Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130683 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raihan Hudiana
"Polemik terkait sah atau tidaknya jabatan pimpinan DPD periode 2017 - 2019 terus menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan, bahkan hingga berakhirnya kepengurusan DPD. Menurut beberapa ahli hukum, pergantian pimpinan DPD yang dilakukan pada tahun 2017 bukan merupakan pergantian pimpinan yang sah, pasalnya pergantian tersebut dianggap menerobos aturan hukum yang ada. Namun yang menjadi masalah adalah sampai saat ini tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa di internal DPD. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan norma hukum yang terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan membandingkannya dengan beberapa negara. Hasil dari penelitian adalah permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan etika anggota lembaga perwakilan. Oleh karena itu yang berwenang menyelesaikannya yaitu internal DPD sendiri melalui Badan Kehormatan DPD. Namun karena belum diatur secara rinci mengenai mekanisme evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD, akhirnya proses penyempurnaan dikembalikan kepada mekanisme politis yang sulit untuk tercapainya keadilan. Adapun alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan memperkuat peraturan DPD dan membentuk standar etika penyelenggara negara. Dengan demikian, DPD disarankan untuk memperbaiki peraturan tentang tata beracara badan kehormatan DPD. Dan disarankan kepada DPR RI untuk membuat rancangan undang-undang tentang etika penyelenggara negara.

The related polemic whether or not holding the leadership of the DPD for the period 2017 - 2019 continues to be a hot issue to be discussed, even to the end of the management of the DPD. According to some legal experts, the replacement of the leadership of the DPD conducted in 2017 is not a legitimate change of leadership, because the change is considered to break the existing legal rules. But the problem is that there are currently no parties who can solve this problem. Therefore, the author conducted a study to find out how to resolve disputes in the internal DPD. Research carried out by juridical-normative method is by examining problems based on laws related to the laws and regulations that apply in Indonesia and comparing them with various countries. The results of this study are the problems that occur are ethical issues of members of representative institutions. Therefore, what was agreed to solve was the internal DPD itself through the Honorary Board of DPD. DPD, finally the refinement process is related to a difficult political evaluation to achieve justice. As an alternative to resolve this problem by completing the regulations of the DPD and establishing ethical standards for state administration. Thus, DPD agreed to regulate the rules regarding the procedure for the proceedings of  DPD. And agreed to DPR RI to draft a law on the ethics of state administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarji
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S25473
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Eddie
"Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia sebagai lembaga baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia merupakan fenomena menarik. Secara teoretis, kehadiran kamar kedua dalam parlemen dimaksudkan untuk mewakili ruang (daerah) dan memberikan pendapat kedua dalam pembuatan undang-undang atau melakukan checks and balances kepada kamar pertama. Fungsi dan wewenang DPD yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang sangat terbatas, dan bahkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD semakin dibatasi lagi dengan keterlibatan DPD dalam pembahasan hanya pada tahap pembicaraan tingkat I.
Sehubungan dengan itu, menarik untuk dikaji pembentukan DPD, bagaimana bikameralisme di negara-negara lain, bagaimana kamar kedua melaksanakan checks and balances kepada kamar pertama atau upper house dan bagaimana implementasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia. Karena itu, tesis ini mencoba membahas bentuk bikameralisme di Indonesia dan bagaimana DPD melaksanakan checks and balances kepada DPR. Penelitian dilakukan dengan tipe kualitatif deskriptif sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi kehadiran DPD yang dilakukan secara intensif, mendalam, terinci dan komprehensif. Pengumpulan data diiakukan dengan pengamatan langsung, studi pustaka, wawancara mendalam dengan pakar terkait, serta anggota DPD dan DPR.
Berdasarkan teori bikameralisme yang dikembangkan oleh Sartori, Lijphart, Ellis dan C.F. Strong serta melakukan perbandingan dengan bikameralisme di beberapa negara, bikameralisme di Indonesia termasuk dalam kategori yang berbeda atau bikameralisme yang Iain dari yang lain. Meskipun dengan kewenangan yang sangat terbatas, DPD - yang anggotanya dipilih Iangsung oleh rakyat dalam, pemilihan umum legislatif - masih dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dalam kerangka checks and balances terhadap DPR melalui pengusulan RUU di bidang tertentu, pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu dan fungsi pertimbangan dalam APBN ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Muthiara Wasti
"ABSTRAK
Indonesia mengakui eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Salah satunya adalah lembaga perwakilan masyarakat adat yang
memperlihatkan nilai-nilai tradisional yang masih hidup hingga sekarang.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa belum sepenuhnya
mengakomodir nilai-nilai adat di setiap daerah terutama perwakilan adat di Nagari
Minangkabau. Oleh sebab itu, terdapat dua pokok permasalahan: Pertama,
kedudukan dan kewenangan lembaga perwakilan adat dalam struktur
pemerintahan nagari di Minangkabau dan Undang-Undang tentang Desa dan
Kedua, konsep ideal mengenai lembaga perwakilan adat di Indonesia. Analisis
dilakukan dengan menggunakan teori hukum tata negara adat karena memiliki
kaitan erat dengan nilai-nilai ketatanegaraan Indonesia yang diikuti dengan
penerimaan terhadap keberadaan adat yang lahir dari sebuah persekutuan hukum
dan memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu, dilakukan perbandingan pengaturan
masyarakat adat di Amerika Serikat, Australia, Kamerun dan China. Kesimpulan
adalah lembaga perwakilan adat nagari belum sepenuhnya terakomodir dalam
Undang-Undang tentang Desa sehingga dibutuhkan sebuah pengaturan ideal
untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat adat nagari di Minangkabau terutama
dalam unsur keanggotaan, metode pemilihan dan kedudukan dan kewenangan dari
lembaga perwakilan adat tersebut. Untuk itu, diperlukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam hal pengaturan
mengenai desa adat yang dapat dibandingkan dengan negara lain yang lebih
mempunyai pengaturan dan perlakuan terhadap desa adat di negarannya seperti di
AS, Kamerun, RRC dan Australia.

ABSTRACT
Indonesia acknowledges the existence of indigenous law communities
along with their traditional rights in Article 18 of the Indonesian 1945
Constitution. One of these institution is the traditional people representatives that
embrace traditional values that lives up to the present. Law Number 6 of 2014 on
Villages have not fully accommodated tradition values that exists in the respective
regions, particularly the traditional representation in Nagar Minangkabau. As
such, there are two issues: the position and authority of traditional representative
institutions within the governance structure of nagari in Minangkabau and the
Village Law; and, secondly, the ideal regulation on traditional representative
institutions in Indonesia. The analysis is conducted using the theory of traditional
constitutional law as it bears close relation to Indonesia?s state constitutional
values followed by acceptance of the diversity of customs that arise from an
amalgamation of laws that have their own characteristics. Additionally, a
comparison is carried out as regards regulations that govern indigenous
communities in the United State, Australia, Cameroon, and China. The conclusion
is that the nagari indigenous representative institution is not fully accommodated
in the Village Law and thus an ideal regulatory instrument to accommodate the
need of the nagari indigenous community in Minangkabau, among others
membership, method of election and the position and authority of the indigenous
representative institution."
2016
T46631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Maringan S.
"Tindak pidana perkosaan merupakan tindak pidana yang menimbulkan ketakutan tersendiri dalam masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak perempuan, sebab golongan perempuan dan anak perempuan ini yang kerap menjadi korban perkosaan. Hal ini dikarenakan posisi mereka yang lemah dan subordinat. Meski pelaku tindak pidana perkosaan diancam dengan pidana berat, namun fenomena yang terjadi justru terdapat peningkatan dari jenis kejahatan ini. Hukum sebagai pranata penegak keadilan, ternyata tidak dapat berfungsi. Penegakan hukum tidak hanya memerlukan kepastian hukum, tapi juga kesebandingan dan keadilan dalam porsi yang sama. Kesulitan pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya. Asas unus testis nullus testis yang memiliki filosofi ‘guna menghindari fitnah’ bagi terdakwa, ternyata dalam pembuktian tindak pidana perkosaan telah mendiskualifikasikan perempuan dan anak perempuan sebagai korban perkosaan. Asas inilah yang dipegang teguh oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pembuktian tindak pidana perkosaan. Belum lagi rumusan perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia tidak sensitive gender, ini dapat dipahami mengingat dahulu hukum dibentuk bersandarkan pada perspektif kaum laki-laki, dimana perempuan kala itu tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya. Ketimpangan jender ini berakibat fatal. Maka yang terjadi kepentingan perempuan dibentuk berdasarkan apa yang dianggap baik oleh kaum laki-laki, yang belum tentu dalam prakteknya menjadi baik bagi perempuan itu sendiri. Rumusan perkosaan dalam KUHP, tidak mengakomodir bentuk-bentuk perkosaan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan perempuan tidak memiliki perisai untuk melindungi dirinya ataupun untuk menuntut pelaku atas apa yang terjadi pada dirinya. Selain rumusan dalam KUHP dan hukum acara dalam KUHAP, yang tak kalah penting adalah persepsi bias jender dalam alam pikiran aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus perkosaan. Sesungguhnya, hal inilah yang patut dibenahi terlebih dahulu, karena peraturan apapun akan menjadi berbahaya bagi perempuan ketika diterapkan berdasarkan pandangan bias jender. Namun, tetap perlindungan perempuan dan pengakomodiran kepentingan perempuan dalam hukum juga harus dilakukan, sebab pranata hukum itulah yang kemudian menjadi senjata bagi aparat penegak hukum dan perempuan serta masyarakat untuk menegakkan hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S25443
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlanda Juliansyah Putra
"[ABSTRAK
Didalam penelitian ini peniliti memberikan gagasan mengenai pembubaran partai
politik korup melalui celah hukum pembubaran partai politik di indonesia dengan
memberikan tafsir terhadap makna hukum positif yang mengatur tentang pembubaran
partai politik, salah satunya yaitu adanya nomenklatur yang disebutkan didalam Pasal 2
huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Beracara Pembubaran Partai Politik yang menyebutkan bahwa partai politik dapat
dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila kegiatan/akibat yang dilakukan oleh
partai politik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Klausul
?akibat? yang ditimbulkan tersebut dapat disamakan dengan kegiatan korupsi yang
melibatkan pengurus/anggota partai politik yang melaksanakan kegiatan aktifitas
kepartaian untuk dapat dibubarkan. Adanya persamaan pengertian yang ditujukan
antara korporasi selaku badan hukum yang disamakan dengan pengertian partai politik
selaku badan hukum dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menarik keterlibatan
partai politik melalui pengurusnya dalam melakukan tindak pidana korupsi dengan
mempergunakan doktrin strict liability dan doktrin vicarious liability yang
memungkinkan partai politik tersebut bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan
oleh pengurus/anggota partai politik yang menjalankan aktivitas kepartaian.

ABSTRACT
Researcher in this study provides an idea of the dissolution of the corrupt political
parties through legal loopholes dissolution of political parties in Indonesia to provide
interpretation of the meaning of positive law governing the dissolution of political
parties, one of which is the existence of the nomenclature referred to in Article 2
paragraph b of the Constitutional Court Regulation No. 12 year 2008 on Guidelines for
the Proceedings In the Dissolution of Political Parties which states that a political party
can be dissolved by the Constitutional Court if the activities/result conducted by the
political parties in conflict with the Constitution of 1945. Clause " due " posed is what
can be equated with corruption involving officials/members of a political party
conducting the activities of the party to be dissolved. The existence of the common
understanding between the corporation intended as a legal entity which is equated with
the notion of a political party as a legal entity can be used as a reference for the
involvement of political parties through its officials in committing corruption by using
the doctrine of strict liability and vicarious liability doctrine that allows the political
party responsible for acts committed by officials/members of political parties that run
the activities of the party.;Researcher in this study provides an idea of the dissolution of the corrupt political
parties through legal loopholes dissolution of political parties in Indonesia to provide
interpretation of the meaning of positive law governing the dissolution of political
parties, one of which is the existence of the nomenclature referred to in Article 2
paragraph b of the Constitutional Court Regulation No. 12 year 2008 on Guidelines for
the Proceedings In the Dissolution of Political Parties which states that a political party
can be dissolved by the Constitutional Court if the activities/result conducted by the
political parties in conflict with the Constitution of 1945. Clause " due " posed is what
can be equated with corruption involving officials/members of a political party
conducting the activities of the party to be dissolved. The existence of the common
understanding between the corporation intended as a legal entity which is equated with
the notion of a political party as a legal entity can be used as a reference for the
involvement of political parties through its officials in committing corruption by using
the doctrine of strict liability and vicarious liability doctrine that allows the political
party responsible for acts committed by officials/members of political parties that run
the activities of the party.;Researcher in this study provides an idea of the dissolution of the corrupt political
parties through legal loopholes dissolution of political parties in Indonesia to provide
interpretation of the meaning of positive law governing the dissolution of political
parties, one of which is the existence of the nomenclature referred to in Article 2
paragraph b of the Constitutional Court Regulation No. 12 year 2008 on Guidelines for
the Proceedings In the Dissolution of Political Parties which states that a political party
can be dissolved by the Constitutional Court if the activities/result conducted by the
political parties in conflict with the Constitution of 1945. Clause " due " posed is what
can be equated with corruption involving officials/members of a political party
conducting the activities of the party to be dissolved. The existence of the common
understanding between the corporation intended as a legal entity which is equated with
the notion of a political party as a legal entity can be used as a reference for the
involvement of political parties through its officials in committing corruption by using
the doctrine of strict liability and vicarious liability doctrine that allows the political
party responsible for acts committed by officials/members of political parties that run
the activities of the party.;Researcher in this study provides an idea of the dissolution of the corrupt political
parties through legal loopholes dissolution of political parties in Indonesia to provide
interpretation of the meaning of positive law governing the dissolution of political
parties, one of which is the existence of the nomenclature referred to in Article 2
paragraph b of the Constitutional Court Regulation No. 12 year 2008 on Guidelines for
the Proceedings In the Dissolution of Political Parties which states that a political party
can be dissolved by the Constitutional Court if the activities/result conducted by the
political parties in conflict with the Constitution of 1945. Clause " due " posed is what
can be equated with corruption involving officials/members of a political party
conducting the activities of the party to be dissolved. The existence of the common
understanding between the corporation intended as a legal entity which is equated with
the notion of a political party as a legal entity can be used as a reference for the
involvement of political parties through its officials in committing corruption by using
the doctrine of strict liability and vicarious liability doctrine that allows the political
party responsible for acts committed by officials/members of political parties that run
the activities of the party., Researcher in this study provides an idea of the dissolution of the corrupt political
parties through legal loopholes dissolution of political parties in Indonesia to provide
interpretation of the meaning of positive law governing the dissolution of political
parties, one of which is the existence of the nomenclature referred to in Article 2
paragraph b of the Constitutional Court Regulation No. 12 year 2008 on Guidelines for
the Proceedings In the Dissolution of Political Parties which states that a political party
can be dissolved by the Constitutional Court if the activities/result conducted by the
political parties in conflict with the Constitution of 1945. Clause " due " posed is what
can be equated with corruption involving officials/members of a political party
conducting the activities of the party to be dissolved. The existence of the common
understanding between the corporation intended as a legal entity which is equated with
the notion of a political party as a legal entity can be used as a reference for the
involvement of political parties through its officials in committing corruption by using
the doctrine of strict liability and vicarious liability doctrine that allows the political
party responsible for acts committed by officials/members of political parties that run
the activities of the party.]"
2015
T43076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Puji Rahmanto
"Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah kebutuhan daerah dan kehendak masyarakat DIY itu sendiri dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dijamin oleh konstitusi. Status istimewa yang dimiliki oleh DIY merupakan fakta sejarah yang tidak akan terhapus oleh kondisi jaman yang berubah.
Fungsi membentuk undang-undang (legislasi) yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih sangat lemah jika dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Padahal melalui fungsi legislasi, DPD diharapkan menjadi lembaga yang dapat menjembatani kepentingan daerah di tingkat pusat salah satunya adalah pembentukan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY).
Hal yang menarik terkait dengan peran DPD di dalam pembentukan UUK DIY adalah keterlibatan DPD yang cukup jauh padahal selama ini keterlibatan DPD dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang hanya sebatas menyampaikan pandangan dan pendapat akhir saja.
Keterlibatan DPD yang cukup jauh tersebut tidak lepas dari pendekatan politik yang dilakukan oleh Pimpinan Komite I DPD kepada Pimpinan Komisi II DPR. Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, UU No. 12 Tahun 2011, dan Tata Tertib DPR, belum memberikan ruang kepada DPD untuk ikut membahas secara penuh dalam proses Pembicaraan Tingkat I. Padahal keberadaan DPD terbukti dapat meningkatkan ketahanan nasional melalui pemberdayaan daerah-daerah.

The specialty of Yogyakarta Special Region is a regional needs and desires Yogyakarta community itself in its efforts to improve the welfare of the people guaranteed by the Constitution. Special status held by Yogyakarta is a fact of history that will not be erased by the time the conditions change.
Functions make statutes (legislation) that is owned by the Regional of the Representative Council of the Republic of Indonesia (Senate) is still very weak in comparison to the House of Rerepsentative and the President. Through the legislative function, Senate of Indonesia is expected to be an institution that can bridge the interests of the region at the central one of which is the establishment of the Law Privileges Yogyakarta. (UUK DIY).
The interesting thing related to Senate's role in the formation of UUK DIY engagement Senate is quite far but so far Senate involvement in any discussion of the draft law was limited to conveying the views and opinions of the end of the course.
Involvement Senate could not be separated far enough from the political approach taken by the Chair of Committee I Senate to the Chair of Commission II House. Law No. 27 In 2009, Law no. 12 In 2011, and the Discipline of the House, not to give space to discuss the Council to participate fully in the Discussion Level I. Though the presence of Senate proven to improve national defense through empowerment of the regions."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Achmad Alif Nurbani
"Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XV/2018 terhadap Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah, serta urgensi keanggotaan DPD RI yang berasal dari unsur partai politik akibat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XV/2018. Metode yang digunakan kualitatif dengan pendekatan Yuridis Normatif. Temuan pada penelitian ini adalah: Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menegaskan bahwa frasa "pekerjaan lain" dalam Pasal 182 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus partai politik (parpol). Putusan MK tersebut berdampak pada larangan pencalonan anggota DPD dari unsur pengurus parpol. DPD tidak dapat diisi oleh pengurus parpol, "Pengurus parpol" struktur organisasi parpol yang bersangkutan. MK mengakui bahwa Pasal 182 huruf i UU Pemilu memang tidak secara tegas melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi calon anggota DPD. Sikap MK berdasarkan putusan-putusan sebelumnya selalu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota parpol. Sehingga, secara otomatis pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final artinya mencakup juga kekuatan mengikat (binding). Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada pelaksanaannya telah terjadi problematika mengenai berlakunya putusan tersebut yang dianggap berlaku surut. Mahkamah Agung yang membatalkan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 karena berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 berlaku surut. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU- XVI/2018 tetap harus dilaksanakan, sehingga timbul ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung dinilai telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, penafsiran dari Mahkamah Konstitusi yang harus dijadikan pedoman dan dilaksanakan.

The background of this research is the existence of the Constitutional Court decision Number 30/PUU-XV/2018 against the Institution of the Regional Representatives Council, as well as the urgency of DPD RI membership originating from political parties as a result of the Constitutional Court decision Number 30/PUU-XV/2018. The method used in this study is to use a qualitative method with a normative juridical approach. The findings of this study are: The Constitutional Court in its decision emphasized that the phrase "other work" in Article 182 letter i of the Election Law is contrary to the 1945 Constitution and does not have conditionally binding legal force as long as it is not interpreted to include administrators of political parties (political parties). The Constitutional Court's decision had an impact on the ban on the candidacy of DPD members from elements of political party management. So, the DPD cannot be filled by political party officials. The "administrators of political parties" in this decision are administrators starting from the central level to the lowest level according to the organizational structure of the political party concerned. The Constitutional Court acknowledged that Article 182 letter i of the Election Law does not explicitly prohibit political party officials from nominating themselves as candidates for DPD members. Even though the Constitutional Court's stance based on previous decisions always emphasized that candidates for DPD members could not come from members of political parties. Thus, this article automatically contradicts the 1945 Constitution if it is not interpreted as prohibiting political party officials from nominating themselves to become members of the DPD. The Constitutional Court has the authority to review laws against the constitution, decide on disputes over state institutions, decide on the dissolution of political parties, and decide on disputes over the results of general elections at the first and last levels. The decision of the Constitutional Court is final, meaning that it includes binding powers. Decisions of the Constitutional Court have binding power, evidentiary power, and executorial power. In its implementation, there have been problems regarding the validity of the decision which is considered retroactive. The Supreme Court canceled PKPU Number 26 of 2018 because it was of the opinion that the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 was retroactive. However, the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 must still be implemented, resulting in legal uncertainty. The Supreme Court is considered to have ignored the decision of the Constitutional Court. In the case of the implementation of the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, it is the interpretation of the Constitutional Court that must be used as a guideline and implemented."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Amelia
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Agung terkait putusan pengujian yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib serta dilakukannya pemanduan sumpah atau janji terhadap pimpinan DPD yang terpilih pada tahun 2017 yang masih menjadi perdebatan. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan utama. Pertama, kewenangan MA dalam pengujian terhadap Peraturan Tata Tertib DPD. Kedua, konsekuensi hukum putusan pengujian peraturan tata tertib DPD terhadap kewenangan pemanduan pengucapan sumpah atau janji pimpinan DPD tahun 2017 oleh MA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan pendekatan sejarah historical approach . Hasil penelitian ini menunjukan bahwaMAdalam melakukan pengujian terhadap peraturan tata tertib DPD adalah menjalankan fungsi peradilan yudisial dalam kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan, MA dalam melakukan pemanduan sumpah/janji pimpinan DPD adalah menjalankan fungsi administratif non-yudisial dalam kewenangan lain yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Secara formal, DPD telah menjalankan putusan MA, tetapi tidak secara substantif. Karena faktanya pemilihan pimpinan DPD yang baru tidak didasarkan pada putusan MA.Ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 Perma No.1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang memberikan jangka waktu selama 90 hari terhadap kekuataan hukum peraturan perundang-undangan yang dibatalkan menjadi salah satu alasan yang menempatkan MA dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, MA telah membatalkan peraturan tata tertib DPD, di sisi lain MA harus melaksanakan tugasnya untuk memandu sumpah/janji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, MA juga tidak memiliki kapasitas untuk menilai keabsahan dari pemilihan pimpinan tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the authority of the Supreme Court regarding the current decisions of judicial review ofthe rules of procedure of DPD Number 1 of 2016 and Number 1 of 2017 as well as guidance of oath or pledge against elected DPD leaders in 2017 which is still a debate. This study raises two main issues. First, the authority of the Supreme Court in the judicial review of the Rules of Procedure of DPD. Secondly, the legal consequences on the authority of scouting oath or promise of DPD leadership in 2017 by MA. This research is using normative juridical method through literature study and historical approach. The results of this study shows that the supreme court in judicial review of law regulation under law against the 1945 Constitution ofthe Republic of Indonesia is implementing judicial functions. Meanwhile, the Supreme Court in conducting the oath of DPD pledge is implementing administrative functions non judicial in other authorities as determined by Law Number 17 of 2014 concerning MPR, DPR, DPD and DPRD juncto Law Number 14 of 1985 regarding Supreme Court. Formally, the DPD has implemented the Supreme Court 39 s decision, but not substantively. Due to the fact that the election of the new DPD leadership was not based on the Supreme Court 39 s Decision. The provisions in Article 8 paragraph 2 of No.1 of 2011 on the Material Test Rights which give a period of 90 days to the legal power of legislation is one of the reasons that put the MA in a dilemmatic position. On the other hand, the Supreme Court has annulment the DPD rules of procedures, the Supreme Court must carry out its duties to guide the oath pledge mandated by the law, the Supreme Court also does not have the capacity to assess the validity of the election of the leader. Keywords The Supreme Court rsquo s Authority, Judicial Review, Swearing Oath, DPD."
2018
T51187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>