Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193709 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rima Ajrina
"Dalam penelitian ini, dilakukan studi mengenai radionuklida 210Po yang terdapat pada biota dan analisis kadar radionuklida 210Po yang terakumulasi di dalam tubuh biota berdasarkan tingkatan trofikya. Biota uji yang digunakan adalah ikan Belanak (Mugil dussumieri), ikan bawal hitam (Parastromateus niger), ikan kembung (Restrelliger kanagurta), ikan bawal putih (Pampus argenteus),dan ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii) yang didapatkan dari perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta. Analisis aktivitas 210Po dilakukan pada bagian daging, kepala, dan sistem pencernaan. Distribusi aktivitas 210Po paling tinggi terdapat pada sistem pencernaan, setelah itu kepala dan daging. Analisis aktivitas 210Po juga dilakukan pada daging yang telah dilakukan food prossesing atau pengolahan makanan dengan metode penggorengan. Aktivitas 210Po mengalami penurunan sebesar 30% sampai 64% setelah dilakukan proses penggorengan. Daily intake untuk kelima jenis sampel berbeda-beda, untuk ikan belanak sebesar 0,099 Bq, ikan bawal hitam sebesar 0,110 Bq, ikan kembung sebesar 0,253 Bq, ikan bawal putih sebesar 0,323 Bq, dan ikan tenggiri sebesar 0,451 Bq, sedangkan untuk dosis asupan tahunan sebesar 4,359 x 10-5 sv / tahun sampai 19,7798 x 10-5 sv / tahun dan Lifetime Cancer Risk (LCR) sebesar 4,785 x 10-5 sampai 21,713 x 10-5. Hasil ini menunjukan bahwa kelima biota uji masih tergolong aman untuk dikonsumsi.

In this research, a study of 210Po radionuclides found in biota and an analysis of 210Po radionuclide accumulation in biotas based on their trophic levels were performed. The biota used in this study were mullet (Mugil dussumieri), black pomfret (Parastromateus niger), mackerel (Restrelliger kanagurta), white pomfret (Pampus argenteus), and mackerel (Scomberomorus commersonii) obtained from Muara Kamal, Teluk Jakarta. Analysis of 210Po activity was carried out on the meat, head, and digestive system of the experimental biota. The highest distribution of 210Po activity was found in the digestive system, followed by head and meat. Analysis of 210Po activity was also carried out on meat biota after food processing by frying.  210Po activity decreased by 30% to 64% after a frying process. Daily intake of 210Po for each five samples were different, for mullet fish was 0.099 Bq, black pomfret was 0.110 Bq, mackerel was 0.253 Bq, white pomfret was 0.323 Bq, and mackerel fish was 0.451 Bq, value for annual intake dose  from 4,359 x 10-5 sv / year to 19,7798 x 10-5 sv / year and Lifetime Cancer Risk (LCR)  from 4,785 x 10-5 to 21,713 x 10-5. Therefore, five biotas specimen are safe to be consumed."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa
"Polonium-210 adalah unsur radioaktif alami, dengan waktu paruh 138 hari. 210Po radionuklida banyak ditemukan pada organisme. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang akumulasi aktivitas radionuklida 210Po pada biota yang berasal dari Teluk Jakarta dan memprediksi dampaknya terhadap ekosistem. 210Po aktivitas radionuklida ditemukan terakumulasi di beberapa spesies laut seperti udang, cumi-cumi dan ikan. Hasil konsentrasi tertinggi ditemukan pada daging cumi-cumi (Loligo chinensis) dan cumi-cumi masing-masing sebesar 426,61 Bq.kg-1 dan 851,9 Bq.kg-1. Pada sampel ikan yang dibedah, aktivitas 210Po ditingkatkan dari daging ke kepala hingga ke sistem pencernaan. Distribusi aktivitas radionuklida 210Po tertinggi pada pencernaan ikan tuna (E. affinis) dengan ukuran 1.766,40 Bq.kg-1. Di sisi lain, pengolahan makanan mengurangi aktivitas 210Po dalam biota, dengan penurunan sekitar 40% -80%. Dosis asupan efektif tahunan aktivitas 210Po di semua sampel biota masih di bawah nilai yang ditetapkan oleh UNSCEAR (Komite Ilmiah Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Efek Radiasi Atom). Nilai LCR (Lifetime Cancer Risk) aktivitas 210Po dalam sampel biota masih dalam batas nilai aman. Kajian dampak sebaran radionuklida 210Po terhadap ekosistem laut memiliki nilai batas maksimum 10 µGy h-1. Nilai ini tidak berdampak serius pada ekosistem laut. Secara keseluruhan, biota uji yang berasal dari Teluk Jakarta ini masih dalam batas aman untuk dikonsumsi.

Polonium-210 is a naturally occurring radioactive element, with a half-life of 138 days. 210Po radionuclides are found in organisms. This research was conducted to provide information about the accumulation of 210Po radionuclide activity in biota originating from Jakarta Bay and predict its impact on the ecosystem. 210Po of radionuclide activity was found to accumulate in several marine species such as shrimp, squid and fish. The highest concentration results were found in squid (Loligo chinensis) and squid, each of 426.61 Bq.kg-1 and 851.9 Bq.kg-1. In the dissected fish samples, 210Po activity was increased from the meat to the head to the digestive system. The distribution of 210Po radionuclide activity was highest in the digestion of tuna (E. affinis) with a size of 1,766.40 Bq.kg-1. On the other hand, food processing reduces 210Po activity in biota, with a reduction of about 40% -80%. The annual effective intake dose of 210Po activity in all biota samples is still below the value set by UNSCEAR (United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation). The LCR (Lifetime Cancer Risk) value of 210Po activity in the biota sample is still within the safe value limit. The study of the impact of 210Po radionuclide distribution on marine ecosystems has a maximum limit value of 10 µGy h-1. This value does not have a serious impact on marine ecosystems. Overall, the test biota originating from Jakarta Bay is still within safe limits for consumption."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rieska Juliana Ariaty
"Pada penelitian ini dilakukan kajian risiko radionuklida 210Po terhadap konsumsi biota kerang hijau (Perna viridis), udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis), cumi-cumi (Loligo sp.), dan ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii) yang berasal dari Perairan Teluk Jakarta. Aktivitas radionuklida 210Po pada sampel diukur menggunakan spektrometer α. Analisis radionuklida 210Po dilakukan pada bagian daging, kepala, dan pencernaan untuk memperoleh pola distribusi 210Po dalam tubuh biota. Distribusi radionuklida 210Po tertinggi pada bagian pencernaan diikuti oleh bagian kepala dan daging. Aktivitas radionuklida 210Po dalam tubuh biota dilakukan sebelum dan setelah food processing (proses penggorengan). Aktivitas radionuklida 210Po setelah food processing (proses penggorengan) mengalami penurunan sebesar 41-57%. Asupan harian radioaktivitas (daily intake) tertinggi yaitu pada cumi-cumi goreng sebesar 0,22 Bq dan diikuti oleh ikan tenggiri goreng, kerang hijau goreng, udang jerbung goreng dengan nilai dosis berturut-turut sebesar 0,01 Bq; 0,27 x 10-2 Bq ; dan 0,08 x 10-2 Bq. Dosis asupan tahunan (Deff) tertingi yaitu dosis cumi-cumi goreng sebesar 952,62 x 10-7 sv dan diikuti oleh dosis ikan tenggiri goreng, kerang hijau goreng, udang jerbung goreng dengan nilai dosis berturut-turut sebesar 69,24 x 10-7 sv; 11,80 x 10-7 sv; dan 3,43 x 10-7 sv. Nilai LCR (Lifetime Cancer Risk) tertinggi pada cumi-cumi goreng sebesar 521,25 x 10-7 dan diikuti oleh ikan tenggiri goreng, kerang hijau goreng, udang jerbung goreng dengan nilai dosis berturut-turut sebesar 37,75 x 10-7; 6,46 x 10-7; dan 1,88 x 10-7. Berdasarkan nilai dosis asupan harian (daily intake), dosis asupan tahunan (Deff) , dan LCR (Lifetime Cancer Risk) biota uji masih tergolong aman untuk dikonsumsi dan tidak berisiko karsinogenik.

In this study, the risk of radionuclide 210Po was assessed on consumption of green mussel (Perna viridis), jerbung shrimp (Fenneropenaeus merguiensis), squid (Loligo sp.), and mackerel fish (Scomberomorus commersonii) which originated from Jakarta Bay. Radionuclide 210Po activity in the samples were analyzed using α spectrometer. The activities of 210Po were observed in muscle, head, and digestive system to obtained distributional pattern of radionuclide 210Po in the biotas organs. The highest distribution of radionuclide 210Po was detected in digestive system and followed by head and muscle. The 210Po activities were analyzed before and after food processing. The radionuclide 210Po activities after food processing decreased by 41-57%. The highest daily intakeof 210Po found in fried squid which contains 0,22 Bq, followed by fried mackerel fish, green mussel, and jerbung shrimp with 0,01 Bq; 0,27 x 10-2 Bq ; dan 0,08 x 10-2 Bq, respectively. The highest annual intake (Deff) of 210Po is 952,62 x 10-7 sv, which found in fried squid and followed by fried mackerel fish, green mussel, and jerbung shrimp with 69,24 x 10-7 sv; 11,80 x 10-7 sv; dan 3,43 x 10-7 sv, respectively. The highest LCR (Lifetime Cancer Risk) of 210Po being 521,25 x 10-7, found in cooked squid and followed by fried mackerel fish, green mussel, and jerbung shrimp which respectively has 37,75 x 10-7; 6,46 x 10-7; dan 1,88 x 10-7. According to the results of daily intake, annual intake (Deff) , and LCR (Lifetime Cancer Risk), the biota tested are still classified as safe for consumption and not carsinogenic.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mariska Winda Asrini
"Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah merencanakan pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE). Dalam pengoperasiannya akan terjadi pelepasan radionuklida ke lingkungan, salah satunya adalah 137Cs. Untuk itu diperlukan bioindikator untuk mengidentifikasi adanya pencemaran 137Cs. Kinetika proses bioakumulasi 137Cs melalui jalur air laut pada kerang hijau (Perna viridis) dan udang mantis (Harpiosquilla raphidea) dari Teluk Jakarta telah diteliti dengan mengamati pengaruh variasi bobot biota. Eksperimen akuaria dilakukan terhadap empat kelompok ukuran dengan dua kali pengulangan. Percobaan dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu akumulasi/pengambilan, depurasi/pelepasan serta pemodelannya.
Hasil penelitian menunjukkan kenaikan bobot biota menurunkan laju pengambilan dan laju pelepasan 137Cs oleh Perna viridis dan Harpiosquilla raphidea. Nilai faktor biokonsentrasi (BCF) Perna viridis dengan bobot 2,89 g; 6,13 g; 10,27 g; dan 12,26 g berturut-turut adalah sebesar 4,29 mL g-1; 3,35 mL g-1; 3,20 mL g-1; dan 2,86 mL g-1, sedangkan nilai faktor biokonsentrasi (BCF) Harpiosquilla raphidea dengan bobot 38,27 g; 40,19 g; 50,89 g; dan 61,22 g berturut-turut adalah sebesar 10,39 mL g-1; 10,32 mL g-1; 10,20 mL g-1; dan 9,88 mL g-1. Dibandingkan dengan Perna viridis, Harpiosquilla raphidea lebih cocok digunakan sebagai bioindikator pencemaran 137Cs berdasarkan akumulasi pada keseluruhan tubuh.

National Nuclear Energy Agency (BATAN) has already decided to build an experimental nuclear reactor. In the operational process, this reactor will release some radionuclides to the environment and one of them is 137Cs. Due to this phenomenon, researchers need some bioindicators to determine the contamination of 137Cs. The kinetics of 137Cs bioaccumulation through seawater pathway on green mussel (Perna viridis) and mantis shrimp (Harpiosquilla raphidea) have been investigated by observing the effects of varying body sizes. An aquaria experiment is applied to four body size groups with two replications. The experiment was carried out by 3 steps such as: uptake, depuration, and modelling.
The results showed that the uptake and elimination rates decreased along with the increasing body size. The values of bioconcentration factor (BCF) on Perna viridis 2,89 g; 6,13 g; 10,27 g; and 12,26 g were found to be 4,29 mL g-1; 3,35 mL g-1; 3,20 mL g-1; and 2,86 mL g-1, while on Harpiosquilla raphidea 38,27 g; 40,19 g; 50,89 g; and 61,22 g were found to be 10,39 mL g-1; 10,32 mL g-1; 10,20 mL g- 1; and 9,88 mL g-1, respectively. Compared to Perna viridis, Harpiosquilla raphidea can be considered as a convenient bioindicator on the basis of the whole body accumulation.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S61768
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Stefani Gelu
"BATAN telah merencanakan pembangunan Reaktor Daya Eksperimental. Dalam pengoperasiannya akan terjadi pelepasan radionuklida ke lingkungan, salah satunya adalah 137Cs. Karena itu, diperlukan biota yang dapat digunakan sebagai bioindikator untuk mengidentifikasi jika terjadi pelepasan 137Cs secara abnormal. Oleh karena itu, dilakukan suatu studi biokumulasi pada salah satu hewan moluska asal Teluk Jakarta, yakni Turbo chrysostomus dengan mengamati pengaruh perbedaan bobot biota.
Pada studi ini dilakukan simulasi kontaminasi 137Cs terhadap Turbo chrysostomus melalui jalur air laut dan jalur pakan. Berdasarkan penelitian, diperoleh faktor konsentrasi fasa steady state (CFss) pada Turbo chrysostomus dengan bobot 7,62 g; 7,68 g; 8,55 g; 9,31 g setelah terpapar 137Cs selama 11 hari secara berturut-turut adalah sebesar 3,28; 3,02; 2,83; dan 2,55 ml.g-1. Efisiensi asimilasi Turbo chrysostomus dengan bobot 5,41 g dan 6,44 g setelah 24 jam secara berturut-turut sebesar 34,63 % dan 35,08 %.
Nilai faktor bioakumulasi (BAF) pada Turbo chrysostomus dengan bobot 7,62 g; 7,68 g; 8,55 g; 9,31 g secara berturut-turut adalah sebesar 1,33; 1,30; 1,13; dan 0,87. Turbo chrysostomus juga marak dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga hasil studi biokumulasi ini selain untuk kepentingan monitoring di lapangan, dapat juga digunakan sebagai informasi pelengkap keamanan pangan.

National Nuclear Energy Agency (BATAN) has already decided to build an experimental nuclear reactor. In the running process, this reactor will release some radionuclides to the environment and one of them is 137Cs. Due to this phenomenon, researcher need some biotas that can be used as a bioindicator to determine if there is an abnormal release of 137Cs from the reactor. To fulfill the importance, this particular research has performed a bioaccumulation study using Turbo chrysostomus from Jakarta Bay Coastal with varies body size as the bioindicator.
This research performed a simulation of 137Cs contamination by sea water pathway and also by food. The concentration factor values in steady state phase (CFss) for Turbo chrysostomus with a mass of 7,62 g; 7,68 g; 8,55 g; 9,31 g were observed to be 3,28; 3,02; 2,83; dan 2,55 ml.g-1 after 12 days of exposure. The values of assimilation efficiency for Turbo chrysostomus with a mass of 5,41 g and 6,44 g were observed to be 34,63 % and 35,08 %.
The Bioaccumulation Factor (BAF) for Turbo chrysostomus with a mass of 7,62 g; 7,68 g; 8,55 g; 9,31 g were observed to be 1,33; 1,30; 1,13; dan 0,87. As the society also use Turbo chrysostomus for their consumption material, the result of this bioaccumulation study can also be a complimentary information for the food safety system.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dhiandra Aisyah Dwi Septiani
"Radionuklida 210Po merupakan salah satu keturunan dari deret radioaktif uranium-238 yang keberadaanya dapat ditemukan di lingkungan secara alami dengan konsentrasi yang cukup besar. Dalam lingkungan laut, radionuklida ini menjadi salah satu penyumbang masuknya zat radioaktif ke dalam biota laut yang kemudian masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi makanan laut. Dalam penelitian ini dilakukan studi mengenai aktivitas konsentrasi 210Po pada sampel biota laut pada Pantai Utara Laut Jawa. Analisis 210Po dilakukan terhadap enam belas sampel yang terdiri atas dua jenis biota laut, yaitu moluska dan ikan laut dimana sampel-sampel ini diperoleh dari Pasar Ikan Muara Angke, Jakarta. Analisis 210Po pada daging sampel yang tidak dilakukan proses pemasakan menunjukkan rentang nilai rentang antara 44,47 hingga 331,31 Bq.Kg-1, dengan kelompok bivalvia memiliki nilai yang lebih tinggi daripada aktivitas 210Po pada sampel ikan. Selain itu, analisis 210Po juga dilakukan pada daging sampel yang telah dilakukakan proses pemasakan. Adanya proses pemasakan menyebabkan aktivitas 210Po mengalami penurunan sebesar 25% sampai dengan 48%. Penentuan dosis radiasi dari enam belas sampel berkisar antara 0,75 hingga 11,75 Bq untuk dosis asupan harian dan 0,33 sampai 5,14 mSv/tahun untuk dosis efektif tahunan. Hasil ini menunjukkan bahwa keenam belas sampel biota laut masih tergolong aman untuk dikonsumsi oleh manusia.

Radionuclide 210Po is one of the progenies of the uranium-238 radioactive series, whose presence can be found in the natural environment in large enough concentrations. In the marine environment, this radionuclide contributes to the entry of radioactive substances into marine biota, which then enter the human body through seafood consumption. This study was conducted on the determination of the activity of 210Po concentration in marine biota on the North Coast of the Java Sea. Analysis of 210Po was carried out on mollusks and fishes. These samples were obtained from the Muara Angke Fish Market, Jakarta. The samples were analyzed through a digestion process using concentrated HNO3, following the measured for the activity of 210Po plated in silver disks using an Alpha Spectrometer by measuring the plated silver disk. The results of the 210Po analysis on the uncooked showed a range between 44.47 to 331.31 Bq.Kg-1, with the bivalves group having a higher value than the fish samples. In addition, the 210Po analysis was also carried out on the sample meat that had been cooked. The cooking process causes the activity of 210Po to decrease by 25% to 48% of those activity in uncooked food. Daily intake activity of 210Po of the sixteen uncooked samples ranged from 0.75 to 11.75 Bq whereas committed effective dose of 210Po of the sixteen uncooked samples ranged from 0.33 to 5.14 mSv.y-1. These results indicating the seafood are safe for human consumption."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Teluk Jakarta merupakan perairan yang kondisi zat haranya selalu berubah secara dinamis akibat adanya masukan massa air tawar dari sungai-sungai di sekitarnya yang mengandung senyawa-senyawa organik dan anorganik sebagai sumber pengkayaan zat hara (eutrofikasi). Di periode awal tahun 2000-an telah terjadi beberapa kali peristiwa ledakan populasi alga berbahaya (HABs) di perairan Teluk Jakarta, salah satu faktor pemicunya kemungkinan dikarenakan terjadinya pengkayaan zat hara. Penelitian zat hara fosfat, nitrat, nitrit, dan silikat di perairan Teluk Jakarta telah dilakukan pada bulan Mei 2010 berdasarkan metode kolorimetri dengan menggunakan alat spektrofotometer Shimadzu UV-1201V. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi trofik perairan Teluk Jakarta ditinjau dari kelimpahan zat hara sebagai referensi untuk memperkirakan potensi terjadinya HABs. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Teluk Jakarta termasuk ke dalam perairan yang kaya akan zat hara (eutrofik). Meskipun fosfat dan nitrat di Teluk Jakarta cukup melimpah dan konsentrasinya telah jauh melampaui baku mutu air laut untuk biota laut. Namun belum berpotensi menimbulkan ledakan populasi alga berbahaya (HABs)."
OLDI 37:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dinie Dianita Bakri
"ABSTRAK
Teluk Jakarta merupakan wilayah strategis di Utara Jakarta dengan berbagai aktivitas seperti perikanan, pelayaran, dan pariwisata. Berbagai aktivitas tersebut mengakibatkan dampak pencemaran lingkungan salah satunya penurunan kualitas air dengan timbulnya fenomena trofik atau pengayaan zat hara nitrogen dan fosfor yang merusak biota air dan munculnya algae bloom. Maka diperlukan penelitian untuk mensimulasikan kondisi trofik yang terjadi di Teluk Jakarta menggunakan parameter DIN nitrogen dan TP fosfor . Tujuan penelitian ini yaitu menentukan pola sebaran DIN ndash; TP dan status trofik di Teluk Jakarta menggunakan pemodelan MIKE 21 Ecolab. Data yang digunakan yaitu data konsentrasi total nitrogen anorganik DIN dan total fosfor TP tujuh sungai tahun 2010-2016 , debit sungai, pasang surut, data angin BMKG, dan curah hujan di Teluk Jakarta. Perbandingan skenario pre reklamasi, reklamasi, dan masterplan digunakan dalam penelitian ini pada musim Barat dan musim Timur. Hasil penelitian diperoleh kadar DIN sebesar 0,005 - 7,764 mg/L, TP sebesar 0,001 ndash; 0,941 mg/L, dan kecepatan arus sebesar 0,006 ndash; 0,084 m/s. Pola sebaran pencemar dipengaruhi oleh kecepatan arus, kemiringan pantai, dan lokasi pencemar. Semakin cepat arus maka semakin cepat pencemar terdistribusi ke wilayah lain. Status trofik di Teluk Jakarta sudah berada pada status hipertrofik tercemar dengan wilayah paling kritis berada di pesisir. Pada perairan lepas pantai kadar pencemar cenderung menurun akibat adanya pelarutan dengan air. Bentuk pengelolaan yang memungkinkan dilakukan di Teluk Jakarta adalah adanya penanggulangan dari aktivitas masyarakat, dibangunnya IPAL pada daerah aktivitas masyarakat dan dibangunnya waduk sebelum wilayah muara.

ABSTRACT
Jakarta Bay is a strategic area in North Jakarta with various activity such as fishery, cruising, and tourism. The activities mention above causing environmental pollution, such as lower quality of water with arise of trophic phenomenon or enrichment in nutrient substance nitrogen and phospor which damaging water biota and appearing of algae bloom. From that data, therefore needed a research to stimulate trophic condition which happen in Jakarta Bay using DIN nitrogen parameter and TP phospor . Aim of this research is to determine distribution pattern DIN ndash TP and trophic condition in Jakarta Bay using MIKE 21 Ecolab model. Data used from DIN and TP concentration in seven river year 2010 ndash 2016 , river debit, river tidal, wind data from BMKG, and rainfall level in Jakarta Bay. Comparison scenario between pre reclamation, reclamation, and masterplan used in this research on West Season and East Season. Results of this research obtained that DIN levels amount is 0,005 ndash 7,764 mg L, TP levels amount 0,001 ndash 0,941 mg L, and current speed amount 0,006 ndash 0,084 m s. Distribution pattern of contaminants affected by current speed, slopeness of the beach, and contaminants location. The faster current speed then the distribution of contaminants to other area getting faster. Trophic condition of Jakarta Bay already in a hipertophic tainted condition with the most critical area located in coastal area. In offshores water the contaminants levels tend to decrease from water dissolution. Form of management which possible in Jakarta Bay is to countermeasures of society activity, built of IPAL in society activity area and built of reservoir before estuary area."
2017
T49201
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>