Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151582 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Nurullita
"Selama Soeharto, pemerintah Orde Baru dicirikan dengan menggunakan utang luar negeri untuk membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Karena itu, konsorsium donor yang disebut IGGI dibentuk. Tetapi setelah 25 tahun hingga 1992, IGGI harus dibubarkan. Ini karena intervensi Belanda yang menghubungkan bantuan asing dengan masalah hak asasi manusia setelah Insiden Santa Cruz. Sebagai gantinya, para donor mendirikan kelompok baru yang disebut CGI yang diketuai oleh Bank Dunia. Melalui metode studi literatur dan analisis deskriptif, tesis ini mencoba menjelaskan peran CGI pada masa Orde Baru. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih membutuhkan bantuan asing untuk menutupi defisit anggaran. Meskipun demikian Indonesia berupaya untuk meningkatkan pendapatan negaranya melalui ekspor non-migas disertai dengan berbagai devaluasi, dan kebijakan deregulasi. Namun, ketika Krisis Asia terjadi, ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang berasal dari sistem ekonomi yang rapuh. Pada akhirnya, CGI tidak berperan banyak karena bantuan itu direncanakan. Sehingga dalam mengatasi krisis, Indonesia meminta bantuan dari IMF.

During Soeharto, the New Order government was characterized by using foreign debt to finance Indonesia's economic development. Therefore, a donor consortium called IGGI was formed. But after 25 years until 1992, IGGI had to be dissolved. This is due to Dutch intervention that links foreign aid with human rights issues after the Santa Cruz Incident. Instead, donors established a new group called the CGI, chaired by the World Bank. Through the method of literature study and descriptive analysis, this thesis tries to explain the role of CGI during the New Order era. It can be concluded that Indonesia still needs foreign assistance to cover the budget deficit. Nevertheless, Indonesia seeks to increase its country's income through non-oil and gas exports accompanied by various devaluations, and deregulation policies. However, when the Asian Crisis occurred, Indonesia's economy continued to decline due to high economic growth stemming from the fragile economic system. In the end, the CGI did not play much because the assistance was planned. So in overcoming the crisis, Indonesia requested assistance from the IMF."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dani Setiawan
"ABSTRAK
Tesis ini akan mengkaji tentang pengaruh Bank Dunia dalam kebijakan
ekonomi Indonesia pasca Orde Baru. Penelitian ini dimaksudkan untuk
melakukan analisis tentang pergeseran-pergeseran orientasi Bank Dunia di tingkat
internasional, mempengaruhi kebijakan penyaluran pinjaman kepada pemerintah
Indonesia pasca Orde Baru. Satu periode dimana Bank Dunia mulai
memperkenalkan kebijakan tata kelola dan pembangunan institusi dalam
penyaluran pinjamannya untuk mendukung agenda reformasi ekonomi di
Indonesia. Kebijakan ini pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk
mendorong perluasan ekspansi modal di dalam struktur ekonomi Indonesia yang
masih bertumpu pada negara.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa meskipun terjadi perubahan dalam
orientasi pemberian pinjaman Bank Dunia pada periode pasca Orde Baru, tetapi
Bank Dunia tidak bisa menghindari adanya kepentingan negara-negara pusat
untuk menggunakan lembaga ini sebagai instrumen ekspansi modal di negaranegara
pinggiran. Peningkatan intervensi Bank Dunia di Indonesia dalam
kebijakan ekonomi sangat dipengaruhi oleh keberadaan elit politik dan komunitas
epistemis liberal di dalam negeri.

ABSTRACT
This thesis will examine the influence of the World Bank in Indonesia
economic policy in the post-New Order era. This study is intended to carry out an
analysis of the shifts in the orientation of the World Bank at the international
level, influencing government policy lending to the post-New Order. A period in
which the World Bank began introducing governance policies and institutions
development in channeling loans to support economic reform agenda in Indonesia.
This policy is basically an effort to encourage the expansion of capital in the
structure of the Indonesian economy which is still based on the state.
These results indicate that although there is a change in the orientation of
the World Bank lending in the period of the Post-New Order, but the World Bank
can not avoid the interest of the core countries (developed countries) to use these
institutions as instruments of capital expansion in the peripheral countries.
Increased World Bank intervention in Indonesia in economic policy is strongly
influenced by the presence of the political elite and liberal epistemic community
within the country."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dannil Nafis
"Consultative Group for Indonesia (CGI) merupakan konsorsium negara-negara dan lembaga-lembaga kreditor untuk Indonesia yang dibentuk pada tahun 1992 sebagai pengganti konsorsium yang sama yaitu IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). CGI terdiri dari sekitar 30 kreditor bilateral dan multilateral diantaranya World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB), International Monetary Fund (IMF), CGI telah memberikan kucuran dana atau pledge bagi pemerintah Indonesia untuk menutup Financing budget, Seperti halnya dengan International Monetery Fund (IMF), selama ini Indonesia memerlukan CGI untuk memperoleh utang yang akan dipergunakan untuk menutupi defisit anggaran (APBN). CGI dalam kebijakan pemberian utang luar negeri (ULN), selalu menyertai dengan kondisionalitas penerapan agenda konsensus Washington. Penerapan kebijakan ini, yakni pemberian resep berupa persyaratan dan penkondisian tersebut tercantum dalam paket Structural Adjusment Program (SAP).
Dalam SAP sangat memiliki kepentingan terhadap pelaksanan Konsensus Washington sebagai bentuk perluasan kapitalisme, baik melaui Lembaga Keuangan Internasional, maupun konsorsium pemberi utang para negara kreditor seperti CGI, yang memberikan persyaratan sebagai bagian dari persetujuan pinjaman kepada Indonesi. Utang diberikan asal Indonesia mau memenuhi syarat-syrat yang diajukan konstituen CGI. Hal ini membuat CGI menjadi suatu komunitas berkekuatan ?utang? untuk secara bersamasama membuat tekanan ekonomi dan politik. Privatisasi, liberalisasi, dan disiplin fiskal merupakan pilar utama untuk mendukung terlaksananya fungsi konsensus Washington. Penelitian dilakukan dengan mengunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini mencermati dinamika hubungan CGI dan Pemerintahan RI, baik secara struktural dan instrumen-instrumen yang terkait dalam keberlangsungan CGI di Indonesia secara ekplanatif. Penelitian ini mengindentifikasi dan mengelaborasi mengenai adanya kepentingan ideologis yang diterapkan melaui forum CGI melaui kondisionalitas nya, ketergantungan Indonesia dengan utang luar negeri serta keterkaitan aktor-aktor eksternal maupun internal yang melatari penerapan kebijakan konsensus Washington di Indonesia pada periode pasca reformasi, pada periode tahun 2000-2007.
Berdasar penelitian yang dihasilkan, menunjukkan keberadaan:Pertama; Keberadaan CGI sebagai aid coordinator, yang didominasi lembaga keuangan intrnasional yakni Bank Dunia, ADB dan IMF serta negara kreditor seperi Jepang, Amerika dan Jerman, lebih cenderung digunakan sebagai wadah pertemuan yang mengakomodir kepentingan para kreditor yang tergabung dalam CGI. Kedua ULN yang sangat sarat dengan kondisionalitas berupa SAP, merupkan penetrasi dan pintu masuk bagi angota CGI terhadap Indonesia melakasanakan paket kebijakan neoliberal, yakni Washington Consensus, yang tiada lain penguasaan dan bentuk hegemoni negara kreditor terhadap Indonesia. Ketiga, Ketergantungan Indonesia terhadap ULN, bukanlah sesuatu yang alamiah, tapi diciptakan dan dikondisikan secara eksternal dan internal. Ketergantungan ini melahirkan hegemoni dan sebuah konstruksi sinergis antara para kolaborator penganut pemikiran liberal di Indonesia bersama kekuatan konsorsium kreditor internasional yang tergabung dalam CGI.

Consultative Group for Indonesia (CGI) is a consortiums of countries and bilateral and multilateral creditors established in 1992 as replace the IGGI (Inter- Governmental Group on Indonesia). CGI membership is made up of 30 bilateral and multilateral creditors, including the World Bank, the Asian Development Bank, the International Monetary Fund. The CGI providing loans and/or pledge for the Indonesian government to cover its financing budget. The same as International Monetary Fund (IMF), Indonesia needed CGI to obtain debt that used to cover state budget deficits. CGI on their debt foreign policies make Washington Consensus give prescriptions in form of requirements and conditionalities that covered in the package Structural Adjustment Program (SAP).
The SAP have a vested interest toward the implementation of Washington Consensus as form of extending of capitalism, both by international financial institutions and consortium of creditors such as CGI, that gives conditionalities as part of loan agreement to Indonesia. The Debt will be given whereas Indonesia want to fulfill all requirements proposed by CGI members. This make CGI become powerful community that can make economic-political pressure. Privatization, liberalization, and fiscal discipline are main pillars to sustain the implementing function of Washington Consensus. The research used qualitative approach.
This research focus on dynamics relation between CGI and Indonesian government, boths structuraly and linked instruments in existing CGI in Indonesia. The research is to identify and elaborate about there is ideological interest through CGI forum in its conditionalities, the dependent of Indonesia to the foreign debt, and also linkage external and internal actors that be based of implementing of Washington Consensus policies in Indonesia after reformation movement period, mainly in 2000-2007, this research more explanative.
Based on research result, shown that, first, the existing of CGI as aid coordinator, that dominated by international finansial institutions, such s World Bank, ADB, and IMF and creditor countires like Japan, US, and Germany, tend to make the forum as meeting forum that accomodate the interest of the creditors joined in CGI. Second, external debt that full of conditionalities in form of SAP, actually is penetration and open door for CGI members to force Indonesia implementing neoliberal policy package or Washington Consensus. Third, the dependet of Indonesia to foreign debts is not natural actually, but it is created or conditioning externally and internally. This dependent born hegemonic and a synergic constructive among collaborators liberals thinker supporters in indonesi and international creditors joined in CGI."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25104
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Insan Praditya Anugrah
"ABSTRAK
Tesis ini memperbandingkan pretorianisme militer dalam politik Negara, mengambil studi kasus Indonesia dan Myanmar. Dengan menggunakan teori pretorianisme Eric Nordlinger, tesis ini membandingkan kedua Negara tersebut melalui empat indikator penting dalam teori petorianisme Eric Nordlinger, diantaranya : a penghapusan dan pembatasan persaingan dan keterlibatan masyarakat dalam politik, b upaya mempertahankan kekuasaan oleh rezim militer secara terpusat, c pertumbuhan dan modernisasi ekonomi dan d kecenderungan mempertahankan status quo ekonomi dibandingkan mengupayakan ekonomi yang progresif.Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa di Indonesia rezim Orde baru memiliki melakukan pembatasan persaingan dan keterlibatan dalam politik, sedangkan di Myanmar, rezim junta militer penghapuskan persaingan dan keterlibatan politik. Orde baru di Indonesia mengupayakan keberlangsungan kekuasaannya melalui mobilisasi politik, indoktrinasi di desa-desa, serta sensor atas media-media cara represif juga digunakan untuk meredam penentangan terhadap pemerintah , rezim junta militer di Myanmar mengupayakan indoktrinasi, kontrol serta pengawasan atas media-media namun cara represif lebih dominan. Orde Baru di Indonesia mengelola pertumbuhan ekonomi dan modernisasi dengan meliberalisasi perekonomian, investasi asing masuk membawa alih teknologi dan modernisasi di Indonesia, rezim junta militer Myanmar justru memberlakukan kebijakan ekonomi isolasionis yang melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan serta membatasi masuknya modal asing. Orde Baru di Indonesia mengupayakan kebijakan-kebijakan ekonomi progresif di pedesaan, akan tetapi secara porsi justru Orde Baru cenderung menngkonsentrasikan kapital dan pembangunan di pusat ketimbang daerah-daerah. Rezim Junta Myanmar juga memberlakukan kebijakan progresif terhadap petani namun konsentrasi kapital tetap berada pada kelompok militer. Penelitian ini menemukan bahwa secara teoritik dalam aspek politik dibutuhkan indikator tambahan mengenai pelanggaran HAM serta dalam aspek ekonomi dibutuhkan tambahan indikator mengenai konglomerasi oleh militer, karena kedua hal tersebut sangat menonjol di kedua negara.

ABSTRACT
This thesis comparing military praetorianism in Indonesia rsquo s New Order Era and Myanmar rsquo s Military Junta using the theoretical explanation of Eric Nordlinger rsquo s Praetorianism. There are four important indicators that can help us to compare both countries such as a the abolition and limitation of competition and involvement in politics for civilians b the military regime efforts to maintain the continuity of the regime c economic development and modernization and d the intention of ruler praetorians to preserve the economic status quo rather than progressive economy.This paper found that Indonesia rsquo s New Order tend to limit competitions and involvement of civilians in the politics while Myanmar rsquo s military junta abolished the competition and involvement of civilian in the politics. Indonesia rsquo s New Order regime tend to maintain the continuity of the regime through political mobilization and indoctrination especially for villagers, and media control, aside of repressive way. Myanmar rsquo s military Junta also tend to maintain the power by indoctrination and control over media, but the repressive actions by military was more dominant. Indonesia rsquo s New Order maintaining economic development and modernization through economic liberalization, foreign investment brought technological transfer and modernization, meanwhile the Myanmar rsquo s military junta regime imposing isolationist economic policy and nationaliziation of foreign enterprises and limit the foreign investment inflow within the country. Indonesia rsquo s New Order regime attempt to achieve progressive policies such as building public facilities for villagers but there was still huge disparity between economy in the village and central region. The capital was centralized within the circle of Jendral Soeharto rsquo s cronies. Myanmar rsquo s military junta government also attempt to achieve progressive policies toward peasants and farmers in the village by building public facilities and credit special for peasants and farmers, but the overall capital in fact concentrated within the military. This thesis found that more indicator needed about human rights violation and groups conglomeration of military, as the two aspects are very significant within the two countries"
2018
T51612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Wijayanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8126
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Syihabuddin
"Penelitian ini berfokus pada Dinamika HIPMI Pasca Orde Baru. Sebagai wadah belajar dan kaderisasi pengusaha muda yang telah berpengalaman dalam mencetak kader-kader pengusaha-politisi di Era Orde Baru melalui partai Golkar yang menjadi induk politiknya, HIPMI sedikit banyak terkena imbas dari reformasi 1998. Sistem politik berubah dan mengikis jaringan sentral HIPMI selama ini dibirokrasi, partai politik, dan militer. Karenanya, menghadapi liberalisasi ekonomi dan politik pasca Orde Baru, HIPMI dituntut oleh keadaan untuk melakukan transformasi diri.
Transformasi ini ditandai dengan indepensi HIPMI dihadapan partai politik manapun, meskipun secara tradisi dan jaringan masih cukup kuat mengandalkan jaringan lama yang tertanam kuat di partai Golkar. Transformasi selanjutnya adalah corak bisnis yang digeluti oleh para pengusaha muda yang, seiring dengan liberalisasi ekonomi pasca Orde Baru, tidak hanya bisa mengandalkan proyek dari pemerintah semata, meski sebagai pendatang baru dalam dunia bisnis, mengerjakan proyek pemerintah berbasis ABPN/APBN masih menjadi pintu masuk ke dunia bisnis yang lebih luas. Modal ekonomi, intelektualitas, dan jaringan menjadi kunci bagi pengautan kaderisasi di HIPMI pasca Orde Baru. Dan HIPMI pasca Orde Baru selalu menuntut dirinya untuk membibitkan kader-kader pengusaha muda yang mandiri di hadapan negara.
Berpijak pada teori ekonomi politik relasi bisnis dan kekuasaan, teori modal sosial, dan kelas menengah, amatan terhadap kelembagaan dan perilaku anggota HIPMI dilakukan dan dikemukakan bahwa meski orde Politik telah berubah, namun peran tradisional HIPMI dalam politik Indonesia tetap sama: selain menjadi unit kaderisasi pengusaha pemula, HIPMI juga memerankan diri sebagai wadah kaderisasi politik sekaligus. Hal ini bukan persoalan salah atau benar dalam melihat perilaku kelembagaan HIPMI. Namun transformasi kelembagaan HIPMI yang telah kian matang, dengan perubahan perilaku bisnis yang beranjak menjauh dari negara, masih diikuti oleh tuntutan kesejarahan HIPMI: selain menyiapkan diri menjadi pengusaha yang sukses, HIPMI juga dituntut untuk siap menjadi pemimpin-pemimpin bangsa melalui jalur politik.
Demokrasi Indonesia yang masih mencari bentuknya yang ideal juga menyajikan dilemma dalam hubungan bisnis dan politik. Partai-partai politik semakin pragmatis dalam rekrutmen politiknya karena menghadapi ongkos politik yang mahal. Bagi HIPMI ini adalah peluang sekaligus tantangan dalam perannya sebagai kelas menengah di Indonesia. Di satu sisi, idealitas pembangunan kelas menengah berbasis komunitas bisnis yang kuat dan mandiri di hadapan negara menjadi tanggung jawab mereka, namun di sisi lain, ongkos politik yang begitu mahal memberi tawaran yang begitu besar bagi kelompok pengusaha untuk masuk dan bermain di dalamnya. Kaderisasi politik yang ramah terhadap kalangan usahawan ini mengidap hampir semua partai politik dan seolah menjadi tren dalam pentas politik Indonesia, sehingga membuka ruang yang begitu besar bagi organisasi yang bermotto “pengusaha pejuang, pejuang pengusaha ini”

This research is mainly focused on the post-New Order dynamism of the Indonesian Young Entrepreneurs Association (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia/HIPMI). As an organization which has a long experience on educating young generations of businessman-politicians through its political patron, Golongan Karya (Golkar), HIPMI has been to some extent affected by the 1998 reform. The changing political system erodes HIPMI’s central networking in bureaucracy, political parties, and military. As a consequence, HIPMI must adjust by transforming itself in view of the post-New Order political and economic liberalization.
HIPMI’s independence from any political party, albeit its ongoing dependence on its old tradition and networking both of which are deeply rooted in Golkar, marks this transformation. Another transformation is manifested in HIPMI’s type of business which, in line with the post-New Order economic liberalization, no longer depends solely on the government’s projects. However, the national budget (APBN)-based government’s projects remain the main entrance for the business new-comers to explore broader business opportunities. Economic capital, intellectuality, and networking play important role in strengthening the regeneration process of the post-New Order HIPMI which always urges itself to produce new, young entrepreneurs who are independent of the government.
Using business-power relation theory of political economy, social capital theory, and middle class theory to analyze the institutional and behavioral aspects of HIPMI members, this theses argues that although the political order has changed, and some of HIPMI’s members’ business role and networking have accordingly changed, the traditional role of HIPMI in Indonesian politic remains unchanged. In addition to its role as a medium for regeneration of new entrepreneurs, HIPMI plays another role as a medium for political regeneration. This does not have anything to do with right or wrong in analyzing HIPMI’s institutional behavior. HIPMI’s maturing transformation marked by its increasing distance from the government remains connected to its historical call: producing successful entrepreneurs as well as political leaders.
Indonesian democracy which is still in search for its ideal format poses a dilemma on business-politic relations. Political parties become more pragmatic in their political recruitment due to expensive political costs. This is an opportunity as well as challenge for HIPMI in its role as an Indonesian middle class. On one hand, the responsibility of building the middle class based on a strong and independent business free of the government’s influence lays on their shoulder. On the other hand, the expensive political costs pave their way to enter into politic. This businessmen-friendly climate of political regeneration is present in all political parties and apparently becomes a trend in Indonesian political contestation, providing a vast arena for HIPMI whose motto is “heroic entrepreneurs, entrepreneurial hero.”
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haydr Suhardy
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas peran Ford Foundation dalam pemberian beasiswa studi ekonomi di AS kepada sejumlah dosen dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia FEUI yang kemudian menjadi Tim Ahli Ekonomi dan Keuangan pada awal Orde Baru. Ketika para dosen telah mulai menyelesaikan studi ekonominya pada awal 1960-an, mereka diminta bergabung dengan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat Seskoad yang semenjak akhir 1950-an sedang mempersiapkan mengambil alih pemerintahan Indonesia. Di Seskoad, para ekonom diminta untuk mengajar ekonomi, yang merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian Angkatan Darat AD dalam persiapan pengambilalihan pemerintahan. Setelah pemerintahan Indonesia diambil oleh AD, ditandai dengan naiknya Mayjen Soeharto, diadakanlah Seminar Angkatan Darat II yang membahas mengenai persiapan pada berbagai aspek untuk pemerintahan Indonesia yang baru. Pada seminar ini para dosen mengungkapkan pemikiran mereka mengenai situasi ekonomi Indonesia, dan bagaimana mengatasinya. Soeharto yang tertarik dengan pemaparan para dosen kemudian mengangkat mereka menjadi penasihat ekonomi baginya, yang tergabung dalam Tim Ahli Ekonomi dan Keuangan. Berbekal dengan pemikiran ekonomi liberal yang mereka dapatkan melalui pendidikan mereka di AS, para dosen yang kini menjadi ekonom pada Tim Ahli Ekonomi dan Keuangan, mulai merancang berbagai kebijakan ekonomi yang sifatnya liberal, pada masa awal Orde Baru. Penelitian ini dilakukan dengan heuristik, kritik, dan interpretasi terhadap wawancara para penerima beasiswa Ford Foundation, dokumen Ford Foundation, dokumen Pemerintah AS, serta majalah dan surat kabar sezaman.

ABSTRACT
This thesis discusses the role of Ford Foundation in providing scholarship of economic studies in US to a number of lecturers from the Faculty of Economics University of Indonesia FEUI who later became the Expert Team of Economics and Finance at the beginning of the New Order in Indonesia. When the lecturers had begun their economic studies in the early 1960s, they were asked to join the Army Staff and Command School Seskoad , which since the late 1950s was preparing to take over the Indonesian government. In Seskoad, the economists are asked to teach economics, which is one aspect of the Army 39 s attention in preparation for a government takeover. After the Indonesian government was taken by the Army, marked by the rise of Major General Soeharto, an seminar called ldquo Seminar Angkatan Darat II rdquo was held which discussed preparations on various aspects for the new Indonesian government. At this seminar the lecturers expressed their thoughts on the economic situation of Indonesia, and how to overcome it. Suharto who was interested in the exposure of the lecturers then appointed them as economic advisers for him, who joined the Economic and Financial Expert Team. With the liberal economic ideas they have gained through their education in the US, lecturers who are now economists at the Economic and Financial Experts Team, began to design a variety of liberal economic policies, in the early days of the New Order. The study was conducted with heuristics, criticism, and interpretation of interviews of Ford Foundation scholars, Ford Foundation documents, US Government documents, and contemporary magazines and newspapers."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Posma Hotmer P.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitto Rafael Tahar
"Tesis ini berupaya mengkaji salah satu aspek dalam pelaksanaan politik luar negeri Cina yaitu dalam hubungannya dengan tetangga terdekatnya yaitu Jepang. Selama berabad-abad kedua negara telah menjalin hubungan baik. Tetapi di awal abad 20 Jepang melakukan invasi ke Cina pada tahun 1937 hingga akhir Perang Dunia II. Peristiwa invasi ini telah menimbulkan korban jiwa dipihak Cina mencapai 21 juta jiwa. Akibatnya Cina terlihat memendam trauma terhadap Jepang, sehingga selalu menimbulkan kecurigaan di pihak Cina terhadap semua tindakan Jepang yang dianggapnya sebagai indikasi bangkitnya militerisme Jepang, sehingga menimbulkan semacam sensitivitas yang mempengaruhi impelementasi poltik luar negerinya dengan Jepang.
Faktor inilah yang kerap muncul sejak normalisasi hubungan kedua negara tahun 1972 yang ditunjukkan lewat berbagai insiden. Namun di sisi lain Cina juga selalu berupaya untuk tidak terlalu merusak hubungannya dengan Jepang. Sikap ini ditunjukkan dengan perilaku yang terkesan kooperatif dalam beberapa kasus yang relevan dengan faktor sensitivitas sejarah tersebut. Sehingga timbul permasalahan apakah memang benar faktor sensitivitas sejarah ini memiliki pengaruh pada perilaku politik luar negeri Cina terhadap Jepang.
Dalam pembahasan ini digunakan kerangka pemikiran dari Whiting yang menekankan pentingnya persepsi bangsa Cina terhadap Jepang yang dibentuk oleh pengalaman sejarah. Selain itu juga digunakan kerangka pemikiran dari Thomas W. Robinson dan Carol Lee Hamrin yang intinya menyatakan adanya keterkaitan faktor eksternal dan domestik Cina yang menyebabkan perilaku yang dualistis tersebut.
Dalam pembahasan kemudian ternyata memang terbukti bahwa faktor Sensitivitas ini memang berpengaruh bagi Cina dalam perilaku politik luar negerinya terhadap Jepang. Sikap sensitif ini sebenarnya berakar dari sikap mental dan budaya Cina yang memang sangat mementingkan masa lalu dalam menghadapi persoalan masa kini. Tapi disisi lain karena adanya faktor prioritas domestik yaitu pembangunan ekonomi dan peristiwa Tiananmen, membuat Cina berkepentingan menjaga hubungannya dengan Jepang agar tidak sampai menjadi konflik terbuka. Hal ini karena Cina memerlukan suatu lingkungan internasional yang kondusif dan juga aliran dana serta teknologi dalam rangka mendukung program modernisasi Cina. Selain itu perubahan kondisi birokrasi Cina yang semakin plural telah menyebabkan semua kebijakan memerlukan proses konsultasi dan koordinasi yang kompleks. Hal inilah yang menjelaskan Sikap Cina yang kooperatif tersebut. Walaupun begitu pada dasarnya politik luar negeri Cina memang selalu akan dipengaruhi oleh faktor sensitivitas tersebut, sehingga dengan sendirinya berpengaruh pada hubungan kedua negara di masa depan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>