Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farah Khalisah
"ABSTRAK
Salah satu cara mencegah konflik dalam perkawinan adalah membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta perkawinan mereka. Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan memberikan batasan dalam membuat perjanjian tersebut, yakni batasan hukum, agama, dan kesusilaan. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut hukum mana yang menjadi rujukan, begitu pula untuk agama dan kesusilaannya. Skripsi ini merupakan penelitian yang bertujuan mengetahui tiga batasan perjanjian perkawinan tersebut di Indonesia. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang didukung hasil wawancara dengan narasumber terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan di Indonesia, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dibatasi oleh hukum hanya tentang harta kekayaan perkawinan saja, dan tidak boleh melanggar ajaran agama dan kesusilaan di daerah masing-masing.

ABSTRACT
One of the ways to prevent conflict in a marriage is to make a marriage agreement. A marriage agreement is an agreement made by a husband and wife to regulate the effect of marriage on their marital property. Article 29 of the Marriage Law provides restrictions on making the agreement, namely legal, religious and moral boundaries. However, there is no further explanation of which law is the reference, as well as for religion and morality. This thesis is a research which aims to find out the three limits of the marriage agreement in Indonesia. The method used in this thesis is juridical normative by examining library materials or secondary data which is supported by interviews with related sources. The results showed that the marriage agreement in Indonesia, which is regulated in the Civil Code, Islamic Law Compilation, and Law No. 1 of 1974 concerning Marriage, is limited by law to only marital assets, and may not violate religious and moral teachings in their respective regions. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
"Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta perjanjian perkawinan agar tidak melanggar batas-batas hukum dan agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Jika kemudian pasangan suami-istri yang berbeda agama ingin membuat perjanjian perkawinan (postnuptial agreement) yang isinya tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, apakah sesuai kewenangannya Notaris kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut atau justru Notaris tidak dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat mengenai batasan para pihak dalam membuat perjanjian perkawinan dan akibat hukum pembuatan klausula moralitas dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri. Bentuk penelitian ini yuridis-normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah batasan dalam membuat perjanjian perkawinan terdiri dari batasan hukum berupa peraturan perundang-undangan seputar harta kekayaan dan batasan agama berupa hukum agama para pihak. Apabila Notaris membuatkan perjanjian perkawinan antara para pihak yang perkawinannya dilangsungkan di luar negeri akan tetapi perkawinan tersebut merupakan perkawinan beda agama dan kehendak para pihak yang akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, maka akan memiliki implikasi terhadap tiga pihak, yaitu terhadap Notaris, terhadap para pihak, dan terhadap pihak ketiga. Saran berupa dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan yang memperjelas ketentuan Pasal 29 dan mempertegas larangan perkawinan beda agama serta timbulnya kewenangan PP-INI untuk mengadakan seminar dengan pembahasan mengenai substansi perjanjian perkawinan yang hanya berisikan tentang harta kekayaan.

Notaries as public officials who are authorized to make authentic deeds and have other authorities based on the Notary Office Law should provide legal explanation regarding the formulation of a marriage agreement deed so as not to violate legal and religious boundaries as stated in Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. If then a married couple of different religions wants to make a postnuptial agreement whose contents not only stipulate the assets of the parties but also regarding the religion that will be adhered to by the children of the parties, is it within the Notary's power to draft such an agreement or even the Notary cannot draft the marriage agreement. Issues raised regarding the limitations of the parties in making marriage agreement and the legal consequences of including morality clauses in marriage agreement for interfaith marriage held abroad. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. The results of the analysis are the limitations in making a marriage agreement consisting of legal restrictions in the form of laws and regulations regarding assets and religious restrictions are in the form of religious laws of the parties. If a Notary draws up a marriage agreement between parties whose marriage was held abroad, but it is an interfaith marriage and the will of the parties to be poured into the marriage agreement regulates not only the assets of the parties but also regarding the religion to which the children will adhere, it will have implications for three parties, namely the Notary, against the parties, and against the third party. Suggestions in the form of revising the Marriage Law which clarifies the provisions of Article 29 and reinforces the prohibition on interfaith marriage as well as the emergence of PP-INI's authority to hold seminars with a discussion of the substance of the marriage agreement, which only comprises assets."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbanraja, Indira Sarah
"Perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran adalah fenomena yang marak terjadi di masyarakat dunia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, tulisan ini menjelaskan peranan HPI dalam pengaturan dan keberlakuan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran oleh karena adanya interaksi antara dua atau lebih stelsel hukum. Berdasarkan pembahasan perjanjian-perjanjian perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing negara memiliki pengaturan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang berbeda dan para pihak diharapkan memperhatikan hal tersebut sebelum menyusun perjanjian.

Prenuptial agreement in mixed marriage is a worldwide phenomenon. With the research methodology of normative law, this writing explains the role of Private International Law/PIL in regulation and enforcement of prenuptial agreement because of the interaction between two or more laws. Based on the discussion of the prenuptial agreements, it can be concluded that each country has different regulation on prenuptial agreement in mixed marriage and it is best for the parties to pay attention on this matter before getting into agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Marsya Meirina
"Perjanjian perkawinan belum diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, perjanjian perkawinan dapat dianggap penting terutama dalam perkawinan campuran mengingat dampak yang dihasilkan dari perkawinan itu sendiri cukup besar. Skripsi ini membahas mengenai pengaturan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran di Indonesia yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan membandingkan pengaturan di Texas, Amerika Serikat yakni Texas Family Code dan Uniform Premarital Agreement Act. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian doktrinal untuk melakukan perbandingan pengaturan antara Indonesia dan Texas, Amerika Serikat. Adapun hasil dari penelitian ini adalah pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran di Indonesia diperlukan adanya kepastian hukum karena dalam prakteknya masih terdapat ketidaksesuaian berkaitan dengan pengaturan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran. Hal ini dapat dilakukan dengan pemerintah sebagai lembaga yang berwenang untuk lebih memperhatikan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran agar prosedur, akibat hukum, serta legalitas dari perjanjian perkawinan itu sendiri memiliki kepastian.

Prenuptial agreement is still not widely known by the Indonesian people. However, marriage agreements can be considered important, especially in mixed marriages, considering the significant impact of the marriage itself. This thesis discusses the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages in Indonesia namely in the Indonesian Civil Code and the Marriage Law No. 1 of 1974 and compares the with those in Texas, United States namely Texas Family Code and Uniform Premarital Agreement Act. The research used in this thesis is doctrinal research to compare the regulations between Indonesia and Texas, United States. The results of this study are that the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages in Indonesia requires legal certainty because in practice there are still inconsistencies related to the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages. This can be done by the government as the authorized institution to pay more attention to the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages so that the procedures, legal consequences, and legality of the prenuptial agreement themselves have certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Tiladaini
"Fenomena perkawinan beda agama di Indonesia dapat menimbulkan masalah dari segi hukum yaitu terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama tersebut. Di Indonesia tidak terdapat aturan yang tegas mengenai perkawinan beda agama. Sebagai perbandingan mengenai pengaturan hukum perkawinan beda agama, Penulis bandingkan dengan negara Malaysia yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakan dan dengan Pendeketan Perbandingan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Di Indonesia, mengenai perkawinan beda agama, dikembalikan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Di Malaysia, terdapat ketentuan mengenai perkawinan beda agama di dalam peraturan perundang-undangan bagi yang beragama Islam dan bagi yang beragama non Islam. Setelah adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dapat dimungkinkan pasangan yang berbeda agama dicatatkan perkawinanya melalui Penetapan Pengadilan. Di Indonesia, pada praktiknya perkawinan beda agama meskipun melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan dapat dicatatkan. Sedangkan di Malaysia, perkawinan beda agama yang melanggar ketentuan perundang-undangan tidak dapat didaftarkan.

The phenomenon of inter religious marriage in Indonesia can cause problems in terms of law that is related to the validity of the inter religious marriage. In Indonesia there are no strict rules regarding to the inter religious marriage. In comparison to the legal arrangement of inter religious marriage, the author compares the Malaysian state with the majority of the population are Muslims. This research used literature research methods and with the Comparative Approach. Data analysis method used qualitative analysis method. In Indonesia, concerning the inter religious marriage, it is returned to the religious law and beliefs in accordance with Article 2 Paragraph 1 of the Act No. 1 of 1974. In Malaysia, there are provisions on inter religious marriage in the legislation for Muslims and for non Muslims. After the existence of Act No. 23 of 2006, it is possible for inter religious marriage couples to register their marriages through the Court Decision. In Indonesia, in practice, inter religious marriage even though violating Article 2 paragraph 1 of the Act No. 1 of 1974 can be registered. While in Malaysia, inter religious marriage that violate statutory provisions can not be registered.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69054
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sathya Aisha Tunggadewi
"Skripsi ini mengeksplorasi implikasi hukum dari perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan dalam konteks harta perkawinan dalam kerangka perkawinan campuran, dengan fokus khusus pada Hukum Internasional Swasta Indonesia. Di era globalisasi yang semakin meningkat, perkawinan campuran yang melibatkan individu-individu dari latar belakang hukum dan budaya yang berbeda menjadi semakin lazim. Penelitian ini mengkaji kompleksitas dan tantangan yang terkait dengan penentuan hak atas harta perkawinan dalam perkawinan campuran, dengan mempertimbangkan beragam sistem hukum dan norma-norma budaya yang berlaku. Melalui analisis mendalam terhadap ketentuan hukum Indonesia yang relevan dan kerangka hukum internasional, tesis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan mempengaruhi pembagian harta perkawinan dalam perkawinan campuran. Dengan menyoroti kerumitan hukum yang terlibat, penelitian ini berkontribusi pada wacana yang lebih luas tentang hukum keluarga dan hukum internasional privat, menawarkan wawasan yang dapat memandu para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan individu dalam menavigasi kerumitan perkawinan campuran di Indonesia.

This thesis explores the legal implications of prenuptial and postnuptial agreements in the context of marital property within the framework of mixed marriages, with a specific focus on Indonesian Private International Law. In an era of increasing globalization, mixed marriages involving individuals from different legal and cultural backgrounds have become more prevalent. The study examines the complexities and challenges associated with determining marital property rights in such unions, considering the diverse legal systems and cultural norms at play. Through an in-depth analysis of relevant Indonesian legal provisions and international legal frameworks, the thesis aims to provide a comprehensive understanding of how prenuptial and postnuptial agreements impact the division of marital property in mixed marriages. By shedding light on the legal intricacies involved, this research contributes to the broader discourse on family law and private international law, offering insights that may guide policymakers, legal practitioners, and individuals navigating the complexities of mixed marriages in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syariful Alam
"Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan menurut hukum Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario , dengan melakukan analisis terhadap peraturan di Indonesia yaitu KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, peraturan di Belanda yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW , serta peraturan di Kanada Ontario yaitu Family Law Act 1990.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis data yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pada peraturan dari masing-masing negara ini, terdapat beberapa perbedaan dalam hal pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Hasil penelitian ini menunjukan bagaimana pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan di Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario, dengan tujuan untuk memperbaiki pengaturan di Indonesia mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

This research discusses about comparison of regulation for postnuptial agreement in Indonesia, Netherland and Canada Ontario by doing analysis on Indonesia rsquo s regulation such as Indonesian Civil Code KUHPerdata and Law No. 1 1974 about Marriage, Netherlands rsquo regulation such as Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW and Canada rsquo s Ontario regulation such as Family Law Act 1990.
This is a normative juridical research using qualitative approach method. Among those countries rsquo regulations, the Author found some similarities and differences regarding postnuptial agreement among those countries.
This research shows how is postnuptial agreement regulated in Indonesia, Netherland and Canada Ontario in order to find suggestions to amend regulation regarding postnuptial agreement in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivone Nurul Fu`adah
"Masalah perkawinan beda agama memang tidak banyak muncul kepermukaan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UUP). Setelah ditetapkannya UUP yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum dan tatacara agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Menurut negara sah apabila menurut agamanya sah. UUP tidak mengatur perkawinan beda agama. Pada kenyataannya ada terjadi perkawinan beda agama. Sebelum berlakunya UUP perkawinan beda agama diatur dengan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, St. 1898 No. 158) selanjutnya disingkat GHR dan Ordonansi Perkawinan Orang-orang Indonesia-Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon (Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina, St. 1933 No. 74) atau disingkat HOCI. Perkawinan beda agama dengan cara penundukan diri pada aturan hukum pihak perempuan. Penundukan diri pada hukum perempuan ini dibuat dengan suatu akta otentik. Akta otentik harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan pejabat umum dalam pasal tersebut adalah notaris. Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta. Hal ini diatur dalam Pasal 1 juncto Pasal 15 ayat 1 UUJN. Metode penelitian yang dipakai adalah kepustakaan penelitian hukum (legal research) yang bersifat yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dan analisis data dengan pendekatan kualitatif. Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui sejauh mana perkawinan beda agama yang teijadi di Indonesia dikaitkan dengan pembuatan akta pernyataan tunduk ke KUHperdata pada perkawinan beda agama dan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan perkawinan beda agama tersebut. Hasil penelitian ternyata perkawinan beda agama teijadi dan dimungkinkan dilakukan mengacu pada aturan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 66 UUP, Pasal 35 huruf a berserta penjelasannya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan dan yurisprudensi MA No. 1400 K/Pdt/1986.

The problem is the difference between religious marriage is not much appear before the introduction of Law Number 1 Year 1974 on Marriage (hereinafter abbreviated UUP). After UUP which States that marriage is considered legitimate when carried out according to legal procedure religious of each. According to the valid State when the legitimate reiigion. UUP does not set the different religious marriage. In fact, there occurred the marriage is religious. Before the introduction of UUP religious marriage is regulated by intermarriage (Regeling op de Gemengde Huwelijken St. No. 1898. 158) and then truncated GHR ordinance Perkawinan The Indonesian Christians in Java, Minahasa and Ambon (Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina, St. No. 1933. 74) or abbreviated HOCI. Marriage is religious in a way bending the rules of law on women. Bending the law on women is made with an authentic letter. Authentic letter must meet the conditions stipulated in article 1868 KUHPerdata. The definition of public official in the notary clause. Notary is a public official who has the authority to make of authentic letter. Notary is a public official who has the authority to make of authentic letter. This is stipulated in Article 1 juncto Article 15 paragraph 1 UUJN. Research method used is literature study law (legal research) of juridical normative, a descriptive analytical, and data analysis with a qualitative approach. The purpose of writing is to know the extent to which marriage is a religious place in Indonesia is associated with the making of a statement of authentic letter to KUHperdata on the subject of marriage is religious and regulations related to marriage are different religions. Results of research that religious marriage is going on and made possible to the rules Switching Rules Article I of the 1945 Constitution, Article 66 UUP, Article 35 letter a with explanation of Law No. 23 Year 2006 about administration of residence and jurisprudence of MA No. 1400 K/Pdt/1986."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26042
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Metta Angela
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan pengaturan dispensasi perkawinan di Indonesia dan Singapura berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Dispensasi Kawin dan Women’s Charter 1961 beserta dengan pelaksanaannya. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder dan perundag-undangan. Dispensasi perkawinan merupakan pemberian izin perkawinan oleh pengadilan kepada calon suami/isteri yang belum mencapai batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan. Batas usia minimal tersebut beragam sesuai dengan ketentuan perundang-undangan setiap negara. Indonesia menetapkan  usia 19 (sembilan belas) tahun sebagai batas usia minimal perkawinan, sedangkan Singapura menetapkan batas usia minimal perkawinan pada usia 18 (delapan belas) tahun. Selain batas usia minimal perkawinan, Indonesia dan Singapura memiliki beberapa persamaan dan perbedaan lainnya. Adapun salah satu perbedaan utama dalam pengaturan dispensasi perkawinan antara Indonesia dan Singapura adalah penerapan Bimbingan Pra-Nikah di Indonesia dan Marriage Preparation Programme di Singapura. Singapura mewajibkan pasangan yang mengajukan Special Marriage License untuk mengikuti Marriage Preparation Programme, sedangkan Bimbingan Pra-Nikah di Indonesia masih bersifat pilihan dan hanya diwajibkan oleh beberapa lembaga keagamaan. Oleh karena itu, diperlukan pembaharuan serta tinjauan mengenai hukum dispensasi kawin di Indonesia untuk memastikan kesiapan dan pemenuhan hak anak di bawah umur dalam pernikahan dini.

This thesis discusses the comparison of marriage dispensation law in Indonesia and Singapore based on Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Dispensasi Kawin and Women’s Charter 1961 along with its implementations. Marriage dispensation means the granting of marriage license by the court to a bride/groom who has not reached the minimum age to enter marriage. The minimum age varies according to the statutory provisions of each country. Indonesia sets the age of 19 (nineteen) years old as the minimum age for marriage, while Singapore sets the minimum age for marriage at 18 (eighteen) years old. In addition to the minimum age to enter marriage, Indonesia and Singapore also have several other similarities and differences. One of the main differences in the regulation of marriage dispensation between Indonesia and Singapore is the application of Bimbingan Pra-Nikah in Indonesia and Marriage Preparation Programme in Singapore. Singapore requires couples applying for a Special Marriage License to take part in the Marriage Preparation Programme, while Bimbingan Pra-Nikah in Indonesia is still optional and only required by some religious institutions. Therefore, an update and review of marriage dispensation law is needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Gitawati Purwana
"Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperluas Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya. Namun, mengenai maksud perjanjian lainnya tidak dijelaskan lebih lanjut dalam putusan ini. Permasalahan timbul karena tidak adanya batasan yang jelas terkait isi yang dapat dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan dan adanya kekeliruan menafsirkan perjanjian perkawinan yang menyebabkan esensi perkawinan itu hilang. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya memberikan batasan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, serta tidak boleh merugikan pihak ketiga. Skripsi ini membahas mengenai batasan dan praktik pembuatan perjanjian perkawinan di hadapan Notaris yang mengatur selain harta benda perkawinan. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan memfokuskan penelitian berdasarkan norma-norma hukum yang ada dan didukung wawancara dengan Notaris untuk mengetahui praktiknya. Hasil penelitan menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan dapat mengatur selain harta benda perkawinan sebagai klausul tambahan, asalkan sesuai dengan hukum positif Indonesia, prinsip-prinsip agama, dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain itu, pihak ketiga harus dilindungi dengan mendaftarkan dan mengumumkan perjanjian perkawinan. Akan tetapi, ada juga Notaris yang berpendapat bahwa perjanjian perkawian yang mengatur selain harta benda perkawinan bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan yang lebih jelas mengenai batasan isi perjanjian perkawinan yang tidak melanggar hukum, agama, kesusilaan, serta tidak merugikan pihak ketiga untuk menyatukan pemahaman dalam praktiknya. Sementara itu, Notaris dapat mempergunakan subjektivitasnya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam membuat perjanjian perkawinan yang mengatur selain harta benda perkawinan.

The issuance of the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 has expanded Article 29 of Law Number 1 of 1974 on Marriage that the nuptial agreement can arrange marital property or other agreements. However, regarding the other agreement do not go further in this ruling. Problems arise because there are no clear boundaries regarding the contents that can be arranged into the nuptial agreement and there is a mistake in interpreting the nuptial agreement which causes the essence of marriage to be lost. Article 29 of Law Number 1 of 1974 on Marriage only provides a limitation that a nuptial agreement may not conflict with law, religion and morals, and may not harm third parties. This thesis discusses the limitations and practices of making nuptial agreements attested by a notary who regulating other than those marital property. The method used is juridical normative with a focus on research based on existing legal norms and supported by interviews with notaries to see the practice. The research results show that the nuptial agreement can include other than marital property as an additional clause, as long as it is in accordance with Indonesian positive law, religious principles and norms that apply in society. In addition, third parties must be protected by registering and announcing a nuptial agreement. However, there are also notaries who believe that a nuptial agreement that regulate other than marital property is contrary to Article 1337 of the Civil Code. Therefore, a clearer regulation regarding the content of the nuptial agreement is needed that does not violate legal, religious, moral boundaries and does not harm third parties to unify understanding in practice. Meanwhile, notaries can use their subjectivity based on their knowledge and experience in making nuptial agreements that regulate other than marital property."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>