Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170404 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afifah Safira Melinda
"ABSTRAK
Kajian ini mengkaji praktik pengenaan sanksi disiplin yang dijatuhkan oleh regulator terhadap akuntan publik selama 2014 hingga 2018. Di Indonesia, sanksi untuk Akuntan publik dapat diberikan oleh regulator dan asosiasi profesional. Regulator menyediakan sanksi terhadap akuntan publik melalui Pusat Pengembangan Profesi Keuangan (P2PK) selama Akuntan Publik pada umumnya, dan melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk akuntan publik yang mengaudit pengguna jasa lembaga keuangan. Dalam 5 (lima) Pada tahun tersebut, P2PK telah memberikan 130 sanksi kepada Akuntan Publik
76 sanksi berupa peringatan dan 1 pencabutan izin. Adapun sanksi dari
OJK merupakan kebijaksanaan dari pimpinan OJK yang tidak diperbolehkan untuk diinformasikan pada pihak eksternal. Penelitian ini juga didukung oleh pendapat 3 (tiga) narasumber menyatakan bahwa praktik penegakan sanksi disiplin di Indonesia secara umum sudah dilakukan bagus, tapi masih bisa ditingkatkan di bidang pemeriksaan.
ABSTRACT
This study examines the practice of imposing disciplinary sanctions imposed by regulators on public accountants during 2014 to 2018. In Indonesia, sanctions for public accountants can be imposed by regulators and professional associations. The regulator provides sanctions against public accountants through the Financial Professional Development Center (P2PK) for Public Accountants in general, and through the Financial Services Authority (OJK) for public accountants who audit financial institution service users. Within 5 (five) years, P2PK has given 130 sanctions to Public Accountants 76 sanctions in the form of warnings and 1 license revocation. As for the sanctions from OJK is the policy of the OJK leadership which is not allowed to be informed to external parties. This research is also supported by the opinion of 3 (three) sources who stated that the practice of enforcing disciplinary sanctions in Indonesia has generally been good, but can still be improved in the field of examination."
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathalina
"Sanksi pidana dan sanksi administratif merupakan dua jenis sanksi yang dirumuskan dalam berbagai ketentuan administrasi di Indonesia. Fenomena perumusan kedua jenis sanksi tersebut mengalami dinamika baik dalam perumusan maupun penerapannya, khususnya dalam ketentuan tentang kepabeanan dan cukai, perpajakan, kehutanan, dan lingkungan hidup, yang mana keadaan ini membawa permasalahan dalam praktik penegakannya. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok tentang pentingnya suatu pedoman untuk menentukan perumusan ketentuan pidana dalam ketentuan administrasi sebagai suatu pola formulasi yang melandasi perumusan sanksi dalam menentukan jenis sanksi administratif dan/atau sanksi pidana dalam ketentuan di bidang fiskal dan sumber daya alam serta perlunya pengaturan tentang pedoman bagi pejabat administrasi dan/atau penegak hukum yang berwenang dalam menerapkan sanksi tersebut. Jawaban dari pertanyaan penelitian dicari melalui studi dokumen terhadap ketentuan perundang-undangan, doktrin, dan putusan pengadilan dalam bidang yang menjadi topik penelitian. Mengingat fokus penelitian adalah pengaturan dan penerapan sanksi administratif dan pidana dalam ketentuan administrasi, maka kajian tentang sanksi administratif dan sanksi pidana, teori tentang pidana dan pemidanaan, serta penerapan prinsip ultimum remedium dan una via, digunakan untuk menganalisis bagaimana pembentuk undang-undang menyusun ketentuan dengan dua jenis sanksi tersebut dan bagaimana pejabat administrasi menentukan sanksi yang dijatuhkan dalam kasus-kasus faktual. Penelitian ini menghasilkan temuan, sebagai berikut: pertama, dalam pembentukan jenis dan sifat sanksi, pembentuk undang-undang merujuk pada ketentuan yang telah ada, namun dalam risalah pembahasan RUU tidak dilengkapi argumentasi tentang justifikasi pidana dan pemidanaan serta prinsip ultimum remedium, melainkan hanya mempertimbangkan bahwa sanksi pidana diperlukan untuk memperkuat sanksi administratif guna menjerakan para pelaku; kedua, penerapan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif dalam kasus-kasus faktual dilakukan sebagaimana kualifikasi dalam rumusan pasal yang dilanggar, urutan prosedur penyelesaian kasus serta dapat pula diterapkan secara bervariasi sehingga dapat bersifat kasuistis untuk tiap-tiap kasus dan tulisan ini memberikan pedoman untuk persoalan tersebut; ketiga, prinsip ultimum remedium digunakan dalam bidang perpajakan dan lingkungan hidup kecuali untuk rumusan yang tidak memberikan sanksi yang berjenjang karena mengingat sifat bahaya dan seriusnya perbuatan dari pelanggaran tertentu. Prinsip una via telah diterapkan dalam kasus fiskal khususnya di bidang perpajakan di tingkat Mahkamah Agung, dengan catatan bahwa prinsip una via berlaku sebagai perluasan dari prinsip nebis in idem, bahwa untuk satu pelanggaran yang serupa tidak dapat diterapkan dua jenis sanksi yang memiliki sifat punitif yang sama. Saat ini prinsip una via sudah dirumuskan dalam ketentuan di sektor keuangan.

Criminal sanctions and administrative sanctions are two types of sanctions formulated in various administrative acts in Indonesia. The phenomenon of the formulation of these two types of sanctions experiences dynamics situation both in formulation and implementation, particularly in provisions concerning customs and excise, taxation, forestry, and the environment, which creates problems in the law enforcement practices. This research departs from the main problem regarding the importance of a guideline for determining the formulation of criminal provisions in administrative provisions as a pattern of formulation that underlies the formulation of sanctions in determining the types of administrative sanctions and/or criminal sanctions in provisions in the fiscal and natural resources sector and the need for setting guidelines for administrative officials and/or law enforcement officials authorized to apply the sanctions. To finds the answers for the research questions are sought through document studies of statutory provisions and acts, doctrines, and court decisions. Considering that the research focus is on the regulation and application of administrative and criminal sanctions in administrative provisions, the study of administrative sanctions and criminal sanctions, the theory on justification of punishment as well as the application of the principles of ultimum remedium and una via, are used to analyze how legislators formulate provisions with the two types of sanctions and how administrative officials determine the sanctions imposed in factual cases. This research resulted in the following findings: first, in establishing the type and nature of sanctions, the legislators referred to existing provisions, however, the treatise on deliberating the bill was not accompanied by arguments regarding criminal justification and sentencing as well as the ultimum remedium principle, but only considered that criminal sanctions are needed to strengthen administrative sanctions to deter the perpetrators; secondly, the application of criminal sanctions and/or administrative sanctions in factual cases is carried out according to the qualifications in the formulation of the article that was violated, the sequence of procedures for resolving cases and can also be applied in a variety of ways so that it can be casuistic for each case and this research provides guideline to tackle the challenges; third, the principle of ultimum remedium is used in the fields of taxation and the environment except for formulations that do not provide tiered sanctions due to the nature of the harm and the seriousness of the actions of certain violations. The una via principle has been applied in fiscal cases, especially in the case of taxation at the Supreme Court level, with a main consideration that the una via principle applies as an extension of the ne bis in idem principle, that for one similar violation for two types of sanctions which have the same punitive sanction which cannot be applied. Currently, the una via principle has been formulated in provisions in the financial sector."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jayanti Kusumasari
"Tugas Karya Akhir ini membahas berbagai faktor yang menentukan keberhasilan sanksi ekonomi. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan literatur ke dalam empat kelompok berdasarkan fokus kajiannya, yaitu sender-focused, target-focused, sender-target relations-focused, dan instrument-focused. Hasil analisis menunjukkan beragamnya faktor penentu keberhasilan sanksi ekonomi dari tiap kelompok literatur. Faktor-faktor penentu tersebut meliputi tipe rezim negara, jumlah negara yang terlibat sebagai sender, stabilitas ekonomi dan politik negara target, hubungan ekonomi dan politik sender-target sebelum penerapan sanksi ekonomi, preferensi dan persepsi sender dan target, tingkat kepentingan isu dan kepentingan politis, cost sanksi ekonomi bagi sender dan target serta durasi sanksi ekonomi.

This Final Assignment discusses the determining factors of economic sanctions effectiveness. The analysis is done by classifying relevant literatures into four groups namely sender-focused, target-focused, sender-target relations-focused, and instrument-focused. This Final Assignment recognizes diverse determining factors of economic sanctions effectiveness which includes political regime type, numbers of countries involved as sender, political and economic stability of target country, sender-target relations before economic sanctions takes place, sender?s and target?s preference and perception, issue salience and political interests, economic sanctions cost to sender and target, and duration of economic sanctions."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna Fikri Adli
"Pemberlakuan sanksi administrasi sebesar 50% untuk keberatan dan 100% untuk banding yang hasil keputusannya ditolak atau diterima sebagian dinilai tinggi sehingga dianggap tidak adil dan memberatkan Wajib Pajak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran mengenai formulasi kebijakan penurunan besaran tarif sanksi administrasi atas penolakan keberatan dan banding Wajib Pajak dalam Undang-Undang Harmonnisasi Peraturan Perpajakan. Metode peneltian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan paradigma post positivist dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan berupa wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perumusan kebijakan ini telah melalui tahapan-tahapan formulasi kebijakan, yaitu perumusan masalah, penyusunan agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan dengan baik. Keputusan untuk menurunkan tarif sanksi administrasi pada penolakan keberatan dan banding dalam Undang- Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dipilih untuk memberikan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Kebijakan ini memberikan dampak positif, tetapi keadilan perpajakan tidak hanya bergantung pada aspek sanksi. Untuk mencapai keadilan sebenarnya, dibutuhkan perbaikan pada sistem administrasi dan penyelesaian sengketa. Selain itu, sanksi pada proses sengketa pajak sebaiknya dihapus karena proses tersebut adalah cara bagi Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan yang diperlukan.

The imposition of administrative sanctions at a rate of 50% for objections and 100% for appeals whose decisions are rejected or partially accepted is considered high, unfair, and burdensome for taxpayers. This research aims to analyze the formulation of a policy to reduce the magnitude of administrative penalty rates for the rejection of objections and appeals by taxpayers under the UU HPP. The research methodology employed is a qualitative approach within the post-positivist paradigm, using data collection techniques such as literature review and in-depth interviews. The findings of this study indicate that the policy formulation has undergone several stages, including problem identification, policy agenda setting, policy alternatives selection, and policy determination, which were executed effectively. The decision to lower the administrative penalty rates for objection rejections and appeals under the UU HPP was made to ensure fairness, equality, and legal certainty for taxpayers. This policy has yielded positive impacts; however, tax justice cannot solely rely on the aspect of penalties. To achieve true justice, improvements in the administrative system and dispute resolution are needed. Furthermore, penalties within the tax dispute process should be abolished."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soratha, Yhodisman
"Tesis ini membahas perihal pengaturan sanksi administrasi dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah Pengaturan sanksi administrasi dalam suatu undangundang merupakan upaya dari pembuat undang-undang untuk memaksa agar norma-norma yang terdapat dalam undang-undang tersebut dipatuhi oleh semua pihak. Selain itu juga disimpulkan bahwa pengaturan tentang sanksi administrasi di dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia tidak sesuai dengan fungsi-fungsi yang dimaksud dalam struktur perundang-undangan yang baik. Kesimpulan terakhir yang diperoleh ialah bahwa pengaturan tentang sanksi administrasi di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dibuat dalam rangka melindungi hak-hak pekerja. Pendelegasian kewenangan lebih lanjut perihal sanksi administrasi di bidang ketenagakerjaan kepada pejabat Menteri tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendelegasian yang baik dalam suatu peraturan perundang-undangan.

The focus of this study is the regulation of administrative sanction in act number 13 year 2003 concerning manpower. The study consist of 3 (three) conclusions. First, the regulation of administrative sanction was the effort from legislation body to enforce all parties to obey the manpower norms. The second conclusion is the regulation on administrative sanction in Act Number 39 year 1999 concerning human rights is not proper since it is not placed in the body of those act. The third conclusion is the regulation on administrative sanction in Act number 13 year 2003 made in order to protect worker?s rights. The delegation of authority to Minister of Manpower is not complied with principals of delegation of authority."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T23536
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soerjono Soekanto
Bandung: Remadja Karya, 1988
340.115 SOE e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Bagaskara
"Barang mewah adalah salah satu benda yang tidak bisa dilepaskan di dalam kebutuhan masyarakat Indonesia, khususnya untuk masyarakat kalangan atas. Semakin banyak permintaan terhadap barang mewah dijadikan kesempatan untuk para penyelundup untuk memperoleh keuntungan dengan cara penyelundupan barang mewah. Barang mewah khususnya yang diperoleh melalui impor merupakan salah satu barang kena pajak yang tergolong tinggi yang termasuk dalam Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dan berperan besar dalam pemasukan negara. Apabila terjadi penyalahgunaan dan pelanggaran mengenai barang mewah tentu akan mempengaruhi pemasukan negara.
Penyelundupan adalah pemasukan barang secara gelap untuk menghindari bea masuk atau karena menyelundupkan barang terlarang yang dilakukan oleh pelaku. Regulasi terhadap penyelundupan impor barang mewah diatur dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeaan. Namun dalam hal regulasi khusus terhadap barang mewah belum diatur secara rinci. Selain itu pengenaan sanksi yang bersifat kumulatif akan sangat merugikan negara dalam hal menerima pemasukan. Pemerintah Indonesia seharusnya mengatur lebih jelas regulasi mengenai pengenaan sanksi terhadap Tindakan penyelundupan impor barang mewah serta menggunakan konsep “pengembalian kerugian negara” untuk mengoptimalkan pemasukan dan menghindari kerugian negara. Dengan ini negara akan menerima haknya serta masyarakat secara adil dapat merasakan pembangunan dan kesejahteraan melalui pemasukan negara yang optimal.

Luxury goods are one of the things that cannot be separated from the needs of the Indonesian people, especially for the upper class. The increasing demand for luxury goods is used as an opportunity for smugglers to make a profit by smuggling luxury goods. Luxury goods, especially those obtained through imports, are one of the high taxable goods which are included in the Sales Tax on Luxury Goods (PPnBM) and play a major role in state revenue. If there is abuse and violations regarding luxury goods, it will certainly affect state income. Smuggling is the illegal entry of goods to avoid import duties or because of the smuggling of prohibited goods by the perpetrator. The regulations for the smuggling of imports of luxury goods are regulated in Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeaan. However, the specific regulations for luxury goods have not been regulated in detail. In addition, the imposition of cumulative sanctions will greatly harm the state in terms of receiving revenue. The Indonesian government should set more clearly the regulations regarding the imposition of sanctions against the smuggling of luxury goods imports and use the concept of "return of state losses" to optimize revenues and avoid state losses. With this the state will receive its rights and the people can fairly experience development and prosperity through optimal state revenue."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Johansen Christian
"ABSTRAKk
Tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, lebih jauh menghambat proses pembangunan nasional dan merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang secara nyata telah terjadi dan berpotensi akan terjadi. Pengadilan yang dapat menangani perkara korupsi adalah pengadilan umum (negeri) dan pengadilan tindak pidana korupsi yang dibentuk berdasarkan UU No.46 Tahun 2009. Namun Putusan masih dirasakan kurang mewujudkan keadilan, khususnya bagi masyarakat. Penjatuhan sanksi pidana masih tidak sesuai dengan kerugian negara yang telah atau akan ditimbulkan. Kerugian negara tidak hanya yang bersifat materil tetapi juga immateril. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian yang berusaha mencari hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam memberikan putusan, apakah ada landasan teoritis yang mengharuskan hakim mempertimbangkan proporsionalitas antara besar kerugian negara dan sanksi yang diberikan, apakah kerugian negara merupakan faktor yang selalu menentukan besaran sanksi yang dijatuhkan dalam putusan tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dalam putusannya hakim tidak memberikan pertimbangan yang jelas, hakim memutus perkara berdasarkan dakwaan yang diajukan Penuntut Umum, hakim membuktikan setiap unsur-unsur yang ada pada rumusan pasal-pasal yang ada pada dakwaan, hakim juga memberikan putusan berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Tidak ada landasan teoritis yang mewajibkan hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap terpidana korupsi berdasarkan besaran kerugian negara. Kerugian negara tidak menjadi ukuran penentuan besaran sanksi yang akan dijatuhkan kepada terpidana korupsi. Sehingga terjadi kesenjangan besaran sanksi pidana yang dijatuhkan dengan besaran kerugian negara yang ditimbulkan. Diperlukan suatu acuan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan besaran kerugian negara yang telah ditimbulkan. Sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan proporsional terhadap kerugian negara yang telah ditimbulkan.

ABSTRAK
Corruption resulted in financial losses of state and national economy, further impede the process of national development and depriving the rights of social and economic communities. State losses caused by corruption is a country that is a real loss has occurred and will potentially occur. Court to handle cases of corruption are common courts ( state ) and the corruption court established by UU No. 46 of 2009. But the verdict is still lacking justice, especially for the community. Criminal sanctions is not in accordance with state losses that have been or will be incurred. State losses that are not only material but also immaterial. For that we need a research trying to find whatever things are need to be considered by the judge in rendering a verdict, is there a theoretical foundation that requires judges to consider the proportionality between the huge loss to the state and the sanction, whether the loss is a country that is always a factor determining the amount of sanctions imposed in the judgment of corruption. This research is normative. The result showed that in its decision the judge did not give a clear judgment, the judge decided the case based on charges filed Prosecutor, the judge prove any elements that exist in the formulation of the existing provisions on indictment, the judge also gave a decision based on things that are burdensome and ease. There is no theoretical foundation requires judges to impose penalties against convicted of corruption based on the amount of losses to the state. The loss of the country does not become a size determination of the amount of sanctions to be imposed on convicted of corruption. So there is a gap scale criminal sanctions imposed by the amount of loss caused state. Needed a reference for the judge to sentence based on the amount of losses that have been incurred. So the criminal sanctions imposed proportionate to losses that have been incurred."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hoxley, Mike
"This "Good Practice Guide" introduces the core knowledge and essential skills needed to undertake building condition surveys. Concentrating on the private homes sector - the source of most surveying work in the UK - and based on a lifetime of practical experience, it begins by providing a helpful summary of many frequently confused terms, before taking the reader through the key steps of a professional building condition survey."
London: RIBA, 2009
e20436628
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Anintha Syifa Kinanti
"Pengawasan ketenagakerjaan merupakan salah satu fungsi dari pemerintah yang cukup krusial. Selain untuk mendukung proses penegakan hukum, hal ini juga dilakukan untuk menjaga keseimbangan iklim industrial antara tenaga kerja dengan suatu perusahaan. Maka dari itu, pemerintah melalui Kemnaker RI meluncurkan layanan WLKP online guna mendukung efektivitas pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah. Namun, layanan WLKP dihadapi kendala yang menghambat proses pengawasan ketenagakerjaan. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas layanan WLKP melalui konsep perspektif efektivitas melalui pendekatan teori sistem oleh Gibson et al (2011). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah post-positivist yang didukung dengan data primer melalui wawancara mendalam dan sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan layanan WLKP sebagai upaya mewujudkan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan yang sistematis dan terintegrasi masih belum efektif dikarenakan kendala yang ditemukan. Dari 8 indikator dengan 3 dimensi, terdapat 3 indikator yang belum terpenuhi diantaranya keterbatasan anggaran guna mendukung pengembangan sistem WLKP dan diseminasi informasi terkait layanan WLKP melalui sosialisasi, proses pengawasan yang terhambat akibat kendala integrasi data antar isntansi, sinergi strategi teknis serta krisis kebijakan yang berdampak pada hasil pengawasan yang kurang optimal yang ditunjukan dengan kasus pelanggaran norma ketenagakerjaan yang masih tinggi. Sehingga dinilai perlu untuk meninjau bagaimana WLKP bekerja dalam mensinergikan strategi dari masing-masing pihak terlibat di dalamnya agar pengawasan ketenagakerjaan yang optimal dapat terwujud.

Labor inspection is one of the crucial functions of the government. In addition to supporting the law enforcement process, this is also done to maintain the balance of the industrial relations between labor and a company. Therefore, the government through the Ministry of Manpower of the Republic of Indonesia launched the online WLKP service to support the effectiveness of labor inspection by the government. However, WLKP services face obstacles that hinder the labor inspection process. Therefore, this study aims to analyze the effectiveness of WLKP services through the concept of effectiveness perspective through a systems theory approach by Gibson et al (2011). The method used in this study is post-positivist supported with primary data through in-depth interviews and secondary through literature studies. The results showed WLKP services as an effort to realize the implementation of systematic and integrated labor inspection is still not effective due to the obstacles found. From 8 indicators with 3 dimensions, there are 3 indicators that are unfulfilled including budget constraints to support the development of the WLKP system and dissemination of information related to WLKP services through socialization, the monitoring process is hampered due to data integration constraints between agencies, technical strategy synergies and policy crises that have an impact on the results of supervision that are less than optimal as indicated by cases of violations of labor norms which are still high. So, it is considered necessary to review how WLKP works in synergizing the strategies of each party are involved in it so that optimal labor supervision can be realized."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>