Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159266 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ervina Widyawati
"

 Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan aset tindak pidana hanya KUHAP dan PP KUHAP, bahwa Rupbasan sebagai tempat menyimpan dan mengelola aset tindak pidana. Tetapi, masih terdapat pengelolaan aset tindak pidana di luar Rupbasan. Sehingga, Peran Rupbasan belum optimal. Tanggung jawab atas pengelolaan aset tindak pidana tersebut akan berdampat pada terpenuhi atau tidaknya upaya pemulihan aset dan hak-hak korban atas benda. Hal ini menimbulkan permasalahan, yaitu: bagaimana pelaksanaan KUHAP beserta ketentuan pidananya, bagaimana hubungan antara Rupbasan dengan sub-sistem peradilan pidana lainnya terkait aset tindak pidana, serta bagaimana peran Rupbasan sebagai pelaksana asset recovery. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dengan menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa belum terlaksananya KUHAP dan PP KUHAP dengan baik masing karena adanya peraturan internal masing-masing instansi dan ketentuan pidana tentang tindakan melawan hukum terhadap aset tindak pidana diatur dalam KUHP dan RKUHP. Peran Rupbasan dalam Sistem Peradilan Pidana ada pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, dan purna ajudikasi sehingga Rupbasan memiliki hubungan dengan semua sub-sistem peradilan pidana berkaitan dengan aset tindak pidana. Peran Rupbasan juga sangat besar dalam upaya asset recovery yang dimulai pada tahap securing sampai dengan repatriation, tetapi belum ada aturan yang mengatur mengenai asset recovery dan lembaga pengelola asetnya. Saran atas permasalahan ini adalah pengembangan peraturan setingkat UU mengenai Rupbasan dan pengelolaan aset tindak pidana. Peran Lembaga Pengelola Aset dalam RUU Perampasan Aset dilaksanakan oleh Rupbasan.


The regulation legislate about criminal asset management only Criminal Procedures Code of Indonesia and implementary regulation, that Rupbasan as an asset management institution. However, there still criminal asset management are outside of Rupbasan. So, role of Rupbasan does not optimal yet. The responsibility for the criminal assets will has an impact on fulfilled or not of the asset recovery and the human rights of properties. The problems is how the implementation of the Criminal Procedure Code along with criminal law, how is the relationship between Rupbasan and other sub-system of criminal justice system related to criminal asset management, and how is role of Rupbasan as implementer of asset recovery. The method used in this research is a normative juridical method, using primary and secondary data. The results of the research conclude that the implementation of the Criminal Procedure Code and implementary regulation has not been implemented properly because there are internal regulations of each institution and the punishment about illegal action against criminal assets regulated in Criminal Code of Indonesia and Bill of Criminal Code of Indonesia. Rupbasan’s role in Criminal Justice System is in pre-adjudication, adjudication, and post-adjudication, so Rupbasan has relationship with each sub-system relate to seizure and forfeiture. Rupbasans role also in asset recovery which starts in the securing until to repatriation, but there are no rules about asset recovery and asset management. Suggestions for the problems are the development of regulations regarding Rupbasan and the criminal asset management. Role of Lembaga Pengelola Aset in Bill of Asset Recovery was handled by Rupbasan.

"
2019
T53116
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Paramadina Public Policy Institute, 2010
345.05 LEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rumi Danang Sufianto
"Penulisan Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, yang kerap kali dinilai masih tidak
maksimal dalam pelaksanaannya, terlebih apabila terhadap harta benda tersebut dilakukan pencucian uang ke luar negeri sehingga menimbulkan permasalahan
antar jurisdiksi. Pemulihan aset tidak hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum pidana saja, namun juga hukum perdata, termasuk pula kepailitan, hal mana telah diterapkan dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di beberapa yurisdiksi,
namun belum pernah diterapkan di Indonesia. Metode penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum dalam bentuk yuridis normative. Berdasarkan analisis penulis, forum kepailitan, termasuk pula kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) dapat menjadi salah satu pilihan untuk memaksimalkan permasalahan pemulihan aset, disamping melalui penuntutan secara pidana dan gugatan perdata. Namun untuk memaksimalkan hal tersebut, Pemerintah perlu mengatur lebih lanjut mengenai kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) serta joint bankruptcy dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia.

The writings of this thesis is motivated by issues regarding the recovery of
assets resulting from and related to corruptions, which are often considered to be not optimal in its implementation, especially when the particular assets are being
laundered overseas, and therefore arising an extra-jurisdiction problems. Asset Recovery is not only be done by criminal forfeiture, but also civil forfeiture,
including bankruptcy or insolvency proceedings as well, in which insolvency
proceedings has been applied in several cases in several jurisdictions, but have never been applied in Indonesia. The research method in this thesis is normative judicial legal research. Based on the writer’s analysis, bankruptcy and/or
insolvency proceedings, including the legal instrument of cross-border insolvency,
can be an option to aid and maximize to succeeds asset recovery. However, in order
to maximize its success, the Government should regulate about cross border
insolvency and joint bankruptcy and/or insolvency further , in the Indonesian
Bankruptcy Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Basir
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengandung beberapa asas didalamnya, Salah satunya adalah asas diferensiasi fungsional. Asas ini berarti penegasan pembagian tugas dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakan suatu asas 'penjernihan' (clarification) dan ?modifikasi? (modification) fungsi dan wewenang antara aparat penegak hukum. Asas diferensiasi fungsional mulanya bertujuan untuk dipergunakan sebagai sarana koordinasi horizontal dan saling checking antara penegak hukum, terutama antara polisi selaku penyidik dengan jaksa selaku penuntut umum. Berdasarkan pasal 1 butir 1 dan 4 jo pasal 1 butir 6 huruf a jo pasal 13 KUHAP, maka jelas terlihat penjernihan dan pembagian secara tegas antara fungsi dan wewenang polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan. Walaupun asas diferensiasi fungsional ditekankan antara polisi dengan jaksa, namun berpengaruh terhadap semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Bagi Polri hal itu berakibat menumpuknya penanganan laporan dan pengaduan yang harus ditindaklanjuti yang pada akhirnya menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan tugas-tugas penyidikan, seperti lambatnya pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan bolak baliknya berkas perkara. Bagi jaksa asas diferensiasi fungsional telah menjadikan spektrum dan cara pandang jaksa dalam memberantas kejahatan menjadi sempit. Hal ini karena jaksa tidak terlibat secara langsung dalam proses penyidikan. Sedangkan pada proses persidangan di pengadilan, hanya tidak lebih dari mengkonfirmasi dan memverifikasi kebenaran isi Berita Acara pemeriksaan yang sebenarnya tidak mengikat. Sedangkan bagi tersangka dan pelapor / pengadu asas diferensiasi fungsional, telah merugikan hak-haknya karena perkaranya tidak dapat diproses berdasarkan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Pada akhirnya asas diferensiasi fungsional menjadi salah satu penyebab over capacity pada lembaga pemasyarakatan. Lembaga ini tidak dapat melakukan pembinaan terhadap narapidana sebagaimana mestinya, bahkan dapat menjadi school of crime yang melahirkan residivis baru. Berdasarkan hal itu asas diferensiasi fungsional dirasa tidak dapat menciptakan keterpaduan antara penyidik dengan penuntut umum. Oleh karena itu perubahan KUHAP merupakan sesuatu yang urgent dan harus segera dilaksanakan.

Act No. 8 of 1981 on Procedure of Criminal Law (Criminal Procedure Code) contains some of the principles therein. The one of them is functional differentiation principle. The functional differentiation principle means the affirmation of the division of duties and authority between the law enforcement officers in institutional. The criminal procedure code put a principle of "purification" (clarification) and ?modification? functions and powers among law enforcement officers. The functional differentiation principle originally intended to be used as a means of horizontal coordination and mutual checking between law enforcement agencies, especially between polices as investigator and prosecutors as public prosecutor. Based on criminal procedure code article 1, point 1 and 4 jo article 1 point 6 letter a jo article 13, it is clearly seen purification and distribution between the functions and powers of the police as investigators and prosecutors as a public prosecutor and executor of verdict. Although the principle of functional differentiation stressed in between the investigators and the public prosecutor, but it influent all the sub systems in criminal justice system. For the police, it resulted in deposition of handling reports and complaints that should be followed up, in the end it can be implementation tasks which is not fulfilled maximal, such as the slow delivery of the notice of investigation letter and back and forth the docket. For prosecutors, principle of functional differentiation has made spectrum and perspective in combating crimes prosecutor becomes narrower. This is because prosecutors are not directly involved in investigation process. The trial process in court is nothing more than confirmation and verifying the correctness of the content of the examination dossier which is not binding. At the same time, for the suspect and the complainant, the functional differentiation principle has been detrimental to their rights because the case can't be processed with fast, simple and low cost trial. In the end the principle of functional differentiation be one cause of over capacity in the penitentiary. This institution can not conduct training of prisoners, even can be a school crime that spawned a new recidivist. Based on this principle of functional differentiation deemed not to create integration between law enforcement agencies, especially the investigators with the prosecutors. Therefore, conversion of the criminal procedure code is urgent and should be implemented immediately."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Gismadiningrat Sahid Wisnuhidayat
"Kerugian negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2022 bernilai signifikan, namun KPK RI sebagai lembaga khusus pemberantasan korupsi dinilai belum maksimal dalam mengembalikan kerugian negara dibandingkan POLRI dan Kejaksaan RI. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan pengembalian aset khususnya pada penyidikan tindak pidana korupsi di Direktorat Penyidikan KPK. Melalui penerapan metode penelitian kualitatif dan studi kasus, hasil penelitian ini menemukan bahwa, pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi masih berfokus pada upaya memenjarkan pelaku yang dipengaruhi oleh adanya celah hukum pada Undang-Undang Korupsi, polemik dalam perampasan aset, keterbatasan sumber daya manusia dan menurunnya nilai aset yang telah dirampas. Untuk meningkatkan pelaksanaan pengembalian aset, diperlukan strategi pendekatan perdata (in rem) melalui Kemungkinan (Balanced Probability Principle) dan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction-Based Asset Forfeiture) melalui pembaharuan regulasi dan peningkatan kualitas serta kuantitas sumber daya manusia Direktorat Penyidikan KPK RI.

State’s losses as the result of corruption in Indonesia, 2022, have a significant value, but KPK RI as a special institiution againts the corruption is considered not optimal in it’s efforts to returning the State losses rather than Indonesian National Police and The Office of the Attornety of The Republik of Indonesia. This articels aims to answer the problems regarding the implementation of asset recovery especially in the investigation of corruption at KPK RI Investigation Division. Through qualitative research methods and case studies, the result the results of this study found that the implementation of the investigation was still focused on efforts to imprison the perpetrators who were influenced by legal loopholes in the Corruption Law, polemics over asset confiscation, limited human resources and the decline in the value of assets that had been confiscated. To increase the amount of assets returned, a civil approach strategy is needed through the Balanced Probability Principle and Non-Conviction-Based Asset Forfeiture."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2021
345.023 TAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Samuel Paruhum
"

Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai  Pengembalian Aset (Asset Recovery) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/PID.SUS/2018 dan No. 2486 K/PID.SUS/2017). Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan dua masalah pokok, yakni: pertama, bagaimana prinsip-prinsip terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; dan kedua, bagaimana penerapan  peraturan terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya sebatas penyitaan, perampasan, pidana uang pengganti, dan gugatan perdata, dan belum dapat menjangkau aset-aset hasil tindak tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menaruh fokus perhatian pada upaya memenjarakan pelaku daripada upaya pengembalian aset. Selain itu, Upaya pengembalian aset dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017 dinilai belum berhasil, yang ditandai dengan minimnya aset hasil tindak pidana korupsi yang berhasil dikembalikan kepada negara untuk pemulihan kerugian keuangan negara. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga mengedepankan upaya pengembalian aset dan mengadopsi prinsip-prinsip pengembalian aset sebagaimana diatur dalam UNCAC 2003. Selain itu, diperlukan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai pengembalian aset yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga mempermudah upaya pengembalian aset.

 


This thesis presents the results of research or studies on Asset Recovery in Corruption Cases (Case Study of Corruption Case in Supreme Court Decision No. 1318 K/PID.SUS/2018 and No. 2486 K/PID.SUS/2017). The problem which is the object of research in this thesis is related to two main problems, namely: first, how the principles are related to asset recovery in the legislation concerning the eradication of corruption in Indonesia; and second, how the application of regulations related to asset recovery contained in the legislation concerning the eradication of corruption in corruption cases in the Supreme Court Decisions No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusions obtained from this study are that the provisions for returning assets regulated in the legislation concerning eradicating criminal acts of corruption are limited to confiscation, forfeiture, criminal replacement money, and civil lawsuits, and have not been able to reach assets resulting from criminal acts of corruption stationed abroad. Regulations in the Law on Combating Corruption have focused more attention on efforts to imprison perpetrators rather than efforts to recover assets. In addition, efforts to recover assets in corruption cases in the Supreme Court Decree No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017 is considered unsuccessful, which is marked by the lack of assets recovered resulting from criminal acts of corruption that were successfully returned to the state for recovery of state financial losses. Based on this research, it is necessary to update the Law on the Eradication of Corruption so it puts forward efforts to recover assets and adopt the principles of asset recovery as regulated in UNCAC 2003. In addition, there is a need for unification of the provisions regarding asset recovery scattered in several regulations legislation to facilitate efforts to recover assets.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Sasmita
"Kasus Tindak Pidana Korupsi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Asuransi Jiwasraya telah merugikan negara yang sangat besar dimana salah satu pelakunya adalah Joko Hartono Tirto yang diputus bersalah oleh majelis hakim tingkat pertama dengan nomor putusan 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst dengan pidana penjara seumur hidup akan tetapi tidak dibebankan pidana tambahan berupa Uang Pengganti (UP) untuk asset recovery. Dalam putusan tersebut tergambar dengan jelas adanya keterlibatan entitas korporasi dalam skema investasi PT Asuransi Jiwasraya. Tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengunakan pendekatan teori keadilan, pertanggungjawaban korporasi, dan pengembalian aset. Berdasarkan penelitian tesis ini dihasilkan bahwa prinsip penerapan pertanggungjawaban korporasi didasarkan dari perbuatan “directing mind” dari pengurus dan/atau pemilik dari korporasi sehingga dapat dipidana tambahan berupa Uang Pengganti untuk asset recovery, asset recovery pada putusan tersebut belum tercapai sehingga perlunya dimintakan pertanggungjawaban korporasi yang terlibat, adapun korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam kasus ini adalah 13 (tiga belas) Manajer Investasi, perusahaan emiten milik Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat yang sahamnya dijadikan sebagai underlying Reksa Dana oleh 13 (tiga belas) Manajer Investasi tersebut sehingga diharapkan dapat dijadikan asset recovery atas kerugian negara yang terjadi.

The Corruption Crime Case in the State-Owned Enterprise PT Asuransi Jiwasraya has caused a big loss to the state where one of the criminal act was Joko Hartono Tirto who was found guilty by the panel of judges at the first level with decision number 34/Pid.Sus-TPK/2020/ PN.Jkt.Pst commits a Corruption Crime with a life imprisonment but is not charged with an additional penalty of “uang pengganti” for asset recovery. The decision clearly illustrates the involvement of corporate entities in the investment scheme of PT Asurnasi Jiwasraya. This thesis uses a normative juridical research method by using a theory approach of justice, corporate responsibility, and asset recovery. Based on this thesis research, it is found that the principle of applying corporate responsibility is based on the "directing mind" act of the management and/or owner of the corporation so that additional penalties can be imposed for asset recovery, asset recovery on the punishment of the decision has not been achieved so that it is necessary to ask for the accountability of the corporations involved, as for corporations that can be held accountable in cases These are 13 (thirteen) Investment Managers, listed companies owned by Benny Tjokrosaputro and Heru Hidayat whose shares are used as the underlying Mutual Funds by the 13 (thirteen) Investment Managers so that they are expected to be used as asset recovery for state losses that have occurred."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>