Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129852 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miski Nushrotillah
"Pemikiran mujo masuk ke Jepang seiring dengan masuknya agama Buddha pada abad ke-6.
Akan tetapi, pemikiran mujo yang dipahami oleh orang Jepang memiliki karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan ajaran aslinya. Oleh karena itu, tugas akhir ini membahas
mengenai pemikiran mujo di dalam Kokinshu sebagai salah satu kesusastraan yang lahir
setelah masuknya agama Buddha ke Jepang. Penelitian ini dilakukan dengan metode
deskriptif analitis dan menggunakan puisi-puisi Kokinshu sebagai sumber data. Penulis
menggunakan teori apresiasi puisi untuk untuk dapat melakukan interpretasi terhadap puisi-puisi
yang ada di dalam Kokinshu, lalu menganalisis pemikiran mujō yang ada di dalamnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mujo yang ada di dalam Kokinshu hanya dikaitkan
dengan fenomena-fenomena dunia dan tidak menunjukkan adanya gambaran mengenai
dunia abadi seperti yang diajarkan dalam agama Buddha. Pemikiran mujo yang terlihat di
dalam Kokinshu sebatas digunakan untuk kehidupan dunia.

Mujo Japanese thought spread along with the Buddhism in Japan in the sixth century.
However, the thought which understood by the Japanese is different from the original one,
and has its own characterisic. Therefore, this research discusses about mujo in Kokinshu
as one of the literatures which born after the spread of Buddhism in Japan. The method
used in the research is descriptive analytics, using the poems in Kokinshu as the data
source. I used the method of poetry appreciation to interpret the poems, and analyzed the thought mujo within. The result of the research showed that mujo in Kokinshu was only
associated with the world phenomena, and not the afterlife as taught in Buddhism. The
thought mujo in Kokinshu was used only in the world life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ratnaningsih
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Yusari
"Proyek pemikiran Slavoj ?i?ek dibangun dengan konsep Lacanian sebagai usaha penyelamatan subyek dari gempuran Pascamodern atas kesalahpahaman terhadap subyek Cartesian dan Idealisme Jerman. Subyek secara abadi berada di dalam Triad Lacanian sehingga subyek dipandang sebagai kekosongan yang selalu mengundang terjadinya kesempatan. Hal ini menyebabkan subyek mampu menggerakan koordinat situasi melalui action yang dapat dimaknai secara politis. Pada akhirnya, ?i?ek menggiring konsep subyeknya ini berada di dalam diskusi terbuka yang membuat subyek terus berproses dalam pergerakan pemikiran Filsafat.

The project of thought from Slavoj Zizek was built by the Lacanian concept as the rescue from the onslaught of the Postmodern on a misunderstanding of Cartesian subject and German Idealism. Subject exists on the Triad Lacanian, so the subject is seen as a void that always invites the opportunity. This causes the subject to have capability of moving the coordinate of situation by the action that can be interpreted politically. In the end, Zizek led the subject to open concept to discuss and that makes the subject always continues to proceed in the movement of Philosophy thought."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42717
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bramanti Kusuma Yuwono
"Di era posmodern saat ini terjadi perubahan sosiokultural yang diiringi oleh tuntutan perubahan etikopolitik. Perubahan sosiokultural dengan berbagai faktornya membuat perbedaan di era posmodern saat ini menjadi sesuatu yang radikal yang kehadirannya tidak dapat dipungkiri. Radikalitas perbedaan membuat perbedaan-perbedaan itu bukan lagi sebuah konsep abstrak tetapi merupakan faktisitas keragaman yang riil yang ada di dalam masyarakat posmodern saat ini. Radikalitas perbedaan tersebut juga membuat setiap individu tidak dapat terjembatani menjadi sebuah keutuhan yang seragam. Hal ini dapat berujung pada relativisme moral bahkan nihilisme. Di sinilah persoalan etikopolitik di era posmodern. Namun demikian, masih ada celah kesempatan di era posmodern saat ini untuk membentuk tatanan koeksistensial sebagai pra syarat pembentukan politik. Melalui pemikiran etika politik Zygmunt Bauman, akan dijelaskan upaya sekaligus landasan etis terbaik bagi politik di era posmodern.

In postmodern era, there is a change in socio-cultural aspect which accompanied by the demands of ethical-politics change. With various factor, socio-cultural changes make a difference become something radical that the presence cannot be denied. The radicality of differences was no longer an abstract concept but a real facticity of diversity. It also makes each individua unable to bridged into a unified wholeness. This can lead to moral relativism, even nihilism. This is the postmodern political ethics. Through the thought of Zygmunt Bauman in political ethics, it will be explained about the best effort and ethical foundation for postmodern politics."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56077
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Herdiawanto
"Studi ini mengkaji pemikiran politik HAMKA mengenai Islam dan negara dalam perdebatan-perdebatan dasar negara yang berlangsung di Dewan Konstituante 1956-1959. HAMKA termasuk dalam kelompok pembela dasar negara Islam bersama Mohammad Natsir di fraksi Masyumi, memperjuangkan syariat Islam dihadapan fraksi-fraksi lain Nasionalis, Islam, Komunis dan Sosialis, Katholik-Protestan dan anggota Konstituante yang tidak berfraksi.
Secara khusus mengkaji permasalahan tentang mengapa Islam diperjuangkan sebagai dasar negara oleh HAMKA dan bagaimana pemikiran HAMKA mengenai hubungan Islam dan negara serta bagaimana pandangan HAMKA tentang Pancasila.
Metode penelitian ini adalah jenis penelitian pustaka dengan studi literatur atau dokumen yang terdiri dari data primer dan sekunder serta diperkuat dengan wawancara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori relasi agama (Islam) dan negara.
Studi ini menemukan Panama, menurut HAMKA perjuangan Islam sebagai dasar negara adalah sebagai kelanjutan cita-cita sejarah pergerakan nasional Indonesia. Kedua, ditemukan bahwa perdebatan Konstituante adalah pengulangan debat ideologis Islam dan nasionalis dalam soal perumusan Piagam Jakarta. Ketiga studi ini juga menemukan pandangan HAMKA bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu berarti Tauhid atau konsep meng-Esakan Allah SWT. Hal itu berarti sila pertama sebagai sumber moral dan etik sila lainnya, sekaligus menegaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun implikasi teori penelitian ini adalah memperkuat pemikiran Islam secara legal formal yaitu pemikiran yang menghendaki agar Islam secara formal memainkan peran utama dalam kehidupan bernegara. Kesimpulannya adalah masyarakat Indonesia adalah masyarakat heterogen dari' segi agama. DaIam anti bahwa, secara konstitusional, negara mengakui keberagaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia dan menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk agama dan merealisasikan ajaran yang diyakininya, dalam segala aspek kehidupan sehingga HAMKA dalam Konstituante menyatakan perjuangan untuk mendirikan negara berdasarkan Islam bukan negara sekuler bagi kelompok Islam adalah kelanjutan cita-cita wasiat sejarah.

This study examines the political thought of Hamka on Islam and state in the debates on basis of the state in the Constituante 1956-1959. Hamka is one of the members of defender of Islam as basis of the state opposed to other factions such as Nationalist, Communist and Socialist, Catholic and Protestant, and non-faction members.
This study focuses on the question of why Islam is fought as a basis of the state by Hamka and what is his idea on Pancasila.
The method of the research is literature study based on primary and secondary data sources and strengthens by interview. In this study, the theory of relation of religion and state is applied.
The study finds that 1) according to Hamka, the struggle for Islam as the state basis is the continuation of national struggle history; 2) it is found that the debates in Constituante is a repetition ideological debate between Islam and nationalism on Jakarta Charter; and 3) the study founds that Hamka's view on Oneness of the God in Pancasila is similar with tauhid in Islam. It means that the first item in Pancasila is a basis of moral and ethic for other items and confirms that Indonesia is based on Oneness of the God.
Meanwhile, the theoretical implication of the study strengthens Islamic thought Iegally and formally which desires Islam as a formal basic value in the state. The conclusion is that Indonesian society is heterogenic in religion. It means that the state, constitutionally, acknowledges the heterogeneity of religion in Indonesian society and guarantees freedom of every individual to embrace and implement their religion in the whole aspects of life so that Hamka in Constituante stated that the struggle to make Islamic base of state and not secular state for Islamic group is a continuation of historical heritage.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzakiyyah Fauziyah Rif'At
"Di era modern ini, berbagai pertentangan mengenai hukum dan kebiasaan kuno berkaitan isu-isu yang dihadapi perempuan di dunia muslim telah memantik berbagai perdebatan di kalangan cendekiawan muslim terutama berkaitan dengan kesetaraan bagi perempuan muslim. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk membahas mengenai masalah tersebut adalah melalui diskusi tasawuf modern yang mengajarkan manusia bagaimana memposisikan diri dalam situasi di mana urusan duniawi bersinggungan dengan ukhrawi. Diantara perkembangan tersebut, tokoh Hamka dipandang sebagai pendiri dan juru bicara tasawuf modern karena dua karyanya tentang evolusi dan kemurnian tasawuf yang banyak digunakan sebagai acuan oleh masyarakat Indonesia. Tasawuf modern Hamka menunjukkan bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari Islam dan ia juga berbicara tentang laki-laki, perempuan, dan masalah rumah tangga. Dengan dasar tersebut, muncul ketertarikan bagi peneliti untuk mengkaji lebih jauh terkait pemikiran Hamka mengenai emansipasi perempuan. Dengan menerapkan metode penelitian kualitatif dan pendekatan hermeneutika terhadap karya-karya Hamka, diketahui jika Hamka berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat haruslah bekerja sama agar bisa menjadi masyarakat yang sempurna dan adil. Perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki sebagaimana mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Dalam Islam sendiri, seseorang dilihat dari ketakwaannya bukan dari apakah ia laki-laki atau perempuan. Sementara itu, hasil analisis skema AGIL menunjukkan bahwa proses adaptasi terhadap penanaman nilai-nilai ajaran agama Islam yang mendukung tercapainya emansipasi perempuan dapat dilakukan melalui pendidikan dan pembiasaan yang tepat. Hal ini berkaitan dengan tujuan emansipasi perempuan yakni untuk mendefinisikan, membangun, dan melindungi hak-hak politik, ekonomi, dan sosial perempuan yang setara. Sementara itu, proses integrasi di masyarakat berkaitan dengan tujuan emansipasi perempuan masih belum sepenuhnya berlangsung. Masih ada sejumlah aspek yang memerlukan peningkatan integrasi yang lebih baik demi tercapainya tujuan emansipasi. Kedepannya, dapat dilakukan upaya untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut melalui pendidikan keagamaan yang tepat dan mengacu pada pedoman agama seperti Al-Quran dan Hadits yang diinternalisasikan bagi generasi muda sehingga nilai tersebut akan tertanam dan menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat.

In this modern era, various conflicts regarding ancient laws and customs related to issues faced by women in the Muslim world have sparked various debates among Muslim scholars, especially with regard to equality for Muslim women. One of many approaches that can be used to discuss this problem is through the approach of modern Sufism which teaches humans how to position themselves in situations where worldly affairs intersect with ukhrawi. Among these developments, Hamka is seen as the founder and spokesperson of modern Sufism because of his two works on the evolution and purity of Sufism that are widely used as a reference by the Indonesian people.  Modern Sufism Hamka shows that Sufism is inseparable from Islam and he also talks about men, women, and domestic issues. On this basis, there is an interest for researchers to study further Hamka's thoughts on the emancipation of women. By applying qualitative research methods and hermeneutic approaches to Hamka's works, it is known that Hamka argues that women and men in a society must work together to become a perfect and just society. Women have the same potential as men as they also have the same rights and obligations as men. In Islam itself, a person is seen from his piety not from whether he is male or female.  Meanwhile, the results of the analysis of the AGIL scheme show that the  process of adaptation to the cultivation of Islamic religious values that support the achievement of women's emancipation can be carried out through proper education and habituation. This relates to the purpose of women's emancipation, namely to define, establish, and protect women's equal political, economic, and social rights. Meanwhile, the process of integration in society related to the goal of women's emancipation is still not fully underway. There are still a number of aspects that require improved integration for the achievement of the goal of emancipation. In the future, efforts can be made to encourage the achievement of these goals through proper religious education and referring to religious guidelines such as the Quran and Hadith which are internalized for the younger generation so that these values will be embedded and become commonplace in people's lives."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steffi Magdalena Jayanti
"Penulisan skripsi ini berawal dari ketidakjelasan konsep subyek, fantasi, dan emansipasi dalam keadaan kapitalisme-globalisasi. Subyek yang bersifat void ini selalu berupaya menutupi lackness alamiahnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui fantasi. Prinsip dasar fantasi adalah 'Che vuoi' (What do you want from me?). Hasrat pihak lainlah yang secara tidak sadar membentuk hasrat seseorang, contohnya pada kasus fantasi rasis. Problematika ini memampukan subyek untuk melampaui sisi tergelapnya, sehingga terkait dengan emansipasi. Kondisi emansipasi merupakan tujuan perjuangan subyek. Perjuangan tersebut membutuhkan subyek yang mempunyai kemampuan mengatasi lackness alamiahnya melalui tindakan radikal. Tindakan radikal ini dapat terjadi dengan adanya pematahan struktur the Big Other, serta pelepasan diri dari tatanan the Symbolic yang ada. Tindakan radikal ini menghasilkan kebaruan dan subyek 'kosong'. Situasi inilah yang memungkinkan tercapainya emansipasi. Perlu diingat bahwa emansipasi tidak bisa berhenti, tidak mempunyai syarat-syarat legal, serta bukanlah sebuah fantasi (karena bukan bentukan hasrat pihak lain).

This thesis begins with the vagueness concept of subject, fantasy, and emancipation in capitalist-globalization. Subject, whose characteristic is void, always try to cover this natural lackness. One of the efforts is through fantasy. The basic principle of fantasy is 'Che vuoi' (What do you want from me?). Other party desire unconsciously forms one's desires, for example in the case of racist fantasy. This problematic enabling the subject to pass over the darkest side of his/her life, which associated with emancipation. Emancipation is a condition that being the goal of subject's struggle. This struggle requires a subject that has the ability to overcome his/her natural lackness through radical action. This radical action may occur by the breaking the structure of the Big Other, as well as the self-release from the existing the Symbolic order. This radical action produces novelty (new form) and the an "empty" subject. This situation allows the possibility of emancipation. Some things that we should keep in our mind that emancipation won't have finished, it doesn't have any legal terms, and it's not a fantasy (as it's not formed by the other party's desire)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Arini Natalia Rotua
"Skripsi ini membahas tentang hak dan kebebasan perempuan dalam perkawinan menurut salah satu tokoh feminisme yaitu Betty Friedan yang dikaji secara filosofis. Skripsi ini memaparkan masalah-masalah yang dihadapi perempuan di dalam perkawinan, mulai dari masalah keluarga, budaya, dan sosial politik. Ide-ide filosofis Friedan seperti bagaimana perempuan harus menjadi pribadi yang otonom, adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta perempuan dipandang sebagai subjek yang utuh bukan dipandang hanya sebagai objek.

This thesis discuss the rights and freedom of women in marriage according to one of the feminist?s characters, Betty Friedan which is studied philosophically. This thesis describes the problems which is faced by women in marriage, starts from family problems, cultural, social and political. Friedan philosophical?s ideas such as how women should be an autonomous individual, equality between men and women, and women are seen as the whole subject not only seen merely as objects."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62239
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kais Abdullah Faqih
"ABSTRAK
Pemahaman atas dimensi transendensi yang diartikan sebagai suatu relasi vertikal dari manusia terhadap Tuhan, telah menghilangkan makna subjektivitas dari diri manusia. Kesadaran dan kebebasan tidak dipandang serius sebagai bagian dalam eksistensi manusia di dunia. Skripsi ini merupakan sebuah telaah kritis terhadap gagasan atas dimensi transendensi yang syarat dengan aspek Teologi. Melalui Jean Paul Sartre, pemahaman atas dimensi transendensi manusia akan dikembalikan kepada manusia dalam usahanya untuk melampaui pengalaman empiris sebagai subjek yang otonom. Konsep transendensi manusia kemudian akan dipahami dari perspektif subjek itu sendiri dengan kemampuannya untuk melampaui pengalaman aktual lewat kesadaran yang bertransendensi.

ABSTRACT
An understanding of the human transcendence dimension which is defined as a vertical relations from man to God, it has eliminated the meaning of subjectivity from the man itself. Consciousness and freedom is not taken seriously as a part of human existence in the world. This thesis is a critical analyzes from the idea of human transcendence dimension in terms of the theological aspects. Through Jean Paul Sartre, the understanding of human transcendence dimension will be returned to man with his effort to transcend the empirical experience as the autonomous subject. The concept of human transcendence then will be conceived from perspective of the subject itself with its ability to surpass his actual experience through the transcendence of consciousness.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62009
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deas Tiansya Buditami
"Hadirnya era globalisasi ditandai dengan semakin majunya perkembangan teknologi dan informasi. Dampak tersebut meluas ke berbagai kelompok, termasuk masyarakat paguyuban Jawa yang tradisional. Dengan adanya pertemuan antara pemikiran tradisional dan modern yang diekspresikan melalui teknologi digital menjadi suatu permasalahan pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan hasil sintesis dari adanya perpaduan pemikiran tradisional-modern yang terdapat pada film pendek Nyengkuyung berdasarkan teori dialektika. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif dengan metode kualitatif deskriptif dan metode transkripsi dengar-tulis. Lalu, kerangka teori yang digunakan adalah filsafat dan nilai moral yang merujuk pada prinsip rukun dan hormat. Data yang digunakan berasal dari film pendek Nyengkuyung yang dirilis di saluran YouTube. Hasilnya, masyarakat paguyuban yang direpresentasikan sebagai budaya lokal dan bertindak sebagai tesis mampu memanfaatkan teknologi digital untuk melestarikan budaya tradisional. Hal tersebut dipengaruhi karena adanya proses pemikiran dialektika berupa evolusi, perkembangan, dan kemajuan. Meskipun budaya global yang diwakili oleh teknologi modern telah hadir di tengah-tengah masyarakat paguyuban dan menjadi antitesis bagi nilai-nilai tradisional, mereka tetap teguh memegang kepercayaan leluhur yang mereka yakini mampu menyelesaikan masalah yang ada. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi salah satu bukti terjadinya perpaduan pemikiran tradisional-modern yang digambarkan melalui teknologi modern melalui proses dialektika tesis-antitesis-sintesis.

The advent of globalization has been marked by the rapid advancement of technology and information. The impact of this phenomenon has permeated various groups, including the traditional Javanese paguyuban communities. The intersection of traditional and modern thought, expressed through digital technology, forms the crux of this research. This study aims to formulate a synthesis of the traditional-modern thought fusion evident in the short film Nyengkuyung, employing Hegel's dialectical theory. The study adopts an objective approach, utilizing qualitative descriptive and transcription methods. The theoretical framework draws upon philosophy and moral values, adhering to the principles of harmony and respect. Data is derived from the short film Nyengkuyung, released on YouTube. The findings reveal that the paguyuban community, representing local culture and acting as the thesis, effectively harnesses digital technology to preserve traditional practices. This is attributed to the process of dialectical thinking, encompassing evolution, development, and progress. Despite the presence of global culture, represented by modern technology, which serves as the antithesis to traditional values, the paguyuban community remains steadfast in upholding their ancestral beliefs, perceived as capable of resolving prevailing issues. Therefore, this fusion of traditional and modern thought, depicted through modern technology within the thesis-antithesis-synthesis dialectical process, serves as a testament to the adaptability and resilience of traditional cultures in the face of globalization."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>