Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206104 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amelia Yasmine Cahyaningrum
"Klinik merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan berbagai macam pasien dan penyakit sehingga kualitas udara mikrobiologis dalam ruangan perlu diperhatikan terkait resiko kesehatan. Oleh karenanya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sumber pencemar mikrobiologis pada Klinik, nilai konsentrasi bakteri dan jamur di udara, faktor lingkungan yang mempengaruhi konsentrasi bakteri dan jamur dan pengaruh jumlah pasien terhadap konsentrasi bakteri dan jamur di dalam ruangan. Identifikasi sumber pencemar dilakukan menggunakan ceklist dan skoring yang mengacu pada National Research Council (2005) dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit Lampiran 3 Formulir Penilaian Pemeriksaan Kesehatan Lingkungan (Inspeksi Sanitasi) Rumah Sakit. Selanjutnya sampel udara diambil menggunakan alat EMS E6 Bioaerosol Sampler Single-Stage dengan debit aliran udara sebesar 28,3 L/menit. Sampel udara diambil selama 2 menit pada media Malt Extract Agar dan diinkubasi pada suhu 28°C selama ±48 jam untuk jamur, serta 1,5 menit pada media Triptone Soya Agar dan diinkubasi pada suhu 37°C selama ±24 jam untuk bakteri. Sumber pencemar potensial pada Klinik Satelit UI antara lain keberadaan manusia, adanya pertumbuhan mikroba pada dinding maupun langit-langit ruangan, adanya water reservoirs seperti wastafel dan keberadaan soft furniture yang menghasilkan beberapa lokasi yang diduga memiliki konsentrasi bioaerosol tinggi, yaitu Poli Umum, Poli Gigi, IGD, Laboratorium, Ruang Administrasi dan Ruang Tunggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi bakteri tertinggi terdapat pada Ruang Tunggu (743 ± 10) CFU/m3 dan terendah pada Ruang Administrasi (348 ± 24) CFU/m3. Konsentrasi jamur tertinggi terdapat pada Ruang Poli Gigi (689 ± 40) CFU/m3 dan terendah pada Ruang Administrasi (457± 14) CFU/m3. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan metode Spearman Rank dengan p value (<0,01) suhu udara, kelembapan dan jumlah pasien merupakan parameter yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bioaerosol. Dengan korelasi tertinggi antara konsentrasi bakteri dan jamur dengan suhu adalah (r = 0,689 ) dan (r = -0,695), korelasi tertinggi dengan kelembapan adalah (r = 0,574) dan (r = 0,761) dan jumlah pasien memiliki korelasi konsentrasi tertinggi dengan bakteri dan jamur sebesar (r = 0,829) dan (r = 0,855). Dimana berdasarkan Permenkes No 1204 Tahun 2004, standar untuk suhu udara di Fasilitas Kesehatan adalah (19-26)°C dan kelembapan yang baik berkisar antara (45-60)%. Untuk mencegah perkembangan bioaerosol pada lingkungan Klinik Satelit UI diperlukan pengaturan suhu dan kelembapan yang baik, serta perawatan berkala untuk peralatan Klinik dan berbagai furniture serta pengecatan dinding minimal 1 kali dalam 1 tahun.

Clinics are health care facilities that are related to various types of patients and diseases so that indoor microbiological air quality needs to be considered related to health risks. Therefore the purpose of this study is to determine the microbiological pollutant sources in the clinic, the concentration of bacteria and fungi in the air, environmental factors that affect the concentration of bioaerosols and the effect of the number of patients on the concentration of bacteria and fungi in the room. Identification of pollutant sources was carried out using checklists and scoring referring to the National Research Council (2005) and Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 1204 of 2004 concerning Hospital Environmental Health Requirements Appendix 3 Assessment Form for Hospital Environmental Health Inspections (Sanitation Inspection). Furthermore, the air sample was taken using the EMS E6 Bioaerosol Sampler Single-Stage with an air flowrate of 28,3 L/min. Air samples were taken for 2 minutes on Malt Extract Agar and incubated at temperature 28°C for ±48 hours for fungi, and 1,5 minutes on Triptone Soya Agar media and incubated at temperature 37°C for ±24 hours for bacteria. Potential pollutant sources at the Klinik Satelit UI include human presence, microbial growth in the walls and ceilings of the room, the presence of water reservoirs such as sinks and the presence of soft furniture which concludes that several locations are suspected of having high bioserosol concentrations, is General Poly, Poly Dental, IGD, Laboratory, Administration Room and Waiting Room. The results showed that the highest bacterial concentration was found in the Waiting Room (743±10) CFU/m3 and the lowest was in the Administration Room (348±24) CFU/m3. The highest fungal concentration was found in the Dental Poly Room of (689±40) CFU/m3 and the lowest was in the Administration Room of (457±14) CFU/m3. Based on statistical tests using the Spearman Rank method with p value (0,01), air temperature, humidity and number of patients are the most dominant parameters affecting the growth and development of bioaerosol. With the highest correlation between bacterial and fungal concentrations with temperature is (r=0,689) and (r=-0,695), with humidity is (r=0,574) and (r=0,761) with number of patients is (r=0,829) and (r=0,855). Where based on Ministry of Health Regulation No. 1204 of 2004 the standard for air temperature in Health Facilities is (19-26)°C and good humidity ranges between (45-60)%. To prevent the development of bioaerosol in the Klinik Satelit UI good temperature and humidity settings are needed, as well as periodic maintenance for Clinic equipment and furniture and painting wall at least 1 time a year."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliyya Maitsaa Iffat
"Kualitas udara mikrobiologis di dalam lift gedung perlu diperhatikan karena sebagian besar orang lebih memilih untuk menggunakan lift daripada tangga. Banyaknya orang berlalu-lalang memungkinkan mikroorganisme untuk masuk dan mengalami pertumbuhan pada lingkungan yang ideal di dalam lift. Studi literatur mengenai keberadaan bioaerosol di dalam lift masih tergolong sedikit. Oleh sebab itu, penelitian kualitas udara mikrobiologis penting dilakukan di salah satu ruangan pada lingkungan kampus, yaitu lift gedung kuliah saat masa libur dan aktif perkuliahan. Penelitian ini dilakukan di lift pada Gedung S, K dan EC di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui serta membandingkan hasil konsentrasi bakteri pada masa libur dan aktif perkuliahan, menganalisis pengaruh faktor lingkungan dan potensi sumber pencemar mikrobiologis potensial di sekitar lift gedung perkuliahan. Metode pengambilan sampel pasif digunakan untuk mengambil sampel udara selama 15 menit agar bakteri terdeposisi secara alami ke media Tryptone Soya Agar. Pengambilan sampel permukaan dengan dry swab dilakukan untuk mengetahui apakah tombol panel lift termasuk ke dalam salah satu sumber pencemar mikrobiologis potensial. Dari hasil penelitian dapat diketahui konsentrasi bakteri pada ketiga lift gedung tidak memenuhi baku mutu, yaitu 500 CFU/m3 dan 700 CFU/m3. Pada masa libur, konsentrasi tertinggi sebesar 1.330 CFU/m3 terdapat di lift Gedung EC dan terendah sebesar 608 CFU/m3 terdapat di lift Gedung S. Sedangkan pada masa aktif,  konsentrasi tertinggi sebesar 2.084 CFU/m3 terdapat di lift Gedung S dan terendah sebesar 1.081 CFU/m3 terdapat di lift Gedung K. Hasil uji komparatif menunjukkan bahwa hanya lift Gedung S yang memiliki perbedaan konsentrasi bakteri pada kedua masa perkuliahan. Uji korelasi antara konsentrasi bakteri dengan faktor lingkungan bervariasi tergantung pada kondisi cuaca selama pengambilan sampel. Hanya kecepatan angin yang tidak mempengaruhi karena menyebabkan tidak adanya dispersi mikroorganisme. Sumber indoor bioaerosol seperti keberadaan manusia sebagai pengguna lift sangat berpengaruh sangat kuat terhadap konsentrasi bakteri di dalam lift gedung. Perlu dilakukan pemeliharaan kebersihan secara rutin terhadap pendingin ruangan beserta filter, tombol panel lift, serta lingkungan di sekitar lift gedung agar dapat menurunkan konsentrasi bakteri.

Microbiological air quality in the building elevator needs to be considered because most people prefer to use elevators rather than stairs. The number of people passing by allows microorganisms to enter and grow in the ideal environment of elevator. Literature studies regarding the presence of bioaerosol in elevators are still relatively small. Therefore, microbiological air quality research is important in one of the rooms on the campus environment, the college building elevator during holidays and active periods of lectures. This research was carried out in the elevators of the S, K and EC Buildings at the Faculty of Engineering, University of Indonesia with the air of knowing and comparing the results of bacterial concentration during holidays and active periods of lectures, analyzing the influence of environmental factors and potential sources of potential microbiological pollutants around elevators. The passive sampling method is used to take air samples for 15 minutes so that bacteria are naturally deposited into the Tryptone Soya Agar medium. The surface samples taken by dry swab is done to find out whether the elevator panel button is included in one of the potential microbiological pollutant sources. From the results of research, it can be seen that bacterial concentrations in the three building elevators did not meet the quality standards, 500 CFU/m3 and 700 CFU/m3. During the holidays, the highest concentration of 1.330 CFU/m3 is found in the EC Building elevator and the lowest is 608 CFU/m3 in the S Building. While the active period, the highest concentrations of 2.084 CFU/m3 is found in the S building elevator and the lowest is 1.081 CFU/m3 in the K Building elevator. The comparative test results show that only the S Building elevator has a difference in bacterial concentration in the two lecture periods. Correlation test between bacterial concentration and environmental factors varies depending on weather conditions during sampling Only the wind speed does not affect because it causes no dispersion of microorganisms. Indoor bioaerosol sources such as the presence of humans as elevator users have a very strong influence on the concentration of bacteria in the building elevator. Routine hygiene maintenance needs to be done on air conditioners along with filters, elevator panel buttons, and the environment around the building elevators to reduce the concentration of bacteria."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isnainy Valencia Sari
"Pencemaran bioaerosol yang ada di dalam ruangan memiliki potensi 1.000 kali lebih berbahaya daripada di luar ruangan. Oleh karena itu, kualitas udara mikrobiologis pada ruang kuliah Gedung S di FTUI Depok perlu diteliti lebih lanjut. Sampel udara diambil menggunakan EMS bioaerosol single stage sampler selama dua menit dengan debit pemompaan 28,3 L/menit. Media pertumbuhan yang digunakan untuk bakteri dan jamur adalah TSA dan MEA. Konsentrasi bakteri tertinggi pada ruang kelas S101 2.407 362 CFU/m3 , terendah terdapat pada Lobby 1 384 142 CFU/m3. Konsentrasi jamur tertinggi ditemukan pada ruang kelas S203 810 215 CFU/m3, terendah pada S503 195 51 CFU/m3. Sebagian besar konsentrasi bakteri di udara melebihi baku mutu, sedangkan konsentrasi jamur masih memenuhi baku mutu. Suhu seluruh ruangan 21-27oC sudah memenuhi baku mutu dan kelembapan 38-71 serta Intensitas cahaya 4,21-335 lux pada sebagian ruangan tidak memenuhi baku mutu. Uji-Independent T-test menunjukan terdapat perbedaan signifikan pada konsentrasi jamur dan bakteri lantai bawah dan lantai atas sig< 0,05. Korelasi Pearson Product Moment menunjukkan terdapat korelasi yang kuat antara jumlah orang dengan konsentrasi bakteri r=0,73 dan berkorelasi lemah dengan konsentrasi jamur r=0,47. Jenis aliran udara didominasi oleh aliran laminer dan kecepatan partikel bakteri dan jamur pada kisaran 0,002-0,16 cm/detik.

Indoor bioaerosol contamination has potency 1,000 times more dangerous than outdoor. Therefore, microbiological air quality in the classrooms of Building S Engineering Faculty UI City of Depok need to be further investigated. The air samples were taken by using EMS bioaerosol single stage sampler in two minutes with airflow rate 28.3 L minute. The growth media used were TSA and MEA for bacteria and fungi. Highest bacterial concentration found in classroom S101 2,407 362CFU m3 , lowest in Lobby 1 384 142 CFU m3. The highest fungi concentration found in classroom S203 810 215 CFU m3, lowest in classroom S503 195 51 CFU m3. Most of the bacteria concentrations exceeded whereas the fungi concentration still met the quality standard. For the environmental factors, the entire classroom temperatures 21 27oC have met the quality standard but not the humidity 38 71 and light intensities 4.21 335 lux. The Independent T test showed that there were significance differences between bacteria and fungi on lower and upper floor sig."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Shabrina Humaira
"Kualitas udara di dalam ruangan perlu diperhatikan karena banyak pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan dan kualitas udara yang buruk akan memicu adanya penyakit dan menurunkan kinerja pekerja. Penelitian dilakukan untuk meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan yang ditinjau berdasarkan konsentrasi bakteri dan jamur yang terdapat pada ruang uji coba. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh konsentrasi bakteri dan jamur, menganalisis air purifier dan sistem ventilasi terhadap kualitas udara, dan menganalisis korelasi antara konsentrasi bakteri dan jamur dengan suhu ruangan, kelembapan, dan intensitas cahaya di ruang uji coba. Penelitian dilakukan dengan cara mengambil sampel udara dengan metode impaction menggunakan alat EMS E6 Bioaerosol Sampler selama 3 menit di pagi hari dan siang hari pada masing-masing ruang uji coba dengan debit pompa sebesar 28,3 L/menit. Pengambilan sampel pada konsentrasi bakteri dan jamur menggunakan media pertumbuhan Tryptic Soy Agar (TSA) untuk bakteri yang diinkubasi selama 24 jam dan Potato Dextrose Agar (PDA) untuk jamur yang diinkubasi selama 48 jam. Ruang uji coba memiliki jenis ruangan yang berbeda, yaitu ruang rapat, laboratorium, dan mushola. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi bakteri tertinggi yaitu ruang Mushola Dosen sebesar 1943 CFU/m3 dan terendah yaitu ruang tengah lantai 1 sebesar 71 CFU/m3. Konsentrasi jamur tertinggi yaitu ruang Mushola Dosen sebesar 883 CFU/m3 dan terendah yaitu 188 CFU/m3. Parameter pendukung lain yaitu suhu ruangan (24,3–30,5?) sudah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan Permenaker Nomor 5 Tahun 2018, terdapat beberapa ruangan yang tidak memenuhi kelembapan (54,6–82,6%) dan intensitas cahaya untuk tiap ruangan (5,3–261 Lux) telah sesuai dengan kriteria masing-masing jenis ruang kerja. Uji korelasi yang dilakukan yaitu Uji Spearman yang menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal. Terdapat korelasi positif antara pertumbuhan bakteri dengan suhu ruangan dan intensitas cahaya serta jamur dengan kelembapan. Korelasi negatif didapatkan pada pertumbuhan bakteri dengan kelembapan dan jamur dengan intensitas cahaya.

Indoor air quality needs to be taken into consideration because many tasks are performed indoors, and poor air quality can lead to illness and decrease workers' performance. The research was conducted to improve indoor air quality based on the concentration of bacteria and fungi present in the test rooms. The objectives of this study were to analyze the influence of bacteria and fungi concentrations, assess the effectiveness of air purifiers and ventilation systems on air quality, and examine the correlation between bacteria and fungi concentrations with room temperature, humidity, and light intensity in the test rooms. The research was conducted by sampling air using the impaction method with an EMS E6 Bioaerosol Sampler for 3 minutes in the morning and afternoon in each test room, with a pump flow rate of 28.3 L/minute. Bacterial and fungal samples were collected using Tryptic Soy Agar (TSA) growth medium for bacteria, which were incubated for 24 hours, and Potato Dextrose Agar (PDA) for fungi, which were incubated for 48 hours. The test rooms consisted of different types of rooms, including meeting rooms, laboratories, and prayer rooms. The results of the study showed that the highest concentration of bacteria was found in the Lecturers' Prayer Room at 1943 CFU/m3, while the lowest was in the central room on the first floor at 71 CFU/m3. The highest concentration of fungi was found in the Lecturers' Prayer Room at 883 CFU/m3, while the lowest was at 188 CFU/m3. Other supporting parameters such as room temperature (24.3–30.5°C) met the criteria set by the Ministry of Manpower Regulation No. 5 of 2018. However, some rooms did not meet the humidity requirements (54.6–82.6%), and the light intensity in each room (5.3–261 Lux) complied with the respective workspace criteria. The correlation analysis, using Spearman’s test, indicated that the data was not normally distributed. There was a positive correlation between bacterial growth with room temperature and light intensity, and between fungal growth with humidity. Negative correlations were observed between bacterial growth with humidity and fungal growth with light intensity."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Tri Ayudia
"Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan pengolahan air limbah yang dirancang hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang berasal dari sistem setempat yang diangkut melalui sarana pengangkutan lumpur tinja. Lumpur tinja yang dihasil tersebut tentu harus diolah terlebih dahulu agar sesuai dengan baku mutu yaitu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 68 Tahun 2016 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Namun demikian, dalam proses pengolahan air limbah ini, tidak dapat dihindari kemungkinan terlepasnya pencemar udara mikrobiologis (bioaerosol) ke udara sekitar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sumber pencemar, mengetahui total bakteri dan jamur di udara serta perbedaan konsentrasi bakteri dan jamur pada musim kemarau dan musim hujan, dan meninjau faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan Kecepatan angin) yang mempengaruhi konsentrasi. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau dan hujan dengan masing-masing lima hari pengambilan dan dilakukan di empat titik pada IPLT Kalimulya Depok (unit bak pengisian, digester anaerob, pemekat lumpur, dan biofilter aerob-anaerob). Dari hasil penelitian, rata-rata konsentrasi bakteri pada musim kemarau yaitu unit bak pengisian sebesar 243±265 CFU/m3, pemekat lumpur sebesar 155±326 CFU/m3, digester anaerob sebesar 154±157 CFU/m3, dan biofilter aerob anaerob sebesar 76±122 CFU/m3. Sedangkan pada musim hujan konsentrasi bakteri yaitu unit bak pengisian sebesar 33±24 CFU/m3, pemekat lumpur sebesar 25±62 CFU/m3, biofilter aerob-anaerob sebesar 21±20 CFU/m3, dan digester anaerob sebesar 16±13 CFU/m3. Kemudian pada musim kemarau, konsentrasi jamur pada pemekat lumpur sebesar 516±554 CFU/m3, unit bak pengisian sebesar 364±202 CFU/m3, digester anaerob sebesar 340±181 CFU/m3, dan biofilter aerob-anaerob sebesar 231±201 CFU/m3. Sedangkan pada musim hujan konsentrasi jamur pada unit bak pengisian sebesar 58±39 CFU/m3, pemekat lumpur sebesar 55±33 CFU/m3, digester anaerob sebesar, 36±32 CFU/m3, dan biofilter aerob-anaerob sebesar 32±23 CFU/m3. Sehingga, diketahui konsentrasi bakteri tertinggi ditemukan pada unit bak pengisian pada musim kemarau dan terendah pada digester anaerob pada musim hujan. Konsentrasi jamur tertinggi ditemukan di pemekat lumpur pada musim kemarau dan terendah pada biofilter aerob-anaerob pada musim hujan. Konsentrasi bakteri dan jamur berada dibawah standar baku mutu. Sedangkan korelasi antara faktor lingkungan terhadap konsentrasi bakteri dan jamur ditemukan di beberapa tempat dan terdapat juga perbedaan konsentrasi bakteri dan jamur pada musim kemarau dan musim hujan.

Sewage Treatment Plants (STPs) are wastewater processing systems that are designed to process only stool mud received from local systems of stool mud transport. The stool mud received must be processed so that it abides to the standard of quality according to the Regulation of the Minister of the Environment Number 68 Year 2016 concerning Domestic Wastewater Quality Standards. However, in the treatment process, there is a probability for a microbiological air pollutant (bioaerosol) to be produced that cannot be avoided. This research aims to analyze the source of pollution, the total amount of bacteria and fungi in the air, the difference of bacteria and fungi concentration between the dry and rainy season, and observe the environmental factors (temperature, humidity, wind speed) that affects bacteria and fungi concentration. This research was done during the dry and rainy season, each for a 5 day period in four observation points at the Kalimulya Depok STP (filling unit, anaerobic digester, mud concentrator and aerobic-anaerobic biofilter). The results of this research shows that the average bacteria concentration during the dry season is 243±265 CFU/m3 at the filling unit, 155±326 CFU/m3 at the mud concentrator, 154±157 CFU/m3 at the anaerobic digester, and 76±122 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter. During the rainy season, the average bacteria concentration is 33±24 CFU/m3 at the filling unit, 25±62 CFU/m3 at the mud concentrator, 21±20 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter, and 16±13 CFU/m3 at the anaerobic digester. The average fungi concentration during the dry season is 516±554 CFU/m3 at the mud concentrator, 364±202 CFU/m3 at the filling unit, 340±181 CFU/m3 at the anaerobic digester, and 231±201 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter. As for the rainy season, the average fungi concentration is 58±39 CFU/m3 at the filling unit, 55±33 CFU/m3 at the mud concentrator, 36±32 CFU/m3 at the anaerobic digester, and 32±23 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter. It can be seen that for the bacteria concentration, its highest value occurs at the filling unit during the dry season while its lowest value occurs at the anaerobic digester during the rainy season. For the fungi concentration, its highest value occurs at the mid concentrator during the dry season while its lowest value occurs at aerobic-anaerobic biofilter during the rainy season. The bacteria and fungi concentration values lie below the standard of quality. There are several correlations between environmental factors and the bacteria and fungi concentration values in some of the observed locations. There is also a difference between the bacteria and fungi concentration during the dry season and the rainy season.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafira Ayu Ningtyas
"Kualitas udara di dalam ruangan memiliki dampak 2-5 kali lebih buruk dibandingkan dengan kualitas udara di luar ruangan. Salah satu ruangan yang berpotensi mengalami pencemaran udara dalam ruangan yaitu perpustakaan, karena banyaknya tumpukan buku-buku yang jarang digunakan dan dibersihkan. Penelitian ini dilakukan di Gedung Perpustakaan UI dan bertujuan untuk mengetahui konsentrasi bakteri dan jamur di udara serta menganalisis faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Pengambilan sampel menggunakan metode EMS Bioaerosol Sampler Single-Stage dengan debit aliran 0,0283 m3/menit selama 2,5 menit. Media yang digunakan adalah Malt Extract Agar (MEA) untuk jamur dan Tryptic Soy Agar (TSA) untuk bakteri.  Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi bakteri tertinggi berada pada koridor ruang baca sebesar 338,3±113,1 CFU/m3 dan konsentrasi bakteri terendah berada pada rak buku B sebesar 188,2±45,4 CFU/m3. Konsentrasi jamur tertinggi berada di koridor ruang baca sebesar 301±218,3 CFU/m3 dan konsentrasi jamur terendah berada pada rak buku B sebesar 143,7±94,3 CFU/m3. Konsentrasi bakteri dan jamur berada dibawah standar baku mutu. Parameter yang digunakan untuk penelitian yaitu suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Gedung Perpustakaan UI memiliki rentang suhu 23-28°C, kelembaban 60-80% dan intensitas cahaya sebesar 40-340 lux. Korelasi antara faktor lingkungan dan konsentrasi bakteri dan jamur hanya ditemukan pada beberapa lokasi.

Indoor air quality has an impact 2-5 times worse than outdoor air quality. One room that has the potential for indoor air pollution is the Library Room, because there are many stacks of books that are rarely used and cleaned. This research was conducted at the UI Library Building and aimed to know the concentration of bacteria and fungi in the air and also analyzing the environmental factors that influence them. The sampling are using the EMS Bioaerosol Sampler Single-Stage method with flow discharge 0,0283 m3/minute for 2,5 minutes. The media used is Malt Extract Agar (MEA) for Fungi and Tryptic Soy Agar (TSA) for Bacteria. The results showed the highest bacterial concentration in the reading room corridor was 338,3 ± 113,1 CFU/m3 and the lowest bacterial concentration was in book B rack at 188,2 ± 45,4 CFU/m3. The highest fungal concentration was in the reading room corridor of 301 ± 218,3 CFU/m3 and the lowest fungal concentration was in book B rack of 143,7 ± 94,3 CFU/m3. The concentration of bacteria and fungi is below the quality standard. The parameters used for the study are temperature, humidity and light intensity. The UI Library Building has a temperature range of 23-28 ° C, humidity range of 60-80% and light intensity range of 40-340 lux. The correlation between environmental factors and the concentration of bacteria and fungi is only found in several locations."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohadatul Aisy Afla
"Kualitas udara pada ruang rawat inap merupakan poin penting yang perlu diperhatikan untuk menghindari risiko dan gangguan kesehatan yang dapat tersebar melalui udara. Indikator bioaerosol dalam ruangan yang dipakai adalah bakteri dan jamur. Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel bakteri dan jamur pada Gedung A RSCM adalah EMS dan media kultur TSA serta MEA. Sampel bakteri diinkubasi pada suhu ±37oC selama ±24 jam, sedangkan jamur diinkubasi pada suhu ±27oC selama ±48 jam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan konsentrasi bakteri dan jamur pada ruang perawatan kelas 1, VIP, dan VVIP dan menganalisis faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keberadaan bioaerosol dalam ruangan. Dari penelitian yang telah dilakukan, hasil uji perbedaan konsentrasi bakteri pada ruang rawat inap yang diperoleh adalah 0,02 dengan tingkat signifikansi (α) 0,05 dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis, sedangkan untuk jamur sebesar 0,002. Sehingga ada perbedaan konsentrasi bakteri dan jamur pada ruang perawatan kelas 1, VIP, dan VVIP. Suhu dan kelembaban diketahui sebagian besar tidak memiliki hubungan dengan kualitas bioaerosol dalam ruang rawat inap. Hasil uji korelasi Spearman untuk suhu dan bakteri adalah 0,085; 0,567; 0,000, sedangkan untuk suhu dan jamur adalah 0,058; 0,168; 0,05. Uji korelasi Spearman untuk kelembaban dan bakteri 0,095; 0,688; 0,320, sedangkan untuk kelembaban dan jamur adalah 0,399; 0,008; 0,920. Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa pada beberapa ruangan rawat inap tidak ada hubungan antara faktor lingkungan dengan konsentrasi bakteri dan jamur.

Air quality in the patient room is an notable point that need to be considered to avoid risk and some health problems that can be spread through the air. Bioaerosol indicator for indoor air pollutants are bacteria and fungi. Air samples were taken by EMS with TSA and MEA culture media. This research was taken in Gedung A RSCM. Bacteria sampel would be incubated at 37oC for 24 hours, while fungi would be incubated at ±27oC for ±48 hours. This research wanted to know the difference between bacteria and fungi concentration at kelas 1, VIP, and VVIP inpatient rooms. The results showed that there is a difference of bacteria and jamur concentration between the class of inpatient rooms, because the level significant of Kruskal-Wallis (α = 0,05) for bacteria concentration is 0,02 and 0,002 for fungi concentration. Temperature and humidity mainly did not have any specific relation with bioaerosol quality in inpatient rooms. The results for Spearman’s corelation for humidity and bacteria are 0,085; 0,567; 0,000. Meanwhile, for temperature and bacteria area 0,095; 0,688; 0,320 and for humidity and fungi are 0,399; 0,008; 0,920. From those data known that some of the inpatient rooms were not had relation between environment factors with bacteria and fungi concentration."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alman Luqmanulhakim
"Klinik Satelit Makara merupakan salah satu fasilitas milik Universitas Indonesia yang berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan bagi mahasiswa, pegawai, atau masyarakat di sekitar Universitas Indonesia. Beragam kebutuhan pelayanan kesehatan membuat konsumsi listrik pada gedung klinik tidaklah sedikit. Maka dari itu diperlukan audit kualitas daya untuk mengetahui mutu kelistrikan gedung tersebut. Hasil audit kualitas daya menunjukkan terdapat tegangan maksimum berlebih (overvoltage) sebesar 232,44 Volt, melebihi SPLN I 1995 yang menetapkan batas tegangan maksimum sebesar +5% dari tegangan nominal atau sebesar 231 Volt. Pembebanan pada setiap fasanya juga tidak seimbang. Hal ini terlihat melalui pengukuran dimana arus rata-rata dan maksimum pada fasa S selalu cenderung lebih kecil dibandingkan fasa R dan T. Selain itu terjadi distorsi harmonik arus individu yang tidak sesuai standar. Hal ini ditunjukkan oleh nilai IHDi pada orde ke-3, orde ke-5, dan orde ke-7 melampaui batas maksimum IHDi yang ditentukan oleh IEEE 519-1992.

Makara Satellite Clinic is one of the facilities owned by the University of Indonesia that functions as a health service facility for students, employees, or communities around the University of Indonesia. A variety of health care needs make electricity consumption in clinical buildings not small. Therefore, a power quality audit is needed to determine the electrical quality of the building. The results of the power quality audit show that there is overvoltage, unbalanced loading in each phase, and current harmonic distortion that is not in accordance with the standard."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Ruth Maharini
"Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia seringkali belum memenuhi standar operasional, higienis dan sanitasi yang berlaku. Dengan demikian, hal tersebut dapat menimbulkan risiko pencemaran udara mikrobiologis oleh bakteri dan jamur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas udara mikrobiologis pada RPH, serta pengaruh parameter fisik lingkungan dan jumlah hewan ternak terhadap konsentrasi mikroba di udara dengan parameter bakteri, jamur, dan bakteri E. coli. Pengambilan sampel udara mikrobiologis dilakukan sebanyak 5 kali. Sampel diambil diambil menggunakan alat EMS Bioaerosol Sampler, dengan menggunakan media TSA untuk bakteri, media MEA untuk jamur, dan media EA untuk E. coli, serta dilakukan secara triplo. Kemudian, hubungan antara jumlah hewan ternak dalam kandang hewan dan konsentrasi mikroba di udara akan dianalisis menggunakan uji statistik parametris dengan uji korelasi. Hasil pengukuran sampel menunjukkan konsentrasi bakteri dan jamur yang sebagian besar belum memenuhi baku mutu indoor Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/SK/XI/2002, sementara baku mutu outdoor Polish Standard PN-Z-04111-02:1989 telah terpenuhi pada dua lokasi outdoor. Konsentrasi mikroba indoor rata-rata 2.565 CFU/m3 dan seluruh lokasi tidak memenuhi baku mutu, dan konsentrasi mikroba outdoor rata-rata 2.983 CFU/m3 . Hasil korelasi statistik menunjukkan korelasi yang kuat antara peningkatan jumlah hewan ternak dengan konsentrasi mikroba di udara dengan nilai korelasi rata-rata diatas 0,5.

Abattoirs (RPH) in Indonesia often do not meet operational standards, hygienic and sanitary regulations. Thus, it can pose a risk of microbiological air contamination by bacteria and fungi. This study aims to determine the microbiological air quality at the abattoir, also the influences of the physical parameters of the environment and the number of cattle on the concentration of airborne microbes with the parameters of bacteria, fungi, and E. coli. Microbiological air sampling was performed 5 times. Samples were taken using EMS Bioaerosol Sampler, using medium TSA for bacteria, MEA medium for fungi, and EA medium for E. coli, the samples were taken in triplo. Then, the correlations between the number of cattles and microbial air concentration were analyzed with statistic parametric test using the correlation test. The samples measurement showed that most of the concentrations of bacteria and fungi haven?t meet the indoor microbial air quality standard (Kemenkes No. 1405/Menkes/SK/XI/2002) and outdoor microbial air quality standard (Polish Standard PN-Z-04111-02: 1989) that has been fulfilled by two outdoor locations, with the average concentration of indoor microbial air concentration at 2.565 CFU/m3, and the average of outdoor microbial air concentration at 2.983 CFU/m3. Statistical correlation analysis showed a strong correlation between the increase of the number of cattles along with microbial air concentration by the average correlation values of above 0.5."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Dwi Astuti
"Kantin banyak digunakan oleh mahasiswa sebagai tempat untuk berbagai kegiatan sehingga kualitas udara mikrobiologis pada lingkungan kantin menjadi diperhatikan terkait dengan risiko kesehatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sumber pencemar mikrobiologis pada kantin, seberapa besar konsentrasi bakteri dan jamur di udara, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bakteri dan jamur di udara, serta menganalisis penyebaran bakteri dan jamur yang dilakukan pada kantin FT dan FEB UI. Identifikasi sumber pencemar dilakukan menggunakan checklist yang mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran Lampiran II Formulir Inspeksi Pemeriksaan Kelaikan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran. Kemudian sampel udara diambil menggunakan EMS E6 Bioaerosol Sampler Single-Stage dengan debit aliran udara sebesar 28,3 L/menit. Sampel diambil selama dua menit pada media Tryptic Soy Agar dan diiinkubasi pada temperatur 35 C selama 24jam untuk bakteri serta pada media Malt Extract Agar dan diinkubasi pada temperatur 25 C selama 48jam untuk jamur. Pengambilan sampel dilakukan selama lima hari. Lokasi-lokasi yang diduga sebagai sumber pencemar berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan adalah Dapur Kantin Dosen FT; Depan Ruang Cuci Piring Kantin Mahasiswa FT; Depan Meja Piring Kotor Lantai 1 Kantin Mahasiswa FT; Kedai Pedagang Kantin Mahasiswa FT; Depan Meja Piring Kotor Lantai 2 Kantin Mahasiswa FT; Ruang Cuci Peralatan Kantin Mahasiswa FEB; serta Depan Kedai Pedagang dan Ruang Makan Kantin Mahasiswa FEB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konsentrasi bakteri tertinggi ditemukan pada FT2 sebesar 561 100 CFU/m3 dan terendah pada FT5 156 69 CFU/m3. Konsentrasi jamur tertinggi pada FT5 461 224 CFU/m3 dan terendah pada FT1 144 81 CFU/m3. Berdasarkan uji statistik menggunakan metode korelasi Pearson didapatkan hasil dimana temperatur dan kelembaban udara memiliki korelasi yang lemah terhadap konsentrasi bakteri r=0,218;r=0,211 namun memiliki korelasi yang kuat terhadap konsentrasi jamur r=0,701;r=0,659 pada kedelapan lokasi sampling. Sedangkan intensitas cahaya memiliki korelasi yang sangat lemah terhadap konsentrasi bakteri r=0,115 dan korelasi lemah terhadap konsentrasi jamur r=0,226 pada kedelapan lokasi sampling. Kecepatan angin dan kegiatan manusia diduga menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran mikroorganisme. Sedangkan ukuran partikel menjadi salah satu faktor kecepatan pengendapan dimana jamur memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan bakteri sehingga kecepatan jatuh jamur lebih cepat dibandingkan bakteri. Kecepatan pengendapan partikel bakteri dan jamur berada pada kisaran 0,0005-0,28 cm/detik.

Canteen is widely used by students as a place for various activities so that microbiological air quality in the canteen environment to be considered related to health risks. Therefore, research needs to be completed to find out the source of microbiological pollutant in the canteen, knowing the concentration of bacteria and fungi in the air, analyze what factors influence the growth and expansion of bacteria and fungi in the air, and analyze the pathway of bacteria and fungi at Canteen of Faculty of Engineering and Faculty of Economic and Business UI. Identification of souce of microbiological pollutant using a checklist referring to the Minister of Health Decree No. 1098 MENKES SK VII 2003 about Hygiene Requirements for Sanitation of Restaurants. Air Sampling was conducteb by using EMS E6 Bioaerosol Sampler Single Stage and worked at a flowrate of 28.3 l min. Sampels were collected for two min on Tryptic Soy Agar and were incubated at 35 C for 24 h for bacteria and on Malt Extract Agar and were incubate at 25 C for 48 h for the fungal. Sampling was conducted for five days. Locations suspected to be souce of pollutants based on the results of identification that have been done are kitchen of FT rsquo s lecturer canteen In front of the dish washer room of FT 39 s student canteen In front of unwashed dish table 1st floor of FT rsquo s student canteen Between Food Stall of FT rsquo s student canteen In front of 2nd Floor FT rsquo s student canteen In washing room of FEB rsquo s student canteen and in front of food stall and dining room of FEB rsquo s student canteen. The results showed that the highest bacterial concentrations were found in FT2 561 100 CFU m3 and the lowest at FT5 156 69 CFU m3. The highest fungal concentration at FT5 461 224 CFU m3 and the lowest on FT1 144 81 CFU m3. Based on statistical test using Pearson correlation method got result where temperature and humidity have weak correlation to airborne bacteria concentration r 0,218 r 0,211 but have strong correlation to airborne fungal concentration r 0,701 r 0,659 at eight sampling location. While the light intensity has a very weak correlation to airborne bacterial concentration r 0,115 and weak correlation to airborne fungal concentrations r 0,226 in the eight sampling location. Wind speed and human activity are suspected to be several factors affecting the spread of microorganisms. While the particle size becomes one of the factors of settling speed where fungal have a larger size than bacteria so the speed falls faster than bacteria. The rate of deposition of bacterial and fungal particles in the range 0,0005 0,28 cm sec."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>