Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221640 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andre Prawira Putra
"Latar Belakang: Bronkoskopi adalah prosedur yang umum digunakan sebagai tindakan membantu penegakkan diagnosis kasus tumor paru. Hipoksemia disebut sebagai salah satu komplikasi yang sering terjadi pada bronkoskopi diagnostik oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan dampak klinis yang ditimbulkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien tumor paru yang menjalani bronkoskopi diagnostik dan dilakukan selamaJanuari-April 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Respirasi Nasional (RSUPRRN) Persahabatan Jakarta. Total 195 pasien diikutsertakan dan dilakukan pengamatan terhadap nilai saturasi oksigen pada tahap premedikasi, durante, pascatindakan. Hipoksemia adalah subjek dengan saturasi oksigen<90% dan diamati berbagai faktor yang dianggap berpengaruh dan dampak klinis yang terjadi.
Hasil:Jumlah kejadian hipoksemia pada bronkoskopi diagnostik sebanyak 40 kasus (20,5%). Waktu kejadian hipoksemia paling banyak pada tahap durante tindakan (20%) dengan median lama hipoksemia berlangsung 15 detik. Proporsi waktu muncul hipoksemia terjadi paling banyak pada 10 menit pertama tindakan (11,3%). Faktor demografi yang bermakna terhadap kejadian hipoksemia adalah jenis kelamin (p=0,04) dan riwayat merokok (p=0,005). Faktor yang dianggap berpengaruh dan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoksemia antara lain lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi (p<0,05). Total 5 pasien dirawat pascatindakan di ruang intensif dan tidak ada kasus kematian yang dilaporkan.
Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan jenis kelamin, riwayat merokok, lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipoksemia pada tindakan bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru. Hipoksemia yang muncul pada bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru tidak menimbulkan dampak klinis yang fatal seperti kematian pada penelitian ini.

Background: Bronchoscopy is a commonly medical procedure perfomed for diagnose lung tumor cases. Hypoxemia often appear as complication related diagnostic bronchoscopy. Therefore, there is a need of research data to knowing related factors and clinical consequences may occur ahead.
Methods:Design of this study is cross sectional with suspicion lung malignancy population who undergoing diagnostic bronchoscopy from January until april 2019 at National Respiratory Center Persahabatan General Hospital Jakarta. Total 195 consecutive patients participated dan observed for oxygen saturation in premedication, during and post-bronchoscopy. Hypoxemia was defined as an desaturation <90% and reviewed several related factor and clinical consequences may appear
Results:Total hypoxemia events on diagnostic bronchoscopy was 40 cases (20,5%). The most frequent occurrence hypoxemia time is during bronchoscopy (20%) with median duration of hypoxemia is 15 seconds. The proportion of time appears hypoxemia is commonly in first 10 minutes bronchoscopy (11,3%). Demographic factors like gender and smoking history are statistically significant with hypoxemia events (p=0,04 & p=0,005). Other factors may have relation dan statiscally significant are duration of procedure and procedure with complication (p<0,05). Total 5 cases observed in intensive care unit after procedure and no death event have reported in this study
Conclusion:This study suggested gender, smoking history, duration of procedure and procedure with complication were related factors with hypoxemic events in lung tumor cases undergoing diagnostic bronchoscopy. Hypoxemia related diagnostic bronchoscopy in this study was not rise into fatal event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Tria Kirana
"Latar Belakang: Pneumocystis jirovecii (P. jirovecii) adalah patogen jamur oportunistik yang dapat terdeteksi di saluran napas bawah. Kolonisasi P. jirovecii dapat berkembang menjadi infeksi yang disebut sebagai pneumocystis pneumonia (PCP). Infeksi PCP umumnya terdeteksi di pasien HIV. Pasien tanpa HIV juga dapat mengalami infeksi PCP terutama pada pasien keganasan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kolonisasi P. Jirovecii pada sampel bilasan bronkus dengan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan deskriptif analitik yang pada pasien terduga kanker paru di RSUP Persahabatan. Subjek penelitian adalah pasien terduga kanker paru yang akan menjalani bronkoskopi sesuai kriteria inklusi. Sampel bilasan bronkus dikirim ke Laboratorium Departemen Parasitologi FKUI untuk ekstraksi DNA dan laboratorium BRIN untuk pemeriksaan PCR konvensional. Penelitian ini menggunakan gen MtLSU dan mTSSU. Hasil: Pada penelitian ini terdapat 72 subjek penelitian. Subjek penelitian terdiri atas 51 laki-laki (70,8%). Rerata usia subjek penelitian adalah 56,6 (9,95) tahun. Subjek penelitian sebagian besar memiliki IMT normal (18,5-22,9 kg/m2). Subjek penelitian sebagian besar adalah perokok baik perokok aktif atau bekas perokok yaitu sebanyak 50 orang (69,4%). Sebanyak 23 orang (31,9%) diantaranya memiliki IB berat (IB >600 batang per tahun). Subjek penelitian yang memiliki riwayat pengobatan TB, baik terkonfirmasi bakteriologis maupun diagnosis klinis, sebanyak 23 orang (31,9%). Sebanyak 26 orang (36,1%) memiliki 1 komorbid sedangkan 10 orang (13,9%) memiliki lebih dari 1 komorbid. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi atau sitologi bilasan bronkus, dari 72 subjek penelitian terdapat 50 orang (69,4%) terdiagnosis kanker paru, 15 orang (20,9%) bukan kanker paru, dan 7 orang (9,7%) belum diketahui diagnosisnya. Dari 72 sampel yang diperiksa, tidak ada yang menunjukan hasil PCR positif (0%). Kesimpulan: Proporsi P. Jirovecii yang terdeteksi melalui pemeriksaan PCR pada sampel bilasan bronkus pasien terduga kanker paru sebesar 0%. Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi P. Jirovecii tidak disarankan untuk pasien kanker yang baru terdiagnosis dan belum dilakukan pengobatan.

Background: Pneumocystis jirovecii (P. jirovecii) is an opportunistic fungal pathogen that can be detected in the human lower respiratory tract without signs or symptoms of acute pneumonia or colonization. P. jirovecii colonization can develop into an infection known as pneumocystis pneumonia (PCP). PCP infection is commonly detected in HIV patients. However, patients without HIV can also experience PCP infection, especially in malignant patients. This study aims to detect P. Jirovecii colonization in bronchial lavage samples using polymerase chain reaction (PCR). Methods: This research is a cross-sectional study with descriptive analytics on patients suspected of lung cancer at Persahabatan Hospital. The research subjects were patients with suspected lung cancer who were selected according to the inclusion criteria. Data on clinical, radiological, laboratory and histopathological characteristics were taken from medical records. The patient will have a bronchial lavage sample taken during bronchoscopy for diagnostic purposes. The samples will be examined at the Parasitology Department Laboratory Universitas Indonesia for DNA extraction and the BRIN laboratory for PCR examination. Results: In this study there were 72 research subjects. The research subjects consisted of 51 men (70.8%). The mean age of the research subjects was 56.6 (9.95) years. Most of the research subjects had normal BMI (18.5-22.9 kg/m2). Most of the research subjects were smokers, either active smokers or former smokers, namely 50 people (69.4%). A total of 23 people (31.9%) had severe IB (IB >600 cigarettes per year). There were 23 research subjects who had a history of TB treatment, whether confirmed bacteriologically or clinically diagnosed, as many as 23 people (31.9%). A total of 26 people (36.1%) had 1 comorbid while 10 people (13.9%) had more than 1 comorbid. Based on histopathological or cytological examination of bronchial lavage, of the 72 research subjects, 50 people (69.4%) were diagnosed with lung cancer, 15 people (20.9%) had no lung cancer, and 7 people (9.7%) had no known diagnosis. Of the 72 samples examined, none showed positive PCR results (0%). Conclusion: The proportion of P. Jirovecii detected by conventional PCR examination in bronchial lavage samples from patients suspected of lung cancer was 0%. PCR examination to detect P. Jirovecii is not recommended for cancer patients who have just been diagnosed and have not received treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Indriati
"Latar belakang : Bronkoskopi merupakan tindakan penting dalam bidang pulmonologi. Bronkoskopi memiliki peran diagnostik dan terapetik pada pasien perawatan intensif yang tidak dapat ditransport ke tempat pemeriksaan pencitraan. Pasien dalam perawatan intensif dapat terintubasi ataupun tidak. Pasien terintubasi dengan ventilasi mekanis dapat mengalami pneumonia akibat virus, bakteri maupun jamur. Retensi sekresi bronkus dapat menyumbat saluran napas dan meningkatkan risiko infeksi. Metode: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil tindakan bronkoskopi pada pasien di Instalasi perawatan intensif (IPI) Rumah Sakit rujukan Respirasi Nasional Persahabatan. Desain penelitian ini yaitu deskriptif dan bersidat retrospektif berdasarkan data pada rekam medik pasien. Penelitian ini dilakukan di IPI RS Persahabatan pada bulan November 2023 sampai Februari 2024 dengan subjek penelitian yaitu pasien di IPI yang menjalani tindakan bronkoskopi pada periode 1 Januari 2022 sampai 31 Juli 2023 yang memenuhi kriteria inklusi. Besar sanpel pada penelitian ini yaitu 113 pasien. Analisis dilakukan pada 70 pasien yang menjalani tindakan bronkoskopi di IPI. Data yang diiperoleh diolah dan dianalisis univariat dengan perangkat lunak SPSS. Hasil : Median umur pasien yang menjalani tindakan bronkoskopi didapatkan 51,5 tahun, jenis kelamin laki-laki dominan (61,95%), dengan perangkat oksigenasi sebelum tindakan bronkoskopi yaitu ventilasi mekanis (90%). Pneumonia merupakan diagnosis penyakit paru terbanyak (50%). Komorbid gangguan sistem kardiovaskular terjadi pada 47,14% pasien. Indikasi tindakan bronkoskopi terbanyak yaitu retensi sputum dan atelektasis (31,43% dan 30%). Modalitas tindakan berupa bronchial toilet pada 98,57% pasien. Analgetik digunakan pada 98,52% pasien. Kombinasi analgetik, sedasi, pelumpuh otot dan ketamin serta kombinasi analgetik dan sedasi paling banyak digunakan. Parameter tanda vital paling banyak ditemukan berupa peningkatan tekanan darah dan nadi sebelum dan sesudah tindakan bronkoskopi. Temuan bronkoskopi berupa stenosis kompresi, mukosa hiperemis dan sekret mukopurulen paling banyak ditemukan. Perbaikan gambaran foto toraks setelah tindakan bronkoskopi pada 35,71% pasien. Belum tercantum dengan jelas data komplikasi dua jam pasca tindakan pada pasien di IPI, namun dan tidak didapatkan perburukan dari parameter tanda vital. Median lama perawatan di IPI pada pasien yang menjalani tindakan bronkoskopi yaitu 12 hari. Angka kesintasan pasien yang menjalani tindakan bronkoskopi di IPI yaitu 52,85%.

Background : Bronchoscopy is an important procedure in the filed of pulmonology. Bronchoscopy has diagnostic and therapeutic role for intensive care patients who cannot be transported to imaging centre. Patients in intensive care may be intubated or not. Intubated patients with mechanical ventilation can experience pneumonia caused by vruses, bacteria or fungi. Retention of bronchial secretions can obstruct the airways and increase the risk of infection. This study aims to determine the profile of bronchoscopy procedures of patient at intensive care installation at hte Persahabatan National Respiratory Center. Method : The design of thins research is descriptive and retrospektive based on data in the patient’s medical record. This research was conducted at intensive care installation Persahabatan Hospital from November 2023 to February 2024. Subject if this study are patients who underwent bronchoscopy procedures from January 1st 2023 until July 31st 2024 whi met the inclusion criteria. The sample size in this study was 113 patients. Analysis was carried out on 70 patients who underwent bronchoscopy at IPI. The data obtained were processed and analyzed univariately using SPSS software. Result : The median age of patients undergo bronchoscopy was 51.5 years, male gender was dominant (61.95%), with oxygenation devices before bronchoscopy, namely mechanical ventilation (90%). Pneumonia is the most common lung disease diagnosis (50%). Comorbid cardiovascular system disorders occurred in 47,14% of patients. The most frequent indication for bronchoscopy were sputum retention and atelectasis (31,43% and 30%). The modality of bronchoscopy was bronchial toilet in 98.52% of patients. Analgesics were used in 98.52% of patients. Combination of analgetics, sedatiopm, muscle relaxant and ketamine as well as combiantion of analgetics and sedation are most widely used. The most common vital sign parameters found were an increase in blood pressure and pulse before and after bronchoscopy. Bronchoscopy findings in the form of compression stenosis, hyperemic mucosa and mucopurulent discharge were most commonly found in patients undergoing bronchoscopy at IPI. Chest radiograph improvement after bronchoscopy in 35.71% of patients. There were no clear data on two-hours complications after the procedure, however there was no deterioration in vital sign parameters. The median length of stay at IPI for patients undergoing bronchoscopy is 12 days. The survival rate for patients who undergo bronchoscopy at IPI is 52.85%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Asdar
"Pendahuluan: Tyrosine Kinase Inhibitors (TKIs) sangat efektif terhadap Kanker
Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dengan mutasi Epidermal
Growth Factor Receptor (EGFR). Gefitinib dan Erlotinib adalah generasi pertama
EGFR-TKI untuk pengobatan KPKBSK dengan mutasi EGFR. Obat-obat ini telah
tersedia melalui asuransi kesehatan di Indonesia untuk pasien Adenokarsinoma
paru dengan mutasi EGFR. Data mengenai efikasi dan toksisitas EGFR-TKI saat
ini belum tersedia di Indonesia.
Metode: Kami melakukan analisis observasional kohort retrospektif pada pasien
Adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan, Jakarta
Indonesia dari Januari 2015 sampai dengan Desember 2017. Kami meninjau
rekam medis 331 pasien dengan diagnosis Adenokarsinoma paru dengan mutasi
EGFR stage lanjut yang diobati dengan EGFR-TKI generasi pertama. Sebanyak
192 subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mendapatkan Gefitinib (n=132) dan Erlotinib (n=60). Median
progression free survival (PFS) sebanding antara Gefitinib dan Erlotinib (9,0 dan
7,0 bulan, interval kepercayaan 95% [IK] 0,57-1,07, p=0,126). Median Overall
survival (OS) dan angka tahan hidup 1 tahun masing-masing kelompok adalah
44,5 vs 39,5 bulan (95% IK 0,35-1,29, p=0,670) dan 92% berbanding 92%
(p=0,228). Terdapat toksisitas termasuk diare, paronikia, skin rash dan stomatitis
yang diamati tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada toksisitas derajat 3
atau 4 antara kedua kelompok (p=0,713).
Kesimpulan: Kedua EGFR-TKIs generasi pertama sebanding dalam PFS dan OS,
meskipun Gefitinib terlihat lebih tinggi, tetapi secara statistik tidak bermakna dan
keduanya memiliki toksisitas yang sebanding dan dapat ditoleransi.

Introductions: Tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are effective against non-small
cell lung cancer (NSCLC) with epidermal growth factor receptor (EGFR)
mutation. Gefitinib and erlotinib are the first-generation EGFR-TKIs
recommended as first-line treatments for NSCLC with EGFR mutations and are
available through Universal Health Coverage in Indonesia for lung
adenocarcinoma patients with EGFR mutations. However, the efficacy and safety
data of EGFR-TKIs are unavailable in Indonesia.
Methods: We did a retrospective cohort analysis of the patients of lung
adenocarcinoma with EGFR mutations treated in Persahabatan Hospital Jakarta,
Indonesia, between January 2015 and December 2017. We reviewed the records
of 331 patients with advanced stage lung adenocarcinoma with EGFR mutation
treated with the first-generation EGFR-TKIs. The subjects were 192 patients who
met the inclusion criteria.
Results: Subjects were receiving gefitinib (n=132) and erlotinib (n=60). Median
progression-free survival (PFS) was comparable between gefitinib and erlotinib
(9.0 vs 7.0 months, 95% confidence interval [CI] 0.57-1.07, p=0.126). The
median overall survival (OS) and 1-year survival were 44.5 vs 39.5 months
(95%CI 0.35-1.29, p=0.228; and 92% vs 92%, p=0.228, respectively). Reported
toxicities were diarrhea, paronychia, rash, and stomatitis but not of significant
difference between grade 3 or 4 toxicities (p=0.713).
Conclusions: The PFS and OS of the first-generation EGFR-TKIs were
comparable, although gefitinib PFS and OS was shown to be better, but without
significance. Both gefitinib and erlotinib had comparable and tolerable adverse
effects"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Raharja Santosa
"Tingkat kecemasan akan meningkat pada pasien yang diduga menderita kanker paru, apalagi saat direncanakan tindakan invasif diagnostik bronkoskopi. Salah satu intervensi keperawatan mengurangi sensasi cemas adalah terapi pijat. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kecemasan pasien suspect kanker paru yang akan menjalani tindakan bronkoskopi.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan bentuk quasi experiment dengan nonequivalent control group design. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling (n = 28).
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan tingkat kecemasan antara kelompok kontrol dan intervensi : a) post-test I, Pvalue = 0,048 pada OR = 1 ,556; b) post-test II, Pvalue = 0,021 pada OR sebesar 1,750.
Penelitian ini menyimpulkan ada pengaruh yang signifikan (p < 0,05) terapi pijat terhadap tingkat kecemasan pasien suspect kanker paru yang akan menjalani tindakan bronkoskopi.
Penelitian ini merekomendasikan, terapi pijat dijadikan sebagai prosedur tetap tindakan mandiri keperawatan dalam menurunkan respon kecemasan pasien sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T41768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmila Sari
"Latar belakang : Kanker paru adalah kanker yang berasal dari epitel bronkus. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran pola kuman dari bilasan bronkus dan faktor-faktor yang memengaruhi pada pasien terduga kanker paru di RS Persahabatan pusat Respirasi Nasional. Metode : Jenis penelitian potong lintang. Jumlah sampel 226 pasien. Kriteria inkusi yaitu pasien terduga kanker paru, usia > 18 tahun, tidak menggunakan antibiotik satu minggu sebelum tindakan bronkoskopi. Hasil : Karakteristik pasien terduga kanker paru antara lain laki-laki (63,7%), rerata usia 60 ± 11,45 tahun. Keluhan respirasi batuk (78,3%) dan sesak napas (65,5%). Sebagian besar perokok berat (30,5%). Indeks massa tubuh normal (43,8%). Nilai leukosit normal (53,5%), neutrofil normal (66,4%), neutrofil limfosit rasio meningkat (67,3%). Data histopatologis terbanyak adalah adenokarsinoma (50,9%), EGFR tidak ada mutasi (34%) dan ALK negatif (29%). Foto toraks tampak lesi sentral (84,5%), > 3 mm (89,9%) dan konsolidasi (64,2%). CT scan toraks ada keterlibatan kelenjar getah bening (67,7%) dan ada metastasis (71,2%). Gambaran bronkus tampak massa infiltratif (27,9%) dan mukosa edematous (15,9%). Diagnosis terbanyak yaitu kanker paru (71,7%), T4 (85,2%), N2 (37,7%), M1a (42,6%), metastasis efusi pleura (54,9%), stage IV A (64,2%) dan PS 1 (49,4%). Bakteri terbanyak pada bilasan bronkus adalah Pseudomonas aeruginosa (13,7%) dan Klebsiella pneumoniae(11,1%). Kesimpulan : Bakteri terbanyak pada bilasan bronkus adalah Pseudomonas aeruginosadan Klebsiella pneumoniae. Batuk, nilai leukosit, letak anatomi foto toraks, letak anatomi CT scan toraks dengan kontras, ground glass opacity dan efusi pleura pada CT scan toraks dengan kontras memengaruhi ada atau tidak bakteri pada bilasan bronkus pasien terduga kanker paru.

Background: Lung cancer is cancer that originates from the epithelium of the bronchi. This study aims to determine microbial patterns from bronchial washing and influencing factors in suspected lung cancer patients at Persahabatan Hospital National Respiratory Center. Method: Cross-sectional research. The sample was 226 patients. The inclusion criteria are patients suspected of lung cancer, aged > 18 years, not using antibiotics one week before bronchoscopy Results: The characteristics of patients suspected of lung cancer include male (63.7%), average age 60 ± 11.45 years. Respiratory complaints of cough (78.3%) and shortness of breath (65.5%). Most were heavy smokers (30.5%). Normal body mass index (43.8%). Normal leukocyte values (53.5%), normal neutrophils (66.4%) and neutrophil-lymphocyte ratio increased (67.3%). The most histopathological data were adenocarcinoma (50.9%), EGFR no mutation (34%) and negative ALK (29%). Thoracic photographs appear as central lesions (84.5%), > 3 mm (89.9%) and consolidated (64.2%). Thoracic CT scan there was involvement of lymph nodes (67.7%) and there were metastases (71.2%). The bronchial appears as infiltrative masses (27.9%) and edematous mucosa (15.9%). The most diagnoses were lung cancer (71.7%), T4 (85.2%), N2 (37.7%), M1a (42.6%), metastatic pleural effusion (54.9%), stage  IV A (64.2%) and PS 1 (49.4%). The most common bacteria in bronchial washing are Pseudomonas aeruginosa (13.7%) and Klebsiella pneumoniae (11.1%). Conclusion: The most common bacteria in bronchial washing are Pseudomonas aeruginosa and Klebsiella pneumoniae. Cough, leukocyte value, anatomy location based on thoracic photo and thoracic CT Scan with contrast, ground glass opacity and pleural effusion affect the presence or absence of bacteria in a bronchial wash of suspected lung cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erry Prasetyo
"Latar belakang: Inflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dominan disebabkan oleh neutrofil namun inflamasi dikarenakan eosinofil juga dapat terjadi pada PPOK. PPOK eosinofilik jika ditemukan eosinofil di sputum ≥3%. Peningkatan eosinofil dapat dideteksi di darah dan sputum.
Metode: penelitian ini menggunakan potong lintang dengan menggunakan data primer di poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional dari Juni 2019 sampai September 2019. Pemilihan subjek dilakukkan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan sputum dan darah eosinofil.
Hasil: total 74 sampel yang datang ke poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan terdapat 7 sampel sputum yang tidak terdapat leukosit dan hanya epitel sehingga didapatkan 67 sampel yang dianalisis (61 laki-laki dan 6 perempuan). Pasien dalam penelitian ini memiliki  rata-rata  usia 66,7±8,6 tahun. Pasien didominasi oleh pasien perokok dan bekas perokok sebesar 62 pasien (92,5%). Indeks Brinkman terbanyak adalah IB sedang dan berat sebanyak 48 pasien (71,6%). Derajat hambatan aliran jalan napas paling banyak pada GOLD III dan IV (68,7%). Median eosinofil darah pasien pada penelitian ini sebesar 280 sel/μL dengan rentang 0-1300 dan median eosinofil sputum 4% dengan rentang 0-47. Korelasi darah dan sputum pada penelitian ini sebesar 0,43
Kesimpulan: penelitian ini menggambarkan korelasi positif dengan kekuatan lemah antara eosinofil darah dan sputum pada pasien PPOK stabil

Background: Dominant Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) inflamation is neutrofil but eosinofilic inflammation for COPD can be occurred. Eosinopilic COPD is defined by increament of eosinophils in sputum ≥3%. Increament of eoshinophils can be shown in blood and sputum
Method: this study use cross sectional method from primary data at asma and PPOK clinic in National Referal Rspuratory Persahabatan Hospital. Subject were taken to participate in study in consecutive sampling basis and all patients were interviewed, lung function test and blood and sputum eoshinophils
Results: Total 74 patient have been recruited who came to asma and PPOK klinik in National Referal Respiratory Persahabatan Hospital. Seven sputum sample is not have the leukocyt but ephitel only. Total patients are 67 (61 male dan 6 female). The mean of age from this study is 66,7±8,6 years old. Most of pasien is smokers and former smoker about 62 patients (92,5%). Brinkman index from this study dominating moderate and severe about 48 patients (71,6%). Airflow limitations from this study are GOLD III and IV (68,7%). Median of blood eoshinophils of this study is 280 cells/μL (0-1300). Median of sputum eoshinophils in this study is 4% (0-47). Correlations of blood and sputum eoshinophils from this study is 0,43
Conclusion: this study shown positive correlations with weak power between blood and sputum eoshinophils.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Liqditta Bies
"Latar belakang: Kasus baru kanker paru semakin bertambah dan mulai banyak dialami usia muda. Pendekatan skrining dalam upaya deteksi dini dilanjutkan tindakan diagnostik yang cepat dan akurat memberikan penderita memeroleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya. Biopsi paru transtorakal menggunakan jarum halus dan core menghasilkan akurasi berkisar 85%-90% dengan keunggulan tindakan minimal invasif. Variasi akurasi diagnostik dan belum terdapat data proporsi hasil biopsi transtorakal di RS Persahabatan, membuat kami melakukan penelitian ini. Metode: Kami melakukan pencatatan data sampel periode Januari 2021-September 2023 pada bulan Januari-Februari 2024. Data yang dicatat yaitu karakteristik pasien keganasan rongga toraks belum tegak jenis yang dilakukan tindakan biopsi jarum halus dan core transtorakal dengan panduan CT scan. Sebanyak 765 pasien dalam periode tindakan didapatkan 563 pasien yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Data kemudian dianalisis untuk menilai kepositifan biopsi jarum halus dan core transtorakal serta faktor yang memengaruhinya. Hasil: Sejumlah 563 subjek terdiri atas laki-laki 67,9% dan perempuan 32,1%. Usia paling muda 18 tahun dan paling tua 88 tahun dengan median usia 56 tahun. Subjek dengan keluhan respirasi 83,7% dan nonrespirasi 16,3%. Perokok merupakan mayoritas subjek sebesar 58,4%. Lokasi target biopsi paling banyak di paru 75,3% sedangkan mediastinum 24,7%. Nilai HU kami kelompokkan menjadi ≥ 30 sebanyak 91,3% dan < 30 sebanyak 8,7%. Panjang minimal kedalaman tusuk 0,7 cm dan maksimal 11,21 cm dengan median 4,2 cm. Posisi saat tindakan biopsi yaitu terlentang 67,5%, tengkurap 24,5% dan lateral dekubitus 8%. Proporsi kepositifan biopsi jarum halus 80,8% sementara biopsi core 77,6%. Selanjutnya karakteristik tersebut kami lakukan analisis bivariat didapatkan nilai HU memengaruhi kepositifan biopsi jarum halus (p < 0,05). Kesimpulan: Proporsi biopsi jarum halus dan core transtorakal di RS Persahabatan sangat baik. Nilai HU memengaruhi kepositifan biopsi TTNA namun, tidak pada biopsi core. Kedalaman tusuk dan posisi bukan faktor yang memengaruhi kepositifan biopsi TTNA dan core.

Background: New cases of lung cancer are increasing and are starting to occur at a young age. A screening approach in an effort for early detection followed by rapid and accurate diagnosis provides patients with a better quality of life throughout their disease. Transthoracic lung biopsy using a fine needle and core produces an accuracy of around 85%-90% with the advantage of being minimally invasive. Variations in diagnostic accuracy and no database availability yet on the proportion of transthoracic biopsy results at Persahabatan Hospital prompted us to conduct this research. Methods: We recorded data from January 2021-September 2023 in January-February 2024. The data recorded were the characteristics of patients with unconfirmed type thoracic cavity malignancies who underwent fine needle and transthoracic core biopsies CT scan guided. A total of 765 patients during the action period 563 patients met the inclusion and exclusion criteria. The data is then processed to assess the positivity of transthoracic fine needle and core biopsies and the factors that influence it. Result: A total of 563 subjects consisted of 67.9% men and 32.1% women. The youngest age is 18 years and the oldest is 88 years with a median age of 56 years. Subjects with respiratory complaints were 83.7% and non-respiratory 16.3%. Smokers constituted the majority of our subjects at 58.4%. The most common biopsy target locations were the lungs, 75.3%, while the mediastinum was 24.7%. Hounsfield units are divided into ≥ 30 as many as 91.3% and < 30 as many as 8.7%. The minimum length of the puncture depth is 0.7 cm and the maximum is 11.21 cm with 4.2 cm as the median. The position during the biopsy was supination 67.5%, prone 24.5%, and lateral decubitus 8%. The positive proportion of fine needle biopsy was 80.8% while core biopsy was 77.6%. We conducted a bivariate analysis of these characteristics and found that the HU value influenced the positivity of fine needle biopsy (p < 0.05). Conclusion: The proportion of fine needle and core transthoracic lung biopsies at Persahabatan Hospital is decent. The HU value influences the positivity of TTNA biopsy but not core biopsy. Puncture depth and position were not a factor influencing the positivity of TTNA and core biopsies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Hermansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit infeksi paru menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk mikosis paru yang disebabkan oleh infeksi, kolonisasi jamur maupun reaksi hipersensitif terhadap jamur. Bronkoskopi sebagai alat diagnostik untuk melihat gambaran lesi endobronkial dan mengambil bahan klinis seperti bronchoalveolar lavage BAL dan bilasan bronkus. Pemeriksaan biakan jamur dari bahan klinis bronkoskopi dapat membantu penegakan diagnosis mikosis paru.Metode: Studi deskriptif potong lintang pada pasien bronkoskopi yang dilakukan pemeriksaan biakan jamur dari BAL dan bilasan bronkus. Jumlah sampel adalah total sampling sejak Januari 2016 sampai dengan Desember 2017. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.Hasil: Bahan klinis dari bronkoskopi pada penelitian ini berupa bilasan bronkus sebanyak 67 buah dan BAL sebanyak 21 buah. Dari bahan klinis didapatkan hasil biakan tumbuh jamur sebanyak 35 buah dan tidak tumbuh jamur sebanyak 53 buah.Jenis jamur yang tumbuh adalahCandida sp. dengan spesies terbanyak Candida albicans sebanyak 30 isolat, Candida parapsilosis sebanyak 3 isolat, serta spesies Candida glabratadanCandida tropicalis masing-masing sebanyak 1 isolat.Kesimpulan: Bahan bronkoskopi BAL dan bilasan bronkus dapat digunakan untuk pemeriksaan biakan jamur.Kata Kunci: biakan jamur, bronkoskopi, bronchoalveolar lavage, bilasan bronkus.
Background: ABSTRACT
Lung infection diseases become health main problem in Indonesia, including lung mycosis caused by infection, fungal colonization or hypersensitivity reaction against the fungal. Bronchoscopy is used as diagnostic tool to see endobronchial lesion and to gain clinical specimens such as bronchoalveolar lavage BAL and bronchial washing. Fungal culture from clinical specimen of bronchoscopy can help diagnosing lung mycosis.Method: Cross sectional descriptive study of bronchoscopy patients with fungal culture assay from BAL and bronchial washing. Total sample is total sampling from January 2016 to December 2017. The study is in Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Persahabatan Hospital, JakartaResult: Clinical specimens from bronchoscopy in this study are 67 samples of bronchial washing and 21 samples of BAL. There are positive fungal growth in 35 samples and no fungal growth in 53 samples.All growing fungal come from Candida sp. with most species come from Candida albicans 30 isolates, followed by Candida parapsilosis 3 isolates, Candida glabrata and Candida tropicalis each one 1 isolate.Conclusion: Bronchoscopy samples of BAL and bronchial washing can be used forfungal culture assay examination."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Jonathan
"Latar Belakang: Kanker paru dapat memiliki gejala dan tanda yang salah satunya disebabkan sindrom paraneoplastik. Salah satu sindrom paraneoplastik melibatkan sistem hematologi yang terdiri dari anemia, leukositosis, netrofilia, hipereosinofilia, trombositosis dan hiperkoagulabilitas. Belum ada data/penelitian di Indonesia mengenai sindrom paraneoplastik hematologi pada kanker paru.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi toraks RSRRN Persahabatan dalam periode September 2018 hingga Februari 2019 terhadap semua pasien kanker paru kasus baru yang sudah tegak diagnosis serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil secara total sampling.
Hasil: Subjek memiliki rerata usia 56,7+11,4 tahun. Sebagian besar laki-laki, berstatus gizi normal (42,6%), memiliki riwayat merokok (75%) dan IB sedang (52%). Jenis histologi tersering KSS (39,7%) dengan stage lanjut (83,8%) dan PS <2 (94,1%). Proporsi anemia paraneoplastik adalah 40,4% yang berhubungan dengan status gizi kurang dan tersering berjenis normositik normokromik. Proporsi leukositosis paraneoplastik adalah 39% yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan riwayat merokok. Proporsi netrofilia paraneoplastik 51,5% yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki, riwayat merokok dan jenis histologi KSS. Proporsi hipereosinofilia dan trombositosis paraneoplastik masing-masing adalah 2,9% dan 18,4%. Proporsi hiperkoagulabilitas paraneoplastik adalah 91,2% yang didominasi peningkatan kadar D-dimer.
Kesimpulan: Sindrom paraneoplastik hematologi yang paling sering ditemukan pada pasien kanker paru adalah hiperkoagulabilitas, netrofilia dan anemia. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai hubungan sindrom paraneoplastik hematologi dengan prognosis pasien.

Background: Lung cancer could have signs and symptoms which was caused by paraneoplastic syndromes. One of those paraneoplastic syndromes involves hematologic system consisting of anemia, leukocytosis, neutrophilia, hypereosinophilia, thrombocytosis and hypercoagulability. There has been no data/research in Indonesia regarding hematologic paraneoplastic syndrome in lung cancer.
Methods: This study was a cross-sectional analytic study conducted at the thoracic oncology clinic in Persahabatan Hospital during September 2018 to February 2019 for all patients with new case of lung cancer whose diagnosis established and fulfilled the inclusion and exclusion criteria taken in total sampling.
Results: Subjects had a mean age of 56.7+11.4 years. Most of them were male, had normal nutritional status (42.6%), had a smoking history (75%) and moderate IB (52%). The most common type of histology was SCC/squamous cell carcinoma (39.7%) with advanced stage (83.8%) and PS <2 (94.1%). The proportion of paraneoplastic anemia was 40.4% which was associated with poor nutritional status and commonly normocytic normochromic. The proportion of paraneoplastic leukocytosis was 39%, associated with male sex and smoking history. The proportion of paraneoplastic neutrophilia was 51.5%, related to male sex, smoking history and SCC histology type. The proportions of paraneoplastic hypereosinophilia and thrombocytosis were 2.9% and 18.4%, respectively. The proportion of paraneoplastic hypercoagulability was 91.2% and dominated by the increase of D-dimer level.
Conclusion: The most common hematologic paraneoplastic syndrome found in lung cancer patients were hypercoagulability, netrophilia and anemia. Further research is needed to assess the correlation of hematologic paraneoplastic syndrome and the prognosis of the patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>