"Penelitian ini bertujuan mengungkapkan produksi, konsumsi, dan industri budaya suatu orkestra. Penelitian ini menggunakan paradigma teori kritis dengan pendekatan Pierre Bourdieu tentang habitus, field, dan kapital. Penelitian menemukan bahwa pihak orkestra membentuk dan memperkuat taste konsumen. Di balik penyajian orkestra terdapat maksud lain selain budaya. Realitas yang diterima masyarakat sebenamya realitas semu, yaitu realitas yang diatur pihak produsen dan industri guna memenuhi kebutuhan dan prinsip keberhasilan mereka sendiri."
2004
TJPI-III-3-SeptDes2004-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Amalia Hanifah
"Penelitian ini menjabarkan gambaran seorang perempuan keturunan imigran Turki yang terbelenggu oleh budaya Turki tradisional yang dianut keluarganya dalam novel Ein Schnelles Leben Karya Zoë Jenny. Ayse sebagai tokoh utama dalam novel mengalami tekanan yang berasal dari keluarga imigran Turki yang memiliki habitus budaya pingit kepada perempuan. Habitus budaya pingit yang dimaksud merujuk pada pola kehidupan keluarganya yang terus mengatur dan membelenggu anggota keluarga perempuannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif yang berfokus pada analisis data dengan menggunakan serta mencari informasi-informasi dari jurnal, buku, artikel dan literatur-literatur lainnya yang sesuai dengan topik pembahasan. Hal yang menjadi fokus utama dalam penelitian adalah bagaimana bentuk habitus budaya pingit dialami oleh perempuan keturunan imigran Turki dan upaya tokoh utama keluar dari kungkungan keluarganya. Penjabaran kisah yang tertuang pada novel ini didukung oleh teori Pierre Bourdieu mengenai habitus dan ruang sosial. Hasilnya adalah tokoh utama yang mengalami tekanan karena hidup sebagai perempuan keturunan imigran Turki yang dipingit akhirnya bisa menemukan keberanian untuk menentukan pilihan di hidupnya sendiri.

This study lays out the image of a woman of Turkish immigrant descent who is shackled by the traditional Turkish culture her family adheres to in Zoë Jenny's Ein Schnelles Leben novel. Ayse as the main character in the novel experiences pressure that comes from a family of Turkish immigrants who have a pingit culture to women. The pingit culture in question refers to the pattern of life of her family who continues to control and shackle female family members. In this study, the author use qualitative method, that focuses on data analysis from journals, books, articles, and other literature that is relevant with the topic of discussion. The main focus of the study is how pingit culture is experienced by women of Turkish immigrant and the efforts of the main character to get out of the confines of his family. The description of the story contained in this novel is supported by Pierre Bourdieu's theory of habitus and social space. The result is that the main character who is under pressure from living as a shackled woman of Turkish immigrant can finally find the courage to make choices of her own."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Irma F.
"Penelitian ini dilakukan karena melihat gejala maraknya kehidupan orkestra di Indonesia. Penelitian ini berawal dari pemikiran Pierre Bourdieu mengenai konsepnya habitus, field, kapital, yang pada dasarnya dapat saling ber-interplay, yang kemudian dikembangkan dalam pemikirannya mengenai taste, reproduksi budaya, hingga pada pandangan mengenai produksi budaya, yang didalamnya juga termasuk konsumsi budaya. Untuk melengkapi pemahaman mengenai industri orkestra, maka juga digunakan pandangan Adorno dan Horkheirner mengenai industri budaya, dimana didalamnya juga terdapat pemikiran mengenai komodifikasi budaya.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang berusaha mengungkap struktur yang sebenarnya dengan tujuan membentuk kesadaran sosial agar dapat memperbaiki dan merubah kondisi hidup manusia, dan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengambil kasus tiga orkestra yakni Erwin Gutawa Orchestra (EGO), Nusantara Symphony Orchestra (NSO), dan Twilite Orchestra (TO) untuk memberi gambaran mengenai beragam konten atau repertoir yang dimainkan oleh orkestra, dan mendapat data dari para 8 informan yang memberi data beragam mengenai kebijakan orkestra, bagaimana produksi dan konsumsi budaya dari pelaku, konsumen, produser media, hingga pengamat budaya.
Hasil pengamatan dan informasi dari para informan menunjukkan besarnya pengaruh habitus tokoh-tokoh di orkestra, sehingga berpengaruh juga dalam field yang memungkinkan mereka untuk bertindak antara lain dalam menentukan arah atau jalur yang diambil orkestra. Hal ini terlihat pada jalur yang berbeda antara EGO yang mengarah pada musik Indonesia, NSO dengan pilihan repertoirnya yang beragam, dan TO dengan pops orchestra-nya. Namun yang sama adalah ketiga orkestra ini berjuang untuk memperoleh kapital, bukan hanya kapital ekonomi, tetapi juga kapital budaya dan kapital sosial / simbolik, untuk memperkuat keberadaan dan kehadiran mereka ditengah masyarakat.
Masalah taste mereka juga penting dalam keberadaan orkestra, karena produk budaya merupakan taste yang terbentuk, atau meningkat dari pengalaman, hasrat, hingga akhirnya menjadi sebuah karya atau produk budaya. Hal ini juga terlihat dalam produk budaya ketiga orkestra diatas yang dipengaruhi taste para tokohnya. Namun taste juga bisa dihubungkan dengan struktur kelas orang yang mengkonsumsi budaya. Dengan keempat formasi taste yang disampaikan Bourdieu: legitimate, middlebrow, popular, dan pure aesthetic disposition, tampak bahwa hal ini tidak bisa diterapkan seluruhnya pada masyarakat Indonesia yang pada dasarnya memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat Barat. Namun dalam pengamatan lebih jauh, formasi ini tampak walau tidak seperti yang disampaikan Bourdieu, yakni legitimate taste berada dalam kelas dominan, yang kaya dalam kapital ekonomi, pendidikan. Sedangkan taste middlebrow dan popular digabungkan karena umumnya kelas pekerja, atau kelas menengah bawah jarang yang mendengar musik klasik. Oleh karena itu kedua taste ini diperuntukkan bagi kelas menengah atas, termasuk pelajar mahasiswa, yang mendengarkan musik klasik termasuk light classic. Sedangkan karya EGO bisa digolongkan dalam pure aesthetic karena usaha artisbknya membebaskan dia dari pakem klasik yang baku, sehingga bebas mencampurkannya dengan unsur seni yang lain seperti band, musik tradisional.
Masalah pemain orkestra juga menarik karena masih minimnya jumlah musisi sehingga kebanyakan orkestra menggunakan musisi yang `itu-itu juga'. Faktor tingginya biaya penyelenggaraan sebuah konser, menjadikan harga tiket juga cenderung mahal, sehingga makin menambah kesan konser orkestra yang mahal dan eksklusif. Masalah reprodulsi budaya juga penting bagi kehidupan orkestra, karena berhubungan dengan konsumsi orkestra, baik sebagai musisi, atau hanya sekedar untuk mengapresiasi. Untuk itu diperlukan kapital budaya yang mampu memberi kecukupan untuk menjalani kehidupan di masyarakat sebagai sumber sosial. Selain itu, anggapan bahwa orkestra merupakan sesuatu yang eksklusif, mewah, mendorong banyak konsumen untuk menampilkan orkestra dalam acara/event mereka, untuk mencerminkan eksklusiltas atau kemewahan tersebut. Hal yang lama juga terjadi di televisi yang memproduksi acara dengan menggunakan orkestra atau chamber, baik untuk memenuhi permintaan klien atau untuk menyesuaikan target konsumen yang ingin dituju, sehingga pada akhirnya juga meningkatkan gengsi/image acara atau kliennya.
Hal ini membawa pembahasan kepada high culture dan popular culture. Kedua hal ini sebetulnya sangat subyektif. Walaupun di Barat, banyak penampilan orkestra merupakan budaya popular, namun di Indonesia tampaknya musik klasik masih dianggap sebagai budaya tinggi. Namun bagi EGO tampaknya bisa menuju kearah itu karena faktor band atau penyanyi yang diiringinya yang bersifat pop. Ketiga orkestra di atas dalam menjalankan produksinya juga memperhatikan unsur industri budaya. Selain itu ditemukan juga unsur komodifikasi yang mengubah use value menjadi exchange value untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau rnembuat menjadi suatu kebutuhan, sebagai sebuah ilusi.
Hasil penelitian diatas memberi beberapa kesimpulan, yakni besarnya pengaruh habitus yang juga ber-interplay dengan field dan kapital dalam produksi dan juga konsumsi budaya. Selain itu, semakin klasik sebuah taste, berarti diperlukan habitus yang kuat dan kapital budaya/ekonomi yang lebih tinggi. Semakin popular sebuah taste, bisa berarti habitus tidak terlalu kuat atau kapital budaya/ekonomi yang lebih rendah, atau keduanya. Kesimpulan lain mengungkapkan bahwa kelas dan struktur sosial juga mempengaruhi bagaimana seseorang mengkonsumsi budaya, untuk memperkuat perbedaan klasifikasi seseorang. Selain itu, kolaborasi antara produksi dan konsumsi budaya orkestra menghasilkan industri orkestra, karena industri ini banyak berperan dalam produksi budaya yang terkomodifikasi, merasionalisasi teknik distribusi sehingga mencapai sasaran yakni meningkatnya konsumsi budaya akibat pembentukan realitas semu.
Implikasi teoritis dalam penelitian ini memperkuat pendapat Bourdieu mengenai peran habitus dalam diri seseorang termasuk pada budaya yang diproduksi dan dikonsumsinya. Penelitian ini juga memunculkan modifikasi dari formasi taste menurut Bourdieu, sehingga yang tampak adalah hanya ada 3 formasi: legitimate taste, middlebrow - popular taste, serta taste pure aesthetic disposition. Selain itu industri orkestra di Indonesia juga sejalan dengan pendapat Adorno dan Horkheimer mengenai industri budaya yang menyediakan sesuatu bagi semua orang sehingga tidak ada yang dapat lobi dari sergapan produksi budaya tersebut. Pada akhirnya hal ini juga menjadi cerminan terjadinya komodifikasi budaya yang merupakan proses mengubah nilai kegunaan sebuah produk (budaya) menjadi nilai pertukaran produk tersebut. Oleh karena itu penelitian ini memberikan gambaran dan penjelasan mengenai peran kelas, taste, dalam industri, produksi, serta konsumsi orkestra di Indonesia, walau tidak bisa digeneralisasi untuk menggambarkan formasi taste masyarakat Indonesia.
Implikasi sosial penelitian ini bertujuan memberi kesadaran pada masyarakat bahwa dibalik penyajian orkes, terdapat makna, tujuan yang sarat dengan unsur lain selain budaya, yakni ekonomi, politik, sosial. Oleh karena itu hal ini penting diperhatikan dalam memproduksi budaya dan juga dalam mengkonsumsinya. Implikasi praktis dan rekomendasi penelitian ini diberikan untuk kemajuan industri orkestra di Indonesia serta juga perlunya penelitian lanjutan untuk mendapatkan data lain yang tidak diperoleh melalui penelitian ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rismawati
"Skripsi ini membahas budaya minum minuman beralkohol dalam kehidupan sosial masyarakat Korea. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami budaya minum minuman beralkohol dari segi sosial kehidupan masyarakat Korea. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil dari penelitian ini adalah budaya minum minuman beralkohol di Korea adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan dari kehidupan sosial masyarakat karena budaya ini adalah budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu dan memiliki peran penting dalam kehidupan social masyarakat Korea.

The focus of this study is drinking culture in the social life of Korean society. The purpose of this study is to know and understand drinking culture in the social life of Korean society in more detail. This research is qualitative descriptive interpretive. To support this research, the researcher collected a variety of written data sources relevant to the theme of this thesis, ranging from books to articles in the internet.
The results of this study is drinking culture in Korea is something that can not be remove from the social life because this culture is a culture that already exists since ancient times and has an important role in the social life of Korean society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S456
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Santoso
"[ABSTRAK
Pesatnya pertumbuhan media sosial membawa banyak perubahan. Dengan
karakternya yang berbeda dengan media lama, media sosial membuka banyak
kemungkinan, termasuk bagi representasi identitas lokal. Seperti komunitas
Banyumas, mereka menjadikan media sosial sebagai ruang baru untuk
menunjukkan identitasnya. Sebuah pertanyaan mengemuka, apakah kehadiran
media sosial yang berkarakter global akan melemahkan identitas lokal, atau
sebaliknya justru memperkuatnya.Penelitian ini mencoba melihat transformasi
identitas komunitas Banyumas dari ranah offline ke online, dengan melihat
bagaimana realitas kontemporer praktik kebahasaan orang Banyumas dalam
kehidupan sehari-hari dan di media sosial. Pengamatan praktik kebahasaan di
media sosial dikhususkan pada pesan-pesan terpilih di blog, Twitter, dan
Facebook. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu yang
melihat identitas sebagai sebuah kontestasi dalam sebuah ranah dinamis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa karakter dasar orang Banyumas seperti cablaka,
penjorangan, dan dopokan, tergambar kuat dalam berbagai pesan di media sosial.
Uniknya, pesan-pesan ini banyak yang ditampilkan secara kreatif, sebagai bentuk
adaptasi karakter media sosial. Sebagai sebuah kontestasi, representasi identitas
lokal dipengaruhi oleh relasi antara ranah, habitus, dan modal. Ranah
menunjukkan setting media sosial itu sendiri. Sedangkan habitus ditunjukkan oleh
kecenderungan yang berbeda di antara para pengguna Banyumas dengan latar
belakang yang beragam. Sementara modal, ditandai kepemilikan modal yang
berbeda, baik yang berupa modal sosial, budaya, simbolik, maupun modal
ekonomi. Secara teoritis, hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan nilai dan
kekuatan modal, antara realitas offline dan online. Jika di ranah online, modal
ekonomi menjadi dominan perannya, maka di ranah online, modal simbolik lebih
berperan. Secara praktis, hasil penelitan ini menumbuhkan optimisme bahwa
identitas lokal akan terus bertahan, bahkan menguat, di era media sosial.;

ABSTRACT
The rapid growth of social media brings many changes. Distinguishing characters
with the old one, social media opens many possibilities, including the
representation of local identity. For instance, Banyumas community uses social
media as a new space to show their identity. A question arose whether the
presence of social media which has global character may weaken or strengthen
their local identities instead. This study tries to figure out the transformation of
identity of Banyumas community from offline to online field, by paying more
attention on how the contemporary reality of Banyumas people‟s linguistic
practices in their daily life and in social media is. The Observation on linguistic
practices in social media particularly focuses on the selected messages available in
blogs, Twitter, and Facebook. The analyses were conducted using Pierre Bourdieu
theories that viewed identity as a contestation within a dynamic field. The results
showed that the basic characters of the Banyumas people, such as cablaka,
penjorangan, and dopokan, were strongly reflected in various messages available
in social media. These messages were uniquely displayed in creative ways, as
forms of character adaptation in social media. As contestation, the representation
of local identity was influenced by the relationship between field, habitus, and
capitals. Field showed the setting of social media itself. Habitus were shown by
the different tendencies among users of Banyumas with different backgrounds.
Capitals were marked by the possession of different capitals, either in the form of
social, cultural, symbolic, or economic capital. Theoretically, the results of this
study showed differences in values and capital powers, between offline and online
reality. If in online field, the economic capital had the dominant roles, the
symbolic capital had more roles. Practically, the results of this study grow
optimism that local identity will surely survive and even be stronger in the era of
social media.;The rapid growth of social media brings many changes. Distinguishing characters
with the old one, social media opens many possibilities, including the
representation of local identity. For instance, Banyumas community uses social
media as a new space to show their identity. A question arose whether the
presence of social media which has global character may weaken or strengthen
their local identities instead. This study tries to figure out the transformation of
identity of Banyumas community from offline to online field, by paying more
attention on how the contemporary reality of Banyumas people‟s linguistic
practices in their daily life and in social media is. The Observation on linguistic
practices in social media particularly focuses on the selected messages available in
blogs, Twitter, and Facebook. The analyses were conducted using Pierre Bourdieu
theories that viewed identity as a contestation within a dynamic field. The results
showed that the basic characters of the Banyumas people, such as cablaka,
penjorangan, and dopokan, were strongly reflected in various messages available
in social media. These messages were uniquely displayed in creative ways, as
forms of character adaptation in social media. As contestation, the representation
of local identity was influenced by the relationship between field, habitus, and
capitals. Field showed the setting of social media itself. Habitus were shown by
the different tendencies among users of Banyumas with different backgrounds.
Capitals were marked by the possession of different capitals, either in the form of
social, cultural, symbolic, or economic capital. Theoretically, the results of this
study showed differences in values and capital powers, between offline and online
reality. If in online field, the economic capital had the dominant roles, the
symbolic capital had more roles. Practically, the results of this study grow
optimism that local identity will surely survive and even be stronger in the era of
social media., The rapid growth of social media brings many changes. Distinguishing characters
with the old one, social media opens many possibilities, including the
representation of local identity. For instance, Banyumas community uses social
media as a new space to show their identity. A question arose whether the
presence of social media which has global character may weaken or strengthen
their local identities instead. This study tries to figure out the transformation of
identity of Banyumas community from offline to online field, by paying more
attention on how the contemporary reality of Banyumas people‟s linguistic
practices in their daily life and in social media is. The Observation on linguistic
practices in social media particularly focuses on the selected messages available in
blogs, Twitter, and Facebook. The analyses were conducted using Pierre Bourdieu
theories that viewed identity as a contestation within a dynamic field. The results
showed that the basic characters of the Banyumas people, such as cablaka,
penjorangan, and dopokan, were strongly reflected in various messages available
in social media. These messages were uniquely displayed in creative ways, as
forms of character adaptation in social media. As contestation, the representation
of local identity was influenced by the relationship between field, habitus, and
capitals. Field showed the setting of social media itself. Habitus were shown by
the different tendencies among users of Banyumas with different backgrounds.
Capitals were marked by the possession of different capitals, either in the form of
social, cultural, symbolic, or economic capital. Theoretically, the results of this
study showed differences in values and capital powers, between offline and online
reality. If in online field, the economic capital had the dominant roles, the
symbolic capital had more roles. Practically, the results of this study grow
optimism that local identity will surely survive and even be stronger in the era of
social media.]"
2015
D2104
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Putri Ayu Ichlasiaty
"ABSTRAK
Perkembangan tempat minum kopi di seluruh sudut kota turut menciptakan sebuah gaya hidup baru, tak lagi hanya digunakan untuk sekedar minum kopi dan bersosialisasi, namun juga untuk melakukan aktivitas lain yang sebelumnya memiliki tempat-tempat tersendiri, seperti bekerja, mengerjakan tugas, rehat dan rapat. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk dapat mengetahui bagaimana peran pencahayaan yang diaplikasikan pada masing-masing jenis tempat minum kopi, untuk mengakomodasi aktivitas dan menciptakan atmosfer yang berbeda. Disimpulkan bahwa kehadiran pencahayaan adalah sebagai pengganti dari suasana yang mulai berkurang akibat berkembangnya jenis tempat minum kopi, seperti santai, hangat dan intim. Selain itu, sebagai sebuah aksen atau hiasan dan memberikan karakter visual yang unik terhadap hidangan yang ada, merupakan peranan tambahan yang dapat muncul akibat tingginya ekspektasi pengunjung terhadap suatu tempat minum kopi.

ABSTRACT
The development of coffee house around city creates new life style, not only for enjoy the cup of coffee and socialize, but also for doing the other activities which have their own place before, like work, doing homework, taking a break, and meeting. The purpose of this case studies is to know the role of lighting which applied in each types of coffee house, to accomodate activities and to create atmosphere. That case studies conclude that lighting is as the enhancement of the atmosphere, which decrease because the development of coffee house, like relax, warm and intimate. Then, as an accent or ornament and gives the unique visual character for the dish, are the additional roles which appear because of the visitors expectation about the coffee house.
"
2015
S59063
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valentina Fieda Lutfiana
"Makalah ini membahas tentang tradisi meminum kopi dan khamar sebagai minuman berenergi pada masyarakat Islam dan pandangan ulama mengenai kopi dan khamar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui budaya meminum kopi sebagai minuman pengganti khamar yang menimbulkan kontroversi akibat kemiripan efek yang dihasilkan setelah meminumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sejarah dan metode penelitian kualitatif. Masyarakat Islam mencari ketenangan dan energi pada khamar namun khamar mulai ditinggalkan dan beralih pada kopi. Kopi dianggap lebih baik dari khamar. Namun kopi juga memiliki sifat candu jika dikonsumsi dalam jumlah besar.

This final project describes the tradition of drinking coffee and khamar as an energy drink in Islamic societies and the views of scholars regarding coffee and khamar. This study aims to determine the culture of drinking coffee as a substitute for khamar which causes controversy due to the similarity of the effects produced after drinking it. The method used in this research is historical research and qualitative research methods. Islamic society seeks calm and energy in khamar, but khamar be abandoned and turning to coffee. Coffee is considered better than khamar. But coffee also has opiate properties if consumed in large quantities."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>