Ditemukan 51618 dokumen yang sesuai dengan query
Bau Siti Hartinah
"Perjanjian merupakan hubungan hukum yang sering dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Salah satu syarat sah perjanjian adalah syarat subjektif, yaitu kata sepakat. Kata sepakat mungkin saja tidak tercapai pada suatu perjanjian. Tidak tercapainya kata sepakat karena adanya unsur paksaan dalam perjanjian antara para pihak. Pendapat para ahli hukum mengenai definisi paksaan dalam perjanjian dan pertimbangan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analisis. Data terdiri dari primer dan sekunder. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa definisi paksaan menurut para ahli hukum ialah perbuatan menakuti seseorang yang menyebabkan orang tersebut takut bahwa dirinya akan menderita kerugian. Terdapat kesesuaian teori dan doktrin yang menjadi dasar hukum di beberapa pengadilan di Indonesia dalam menentukan adanya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan paksaan itu sendiri di antara para sarjana. Sebaiknya Mahkamah Agung memberikan pelatihan hukum kepada hakim-hakim terkait unsur paksaan dalam perjanjian.
Duress on Agreement is a legal relationship that is often carried out in community life. One of the legitimate conditions for an agreement is a subjective condition, namely an agreement. An agreement may not be reached on an agreement. Not reaching an agreement because of the element of coercion in the agreement between the parties. The opinions of legal experts regarding the definition of coercion in the agreement and consideration of the judge in determining whether or not there is an element of coercion in an agreement. This study uses a normative juridical method and descriptive analysis. Data consists of primary and secondary. The results showed that the definition of coercion according to legal experts was the act of frightening someone who caused the person to fear that he would suffer losses. There is a conformity of theory and doctrine which is the legal basis in several courts in Indonesia in determining the element of coercion in an agreement. Further discussion is needed to define coercion itself among scholars. It is recommended that the Supreme Court provide legal training to judges regarding the element of coercion in the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Bau Siti Hartinah
"Perjanjian merupakan hubungan hukum yang sering dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Salah satu syarat sah perjanjian adalah syarat subjektif, yaitu kata sepakat. Kata sepakat mungkin saja tidak tercapai pada suatu perjanjian. Tidak tercapainya kata sepakat karena adanya unsur paksaan dalam perjanjian antara para pihak. Pendapat para ahli hukum mengenai definisi paksaan dalam perjanjian dan pertimbangan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analisis. Data terdiri dari primer dan sekunder.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa definisi paksaan menurut para ahli hukum ialah perbuatan menakuti seseorang yang menyebabkan orang tersebut takut bahwa dirinya akan menderita kerugian. Terdapat kesesuaian teori dan doktrin yang menjadi dasar hukum di beberapa pengadilan di Indonesia dalam menentukan adanya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan paksaan itu sendiri di antara para sarjana. Sebaiknya Mahkamah Agung memberikan pelatihan hukum kepada hakim-hakim terkait unsur paksaan dalam perjanjian.
Agreement is a legal relationship that is often carried out in community life. One of the legitimate conditions for an agreement is a subjective condition, namely an agreement. An agreement may not be reached on an agreement. Not reaching an agreement because of the element of coercion in the agreement between the parties. The opinions of legal experts regarding the definition of coercion in the agreement and consideration of the judge in determining whether or not there is an element of coercion in an agreement. This study uses a normative juridical method and descriptive analysis. Data consists of primary and secondary. The results showed that the definition of coercion according to legal experts was the act of frightening someone who caused the person to fear that he would suffer losses. There is a conformity of theory and doctrine which is the legal basis in several courts in Indonesia in determining the element of coercion in an agreement. Further discussion is needed to define coercion itself among scholars. It is recommended that the Supreme Court provide legal training to judges regarding the element of coercion in the agreement. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Annisa Dwitazara
"Penelitian ini membahas mengenai rangkaian perbuatan seperti apa yang dapat dikatakan dengan Penipuan dengan membahas definisi Penipuan menurut para ahli dan pertimbangan hakim. Penipuan dalam perjanjian sering terjadi dan menjadi permasalahan hukum antara dua pihak yang saling mengikatkan diri namun adanya fakta yang telah disembunyikan sehingga mempengaruhi keputusan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. Tujuan khusus dari penulisan ini untuk mengklarifikasi rangkaian perbuatan yang dapat dikatakan sebagai penipuan berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta menganalisa putusan putusan pengadilan mengenai perbuatan perbuatan salah satu pihak yang didalilkan melakukan penipuan dan bagaimana hakim mempertimbangkan suatu penipuan perjanjian tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dan tipe penelitian yang dilakukan dengan menggunakan deskriptif analitis. Kesimpulan dari penulisan ini menjabarkan bahwa penipuan memiliki definisi yang beragam karena dibahas dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Penipuan menurut Common Law, dan penipuan menurut para ahli. Rangkaian perbuatan penipuan adalah perbuatan yang dapat menggerakkan orang lain/ membujuk orang lain dengan alat penggerak seperti akal/ tipu muslihat, karangan perkataan bohong, nama palsu dan keadaan palsu. Serta adanya macam macam pertimbangan hakim mengenai pembuktian dan definisi dari penipuan. Penerapn definisi penipuan dalam hubungan kontraktual dapat diterapkan dalam rancangan Kitab Undang Undang Hukum perdata dan pengadilan dapat memiliki konsep dan pemahaman yang sama mengenai definisi penipuan dan rangkaian perbuatan penipuan.
This thesis discussed about a series of fraudulent acts that define as a misrepresentation by defining definition according to the experts and judges considerations. Misrepresentation in agreements often occurs and becomes a legal problem between two parties that mutually binding but there are facts that has been hidden which affect the decision to binding themselves in agreement. The specific purpose of this thesis is to clarify a series of fraudulent acts that can be regarded as a misrepresentation according to the Civil Code and Criminal Law and analysed court decisions which discussed about one of the parties that perform a series of fraudulent acts and how the judges considered a fraud agreement. This research was conducted using the form of normative juridical research and the type of research carried out using analytical descriptive. The conclusion of this thesis was, misrepresentation has a many definitions because it is discussed in the Civil Code, Criminal Code, Fraud based on Common Law, and Fraud based on experts. A series of fraudulent acts are actions that can persuade others with false statement of fact, false representations, false names and false conditions. Moreover, there were a various kinds of judges' considerations regarding proof and definition of misrepresentation. The use of misrepresentation definition in contractual relationships can be applied in the draft Civil Code. Therefore, the court can have the same concept and understanding of the misrepresentation definition and a series of fraudulent acts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yosepin
"Skripsi ini membahas tentang doktrin unjust enrichment yang telah dikenal pertama kali di negara-negara common law. Doktrin tersebut merupakan perluasan dari gugatan perdata yang sudah ada yaitu wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum PMH . Setelah penerapan doktrin tersebut diakui pada negara-negara common law, negara-negara civil law mulai mengenal doktrin unjust enrichment. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku dan mengikat kehidupan masyarakat. Di Perancis diatur secara khusus di dalam France Civil Code pada tahun 1892 di Buku III Pasal 1303. Begitu juga di Belanda diatur di dalam Dutch Civil Code tahun 1992 di Buku 6 Bab 4 Pasal 212. Sedangkan di Indonesia, belum diatur secara khusus mengenai doktrin unjust enrichment dalam ketentuan undang-undang. Namun bukan berarti Indonesia tidak mengenal doktrin ini. Terdapat salah satu konsep unjust enrichment secara tersirat dalam pasal 1359 KUHPerdata. Dalam pengaturannya di pasal 1359 KUHPerdata menjelaskan bahwa dapat dituntut kembali suatu pembayaran yang tidak diwajibkan. Isi dari pasal tersebut tergambar dari beberapa putusan maupun penetapan pengadilan seperti putusan nomor 1749 K/Pdt/2010, penetapan nomor 253/Pdt.P/2014/PNSkt, dan putusan nomor 732 K/Pdt/2013. Skripsi ini berisi tentang sejarah doktrin unjust enrichment serta tantangan dan hambatan dalam menerapkan doktrin unjust enrichment dalam putusan-putusan pengadilan.
This thesis discusses about the unjust enrichment doctrine has been first recognized in common law countries. It is an extension of existing civil lawsuits such as event of default and tort. After the implementation of the unjust enrichment doctrine is recognized in common law countries, civil law countries are beginning to recognize the unjust enrichment doctrine as well. The research method used in this paper is library research method with secondary data that is juridical normative, which is a research that refers to the legal norms appeared in legislations and norms that bind the society. Unjust enrichment has been specially regulated in the French Civil Code in 1892 in Book III, Article 1303. Similarly, in the Netherlands, unjust enrichment has been regulated in the Dutch Civil Code of 1992 in Book 6, Chapter 4, Article 212. While in Indonesia, unjust enrichment has not been specifically regulated in the regulations of the law. But that does not mean Indonesia does not recognize this doctrine. The unjust enrichment doctrine implicitly appeared in Article 1359 of Indonesian Civil Code. Article 1359 of the Indonesian Civil Code explains that each payment which was not made pursuant to a debt may be reclaim. This article tries to explain how this doctrine to be implemented in the court decisions. What the court considerations in implemented such doctrine. What are the opportunities and challenges of such doctrine to be implemented in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
346.048 Tim h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Tatanusa, 2004
346.048 HIM
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Tatanusa, 2005
346.048 Tim h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Tatanusa, 2005
346.048 HIM
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Tata Nusa, 2002
346.048 HIM
Buku Teks Universitas Indonesia Library
"Decisions of Indonesian Commercial Court regarding patent."
Jakarta: Tatanusa , 2007
346.048 6 HIM
Buku Teks Universitas Indonesia Library