Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163624 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lusiana
"Latar belakang: Pitiriasis versikolor (PV) merupakan infeksi jamur superfisial kronik dengan prevalensi tinggi. Belum ada data yang membandingkan sampo SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2% pada terapi PV. Tujuan: Mengetahui efikasi mikologis, keamanan, kekambuhan, dan efikasi biaya antara sampo selenium sulfida 1,8% dibandingkan dengan ketokonazol 2% pada PV. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien PV bulan September hingga Desember 2018, dengan terapi sampo SeS2 1,8% atau ketokonazol 2% sesuai dengan alokasi random. Dilakukan pemeriksaan fisik, uji provokasi skuama, lampu Wood, dan kalium hidroksida. Efikasi mikologis dianalisis dengan intention to treat dan kekambuhan dengan analisis per-protokol. Efikasi biaya dengan menghitung Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Hasil: Efikasi mikologis lebih tinggi pada ketokonazol 2%, yaitu sebesar 94% vs 86%, tetapi tidak berbeda secara statistik (RR=2,3(95%IK0,6-8,5), p=0,182). Efek samping pada ketokonazol 2% lebih tinggi, yaitu 22% vs 8%. SeS2 1,8% lebih murah 14.880 rupiah, dengan risiko KOH masih positif sebesar 8% lebih tinggi dibanding ketokonazol 2%. Kekambuhan sebulan didapatkan lebih besar pada SeS2 1,8%, yaitu sebesar 8% vs 14%. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efikasi mikologis, efek samping, dan kekambuhan sebulan, antara SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2%. Penggunaan SeS2 1,8% pada terapi PV lebih murah dengan risiko gagal terapi lebih tinggi dibandingkan ketokonazol 2%.

Background: Pityriasis versicolor (PV) is a chronic superficial fungal infection which highly prevalent. There is no data comparing SeS2 1.8% with 2% ketoconazole shampoo in the treatment of PV. Objective: To assess the mycological efficacy, safety, relaps, and cost-efficacy of SeS2 1.8% and ketoconazole 2% shampoo for the treatment of PV. Methods: A double blind randomized controled trial was performed in patients with PV during September-December 2018, based on block randomization. Physical examinations, scale provocation test, Woods lamp and potassium hydroxide examination were conducted. Intention to treat analysis was performed to evaluated mycological efficacy and per-protocol analysis to evaluated relaps. Cost-efficacy was analyzed by calculating the Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Result: The mycological efficacy, side effect and relaps were higher in the ketoconazole group; 94% vs 86% (RR=2.3(95%CI 0.6-8.5), p= 0.182), 22% versus 8%, and 14% versus 8%. We found lesser cost for SeS2 1.8% of about 14.880 rupiah with risk of persistent positive KOH smear is 8% higher than ketoconazole. Conclusion: There were no significant differences of mycological efficacy, side effect, and relaps, between both arms. The cost-efficacy revealed a lesser cost for SeS2 1.8% with higher risk of persistent positive KOH as compared to ketoconazole."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eyleny Meisyah Fitri
"ABSTRAK
Latar belakang: Xerosis kutis sering ditemukan pada lanjut usia lansia . Aplikasi pelembap merupakan tatalaksana utama. Pelembap mengandung humektan, misalnya laktat dan urea, dapat memperbaiki hidrasi dan disfungsi sawar kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 dan urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan subjek kelompok berpasangan dilakukan pada 40 orang penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , dan efek samping dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat terapi, serta minggu kelima seminggu setelah terapi dihentikan. Hasil: Penurunan nilai SRRC dan TEWL, peningkatan nilai SCap, setelah empat minggu tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi dengan nilai p masing-masing 1,000; 0,636; dan 0,601. Pada minggu kelima, terjadi peningkatan nilai SRRC dan TEWL serta penurunan nilai SCap minggu keempat pada kedua kelompok, namun masih lebih baik daripada nilai dasar dan minggu kedua terapi. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efikasi dan keamanan krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 sama baiknya dengan krim pelembap yang mengandung urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Kata kunci: amonium laktat 12 ; lanjut usia; urea 10 ; xerosis kutis

ABSTRACT
Background Xerosis cutis is widely known in geriatric population. Application of moisturizer is the treatment.. Moisturizer with humectant property, e.g lactate and urea, could restore skin hydration and barrier dysfunction. This study aims to compare the efficacy and safety between moisturizing cream containing 12 ammonium lactate and 10 urea in geriatric population with xerosis cutis. Methods A double blind randomized controlled trial with matching paired subject was conducted on 40 residents of a nursing home in Jakarta. Evaluation of specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , and side effects were measured at baseline, week 2 and week 4 after therapy, and week 5 one week after therapy cessation. Results The decrease of SRRC and TEWL score, increase of SCap score after four weeks of therapy between two group yield no statistical different p 1.000 p 0.636 p 0.601 respectively . On the fifth week, SRRC and TEWL score were increased and SCap score was decreased compared to the fourth week, but they are still better than the score on baseline and the second week. No objective and subjective side effects were found. Conclusions The efficacy and safety of moisturizing cream containing 12 ammonium lactate are the same as 10 urea in treating xerosis cutis of geriatric population. Keywords 12 ammonium lactate 10 urea geriatric xerosis cutis"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Siphra
"Latar belakang: Diabetes melitus (DM) dapat menimbulkan komplikasi kulit kering yang berkorelasi dengan pembentukan ulkus pada pasien DM. Pemakaian pelembap sebagai bagian dari perawatan kaki dapat mencegah pembentukan ulkus. Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan pelembap yang mengandung krim urea 10% dan vaselin album untuk mengatasi kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 68 pasien DM tipe 2 dengan kulit kering pada bulan Juli-Oktober 2018. Setiap subjek penelitian mendapat terapi krim urea 10% atau vaselin album untuk masing-masing tungkai. Perbaikan kulit kering dilihat dari skor klinis specified symptom sum score (SRRC), hidrasi kulit (korneometer) dan fungsi sawar kulit (tewameter) pada minggu kedua dan keempat. Hasil: Tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara kelompok krim urea 10% dan vaselin album. Kedua pelembap ini tidak menimbulkan efek samping. Kesimpulan: Kedua jenis pelembap ini sama efektif dan dapat dipertimbangkan untuk terapi kulit kering pada pasien DM tipe 2.

Background: Diabetes mellitus (DM) could cause xerotic skin which correlates with ulcer formation in DM patients. Daily use of moisturizer as part of foot care were expected to prevent it. Objective: To asses the effectiveness and safety of moisturizers containing 10% urea cream and white petrolatum in overcoming dry skin in type 2 DM patients. Methods: A double blind randomized clinical trial was conducted on 68 diabetes patients with xerotic skin in July-October 2018. Each study subject received 10% urea cream or white petrolatum for each leg. Repair of xerotic skin assessed from the specified symptom sum score (SRRC), skin hydration (corneometer) and skin barrier function (tewameter) in the second and fourth weeks. Results: There was no significant difference in effectiveness between the two groups. Both moisturizers were well tolerated."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
ST Cahyo Ariwicaksono
"Pendahuluan dan tujuan: Skor IPSS (International Prostate Symptom Score)
direkomendasikan sebagai instrumen skoring yang ideal untuk digunakan sebagai
pendeteksi terhadap derajat keparahan gejala pada pasien dengan LUTS, respon terapi,
dan perbaikan gejala. Terapi medikamentosa umumnya diberikan pada pasien dengan
gejala LUTS sedang dan berat, dengan menggunakan α-1 adrenoceptor antagonist
(blocker). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan skor IPSS dan QoL pada
pasien Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) yang menerima terapi Silodosin atau
Tamsulosin dalam waktu 12 minggu.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis buta ganda. Subjek penelitian adalah pasien
laki-laki berumur 50 tahun atau lebih yang didiagnosis BPH dengan Skor IPSS ≥8 di
RSPAD Gatot Soebroto. Pasien mendapatkan terapi Silodosin atau Tamsulosin lalu di
follow up perubahan nilai IPSS dan QOL (Quality of Life) dalam 12 minggu.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 50 subjek, dengan rata-rata IPSS 16.74 dan QoL 3.64
pada awal penelitian. Kami menemukan penurunan rata-rata IPSS menjadi 10,5 dan ratarata
QOL menjadi 2,56 dalam 12 minggu setelah subjek menerima Silodosin atau Tamsulosin. Namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara subjek yang menerima Silodosin atau Tamsulosin (p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan signifikan skor IPSS dan QoL dalam waktu 12 minggu pengamatan. Hasil ini sesuai dengan tinjauan pustaka, yaitu alpha blocker baik untuk menurunkan skor IPSS pada pasien BPH. Namun tidak ditemukan perbedaan antara pasien yang menerima Silodosin atau Tamsulosin.

Introduction and objectives: IPSS score (International Prostate Symptom Score) is
recommended as an ideal scoring instrument to be used as a detector of symptom severity
in patients with LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms), therapeutic response, and
symptom improvement. Medical therapy is generally given in patients with moderate and
severe LUTS symptoms, using α-1 adrenoceptor antagonists (blockers). We aimed to
determine whether there is difference between IPSS & QoL in patience with BPH who
received either Silodosin or Tamsulosin within 12 weeks.
Methods: This study was a double blind clinical trial. Subjects were male patient age 50
or more diagnosed with BPH with IPSS Score ≥8 at Indonesian Army Hospital RSPAD
Gatot Soebroto. Patient Received whether Silodosin or Tamsulosin and we followed up
the change in IPSS and QOL (Quality of Life) to 12 weeks.
Results: This study included 50 patients, with mean IPSS 16.74 and QOL 3.64 at the
beginning of the study. We Found decreasing the IPSS mean 10.5 and QoL mean 2.56 in
the 12 weeks after they received whether Silodosin or Tamsulosin. However, there are
statistically not significant difference whether they received Silodosin or Tamsulosin
(P>0.05)
Conclusion: There are significant decrease IPSS score and QoL within 12 weeks
observation. As literature review that alpha blocker are good for patience with BPH
decrease IPSS. But there are no differences between patience received Silodosin and
Tamsulosin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parikesit Muhammad
"Salah satu faktor penyebab kulit kering pada lanjut usia adalah penurunan konsentrasi asam hialuronat pada epidermis dan dermis. Asam hialuronat berat molekul kecil dianggap lebih efektif melembapkan kulit dibandingkan asam hialuronat berat molekul besar. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang dilakukan pada 36 orang berusia 60-80 tahun dengan kulit kering di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga lokasi di tungkai bawah, yang dioleskan dua kali sehari. Penilaian skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), dan skor SRRC dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Nilai SCap lebih tinggi pada area pengolesan asam hialuronat berat molekul kecil dibandingkan dengan asam hialuronat berat molekul besar (56,37 AU vs 52,37 AU, p=0,004) dan vehikulum (56,37 AU vs 49,01 AU, p<0,001). Tidak terdapat perbedaan nilai TEWL dan skor SRRC yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada ketiga kelompok perlakuan. Pelembap yang mengandung asam hialuronat berat molekul kecil meningkatkan SCap lebih tinggi secara bermakna daripada asam hialuronat berat molekul besar dan vehikulum serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi kulit kering pada populasi lansia.

A contributing cause to dry skin is a reduced concentration of hyaluronic acid (HA) in both the epidermis and dermis. Low molecular weight HA (LMWHA) is believed to be more effective in replenishing skin hydration in aging skin compared to High Molecular Weight HA (HMWHA). A double-blind, randomized controlled trial was conducted on 36 residents of a nursing home in Jakarta, aged 60 and 80 years with dry skin. Following a week of preconditioning, each test subject was administered three distinct, randomized moisturizing lotions, to be topically applied to three separate sites on the leg. Skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), and SRRC scores were measured at weeks 0, 2, and 4. After four weeks of therapy, area that was treated with LMWHA showed greater SCap values compared to the area treated with HMWHA (56.37 AU vs 52.37 AU, p=0.004) and vehicle (56.37 AU vs 49.01 AU, p<0.001). All groups did not show any significant differences in TEWL and SRRC scores. No side effects were found in all groups. The application of a moisturizer containing LMWHA to the dry skin of elderly resulted in significant improvements in skin hydration compared to moisturizers containing HMWHA and vehicle. Furthermore, these moisturizers demonstrated similar safety in treating dry skin in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Rachmawati
"

ABSTRAK

 

Nama                   : Yenny Rachmawati

Program studi      : Dermatologi dan Venereologi

Judul                    : Perbandingan Efektivitas serta Keamanan antara Krim Pelembap Niasinamid 4% dan Virgin Coconut Oil 30% untuk Pencegahan Sekunder Dermatitis Tangan Akibat Kerja pada Perawat Intensive Care Unit : Uji Klinis Acak Tersamar Ganda

 

Latar belakang:  Dermatitis tangan akibat kerja (DTAK) sering terjadi pada perawat Intensive Care Unit (ICU) terutama pada individu yang rentan akibat pajanan iritan berupa hand rub alcohol dan aktivitas cuci tangan berulang. Penggunaan pelembap adalah salah satu rekomendasi untuk perawatan kulit pada DTAK. Niasinamid memiliki efek antiinflamasi dan dapat memperbaiki fungsi sawar kulit. Vigin coconut oil (VCO) kaya akan kandungan lipid dan asam laurat, serta memiliki efek oklusif. Sampai saat ini belum ada panduan dan referensi jenis pelembap untuk pencegahan sekunder pada DTAK.

 

Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas serta keamanan antara krim pelembap niasinamid 4% dan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU.

 

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap perawat ICU dengan DTAK pada bulan September hingga Oktober 2019. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian, mendapat niasinamid 4% atau VCO 30% sesuai dengan randomisasi blok. Pengolesan pelembap dilakukan dua kali sehari selama 28 hari. Perbaikan klinis dinilai dengan parameter skor Hand Eczema Scoring Index (HECSI) dan penilaian sawar kulit dinilai dengan transepidermal water loss (TEWL) serta hidrasi kulit dengan skin capasitance (SCap) pada hari ke-14 dan hari ke-28. Keamanan dinilai berdasarkan efek samping selama penelitian.

 

Hasil: Didapatkan 46 SP pada masing-masing kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%. Terdapat penurunan skor HECSI pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28. Median skor HECSI  di kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%  pada hari ke-14 yaitu 6,5 dan 6 (p 0,160), serta pada hari ke-28 yaitu 4 dan 3 (p 0,046). Pada hari ke-28, perbedaan skor HECSI kedua kelompok secara statistik bermakna, namun secara klinis tidak bermakna. Terdapat penurunan nilai TEWL pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline, namun pada area palmar di kelompok niasinamid 4% terdapat sedikit peningkatan nilai TEWL pada hari ke-28. Terdapat peningkatan nilai SCap pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline. Kedua pelembap dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping minimal.

 

Kesimpulan: Niasinamid dan VCO efektif memperbaiki klinis DTAK pada perawat ICU, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna antara krim pelembap niasinamid 4% dengan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU

 

Kata kunci: dermatitis tangan akibat kerja, efektivitas, keamanan, pelembap, niasinamid 4%, VCO 30%

 


ABSTRACT

 

Name                 : Yenny Rachmawati

Study Program : Dermatologi dan Venereologi

Title                   : Comparison of the Effectiveness and Safety between Moisturizing Cream Containing Niacinamide 4% and Virgin Coconut Oil 30% for Secondary Prevention of Occupational Hand Dermatitis in Intensive Care Unit Nurses: a Double Blind Randomized Clinical Trial

 

Background:  Occupational hand dermatitis (OHD) often occurs in intensive care unit (ICU) nurses, especially in individuals who are vulnerable due to irritant exposure e.g. hand rub alcohol and repeated hand washing activities. The use of moisturizer is one of the recommendations for skin care in OHD. Niacinamide which has anti-inflammatory effects and can improve the skin sawar function. Virgin coconut oil (VCO) is rich in lipids and lauric acid, and has an occlusive effect. Until now there are no guidelines and reference types of moisturizers for secondary prevention in OHD.

 

Objective: To assess the difference of effectiveness and safety between moisturizing cream containing niacinamide 4% and VCO 30%  for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses

 

Methods: A double blind randomized controled trial was performed in ICU nurses with OHD during September–October 2019. Patients who fulfilled inclusion criteria and willing to be involved in the study were allocated to niacinamide 4% or VCO 30% based on block randomization.  Moisturizer were applied twice daily for 28 days. Measurement of Hand Eczema Scoring Index (HECSI) scores were conducted to evaluate the clinical improvement . Measurement of transepidermal water loss (TEWL) were conducted to evaluate the barrier skin and skin capacitance (SCap) values were conducted to evaluate skin hydration on 14th and 28th day. Safety were assessed based on side effects during research.

 

Results: There were 46 subjects in each arms of intention, the niacinamide 4% arm and in the VCO 30% arm. There were a decrease in HECSI scores in both treatment groups on 14th and 28th  day. The median score of HECSI in niacinamide 4% and VCO 30% on 14th day were 6.5 and 6 (p 0.160), and on 28th day were 4 and 3 (p 0.046). On 28th day, the difference in HECSI scores of the two groups were statistically significant, but clinically not significant. There were a decrease in TEWL values in both treatment groups on 14th and  28th day compared to baseline, but there were a slight increase in TEWL values in the palmar area in the niacinamide group on 28th day. There were an increase in SCap values in both treatment groups on 14th and 28th day compared to baseline. Both moisturizers were well tolerated with minimal side effects.

 

Conclusion: Niacinamide 4% and VCO 30% were effective in improving clinical OHD in ICU nurses, although there were no significant difference between moisturizing cream containing niacinamide 4% and virgin coconut oil 30% for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses.

 

Keywords: occupational hand dermatitis, effectiveness, safety, moisturizer, niacinamide 4%, VCO 30%

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atik Arimurti
"Ketombe (Pityriasis capitis) adalah pengelupasan korneosit lebih cepat dan berlebihan di kulit kepala, tampak sebagai serpihan kecil berwarna putih.6 Penyebab adalah jamur Malassezia sp, aktivitas kelenjar sebasea, dan kerentanan individu. Cara menanggulangan dengan menurunkan produksi sebum dan jumlah jamur penyebab.5-6 Sampo yang mengandung zinc pyrithione (ZPT) dan selenium sulfida (SeS2) berperan untuk membersihkan kulit kepala, menghambat pembelahan korneosit, menurunkan sebum dan membunuh jamur penyebabnya. Penelitian bertujuan untuk uji efikasi sampo selenium sulfida 1% dan sampo zinc pyrithione 1% terhadap Malassezia globosa secara in vitro.
Metode eksperimental. Jenis sampo SeS2 1%, sampo ZPT 1%, dan sampo kombinasi SeS2 1% + ZPT 1 %, dan Basis sampo dengan pengenceran 2X, 4X, dan 6X dengan waktu kontak 3 menit dan 5 menit selain itu akuades steril digunakan sebagai kontrol. Jamur yang diuji adalah Malassezia globosa (CBS 7966 ATCC 96807) dengan konsentrasi 3-5 x 104 sel/ml. Medium inokulasi adalah sabouraud dextrose agar (SDA ) + minyak zaitun 2%. Biakan diinkubasi pada suhu kamar, selama 5 hari dan dihitung jumlah koloni jamur M. globosa yang tumbuh. Data dianalisis dengan uji Anova (p<0,05) dan uji Fisher?s LSD (p<0,05).
Hasil penelitian uji efikasi sampo SeS2 1%, ZPT 1% dan kombinasi SeS2 1% + ZPT 1% menunjukkan jumlah koloni M. globosa yang lebih rendah dibanding jumlah koloni M. globosa yang dikontakkan dengan basis sampo maupun akuades steril. Secara statistik hasil ini menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (P= 0,000). Pada sampo SeS2 1%, sampo ZPT 1% dan sampo kombinasi SeS2 1% + ZPT 1% dengan pengenceran 2X, 4X, dan 6X jumlah koloni yang tumbuh tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, hasil yang sama diperoleh pada waktu kontak yaitu 3 menit dan 5 menit yaitu tidak menunjukkan perbedaan bermakna.
Secara in vitro sampo SeS2 1%, ZPT 1% dan kombinasi SeS2 1% + ZPT 1% mempunyai daya hambat yang sangat kuat terhadap M. globosa baik pada pengenceran 2X, 4X, dan 6X maupun pada waktu kontak 3 menit dan 5 menit.

Dandruff (Pityriasis capitis) is the excessive flaking of the scalp epithel, appear as white flakes. Malassezia sp has been known as a causatif agent of dandruff. 5 One of the method to treat dandruff is reduce the production of sebum, and the number of fungi.5-6 Shampoo containing zinc pyrithion (ZPT) and selenium sulfide (SeS2) is known as an anti-dandruff shampoo. Despite the widely usage of this shampoo, its effectivenes against the fungi In Vitro has not been known. The aim of this study is determine the efficacy of shampoo containing selenium sulfide and zinc pyrithion against Malassezia globosa In Vitro.
The method of this study was experimental. Three types of shampoo were tested (Shampoo containing 1% SeS2, shampoo containing 1% ZPT, shampoo containing combination of 1% SeS2 and 1% ZPT), Basic shampoo with three dilution level (two times, four times and six times) and two level of contact time (3 minutes and 5 minutes), and sterile distilled water were used as control. The sample was Malassezia globosa (CBS 7966 ATCC 96807) with a concentration of 3-5 x 104 cells/ml. We used sabouraud dextrose agar (SDA) and 2% olive oil as a medium. Inoculated cultures were incubated at room temperature and observed for 5 days. Than the number of M. globosa colonies were counted. Data were analyzed using ANOVA test (p <0.05) and Fisher's LSD test (p <0.05).
The results showed that the number of colonies of M. globosa that have been contacted with the shampoo containing 1% SeS2, the shampoo containing 1% Zinc Pyrithion and the shampoo containing combination of 1% SeS2 and 1% ZPT have a strong inhibitory to M. globosa than control. This result showed statistically significant (P = 0.000). There is no significant within the shampoo containing SeS2 1%, the shampoo containing 1% ZPT and the shampoo containing combination of 1% SeS2 and 1% ZPT in all level of dilution. The contact time also did not show any statistical significant.
Conclusion: Shampoo containing 1% SeS2, shampoo containing 1% ZPT, and shampoo containing combination of both have strong inhibition to M. globosa In Vitro in all dilution level and contact time."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Agnes Susanto
"TUJUAN: Mengetahui efek metformin atau DLBS3233 terhadap kadar AMH.
LATAR BELAKANG: SOPK merupakan sindrom yang diketahui berkaitan dengan resistensi insulin dalam patofisiologi dan peranan AMH dalam patogenesis. Maka salah satu bagian dari tatalaksana SOPK adalah dengan pemberian insulin sensitizing agent ISA. ISA yang telah banyak digunakan yaitu metformin yang terbukti dalam memperbaiki siklus haid, namun obat ini juga menimbulkan efek samping seperti keluhan gastrointestinal yang cukup berat. Sehingga perkembangan obat herbal seperti fraksi bioaktif DLBS3233 memberikan harapan akan ISA yang efektif, namun memiliki efek samping minimal. Peranan ISA dalam efek perubahan AMH masih kontroversial, dan hanya ditemui penelitian yang meneliti metformin.
DESAIN DAN METODE: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak tersamar ganda yang berlangsung pada bulan Maret 2013 hingga Juni 2015 di klinik Yasmin, RSCM Kencana dan RS Hasan Sadikin, Bandung. Subjek penelitian akan mendapatkan metformin sebanyak 2x750mg atau DLBS3233 1x100mg per hari selama enam bulan. Evaluasi kadar AMH akan dilakukan sebanyak dua kali, sebelum dan sesudah pengobatan.
HASIL: Sebanyak 20 subjek mendapati metformin dan 18 subjek mendapati DLBS3233. Rerata kadar AMH sebelum pengobatan didapati 9,30 5,06 ng/mL dan 11,27 6,47 ng/mL. Pasca pengobatan, didapati penurunan kadar AMH yang signifikan sebesar 1,52 0,07 p < 0,001. Penurunan kadar AMH didapati lebih tinggi pada grup metformin bila dibandingkan dengan DLBS3233 ? AMH = 1,83 ng/mL vs 1,15 ng/mL. Namun, metformin menimbulkan efek samping yang lebih signifikan dibandingkan DLBS3233 p=0,01. Sebanyak 7 pasien 18,42 hamil selama penelitian ini. Namun efek samping pengobatan jauh dirasakan oleh subjek yang mendapatkan metformin dibandingkan DLBS3233 p=0,01.
KESIMPULAN: Baik metformin atau fraksi bioaktif DLBS3233 dapat menurunkan kadar AMH, dan DLBS3233 merupakan pilihan terapi SOPK dengan efek samping yang minimal.

OBJECTIVE: To determine the effect of metformin and DLBS3233 on serum AMH level.
BACKGROUND: PCOS is known to be associated with insulin resistance in the pathophysiology and Anti Mullerian Hormone AMH in the pathogenesis. Thus, one of management of PCOS is to give insulin sensitizing agent ISA. Type of ISA which has been widely used is metformin which proven to improve menstrual cycle, but this medication cause major side effect such as gastrointestinal problems. So, the development of herbal medicine such as Bioactive Fraction DLBS3233, offer effective medicine, with minimal side effects. To date, the role of ISA to effects the changes in AMH still controversial, and studies only examine the effect of metformin to the level of AMH.
METHOD: Double blind randomized controlled trial was conducted in Yasmic Clinic, Cipto Mangunkusumo General Hospital, Kencana and Hasan Sadikin hospital, Bandung within March 2013 until June 2015. PCOS patient diagnosed using Rotterdam All participant get daily dose of metformin 2x750mg or DLBS3233 1x100mg for six months. Evaluation of serum AMH level was conducted twice prior therapy and after the completion of the therapy. Protocol analysis was carried out upon differences of AMH using SPSS 20.
RESULTS: 20 subjects received metformin, while 18 subject received DLBS3233. Level of AMH prior medication was known to be 9,30 5,06 ng mL and 11,27 6,47 ng mL. After six months of therapy, there is significant decrease of AMH level of 1,52 0,07 p 0,001. The decrease level of AMH was observed higher in metformin group compared to DLBS3233 AMH 1,83 ng mL vs 1,15 ng mL. However, metformin causing more side effects compared to DLBS3233 p 0,01. There are total of 7 subjects 18,42 pregnant during the studies.
CONCLUSION: There rsquo s a significant decrease of AMH level after administration of either metformin or DLBS3233.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Kusumawardhani
"Bedah kimia trichloroacetic acid (TCA) memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan larutan bedah kimia lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pelembap dalam mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian global peneliti (PGP), penilaian subjektif pasien (PSP), pemeriksaan indeks eritema (IE), transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada hari ke-0, 3, dan 7. Subjek penelitian (SP) merupakan wanita dengan diagnosis penuaan kulit (rata-rata usia 46,7 tahun). Sebanyak 27 SP dirandomisasi untuk mendapatkan krim intervensi (krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan shea butter) atau krim vehikulum pada salah satu sisi wajah pasca-tindakan bedah kimia TCA 15%. Terdapat penurunan nilai PGP, PSP, kadar TEWL, dan IE pada kelompok intervensi pada hari ke-3 dan 7 dibandingkan dengan kelompok vehikulum, namun tidak signifikan secara statistik. Kadar SCap meningkat signifikan pada hari ke-7 pada pasien yang mendapat krim intervensi dibandingkan dengan krim vehikulum. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan pada penelitian ini. Krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan sheabutter  aman digunakan dan dapat mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA.

TCA chemical peel has more side effects than other chemical peel solutions. This study aims to assess the effectiveness safety of a post-peel cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter in reducing TCA peel side effects. A randomized, placebo-controlled, double-blinded, split face trial on women undergoing TCA 15% chemical peels. Assessment for global investigator assessment (GIA), subject self-assessment (SSA), erythema index, transepidermal water loss (TEWL), and skin capacitance (SCap) was conducted on days 0, 3, and 7. Twenty-seven patients (mean age 46.7 years) were recruited. There were significant improvements in GIA and SSA scores on both groups, but it is not different between the treatment groups. There were erythema index and TEWL improvement on days 3 and 7 compared to baseline, however, there were no differences between groups. The SCap measurement showed significant improvement in skin capacitance on both groups on day 7, but it was better improvement within intervention group. No adverse effects were reported. Cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter showed higher skin capacitance levels but did not significantly affect erythema index, TEWL, clinical and subjective assessments after TCA chemical peeling. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purwita Wijaya Laksmi
"ABSTRAK
Terapi metformin berpotensi untuk memperbaiki sindrom frailty dengan memodifikasi resistensi insulin, inflamasi, dan konsentrasi miostatin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran metformin terhadap kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, konsentrasi miostatin serum, dan kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien usia lanjut dengan pre-frail.
Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada pasien rawat jalan berusia 60 tahun dengan status pre-frail yang direkrut secara konsekutif Maret 2015 ndash;Juni 2016 di RSCM. Pasien dieksklusi bila menyandang diabetes melitus, skor Geriatric Depression Scale ge; 10, skor Abbreviated Mental Test < 8, fase akut penyakit, dan kontraindikasi terhadap metformin. Evaluasi luaran penelitian dilakukan sebelum dan pasca-intervensi selama 16 minggu.
Randomisasi terhadap 120 subjek menempatkan 60 subjek untuk tiap kelompok perlakuan. Sebanyak 43 subjek kelompok metformin 3 x 500 mg dan 48 subjek kelompok plasebo menyelesaikan penelitian. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan yang bermakna dengan rerata sebesar 0,39 0,77 detik atau 0,13 0,24 meter/detik pada kelompok metformin dan tetap bermakna setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor prognostik penting yang tidak setara p = 0,024 . Pada analisis ITT ada tidaknya peningkatan kecepatan berjalan > 0,1 meter/detik didapatkan ARR 8,3 IK95 -7,9 ndash;24 , dengan NNT sebesar 12. Tidak terdapat perbedaan bermakna kekuatan genggam tangan, konsentrasi miostatin serum, dan kualitas hidup terkait kesehatan antara kedua kelompok perlakuan. Konsentrasi miostatin serum berkorelasi negatif lemah r = -0,247; p = 0,018 dengan kecepatan berjalan, namun tidak berkorelasi dengan kekuatan genggam tangan. Skor indeks EQ-5D berkorelasi positif sedang dengan kecepatan berjalan r = 0,566; p = 0,000 dan berkorelasi positif lemah dengan kekuatan genggam tangan r = 0,355; p = 0,001.
Sebagai simpulan, pemberian metformin 3 x 500 mg selama 16 minggu secara statistik dan klinis bermakna dalam meningkatkan kecepatan berjalan sebagai salah satu dimensi kualitas hidup terkait kesehatan, namun belum dapat meningkatkan skor indeks EQ-5D, tidak meningkatkan kekuatan genggam tangan, dan belum menurunkan konsentrasi miostatin serum.
Kata kunci. kecepatan berjalan, kekuatan genggam tangan, kualitas hidup terkait kesehatan, metformin, miostatin, pre-frail, usia lanjut.

ABSTRACT
Metformin is considered to have potential effects to improve frailty syndrome by modifying insulin resistance, inflammation, and myostatin serum level.
This study aimed at investigating the effect of metformin on handgrip strength, gait speed, myostatin serum level, and health related quality of life HR QoL in pre frail elderly.
A double blind randomized controlled trial was conducted on elderly outpatients aged 60 years and older with pre frail status consecutively recruited from March 2015 to June 2016 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with history of diabetes mellitus, Geriatric Depression Scale score ge 10, Abbreviated Mental Test score 8, acute phase of diseases, and contraindication s to metformin were excluded. The measurement of study outcomes was conducted at baseline and after 16 weeks of intervention.
One hundred twenty subjects were randomized and equally assigned into metformin 3 x 500 mg or placebo group. There were 43 subjects in metformin group and 48 subjects in placebo group completed the intervention. The mean gait speed in metformin group significantly improved by 0.39 0.77 second or 0.13 0.24 meter second, even after adjusted for importance prognostic factors p 0,024 . Intention to treat analysis on the presence or absence of increased gait speed 0.1 meter second showed ARR 8.3 95 CI 7.9 ndash 24 , with NNT of 12. There were no significant differences on handgrip strength, myostatin serum level, and HR QoL between the two intervention groups. Myostatin serum level had weak negative correlation with gait speed r 0.247 p 0.018 , but did not correlate with handgrip strength. EQ 5D index had moderate positive correlation with gait speed r 0.566 p 0.000 and weak positive correlation with handgrip strength r 0.355 p 0.001.
In conclusion, metformin 3 x 500 mg for 16 weeks significantly improved gait speed as one of the HR QoL dimensions, but not significantly improved the EQ 5D index score and handgrip strength nor decreased myostatin serum level.
Keywords. gait speed, handgrip strength, health related quality of life, metformin, myostatin, pre frail, elderly.
"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>